1. Yang Ingin Kutanyakan
Apa yang sedang kulakukan tadi?
Oh, benar. Aku sedang menangis.
Aku telah belajar bahwa tak peduli berapa banyak air mata yang kuteteskan, aku tak akan pernah kehabisan mereka.
Aku tak pernah ingin tahu itu, tapi aku dipaksa untuk mengerti.
Air mata tidak akan habis.
Terlepas dari itu, semakin sering aku menangis, semakin terasa ada sesuatu yang lepas dari tubuhku. Apakah aku masih punya sesuatu untuk hilang? Rasanya tidak. Tapi ternyata aku salah.
Setiap hari, aku kehilangan sesuatu.
Setiap jam, setiap menit, setiap detik, ada bagian dariku yang lenyap.
“Merry… Merry.”
Sebuah suara memanggil namaku. Siapa yang memanggilku? Aku tahu.
Aku bangkit dari tempat tidur dan menoleh samar ke arah Hayashi yang berdiri di ambang pintu.
Aku mencoba menjawab, tapi tak ada kata yang keluar.
Hayashi, yang diam beberapa saat, akhirnya berbicara.
“Hei, Merry. Kau tahu kau tidak bisa terus seperti ini.”
Aku akan merasa bersalah kalau tak menjawab. Itu satu-satunya alasan aku mengangguk.
Hayashi menghela napas kecil, seperti sedikit lega. “Masalahnya begini…” katanya, “Ada klan bernama Orion. Pimpinannya, Shinohara, dengar tentang situasi kita. Dia ngajak kita gabung.”
“…Aku juga?”
“Ya jelaslah. Tentu aja kamu ikut.”
Bagaimana seharusnya aku merespons di saat seperti ini?
Apa yang akan kulakukan—jika aku masih menjadi diriku yang dulu? Saat Micihki, Ogu, dan Mutusmi masih hidup. Saat diriku belum gagal menjalankan tugas sebagai priest—sebelum membiarkan mereka mati.
Aku menjadi penyebab kematian mereka. Terhadap rekan-rekan berharga yang seharusnya kulindungi. Apapun yang terjadi, tugasku sebagai priest adalah melindungi mereka. Itulah niatku. Tapi niat saja tidak cukup.
Aku harus melindungi mereka sampai akhir. Aku pikir aku bisa. Mungkin itu bentuk kesombonganku. Bukan mungkin. Memang begitu.
Faktanya, aku tidak bisa. Aku salah. Dan hasilnya sudah jelas. Yang bisa kulakukan hanyalah mengakui kenyataan itu. Aku harus mengakui ini: aku membiarkan rekan-rekanku mati.
Seorang priest yang tak bisa melindungi nyawa rekan-rekannya— Itu bukan priest. Itu sampah. Bahkan tak layak untuk terus hidup.
Tapi nyatanya, aku masih bernapas. Aku tetap hidup.
Aku berharap aku mati. Setidaknya, aku seharusnya mati bersama mereka.
…Hei, Hayashi. Aku tak ingin melakukan apa-apa. Lagipula, kurasa aku memang sudah tak bisa melakukan apapun. Tapi setiap kali kulihat wajahmu, ada satu hal—hanya satu hal yang benar-benar ingin kutanyakan.
Kenapa? Kenapa waktu itu kau menyeretku kabur bersamamu?
Kalau memang ingin melarikan diri, kamu bisa saja pergi sendiri. Aku tidak ingin lari. Aku tidak pernah berniat meninggalkan rekan-rekanku. Bukan begitu caraku. Aku tidak akan pernah melakukan itu.
Ogu tumbang lebih dulu. Lalu Mutsumi menyusul. Saat itu aku sadar:
Sudah tak ada harapan. Kami tak mungkin menang. Mungkin tak satu pun dari kami akan selamat. Kami akan mati di sini.
Aku ingin mati bersama yang lain. Sedikit pun aku tak pernah terpikir untuk lari.
“Pergi! Lari!” Itu yang Michiki katakan pada kami. Itu kenyataannya. Mungkin memang Michiki ingin kami bertahan—jika memang masih bisa.
Tapi bagaimana denganku? Apa aku pernah bilang aku ingin bertahan hidup? Apa dia pikir aku akan menginginkan ini?
…Hei, Hayashi. Kenapa kamu melakukannya? Kenapa kamu tak membiarkanku mati bersama Michiki dan yang lainnya?
“Orion…” Aku hanya menunduk dan menjawab pelan, “…Oke.”
Ini bukan salah Hayashi. Hayashi tidak salah. Kalau aku berada di posisinya, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama.
Itulah kenapa aku tidak pernah menanyakannya. Aku tak ingin membicarakannya. Aku tak ingin menyentuh luka itu.
—Luka? Bukan. Ini bukan sesuatu yang bisa disebut sekadar “luka.”
Aku seperti kehilangan tangan dan kakiku, kulitku terkoyak dari seluruh tubuh. Rasa sakitnya tak pernah surut. Dan bekasnya tak bisa dihapus.
Semuanya telah berubah sejak ketiganya mati. Kami tak bisa kembali. Tak ada jalan untuk kembali.
Hayashi masih berdiri di ambang pintu. Mungkin ia ingin mengatakan sesuatu padaku. Mungkin ia ingin menghiburku. Mungkin ia ingin memberiku semangat.
Mungkin aku seharusnya berkata padanya kalau semua itu takkan ada gunanya. Tapi kalau aku mengatakannya, itu hanya akan menyakitinya.
Hayashi juga kehilangan rekan-rekannya. Dia pasti juga sedang terpuruk dalam duka. Aku tidak ingin menyiksanya lebih jauh.
Sejujurnya, akulah yang seharusnya menghibur Hayashi. Kalau bisa, aku ingin melakukannya.
Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku bahkan tak bisa membayangkan diriku punya hak untuk melakukan sesuatu.
Yang bisa kulakukan hanyalah duduk di sana, diam, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku.
2. Kesadaran Diri
Terlepas dari keadaannya—terlepas dari masalah diriku sendiri, apa yang kupikirkan, atau bahkan saat aku tak sanggup berpikir sama sekali—semua itu tak ada artinya.
Saat waktunya bekerja tiba, aku harus melakukannya dengan benar. Aku harus bisa mengubah cara pandangku. Aku tak perlu menjadi “aku.” Aku hanya perlu menjalankan peranku.
Bahkan, aku harus memisahkan diriku dari diriku sendiri. Menarik keluar hanya bagian dari diriku yang seorang priest.
Aku bukan Merry. Aku hanyalah seorang priest.
Klan Orion dikenal luas. Pemimpinnya, Shinohara, adalah pria yang mudah disukai, dan anggotanya adalah para prajurit relawan yang terampil. Bukan kelompok yang buruk—sama sekali tidak.
Jubah putih yang diberikan padaku memiliki simbol tujuh bintang—lambang Orion. Saat mengenakannya, aku merasa seolah bisa menjadi orang lain. Bahkan Hayashi pun tampak seperti sosok yang berbeda saat mengenakan jubah itu.
Orang-orang di Orion bersikap penuh pengertian pada kami berdua. Kami ditempatkan dalam sebuah party yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Tanamori, dan bersama-sama kami menghadapi para goblin di Kota Lama Damuro.
Agak aneh sebenarnya—sekelompok veteran yang dipimpin Tanamori pergi ke Damuro. Itu jelas bukan ujian kemampuan. Lebih seperti pemanasan untuk kami. Seperti latihan pemulihan fisik—rehabilitasi.
Tanamori memiliki wajah yang lembut, tapi posturnya lebih tinggi dariku. Tubuhnya seperti seorang warrior, namun senjatanya adalah tongkat pendek.
Ia adalah seorang priest dengan pengalaman sebagai warrior. Bersama mantan thief sekaligus warrior bernama Yokoi, mage Shingen, dan dua warrior—Matsuyagi dan Hayashi—kami membentuk kelompok beranggotakan enam orang.
Matsuyagi mengambil posisi di garis depan bersama Hayashi dan Yokoi, sementara Tanamori dan aku berada di belakang untuk melindungi Shingen. Yokoi lincah dan memakai perlengkapan ringan, jadi ia bisa cepat kembali ke belakang jika dibutuhkan.
Meskipun begitu, saat para goblin melihat Matsuyagi—yang tingginya 180 sentimeter—mengayunkan pedang besar, mereka langsung tampak siap untuk lari ketakutan.
Hayashi dan Yokoi akan menerjang barisan goblin yang mulai gelisah, sementara Shingen menunggu kesempatan untuk menghantam mereka dengan sihir.
Sebagian besar pertempuran kami selesai begitu saja dengan pola itu. Begitu barisan goblin terpencar, sisanya tinggal bagaimana kami menyudahi mereka dan mencegah mereka kabur. Pada titik itu, semuanya berubah menjadi pembantaian sepihak.
Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya berdiri dan menyaksikan, seperti penonton yang tak terlibat, ketika Matsuyagi menghancurkan barisan depan musuh.
Hayashi tampak hidup, meski tak secerah dulu. Tapi bahkan pemandangan itu terasa seperti sesuatu yang kulihat dari kejauhan—seakan aku bukan bagian darinya.
Orang-orang di Orion memang berusaha memperhatikan kondisi kami. Terlalu banyak rasanya kalau harus meminta kami langsung ikut pertempuran sengit setelah kejutan dan trauma yang baru kami alami. Mereka hanya ingin kami menghadapi musuh yang bisa kami kalahkan dengan mudah—untuk membangun kembali rasa percaya diri. Pada saat yang sama, mereka juga berharap naluri bertarung kami bisa kembali. Mungkin memang itu keputusan yang tepat. Kalau aku berada di posisi mereka, aku yakin aku pun akan melakukan hal yang sama.
Dan sepertinya itu berhasil, setidaknya untuk Hayashi. Saat Matsuyagi memujinya, “Serangan yang bagus,” dia bahkan sempat tersenyum.
Senyum itu tentu tertahan, sedikit canggung—dan setelahnya, Hayashi melirikku sebentar, raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Tapi, sebagai seseorang yang sejak awal memang petarung dan terbiasa bersaing, mungkin menghadapi musuh dan mengayunkan pedangnya sepenuh hati adalah jalan pemulihan yang tepat baginya.
Kurasa, Hayashi akan bisa melewati ini. Dan aku benar-benar percaya, sepenuh hati, bahwa itu adalah hal yang baik.
Aku sama sekali tidak menyimpan dendam pada Hayashi karena telah menarikku keluar dari sana. Aku tidak membencinya.
Hayashi adalah rekan yang berharga bagiku. Satu-satunya yang masih tersisa.
Aku ingin dia cepat bangkit kembali. Dan kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantunya, aku ingin melakukannya.
Meskipun, aku sendiri tak bisa membayangkan ada hal yang bisa kulakukan.
Sekitar saat kami menumpas kelompok goblin ketiga, aku dipaksa menyadari sesuatu—sesuatu yang sebelumnya tak pernah kusadari. Andai saja aku tidak menyadarinya. Aku tak pernah ingin tahu.
Ini adalah sisi diriku yang benar-benar buruk dan tak bisa dimaafkan. Dengan kehadiran Tanamori di sisiku—seorang priest yang jauh lebih mumpuni dariku—aku jadi sadar betapa sombong dan salahnya aku selama ini.
Kegagalan yang tak bisa dibalikkan itu… Sebagian besar berasal dari kesombongan dan kelemahanku sendiri.
Matsuyagi, Yokoi, dan Shingen mempercayai Tanamori sepenuhnya. Jika sesuatu terjadi, Tanamori akan menyembuhkan mereka. Ia selalu ada di belakang mereka sebagai sosok yang teguh, kadang memberikan arahan singkat yang tepat sasaran.
Aku pun tak pernah meragukannya.
Matsuyagi—bertubuh besar dan tangguh—selalu maju ke depan, namun tak pernah sampai ceroboh. Dialah yang paling diandalkan oleh Yokoi, Shingen, bahkan Tanamori sendiri.
Semua orang mempercayai kecerdikan Yokoi, dan seluruh rekan Shingen tahu ia akan menggunakan sihirnya secara efektif—tepat di mana dan kapan dibutuhkan.
Hayashi mungkin belum sepenuhnya memahami kebiasaan dan gaya tempur mereka, tapi dia bertahan dengan keseriusan dan ketekunan yang seolah alami.
Rekan-rekannya melihat usaha Hayashi dengan hangat. Mereka menerimanya, dan berusaha mendukungnya.
Aku tidak punya tempat di sini. Rasanya seolah-olah aku tak pernah ada. Mereka tidak membutuhkan aku.
Kalau kami harus menghadapi musuh yang lebih kuat, mungkin aku harus berbuat sesuatu. Mungkin akan ada peran untukku. Mungkin memang begitu. Tapi itu bukan masalah utamanya.
Dengan diberi peran yang sebenarnya tidak dibutuhkan, aku justru dipaksa menyadari sesuatu— tentang diriku yang dulu.
Aku pikir, saat itu aku sudah melakukan tugas dengan cukup baik— tidak, jujur saja, aku merasa aku melakukannya dengan sangat baik.
Aku berusaha melakukan segalanya semampuku. Rasanya tidak benar kalau tidak begitu. Semakin banyak yang kulakukan, semakin penuh rasanya hatiku. Semua orang memuji. Aku dibutuhkan. Itu membuatku bahagia. Sangat bahagia.
Aku merasa seperti terbang ke langit. Aku melakukan semua itu demi mereka. Demi rekan-rekanku. Demi party kami. Demi kami semua. Setidaknya, itulah yang kupercaya.
Tapi aku salah. Bukan itu alasan sebenarnya.
Yang kuinginkan adalah perasaan puas. Aku ingin dipuji. Aku ingin merasa dibutuhkan. Aku menginginkan kebahagiaan itu. Dan aku ingin lebih lagi.
Aku mencarinya, terus-menerus, tanpa henti.
Michiki, Ogu, Mutsumi, Hayashi—lihat aku. Hei, aku hebat, kan? Aku bisa melakukan ini. Bisa melakukan itu juga. Aku bisa melakukan semuanya.
Pujilah aku. Sukai aku. Cintai aku. Berikan aku tempat untuk berada.
Semua itu bukan untuk mereka.
Itu semua hanya untuk diriku sendiri.
Itulah kenapa, saat tak ada yang membutuhkan aku, seperti sekarang, aku jadi murung.
Cukup. Aku tidak mau ada di sini lagi.
Toh orang-orang ini tak membutuhkan aku. Itulah yang ada di pikiranku saat itu.
Inilah diriku. Hanya seorang narsistik yang ingin diakui, dihargai, dipuji-puji, diberi perhatian, diberi nilai.
Menjijikkan.
Hari itu aku tidak menggunakan sihir sama sekali. Aku hanya berdiri di sana, menonton.
Tanamori dan Hayashi sempat beberapa kali mencoba mengajakku bicara. Mereka khawatir. Aku pasti memang terlihat seperti orang yang sedang bermasalah.
Aku mencoba menutupinya. Tapi aku bahkan tak tahu harus bagaimana caranya terlihat normal.
“Bagaimana kalau besok kita ke Kota Baru?” Itu saran dari Tanamori saat kami hendak berpisah.
Kota Tua terlalu jinak. Kalau ini memang semacam rehabilitasi, maka kita harus menghadapi pertarungan yang lebih serius di Kota Baru. Begitulah aku menafsirkan ucapannya. Dan mungkin memang maksudnya begitu.
Mungkin, akan ada sesuatu yang berubah untukku besok. Mungkin aku bisa sedikit tenang. Mungkin aku bisa bertindak sedikit lebih baik.
Bukan berarti aku benar-benar berharap begitu. Tapi aku harus membereskan diriku. Harus melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Itulah yang kurasakan.
Aku tidak bisa tidur. Keesokan harinya, aku melangkah ke Kota Baru Damuro tanpa tidur sedikit pun. Rasanya seperti hanya ikut-ikutan.
Hayashi langsung bisa menyesuaikan diri dengan kelompok. Sementara aku hanya seperti tamu asing di tengah-tengah mereka.
Matsuyagi dan Yokoi tak pernah lebih dari sekadar menyapaku. Tanamori dan Shingen pun terlihat bingung bagaimana harus memperlakukanku.
Hayashi juga tampak frustrasi. Seolah ingin berkata: Kau tahu kan, kau tak bisa terus seperti ini.
Kalau memang itu yang ia pikirkan, seharusnya ia mengatakannya. Tapi Hayashi tidak akan melakukannya. Ia merasa bersalah. Hayashi-lah yang telah menyelamatkanku. Itu satu-satunya pilihan yang ia punya, dan Hayashi telah melakukan hal yang benar. Mungkin ia tidak menyesalinya sama sekali. Namun, pada saat yang sama, Hayashi juga mengerti. Bahwa itu bukanlah sesuatu yang kuinginkan. Hayashi bukan orang yang patut disalahkan. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi aku tidak bisa merasa bersyukur padanya. Aku tak sanggup berkata, “Terima kasih karena sudah menyelamatkanku.”
Para goblin di Kota Baru bersenjata lengkap, sama seperti para prajurit relawan manusia. Mereka bergerak dengan terorganisasi, dan setiap kali kalah jumlah, mereka pasti akan memanggil bala bantuan. Kami hanya memasuki tepi luar Kota Baru, tidak lebih dari itu. Tapi hanya itu saja sudah cukup untuk memicu pertempuran dengan tingkat intensitas yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Meski begitu, aku tetap tidak bisa ‘terbangun’. Setelah bertarung, aku beberapa kali menggunakan Cure. Selain itu, aku hanya berdiri di sisi Tanamori, tak bergerak, bahkan tak mampu mengikuti perkembangan situasi. Meski tak melakukan apa-apa, saat kulihat Hayashi bertarung melawan seorang goblin, napasku mulai memburu. Dadaku terasa sesak. Aku tidak sanggup menatap Hayashi. Tapi kalau aku memalingkan pandangan, ke mana lagi aku harus melihat?
Hayashi sedang bertarung. Lalu aku? Apa yang sedang kulakukan?
Hayashi berusaha untuk maju. Tapi aku? Apa sebenarnya yang kuinginkan?
Selama tiga hari, aku pergi ke Kota Baru Damuro—dan di sanalah aku menyadari bahwa aku telah menjadi seorang priest yang tak berguna. Aku memberitahu Hayashi bahwa aku akan keluar dari Orion. Lalu aku meminta maaf kepada Shinohara, dan berbohong padanya, mengatakan bahwa aku akan mencoba berjalan sendiri untuk sementara waktu.
3. Kebebasan Individu
Aku menemukan sebuah penginapan dan segera keluar dari rumah indekos. Tempat itu hanya menerima tamu perempuan, jadi bahkan Hayashi pun tak akan bisa datang berkunjung.
Waktu aku bilang akan mencoba menjalani semuanya sendiri, itu bohong. Aku sama sekali tidak berniat mencobanya. Tapi aku juga tak bisa hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Hidup saja butuh biaya. Uang yang kutitipkan di Perusahaan Deposito Yorozu juga akan habis dalam waktu dekat.
Tak tahu harus mulai dari mana, aku memutuskan untuk pergi ke kantor Korps Relawan. Akan kutanyai Britney, pikirku. Tapi begitu sampai, aku bahkan tak sanggup melangkah masuk ke dalam kantor. Saat aku berdiri tepat di depan gedung itu, seseorang menyapaku dari belakang.
“Hei, ada apa denganmu?” tanyanya.
Saat aku berbalik, kulihat seorang pria dengan wajah ramah dan penampilan seperti seorang warrior.
“Kamu sudah berdiri di situ cukup lama. Kupikir aneh saja. Wajar kan kalau aku jadi khawatir?”
Pria itu kelihatannya biasa-biasa saja, tapi ia kehilangan satu gigi depan dan satu gigi taring di sisi kanan, membuat wajahnya terlihat agak konyol. Namanya juga aneh. Bukan nama aslinya, katanya, tapi ia memperkenalkan diri sebagai Maron.
Aku hanya bilang padanya bahwa aku telah keluar dari party-ku, dan sekarang sedang mencari pekerjaan lain.
“Kalau begitu,” kata Maron, dengan nada santai seolah bersiap membuat penawaran, “aku tergabung dalam satuan yang disebut Serikat Bebas. Bagaimana? Mau lihat-lihat? Ini bukan klan, ya. Prajurit relawan lepas bergabung salah satu party di satuan ini sesuai keinginan mereka, membentuk dan membubarkan party kapan saja. Semacam asosiasi longgar begitu. Kamu juga bebas keluar-masuk serikat ini kapan pun. Kamu bisa coba bentuk sebuah party, dan kalau cocok, ya terus bareng. Kadang-kadang ada yang begitu. Jadi, ini bisa jadi cara yang bagus buat cari rekan.”
Kedengarannya cocok untukku. Maron membawaku ke sebuah bar di Gang Celestial yang katanya sering jadi tempat nongkrong para anggota Serikat Bebas, dan dia mengenalkanku pada semua orang di sana. Tempatnya memang tidak sebesar Bar Sherry yang terkenal itu, tapi cukup luas juga, dengan sekitar dua puluh pengunjung. Tampaknya lebih dari setengahnya memang terlibat dalam Serikat Bebas ini.
“Nggak ada yang kaku atau sok aturan di sini. Serius. Santai aja,” kata Maron.
Begitu katanya, tapi aku tetap merasa tegang dan lebih banyak menunduk memandangi lantai. Bahkan saat ada yang menyapaku, aku tak bisa menjawab dengan benar. Apa keberadaan satu orang sepertiku sudah cukup bikin suasana canggung? Aku sempat khawatir soal itu, tapi bersikap wajar dan pura-pura ceria jelas bukan sesuatu yang bisa kulakukan.
“Kalau begitu, untuk sekarang, mau coba bergabung sama party-ku? Aku akan cari empat orang lain secara acak. Besok, kita coba pergi ke Tambang Cyrene, ya.”
“Tambang Cyrene…!” Aku tak sengaja berseru. Suasana bar langsung hening, dan rasa canggung yang menusuk menancap ke dalam dadaku seperti ribuan jarum.
“…Maaf. Sepertinya aku belum sanggup ke Tambang Cyrene.”
“Ah, ya. Oke, ngerti kok. Hmm, ya udah, kita ke tempat lain aja.”
Sambil tertawa ringan, Maron meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja.
“Serahkan saja padaku. Aku tahu beberapa tempat yang bagus. Tapi, mungkin perjalanannya agak jauh. Gak apa-apa, kan? Pasti gak apa-apa, ya? Perjalanannya bakal makan waktu beberapa malam… Hmm, satu hari ke sana, satu hari pulang, jadi mungkin tiga malam, ya. Siapkan dirimu untuk itu, dan kita bertemu di gerbang utara besok, oke?”
Aku merasa tak tenang. Tapi aku mencoba meneguhkan hati. Aku merasa, ini memang sesuatu yang harus kulakukan. Mungkin, sebenarnya aku tidak berbohong pada Shinohara. Aku memang meninggalkan Orion dengan niat untuk mencoba yang terbaik sendiri.
Kalau aku tetap di Orion—kalau aku tetap bersama Hayashi, aku takkan bisa menatap ke depan. Karena setiap kali aku menatap ke depan, aku akan selalu melihat punggung Hayashi di sana. Dan bagiku, itu pemandangan yang aneh. Bukan karena Hayashi ada di sana. Tapi karena hanya Hayashi yang ada. Itu terasa tidak bisa kuterima.
Kalau Hayashi ada, semestinya Michiki dan Ogu juga ada. Dan rasanya salah kalau Mutsumi tidak ada di sisiku. Tapi mereka tidak ada. Teman-temanku tidak ada di mana pun. Mereka tidak akan pernah kembali.
Dan setiap detik mengingatkan aku akan hal itu.
Itu berat. Lebih berat daripada yang bisa kutanggung.
Aku ingin mencobanya sekali lagi—demi bisa bertahan hidup untuk para rekan yang telah kubiarkan mati. Itu sebabnya aku meninggalkan Orion, dan juga Hayashi. Aku merasa bersalah pada Hayashi, juga pada orang-orang di Orion yang telah begitu baik padaku, tapi… itu satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
Keesokan paginya, saat kami berkumpul di gerbang utara, yang ada di sana adalah Maron si warrior, Ryuki si hunter, Ohjika—juga seorang hunter, Ponkichi si thief, Jin’e mantan paladin, dan aku. Total enam orang. Pemimpin kelompok kami bukan Maron, tapi Jin’e, yang usianya sekitar tiga puluh tiga tahun dan merupakan yang tertua di antara kami. Ryuki dan Ohjika bertubuh kurus dan masing-masing membawa busur besar. Mereka terlihat seperti saudara kandung. Ponkichi bertubuh pendek dan tampak gesit—seperti yang memang kau harapkan dari seorang thief.
Meski Jin’e adalah pemimpin, Maronlah yang menjadi penunjuk jalan kami. Kami meninggalkan Altana dan bergerak ke utara. Jika terus berjalan ke arah itu, kami akan memasuki hutan. Begitu keluar dari sana, kami akan sampai di Deadhead Watching Keep, tempat orc menempatkan pasukan untuk mengawasi pergerakan manusia. Namun Maron menghindari baik hutan maupun Deadhead Watching Keep, dan malah memilih jalur memutar lewat Dataran Quickwind. Jaraknya kira-kira dua belas kilometer. Kami tidak berjalan terlalu cepat, jadi butuh waktu sedikit di bawah empat jam.
“Ryuki, Ohjika.”
Jin’e memberi isyarat dengan dagunya, dan kedua hunter itu segera maju ke depan. Sementara itu, Maron mundur dan berjalan di sampingku. Tiba-tiba saja, Maron jadi sangat cerewet.
“Kau penasaran kenapa Jin’e bisa jadi mantan paladin? Pasti penasaran, kan?”
“Yah, iya.”
Memang benar bahwa seorang mantan paladin adalah sesuatu yang langka. Bukan hal aneh bagi seorang prajurit relawan untuk keluar dari satu guild lalu bergabung dengan guild lain. Tapi dalam kasus seperti itu, mereka biasanya menyebut diri sebagai mantan prajurit paladin—seorang prajurit yang dulunya paladin, atau semacamnya.
Jin’e, sekilas, tampak seperti seorang paladin. Meski jubahnya berwarna hitam, ia mengenakan zirah berwarna putih pudar, dan helmnya juga putih. Tapi di bagian dadanya, tempat lambang heksagram seharusnya berada, kini hanya tersisa goresan-goresan kasar. Sepertinya ia telah mengikisnya sendiri. Katanya usianya tiga puluh tiga, tapi ada helaian putih yang terlihat jelas di rambut panjangnya yang disisir ke belakang secara asal-asalan, dan janggutnya pun mulai dipenuhi uban. Ia lebih tampak seperti pria mendekati usia empat puluhan.
“Begini, Merry. Paladin itu bisa menggunakan sihir cahaya seperti para priest. Tapi sihir cahaya yang bisa dipakai keduanya berbeda. Kau kan seorang priest, pasti sudah tahu, tapi—”
“Paladin tidak bisa menyembuhkan lukanya sendiri.”
“Ya, itu dia. Tapi begini—ada satu mantra bernama Crime. Bisa dibilang itu semacam jalan terakhir. Mantra itu luar biasa—dapat menyembuhkan semua luka paladin seketika. Mirip dengan Sacrament, tapi hanya bisa ditujukan ke diri sendiri.”
“Harganya adalah kehilangan berkat dari Lumiaris,” sela Jin’e, tenang. “Aku pernah menggunakannya sekali. Waktu itu, aku cuma tidak ingin mati.”
“Dan sejak itu, dia jadi pengangguran,” kata Maron sambil menyeringai dan mengangkat bahu.
“Setiap paladin yang menggunakan Crime otomatis dikeluarkan dari guild paladin. Tapi, kau cuma bisa tetap di guild kalau kau masih hidup, kan. Dia berhasil bertahan hidup, jadi sudah waktunya untuk berubah. Menjadi seorang warrior, atau yang lain. Itu yang akan kulakukan, setidaknya. Tapi Jin’e berbeda. Sejak saat itu, dia tidak tergabung dalam guild mana pun. Karena itu dia disebut mantan paladin.”
“Aku sudah melewati tahap di mana aku ingin memohon diajari siapa pun. Hanya itu,” kata Jin’e sambil tertawa mengejek diri sendiri, tapi di balik tawanya itu, ada sorot di matanya—seperti seseorang yang telah kehilangan sesuatu yang amat berharga, dan membawa luka yang tak akan pernah sembuh.
Namun pria itu tetap hidup. Lebih dari itu, dia tidak berusaha menyembunyikan lukanya. Dia hidup dengan luka-luka itu terbuka.
Akankah aku bisa hidup seperti itu—dengan lukaku terbuka? Aku tidak yakin. Tapi aku sungguh ingin mencobanya.
Luka itu menyakitkan, dan tak enak dipandang. Kalau bisa kututupi, aku ingin menutupinya. Kalau bisa kuhapus, aku ingin menghapusnya. Kalau mungkin, aku ingin seolah luka itu tak pernah ada.
Tapi rupanya, bukan itu sebenarnya yang kurasakan.
Luka akan membentuk kerak, lalu mengelupas. Bekasnya perlahan memudar. Rasa sakit pun akan berkurang seiring waktu. Tapi aku tidak butuh itu. Aku tidak masalah dengan rasa sakitnya.
Mungkin itulah yang sebenarnya kupikirkan.
Dengan para hunter memimpin di depan untuk membantu kami menghindari binatang buas dan jalur berbahaya, kami berjalan hingga menjelang sore sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan.
Itu adalah sebuah lembah. Bisa dibilang seperti jurang kering. Tak ada aliran air yang mengalir di dalamnya. Lembah itu membentuk tanda silang, menghadap ke timur laut. Di sisi tenggara, barat daya, dan barat laut terdapat tebing curam yang tak bisa kami turuni, namun sisi timur lautnya berupa lereng landai, jadi sepertinya kami bisa turun ke dasar lembah lewat sana.
Tidak—bukan hanya sepertinya. Kami memang bisa. Hanya lewat sana satu-satunya jalan menuju ke dasar.
Lembah itu cukup dalam, dan bagian bawahnya tampak gelap.
Bahkan dari bibir lembah, aku masih bisa samar-samar melihat bentuk-bentuk yang menggeliat di bawah sana.
“…Pelayan No-Life King.”
“Kau benar,” ucap Maron sambil bertepuk tangan riang. “Ini hanya dugaan berdasar pengetahuanku, tapi zombi dan skeleton pasti benci cahaya matahari. Itu sebabnya mereka biasanya berkeliaran di malam hari. Jadi, saat pagi tiba, mereka mencari tempat gelap untuk beristirahat. Dan kebetulan saja tempat itu… ya di sini. Hanya semak-semak yang tumbuh di wilayah ini, tak ada bukit tinggi, apalagi gunung. Satu-satunya tempat yang cukup gelap di sekitar sini ya cuma ini. Jadi wajar saja mereka berkumpul di sini. Maksudku, ini satu-satunya tempat yang kutahu, tapi kemungkinan besar ada tempat lain yang serupa.”
“…Apa yang akan kita lakukan? Kalau kita turun ke sana—”
“Ya, ini bakal berbahaya. Jelas saja. Kalau mereka menyerbu sekaligus, itu bisa fatal. Karena itu, kita pilih target yang pas, lalu tarik mereka satu per satu. Jadi, Ryuki dan aku akan jadi umpan. Yang lain berempat bersembunyi di tempat yang strategis. Setelah kami pancing mereka ke sini, semuanya serbu bareng-bareng. Tapi, sepertinya lebih mudah ditunjukkan langsung, Merry. Semua orang di sini kecuali kamu sudah pernah melakukannya, jadi nggak usah khawatir. Untuk sekarang, cukup perhatikan saja. Lagipula sudah malam, jadi kita cuma akan melakukannya sekali hari ini.”
Jin’e, Ohjika, Ponkichi, dan aku bersiap di timur laut lembah, sementara Maron dan Ryuki dengan cekatan menuruni lereng.
Kami tetap di tempat. Tak seorang pun bicara, termasuk aku. Maron memang cerewet, tapi yang lainnya bukan tipe banyak omong. Itu membantu. Aku dulu banyak ngobrol dengan Michiki dan yang lainnya. Mereka semua suka berceloteh, dan aku pun begitu. Tapi itu bukan karena aku orang yang cerewet secara alami—aku hanya cocok dengan mereka, dan suasananya menyenangkan. Sekarang, aku bisa diam berjam-jam. Tidak bicara sama sekali tidak membuatku merasa tersiksa. Bahkan, kalau tidak ada yang perlu dikatakan, aku lebih memilih diam.
Beberapa saat berlalu sebelum Maron dan Ryuki berlari kembali ke arah kami. Ada sesuatu yang mengejar mereka. Manusia? Ukurannya terlalu kecil. Selain itu, jalannya pun limbung, tubuhnya miring ke satu sisi.
“Tentu saja itu zombie,” bisik Ponkichi sambil terkekeh kecil dengan tawa yang menyeramkan. Pria kecil itu bukan hanya tampak ceroboh dan tak tahu sopan santun—peralatan dan gerak-geriknya pun menunjukkan hal yang sama. “Ukurannya kecil, mungkin dulunya dwarf. Atau bisa juga anak manusia, atau elf.”
“Kamu juga kecil,” sahut Ohjika sambil menyikut Ponkichi. Ohjika—yang wajahnya mirip Ryuki—memberi kesan bersih dan rapi selama dia tak membuka mulut. Tapi begitu dia bicara, wataknya yang menyebalkan langsung terlihat.
“Bersiaplah,” kata Jin’e singkat. Ponkichi dan Ohjika pun langsung mengangkat senjata mereka.
Meski begitu… aneh. Kenapa aku baru terpikir soal ini sekarang?
Zombie. Sisa-sisa jasad tanpa jiwa, tanpa hati, yang bergerak karena kutukan No-Life King.
Michiki. Ogu. Mutsumi. Ketiganya gugur di Tambang Cyrene.
Aku dan Hayashi nyaris tak berhasil keluar hidup-hidup. Kami tersesat, kacau, dan putus asa. Kami berjuang dengan segenap tenaga, jadi ingatanku agak kabur. Tapi aku yakin—untuk keluar dari tambang itu, kami butuh waktu. Lebih dari satu hari penuh. Bahkan saat akhirnya kembali ke Altana, kami masih terlalu linglung untuk bisa berpikir jernih.
Tentu kami ingin mengurus mereka sebagaimana mestinya. Membawa pulang jenazah mereka, mengkremasi, lalu membuatkan makam di atas bukit. Tapi meskipun kami menginginkannya—meskipun kami harus melakukannya—semuanya sudah terlambat.
Aku dan Hayashi kembali ke tambang untuk mencari mereka? Itu jelas mustahil. Mereka bertiga dibunuh oleh Death Spots yang terkenal kejam. Mencari jenazah mereka akan sangat berisiko. Selain itu, sebagai seorang priest, aku tahu tentang kutukan mengerikan yang bisa aktif hanya tiga hari setelah kematian. Sekalipun kami meminta bantuan orang lain, kami tetap tak akan sempat.
Aku terus-menerus memimpikannya. Michiki, Ogu, dan Mutsumi, berdiri di hadapanku sebagai mayat hidup yang masih bergerak. Mereka bertiga sudah mati, jadi seharusnya kami tak bisa lagi berbicara. Tapi aku bisa mendengar suara mereka.
Kenapa kau meninggalkan kami? Kenapa kau lari? Begitu mereka bertanya padaku.
Aku tak punya jawaban. Yang bisa kulakukan hanyalah terus-menerus meminta maaf. Hingga akhirnya, mereka bertiga menyerangku.
Setiap kali mimpi itu datang, aku merasa seperti mencemari kebanggaan rekan-rekanku yang telah gugur. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Jika mereka menyimpan dendam padaku, jika mereka membenciku karenanya, aku tak bisa menyalahkan mereka. Tapi Michiki, Ogu, dan Mutsumi yang kukenal… mereka bukan orang yang akan menyalahkanku, bahkan andai itu benar-benar salahku. Namun dalam mimpiku, mereka tetap mempersalahkanku. Aku yang telah merendahkan mereka secara tak adil. Jika aku ingin menghukum diriku sendiri, seharusnya aku yang menanggung bebannya. Tapi malah aku yang membuat mereka ikut memikulnya.
Aku tidak adil.
Aku kejam, dan menjijikkan.
Kaki kiri zombie yang mengejar Maron dan Ryuki, kalau diperhatikan lebih saksama, hampir tercabik seluruhnya. Di punggung bagian bawahnya ada luka yang seolah menembus sampai ke tulang belakang. Mungkin itu sebabnya gerak jalannya seperti terseret-seret begitu.
Apakah zombie itu dulunya manusia atau ras lain, kemungkinan nasibnya sama saja seperti Michiki, Ogu, dan Mutsumi—menemui akhir yang tidak diinginkan, dibiarkan tanpa dikubur, lalu akhirnya diubah menjadi pelayan No-Life King.
Bisa jadi… Michiki dan yang lain juga tengah berkeliaran di Tambang Cyrene seperti itu.
Aku tak sanggup menatap zombie itu, jadi aku memalingkan wajah. Pandanganku berputar. Dadaku terasa nyeri. Telingaku berdenging.
“Lakukan,” perintah Jin’e.
Aku tidak melangkah. Bahkan untuk menyaksikan apa yang terjadi pun aku tak sanggup.
Suara-suara para pria itu menggema, bercampur dengan bunyi lainnya. Mereka bukan sekadar membunuhnya, tapi menghancurkannya jadi berkeping-keping.
“Gampang banget,” Maron tertawa.
“Targetnya bagus, sih,” kata Ryuki.
Yang lain pun mengangguk setuju.
Aku menunduk. Bukan karena jongkok—aku entah bagaimana masih berdiri.
“Merry?”
Suara yang memanggil namaku datang dari jarak yang begitu dekat hingga membuatku terkejut. Aku hampir saja mundur selangkah saat mendongak. Maron.
“Ada apa?” Itu yang ingin kukatakan. Tapi suaraku tak keluar, jadi aku hanya mengangguk.
“Kau kenapa? Kau baik-baik saja?”
“…Ya.” Aku memaksa kata itu keluar, lalu menambahkan, “Nggak apa-apa.”
“Ya? Ya udah kalau begitu.” Maron langsung mundur begitu saja. Apa aku berhasil menyembunyikannya? Aku tak tahu.
Zombie itu rupanya seorang dwarf, karena ia membawa beberapa barang dari mithril—logam langka yang hanya bisa ditambang dan ditempa oleh kaum dwarf. Salah satunya cincin, dan Maron menyerahkannya padaku.
“Nih, yang ini buat kamu aja, Merry. —Boleh kan, Jin’e?”
“Lakukan sesukamu.”
“Yang lain juga nggak masalah, kan? Nggak ada yang protes, tuh. Jadi, ini buat kamu. Anggap aja hadiah karena udah gabung ke Serikat Bebas. Katanya cincin mithril bisa menangkal iblis.”
Aku memasukkan cincin itu ke dalam kantong tanpa benar-benar melihatnya. Aku sebenarnya tidak menginginkannya. Tidak butuh juga, tapi Maron pasti akan ribut kalau aku menolak. Dia merepotkan. Karena itulah aku memutuskan untuk menerimanya diam-diam saja.
Kenapa aku bergabung dengan Serikat Bebas dan datang ke Lembah Zombie ini, sebenarnya? Intinya, demi uang. Untuk mencari penghasilan. Cincin mithril itu pasti bisa dijual dengan harga bagus. Kalau dia bilang mau memberikannya padaku, ya akan kuambil saja. Tapi aku tidak perlu merasa berutang budi. Kalau kuanggap itu sebagai utang, berarti aku harus membalasnya dalam bentuk apa pun. Dan itu berbahaya. Mereka mungkin akan memanfaatkanku.
Kami mendirikan kemah di tempat yang jaraknya sekitar satu jam dari Lembah Zombie. Maron dan yang lainnya hanya membawa satu tenda, dan saat aku masih bingung akan tidur di mana, mereka bilang aku boleh pakai tendanya sendiri. Para pria akan tidur di luar. Mereka juga akan bergiliran berjaga, jadi aku bebas tidur sampai pagi.
“Kalian nggak perlu perlakukan aku secara khusus…” kataku.
“Kau memang khusus,” sahut Maron dengan nada bercanda. “Maksudku, kau satu-satunya cewek di sini. Ya harus diperlakukan istimewa dong. Aku nggak mungkin bisa memperlakukanmu kayak salah satu dari kami.”
“Mau tidur di sebelahku?” kata Jin’e sambil tertawa tipis mengejek. “Kau bisa telanjang dan ganti baju di depan kami? Atau pipis? Kalau nggak, ya kami nggak punya pilihan selain memperlakukanmu berbeda. Itu udah sewajarnya. Terima saja.”
Cara bicaranya yang blak-blakan justru membuat semuanya terasa lebih mudah. Aku menerimanya, dan memutuskan untuk memakai tenda sendirian. Tapi, bahkan setelah memaksa diri menelan jatah ransum yang kubawa dan merebahkan diri, aku tetap tak bisa tidur.
Kain tipis tenda itu adalah satu-satunya yang memisahkanku dari lima orang pria yang sebenarnya nyaris tak kukenal. Ini pun berada di Dataran Quickwind. Jauh dari Altana. Kalau kupikir-pikir, situasi ini jelas berbahaya.
Artinya, aku sama sekali tak memikirkannya sebelumnya. Aku ikut saja tanpa rasa khawatir sedikit pun. Bodoh sekali. Benar-benar tolol.
Mungkin aku lengah karena Michiki, Ogu, dan Hayashi bukanlah tipe pria yang akan melakukan hal-hal menjijikkan semacam itu. Aku memang belum pernah mengalami pengalaman mengerikan seperti itu, dan aku pun tak pernah merasa takut akan hal itu. Setidaknya, tidak selama di Grimgar.
Aku tak bisa memastikan soal masa laluku. Aku toh tak mengingatnya. Tapi mungkin, sebenarnya aku pernah mengalaminya.
Apakah aku seperti ngengat yang tertarik pada api? Apakah aku berjalan masuk ke dalam perangkap?
Begitu rasa takut mulai merayapi tubuhku, gemetar itu tak bisa dihentikan. Mereka sedang membuat api unggun di luar. Aku bisa merasakan cahaya dari balik tenda, meski bayangan mereka tak tampak. Tetap saja, aku bisa merasakan keberadaan mereka. Kalau kupasang telinga, kudengar suara mereka. Sepertinya Ryuki dan Ohjika yang masih terjaga. Mereka saling bercanda, tertawa-tawa membicarakan hal remeh. Maron, Jin’e, dan Ponkichi mungkin sudah tidur?
Ryuki dan Ohjika… rasanya kalau mereka bersama, mereka bisa melakukan apa pun. Bahkan hal-hal mengerikan. Tapi itu hanya imajinasiku saja. Mungkin saja aku keliru, dan kalau begitu, akulah yang jauh lebih buruk dari mereka. Lagipula, aku memang orang yang egois dan buruk. Itu fakta.
Tetap saja, Ryuki dan Ohjika bukan tipe orang yang suka memimpin. Aku merasa, ketimbang berpikir atau bertindak atas kemauan sendiri, mereka lebih cenderung ikut dalam rencana orang lain.
Aku tak terlalu mengenal Ponkichi. Tapi keempat orang lainnya jelas meremehkannya. Meski begitu, Ponkichi tampaknya tidak ambil pusing. Ia menikmati saat-saat dijadikan bahan lelucon, bahkan terlihat nyaman berada di dasar hierarki.
Jin’e, ya. Bagaimana dengannya? Bahkan setelah kehilangan perlindungan dari Lumiaris, ia tetap menjaga integritasnya dan terus melangkah sebagai mantan paladin. Penampilannya kasar, sikapnya pun begitu, tapi mungkin dia cukup terhormat. Dia sebenarnya bukan orang jahat. Itu kesan yang kutangkap darinya.
Sebenarnya, justru Maron yang terasa paling mencurigakan. Dia yang pertama kali menyapaku, toh. Maksudku, nama macam apa itu, Maron? Bahkan namanya saja sudah mencurigakan. Sikap santainya itu. Cara bicaranya yang licin. Sejauh ini, dia memang belum melakukan hal aneh padaku. Dia bersikap ramah. Itu pun mencurigakan.
Berhati-hati agar tidak menimbulkan suara, aku mengeluarkan cincin mithril itu. Apa ini bukti niat tersembunyinya? Kalau iya, ini terlalu terang-terangan. Apa dia benar-benar mengira aku akan terpikat hanya karena sesuatu yang ia ambil dari mayat zombie?
Katanya cincin itu bisa menangkal iblis. Apa itu juga berlaku untuk iblis dalam mimpi? Kalau kupakai saat tidur, apakah aku akan terbebas dari mimpi buruk?
Ini konyol.
Berusaha kabur dari mimpi buruk setelah aku membiarkan rekan-rekanku mati.
Harusnya aku bersyukur Michiki, Ogu, dan Mutsumi masih muncul di mimpiku. Normalnya, aku bahkan tak pantas melihat mereka—bahkan di sana pun tidak. Karena aku tak punya hak untuk menunjukkan wajahku pada mereka.
Mungkin memang aku pantas dikasari. Kalau Maron sedang merencanakan sesuatu, terserah. Dia boleh lakukan apa pun sesukanya. Aku tidak peduli apa yang terjadi padaku.
Andai aku benar-benar mengucapkan hal seperti itu, Michiki pasti sudah marah.
Ogu pasti sedih.
Mutsumi… dia pasti akan menegurku dengan lembut.
Marahilah aku.
Katakan, “Merry, apa yang kau lakukan? Jangan sembrono begitu, sadarlah sedikit!”
Tolonglah…
Sepertinya aku sempat terlelap sebentar.
Tidak, bukan sebentar—mungkin satu atau dua jam.
Aku tidak bermimpi apa-apa. Entah sejak kapan, aku menggenggam cincin mithril itu. Aku tidak ingin berpikir kalau cincin ini yang menyelamatkanku dari mimpi buruk. Aku sudah terlalu lama tidak tidur, jadi aku tidak merasa segar sama sekali. Kepalaku terasa berat. Aku mual. Segalanya terasa tidak enak.
Aku mencoba duduk. Aku ingin keluar tenda dan menghirup udara segar. Saat itulah, pintu tenda bergeser sedikit. Aku menyebutnya “pintu”, tapi itu hanya selembar kain dengan kancing di sisi dalam yang membuatnya bisa tertutup. Bukan pintu sungguhan yang memakai kunci. Kalau kau menyelipkan jari lewat celahnya, pintu itu bisa terbuka dengan mudah. Bahkan, tali pengikatnya pun bisa dipotong dari luar.
Seseorang menyelipkan tangan ke dalam celah tenda, lalu mengintip dari sela-sela itu. Ke arahku.
Secara refleks, aku pura-pura tidur. Apakah itu keputusan yang tepat? Bukankah seharusnya aku bangun dan bertanya apa yang sedang mereka lakukan?
Orang itu menarik kembali tangannya. Ia menjauh dari tenda, sepertinya pergi duduk di dekat api unggun.
“…Bagaimana dia?”
“Tidur. Apa yang kau rencanakan terhadap perempuan itu?”
Maron dan Jin’e. Sepertinya Jin’e yang mengintip ke dalam tenda tadi.
“Entahlah. Hmm. Kurasa sekarang dia lagi sakit hati. Kalau aku bisa membuatnya berpihak padaku, aku mau coba. Maksudku, aku lebih suka kalau semuanya atas dasar suka sama suka, daripada harus memperkosa, kau tahu?”
“Aku tidak peduli dengan preferensimu.”
“Tapi ya, kalau dilakukan dengan paksa juga… kadang itu punya sensasi tersendiri. Waktu terakhir, kita melakukannya begitu.”
“Itu tidak buruk.”
“Kau cuma brute yang sederhana. Aku yakin kau nggak bisa menikmati kalau nggak sambil maksa, ya kan? Kau suka membuang mereka, bukan?”
“Aku nggak ngerti gimana orang bisa tahan bersikap baik ke perempuan.”
“Haaaah? Serius? Padahal itu menyenangkan, lho. Bersikap manis dan mesra sama cewek cantik. Si Merry itu cakep banget, loh. Menggodanya pasti seru. Pasti asyik banget.”
“Kenapa buang-buang waktu hanya demi bisa tidur dengan cewek?”
“Karena ada hasilnya yang sepadan. Worth it. Maksudku, kau benar-benar nggak punya emosi, ya, Jin’e!”
“Kalau aku sudah mencicipi seorang wanita sekali, itu sudah cukup.”
“Aku bisa paham sih kalau kau mulai muak sama mereka. Dalam hal itu, memang lebih gampang kalau nggak ada rasa pahit yang tertinggal.”
“Perempuan itu nggak akan pernah tertarik padamu.”
“Kau pikir begitu…?”
“Aku masih bisa menilai hal-hal seperti ini. Bukan berarti aku butuh kemampuan itu.”
“Oh ya? Padahal kau kelihatan nggak tertarik, tapi bisa tajam juga soal beginian. Pengalaman hidup, ya? Hmm. Jadi, aku nggak bakal bisa menaklukkannya, ya? Kalau gitu, kenapa nggak langsung kau tiduri saja sekarang?”
Maron mengucapkannya seolah itu bukan apa-apa, tapi aku rasanya hampir tak bisa bernapas. Ini buruk. Sangat buruk. Bahkan lebih dari sekadar buruk.
Bukan cuma Maron. Jin’e juga. Terhormat? Bukan orang jahat? Hah. Dari yang barusan kudengar, dia lebih mirip pemerkosa berantai. Bahkan Maron—yang katanya berusaha merayuku—masih lebih manusiawi dibanding itu. Bukan berarti aku ingin menyebutnya “manusiawi”, tentu saja.
Ini nggak bisa dibiarkan. Mereka akan menyerangku. Aku akan diperkosa. Apa yang harus kulakukan?
Kalau aku tetap di sini, aku cuma akan jadi tikus terjebak.
Benar. Aku nggak boleh tetap di dalam tenda. Aku harus kabur. Aku sudah mantap. Aku akan keluar dari sini.
Sambil mengatur napas lewat hidung, pikiranku bekerja cepat. Hanya mereka berdua yang masih bangun—Maron dan Jin’e. Dua pria. Kalau aku ingat, setelah menyalakan api, mereka melepas baju zirah mereka. Akan sulit melarikan diri jika mereka mengejarku. Tapi, meskipun aku bisa mengejutkan mereka, bagaimana hasilnya nanti? Mereka bukan orang biasa. Mereka adalah prajurit relawan. Fisik mereka kuat. Aku nggak ingin bertaruh dalam perlombaan lari melawan mereka.
Awal adalah hal yang krusial. Aku harus menciptakan jarak di antara kami dengan lari pertama yang cepat—dan membuat mereka menyerah. Ini Dataran Quickwind, dan sekarang pun sudah larut malam. Mereka tak akan mengejarku terlalu jauh.
Aku sudah punya rencana. Aku akan meninggalkan barang-barangku. Semua itu hanya akan menghambat. Aku hanya akan membawa uangnya saja.
Maron dan Jin’e belum bergerak. Aku masih bisa bertindak lebih dulu.
Aku menekan dadaku, seolah mencoba memaksa jantungku—yang rasanya ingin meloncat keluar lewat mulut—untuk tetap di tempatnya. Ini bukan waktu untuk ragu. Dengan jemari gemetar, aku membuka kancing pengait satu per satu. Di luar tenda, tak ada suara sama sekali.
Takut. Aku takut. Aku takut. Takut apa? Bagaimana ini bisa menakutkan dibanding waktu itu?
Ini bukan apa-apa dibanding saat itu. Death Spots. Dia sejuta kali lebih menakutkan dari mereka.
Aku keluar dari tenda.
Maron dan Jin’e duduk berhadapan di dekat api unggun. Keduanya langsung menoleh ke arahku.
Ryuki, Ohjika, dan Ponkichi terbaring agak jauh dari mereka. Seperti dugaanku, mereka sedang tidur.
Sesaat, mata Maron melebar, lalu, “…Huh?” Dia tersenyum. “Kenapa, Merry? Kamu kebangun?”
Jin’e menatapku dengan mata yang tampak kosong, tapi di dalamnya tersimpan kilatan tumpul yang berbahaya. Orang ini lebih waspada daripada Maron. Sepertinya dia mencurigai bahwa percakapan mereka tadi sempat terdengar.
“Kurang lebih…”
Itu saja yang kukatakan sebelum menundukkan pandangan dan mendekati api. Apa ini akan berhasil? Aku harus mencobanya. “Aku capek,” tambahku sambil menghela napas. Sepertinya memang begitu. Bahkan aku bisa memainkan peran sekecil ini.
Aku sengaja tidak menatap mata Maron atau Jin’e. Kalau mereka melihat mataku—terutama Jin’e—mereka mungkin akan menyadari sesuatu. Karena itu, dengan kepala tertunduk, aku mendekat ke arah api—untuk duduk di samping Maron dan Jin’e.
Tentu saja, aku tidak benar-benar akan duduk. Pertama-tama, aku menendang wajah Jin’e sekuat tenaga dengan telapak sepatuku. Tanpa ragu sedikit pun, aku melayangkan tendangan memutar ke sisi tubuh Maron.
Lalu aku lari. Tujuanku cuma satu: menjauh dari api. Arah bukan hal penting. Maron dan Jin’e berteriak sesuatu, tapi itu pun tidak kupedulikan. Aku tak menoleh. Fokusku hanya berlari secepat mungkin. Meski tenggorokan dan paru-paruku terasa terbakar, meski perutku perih, kakiku tak pernah goyah.
“Merry, kamu selalu terlalu ekstrem,” kata Mutsumi padaku suatu kali. “Apa pun yang kamu lakukan, kamu nggak pernah setengah-setengah. Itu kelebihanmu… tapi juga kelemahan.”
Apa jawabanku saat itu?
“Masa, sih? Aku rasa nggak juga.” Seingatku, itu yang kukatakan.
Tapi karena yang mengatakannya adalah Mutsumi—Mutsumi yang selalu mengamati orang dengan saksama, yang selalu penuh pertimbangan—aku rasa dia benar.
Aku adalah tipe orang yang ekstrem—membenci segala sesuatu yang setengah-setengah. Sekadar cukup? Kira-kira cukup? Aku tidak pernah bisa melakukan hal seperti itu. Bagiku, semuanya selalu antara nol atau satu. Tidak, lebih tepatnya, antara nol atau seratus. Semuanya harus benar sepenuhnya, atau salah total. Aku mencintai sesuatu sepenuh hati, atau aku membencinya sejadi-jadinya. Tak ada ruang bagi hal-hal yang setengah-setengah dalam diriku.
“Jangan terlalu perfeksionis,” itu salah satu hal yang pernah dikatakan Mutsumi padaku. “Itu justru bisa menyakitimu lebih dari siapa pun.”
“Aku bukan perfeksionis,” jawabku saat itu.
Memang bukan itu aku.
Aku hanya keras kepala, dan tidak bisa menyesuaikan diri. Itu sebabnya aku tak bisa berkompromi.
Saat napasku mulai tersengal, seluruh tubuhku terasa nyeri, dan aku tak sanggup melangkah lagi, barulah kakiku berhenti melangkah. Tak ada siapa pun yang mengejarku. Aku sendirian. Langit penuh bintang di atas seakan siap melahapku bulat-bulat. Bahkan untuk sekadar berdiri saja terasa menyakitkan. Aku pun duduk di tanah. Untuk saat ini, aku harus mengatur napas dulu.
Saat aku berusaha keras untuk mengatur napas itu, terdengar suara auman binatang dari kejauhan. Tubuhku sedikit tersentak, dan napasku langsung tercekat. Tidak apa-apa, pikirku. Suara itu terdengar jauh. Namun, terdengar auman lain. Kali ini, suaranya terasa lebih dekat dari sebelumnya.
Aku menoleh, memandang sekeliling. Tapi aku tak bisa melihat apa pun. Meski bintang-bintang bertaburan di langit, suasana tetap gelap. Terlalu gelap.
Andai saja ada bulan, pikirku.
Tak pernah sebelumnya aku merindukan bulan merah itu sebesar ini.
Haruskah aku bergerak? Atau tetap di sini? Aku tak bisa memutuskan. Aku seorang priest, bukan hunter. Mana mungkin aku tahu apa yang harus kulakukan.
Binatang buas itu melolong. Kali ini, suaranya jelas lebih dekat. Tidak tepat di sebelahku, tapi cukup dekat.
Ini tidak baik. Aku tak bisa terus di sini. Aku akan dimangsa binatang liar. Aku tak mau itu terjadi. Aku tak mau mati seperti itu.
Aku berdiri.
Tapi… ke arah mana aku harus pergi? Binatang itu melolong lagi. Aku memutuskan untuk bergerak menjauh dari suara itu. Haruskah aku berjalan tanpa suara? Haruskah aku menahan napas? Apa itu akan membuat perbedaan? Mahluk itu mungkin bisa menemukanku lewat bau. Apa itu berarti tak ada jalan keluar?
Mungkin aku sudah terkepung. Binatang itu sudah menandai aku sebagai buruannya, dan perburuan telah dimulai.
Tolong.
Tidak ada gunanya. Takkan ada yang menolongku. Tak ada siapa pun di sini.
Aku sendirian.
Akhirnya, perasaan itu benar-benar menusuk masuk.
Aku benar-benar sendirian.
4. Dalam Kepalanya Isinya Waradeganf
Saat aku sedang berada di Bar Sherry, menyeruput minuman keras sulingan dari daratan utama, seseorang datang mendekat sambil berteriak ringan, “Hei, hei, hei!”
Seorang pria dengan wajah ceria dan tak tahu malu melambai dengan tangan kanannya. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah cangkir keramik. Segala sesuatu darinya—suaranya, wajahnya, penampilannya, cara bicaranya—semuanya memancarkan satu kata: sembrono. Tak pernah kulihat ada orang yang lebih pantas mewujudkan arti kata “sembrono” daripada dia. Ia seperti personifikasi dari kecerobohan itu sendiri.
Aku menunduk, menyesal karena tanpa sadar telah menoleh ke arahnya.
“Hei!” serunya riang.
“Hei! Hei! Hei!”
…Kepala batu.
Sudah jelas aku sedang berusaha mengabaikannya. Dia pasti sadar akan itu.
“Hei, hei, hei! Heiheiheiheiiii! Hei…?”
Nadanya mulai melemah, seperti yang kuduga. Sudah saatnya dia menyerah.
“Oh! Kamu barusan berpikir aku akan menyerah, ya? Yah, nggak! Bukan aku! Aku beda! Itulah yang membedakanku dari orang biasa, tahu nggak? Tahu nggak? Hahaha, bercanda!”
Aku menghela napas. Atau lebih tepatnya, napas itu keluar sendiri. Apa sih maunya orang ini? Kecerobohannya dan betapa menyebalkannya dia, melampaui segala batas yang pernah kubayangkan.
Akhir-akhir ini, ketika aku sedang minum di bar seperti ini, jarang sekali ada prajurit relawan yang menyapaku tanpa alasan jelas. Kecuali kalau mereka memang ada urusan denganku—itu lain cerita. Misalnya, kalau priest di party mereka tiba-tiba jatuh sakit. Atau kalau priest mereka direbut party lain. Atau jika priest mereka sudah muak dan memutuskan untuk kabur. Dalam kasus yang lebih baik, mungkin mereka masih punya priest, tapi sedang berencana pergi ke tempat yang cukup berbahaya, jadi mereka ingin menambah satu orang lagi demi keamanan. Untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu, untuk mengisi kekosongan, atau sebagai penyembuh cadangan. Itulah peran yang biasanya kumainkan, dan permintaannya cukup banyak. Hanya saja, pasokannya tidak sebanding.
Itu karena, biasanya, mengingat seorang priest adalah kebutuhan mutlak dalam setiap kelompok, selalu ada saja orang yang bersedia menerima priest. Bahkan jika priest itu agak kurang kompeten, mereka takkan sampai ditinggalkan. Jika seorang priest bekerja sebagai freelancer, sebuah party atau klan akan segera mencoba merekrutnya. Bahkan tanpa diundang pun, seorang priest bisa menawarkan diri, dan mereka hampir pasti diterima tanpa banyak kesulitan.
Aku telah menolak semua tawaran untuk bergabung dengan klan manapun. Karena itu, kalaupun ada prajurit relawan yang mendekatiku, pasti untuk memintaku mengisi posisi kosong atau menjadi penyembuh cadangan. Separuh alasanku minum di bar Sherry ini adalah untuk urusan pekerjaan. Singkatnya, aku sedang mencari kerja.
Aku bisa menghasilkan cukup uang untuk mengisi perutku dengan cara ini, jadi aku tidak punya keluhan. Sebenarnya aku juga punya semacam tujuan, dan aku sedang berusaha ke arah sana, tapi aku sama sekali tidak tahu kapan bisa mencapainya. Aku tidak berencana mengubah gaya hidupku. Aku juga tidak merasa perlu melakukannya. Aku tidak ingin ada yang menghalangi jalanku. Terutama bukan si playboy ini.
Tanpa menatapnya, dan berhati-hati agar tidak menyisipkan emosi apa pun dalam ucapanku, aku berkata, “Menghilanglah. Aku sedang tidak ingin bicara dengan orang sepertimu.”
“Apa?!” Entah kenapa, si playboy itu berputar tiga kali di tempat. Putaran yang cukup tajam. “Kamu nggak mau ngobrol sama aku-buina?”
“…Buina?”
Sial. Aku tanpa sadar menunjukkan sedikit ketertarikan. Si playboy tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk terus menggencet.
“Oke! Aku ngerti, ngerti, ngerti! Aku banget ngerti! Aku bisa lihat, kayak, langsung nembus dirimu! Yay, yay! Yahhh!”
“A-Apa yang kamu ngerti?”
“Yap! Aku langsung singkatin aja! Yang aku ngerti tuh… aku nggak ngerti apa-apa!”
Entah kenapa, dia mengucapkannya dengan ekspresi penuh percaya diri. Aku tertegun. Seumur hidupku, belum pernah aku bertemu pria yang bisa mengerahkan begitu banyak energi untuk percakapan yang sebegitu kosong dan tak bermakna.
“…Kalau kamu tahu kamu nggak ngerti apa-apa, ya sudah pergi sana. Tapi kalau kamu mau bicara soal bisnis, itu lain cerita.”
“Bisnis? Apa itu bisnis? Nis-bis?! Kita bakal bahas Nis-bis di sini?!”
“N-Nisbis…?”
“Serius deh, tapi ini bener-bener aneh banget, tahu nggak?” Si playboy itu duduk di kursi sebelahku. “Banyak banget hal terjadi dalam hidup. Banyaak banyaak banyaak banget, ngerti nggak?!”
“…Banyaak banyaak?”
“Ya! Itu dia! Tempat ini bukan tempat yang damai, ya kan?! Ngerti maksudku?! Eh, namamu siapa tadi?”
“Merry…”
“Yaa, itu dia! Merry, Merry, si gadis bertingkah aneh! Whoa, itu nama yang keren!”
“…Tapi kayaknya aku belum pernah kasih tahu namaku ke kamu.”
“Belum ya?! Serius?! Yaahhh, sebenarnya aku juga tahu sih kamu belum bilang. Sowwy. Barusan aku ngomong seolah-olah udah tahu, padahal emang nggak. Itu teknikku. Ngerti nggak?”
“Aku… nggak yakin harus ngerti bagian yang mana.”
“Ayo dong, ceria dikit! Tempat ini sih jauh dari surga, tapi isi kepalaku surga banget. Waradeganfu! Ya kan?!”
“…Maaf, aku nggak bisa ceria.”
“Jangan minta maaf dong! Kamu nggak salah apa-apa! Bahkan, itu keren banget! Dari manis, makin manis, sampai paling manis, betul nggak?! Eh, eh, Merry-san, mau nggak jadi rusukku yang tercinta?”
“Rusuk…?”
“Ups, salah ngomong! Maksudnya, pacarku! Kekasihku! Atau istri juga boleh!”
“Gimana bisa kamu nyampur aduk semua itu…?”
“Yaaahhh, itu rahasia besar!”
“Aku nolak.”
“Gowhuh! Kalau gitu, kita mulai dari temenan aja, ya?!”
“Aku nggak butuh teman.”
“Apaaa! Whoa, whoa, whoa, whoa, whoooooa! Jangan ngomong sedih gitu dong! Nggak boleh! Ayo berteman! Aku mau banget, serius! Aku harus banget jadi temenmu!”
Dia memohon padaku untuk menjadi temannya—wajahnya menunjukkan seolah-olah dia akan berlutut dan merangkak sambil memohon—tapi aku tidak membiarkan hatiku goyah sedikit pun. Meski orang ini benar-benar konyol, mungkin saja dia sebenarnya cukup serius soal ini.
“Aku nggak bisa jadi temanmu. Jujur saja, aku nggak butuh teman. Yang aku butuhkan cuma rekan kerja,” kataku padanya.
“Oke!”
Itu cepat sekali, pikirku. Tapi kalau aku bereaksi, rasanya seperti aku kalah. Tunggu… memangnya ini soal menang atau kalah? Aku sendiri nggak yakin. Tapi… dia belum pergi juga. Dia menenggak sisa minumannya sampai habis, lalu berkata pada pelayan, “Satu gelas reeb dingin lagi, ya!” Dia memesan minuman lagi. Apa maksudnya? Apa dia berniat tetap di sini…?
“Merry-san. Aku ngerti kok. Aku nyerah soal jadi teman! Karena, gini, aku kan laki-laki! Kita bukan teman! Bukan pacar! Bukan suami-istri! Gimana kalau… orang tua dan anak…?”
“Nggak mungkin.”
“Ya, kupikir juga begitu. Agak canggung juga sih. Oke, kalau kakak-adik gimana…?”
“Kita bukan itu juga.”
“Kuduga begitu. Hmm, gimana kalau… tetangga?”
“…Tetangga?”
“Cintailah kuda! Eh, peribahasanya gitu kan? Hah? Kok jadi kuda? Bukan, maksudku tetangga! Neeeeigh-bor…! Maaf, maaf. Aku beneran minta maaf. Aduh, aku ngerasa tajem banget malam ini. Tajem angka sakti lima belas! Kenapa lima belas? Aku juga nggak tahu! Bokeracho! Yay! Oke, reeb-ku datang. Merry-san, Merry-san, Merry—oh, boleh nggak aku nggak pakai ‘-san’? Boleh?! Kan kita tetangga sekarang! Wahey! Hancurkan batasan hubungan! Bisa nggak kita buka pintu menuju dunia baru? Buka pintuuuu! Oh, iya!”
Aku mulai merasa pusing entah kenapa… Bagaimana bisa dia merangkai begitu banyak kata-kata tak masuk akal sekaligus? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam kepala pria ini?
“Wah!” Pria itu tiba-tiba meringis. Wajahnya pucat seketika, dan seluruh tubuhnya bergetar.
“…A-Ada apa? Kau kenapa…?”
“Aku baru sadar sesuatu yang, kayak, benar-benar menghancurkan, bro…”
“Bro…?”
Pria itu mengangguk, lalu meletakkan cangkirnya di atas meja dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“…Gila, aku ini beneran kacau. Serius deh. Gimana bisa aku lupa hal sepenting itu…?”
“Jadi… apa itu?”
“Namaku.”
Dia menjulurkan lidah dari sudut mulutnya, menutup sebelah mata, dan berpose aneh.
“Namaku Kikkawa! Wew! Hampir lupa ngenalin diri barusan. Untung keburu inget! Hampir aja kamu jadi punya kenangan misterius tanpa nama! Itu kejam banget, kan? Nggak enak rasanya, ya kan? Ya kan, ya kan? Wahey! Jadi, aku Kikkawa! Selamat, izinkan aku bilang, senang bertemu denganmu-hoo~!”
“Se-Senang berte…”
Aku buru-buru menutup mulutku. Nyaris saja. Aku hampir bilang “senang bertemu denganmu-hoo.” Dan entah kenapa… aku benar-benar nggak mau bilang itu.
Kikkawa bukan wajah yang kukenal. Mungkin dia anak baru.
Dia ini berbahaya, pikirku, tapi bukan dalam arti yang biasa.
Aku menarik napas dan meneguk sedikit arak sulingan. Alkohol kuat itu membakar tenggorokanku saat turun ke perut. Begitu rasa panas itu menghilang, pikiranku pun ikut tenang.
“Kikkawa. Sekarang aku tahu namamu.”
“Yahoo! Aku terhormat! Yippee!”
“…Sekarang aku sudah tahu, jadi selesai sudah. Pergilah.”
“Wah. Kenapa? Untuk apa?”
“Sudah kubilang, aku tidak berniat bicara soal apa pun selain pekerjaan. Itu cuma merepotkan.”
“Nggak bisa ngobrol santai?”
“Tepat sekali.”
“Nggak boleh basa-basi?”
“Benar.”
“Nggak boleh bicara soal cinta…?”
“Sudah pasti tidak.”
“Duh…”
Kikkawa menunjukkan ekspresi aneh, lalu bersandar lemas ke meja. Kenapa dia tidak juga pergi padahal aku sudah jelas-jelas menolaknya?
Sekarang ini sudah jadi pertarungan kehendak. Aku akan diam selamanya. Apa pun yang terjadi, aku takkan merespons. Aku takkan pindah dari tempat ini.
…Tapi Kikkawa juga keras kepala. Hebat juga dia bisa tidak mengeluarkan suara sama sekali. Sebagian besar pelanggan pun sudah pulang. Bar Sherry, yang buka sampai pagi setiap hari, sebentar lagi akan tutup.
Karena kesabaranku habis, aku menoleh ke samping. Kikkawa sudah tertidur. Lelap, dengan senyum di wajahnya.
“…Apa sih yang salah dengan orang ini?”
5. Bukan Kuda
Setidaknya aku pernah mendengar tentang Kamp Leslie.
Ada sebuah kafilah (karavan) dagang yang dipimpin oleh undead bernama Ainrand Leslie, dan kafilah itu berkeliling Grimgar. Kapan tepatnya kafilah Leslie berpindah tempat? Tak ada yang tahu. Tak seorang pun pernah melihat kafilah itu bergerak. Namun, saat sedang berhenti, itu cerita yang berbeda. Kadang-kadang kafilah tersebut menetap di suatu tempat, dan ketika itu terjadi, tempat itu dikenal sebagai Kamp Leslie.
Konon, Leslie menyimpan harta dari seluruh penjuru dunia dan dari berbagai zaman. Bahkan, jika seseorang berhasil mencuri sebagian kecil saja darinya, mereka bisa menjadi kaya raya. Beberapa rumor mengatakan bahwa Kamp Leslie terbuka bagi siapa saja. Leslie tidak menolak tamu, apapun rasnya, dan ia bersedia menukar sesuatu yang bernilai dengan batu kerikil biasa sekalipun. Ia menyambut para tamunya dengan mewah, tapi semua itu hanyalah jebakan Leslie.
Dikatakan bahwa setelah pesta selesai, para tamu akan tertidur… dan tidak pernah bangun lagi. Konon, para tamu itu kemudian menjadi bagian dari kafilah. Ada juga yang mengatakan bahwa masih ada penyintas dari Kamp Leslie di luar sana. Bahwa Garlan Vedoy, markgraf dari Altana, adalah salah satunya.
Meski begitu, topik tentang berburu Kamp Leslie sesekali mencuat di antara para prajurit relawan. Aku belum pernah mendengar ada yang berhasil menemukannya, tapi kisah-kisah tentang kegagalan sering terdengar di Kedai Sherry. Maka tak heran kalau aku pun diundang hanya untuk melengkapi jumlah anggota party.
Seorang warrior berwajah tegas yang menyebut dirinya Dune memanggilku, dan entah bagaimana aku akhirnya ikut dalam pencarian Kamp Leslie. Kami berjumlah dua belas orang.
Konyol memang. Kami takkan pernah menemukan tempat itu, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ikut sebagai penyembuh cadangan, untuk keadaan darurat. Dune juga menjanjikan bayaran harian selain bagianku sendiri. Selama ada keuntungan yang dijamin, aku takkan mengeluh.
Kami mengembara di Dataran Quickwind selama empat hari, dan selama waktu itu, kami diserang oleh beberapa binatang buas. Posisiku selalu berada di tengah formasi. Itu tempat paling jauh dari musuh, dan aku jarang sekali bergerak dari sana. Ada dua mage yang juga tak bisa ikut bertarung jarak dekat, jadi aku tetap di sisi mereka untuk berjaga-jaga.
Selain itu, aku hanya mengamati.
Sambil mengamati, aku berusaha untuk tidak terlibat secara emosional. Tugasku jelas, dan emosi hanya akan mengganggu. Mereka bisa mengaburkan penilaianku, membuatku ceroboh.
Tentu saja, itu tidak mudah. Jika seseorang terluka, misalnya, aku tidak bisa menahan kekhawatiran. Bukan cuma aku—tak seorang pun senang melihat orang lain kesakitan. Tapi aku harus membuat keputusan yang cermat. Seberapa parah lukanya? Perlukah disembuhkan saat itu juga? Persediaan kekuatanku tidak tak terbatas. Setiap sihir yang kugunakan mengurasnya, dan pada akhirnya, aku bisa kehabisan. Aku harus berhemat. Aku pernah gagal dalam hal itu sebelumnya. Sebuah kesalahan besar yang fatal. Saat aku benar-benar membutuhkannya, aku tak bisa menggunakan sihir. Aku tak ingin hal seperti itu terulang lagi.
Orang-orang sering mengeluh. “Aku kesakitan, jadi cepat sembuhkan aku,” dan semacamnya. Tapi itu bukan urusanku. Aku mengabaikan mereka, dan kalau mereka mulai terlalu memaksa, biasanya aku akan berkata begini: “Kau masih hidup, kan? Kau nggak mati, jadi nggak masalah, kan?”
Kalau aku bilang begitu, kebanyakan dari mereka akan mencibir. Kadang ada juga yang meledak dan berkata, “Jangan sok!” Aku juga pernah ditanyai, “Kau pikir dirimu penentu hidup dan mati?” Aku sendiri tidak berpikir begitu, tapi menghadapi itu semua melelahkan, jadi aku lebih memilih diam. Lagi pula, mungkin mereka memang tidak sepenuhnya salah. Bisa saja aku memang sedang bersikap sok. Aku sendiri pun tak percaya pada diriku. Dalam banyak hal, aku justru lebih sulit mempercayai diriku sendiri ketimbang orang lain. Karena itulah, menurutku sendiri pun tidak penting.
Aku hanya menjalankan tugasku. Aku melakukannya demi uang. Aku melakukannya untuk bertahan hidup.
Kenapa aku butuh uang? Kenapa aku harus terus hidup? Kalau kupikirkan terlalu jauh, semuanya jadi kusut, jadi aku tidak memaksa diri untuk mencari jawabannya. Tapi mungkin alasannya karena aku telah membiarkan rekan-rekanku mati. Aku telah membunuh tiga orang. Aku bahkan tidak punya hak untuk mati atas kehendakku sendiri. Kurasa, memang itu alasannya.
Aku pernah bekerja bersama Dune sebelumnya. Tak banyak prajurit relawan yang menyewa jasaku untuk kedua kalinya. Tapi ada sebagian kecil yang terus menyewaku berulang kali, dan diam-diam aku menyebut mereka sebagai pelanggan tetapku. Ada kemungkinan Dune akan jadi salah satu dari mereka.
Setelah lima hari mencari Kamp Leslie, semangat semua orang menurun. Malam itu, di perkemahan, mereka mulai membicarakan kemungkinan menghentikan pencarian. Aku diminta pendapat, dan aku menjawab bahwa aku tidak peduli. Pada akhirnya, kami pulang. Butuh dua atau tiga hari untuk kembali ke Altana. Aku dibayar per hari. Kalau butuh satu hari tambahan, artinya pendapatanku bertambah, jadi aku benar-benar tidak keberatan.
Malam itu, aku berjaga malam bersama Dune. Kami duduk di sekitar api unggun.
“Maaf ya, Merry. Karena sudah menyeretmu ke hal yang membosankan begini.”
“Tak masalah.”
“Tapi perjalanan kayak gini nggak enak buat perempuan, kan?”
“Aku bukan satu-satunya perempuan di sini, kan?”
“Yah, memang sih… Kamu tetap saja dingin, ya.”
Dune menggaruk kepalanya dengan canggung, lalu tiba-tiba tertawa.
“Tapi aku suka sisi dirimu yang itu.”
“Jangan bercanda.”
“Aku nggak bercanda. Aku serius.”
Saat aku menatapnya, Dune membalas dengan tatapan sungguh-sungguh.
“Aku sudah memikirkanmu terus selama ini. Maukah kau jadi pacarku?”
“Tidak,” jawabku tanpa ragu. Aku ingin menunduk, tapi kutahan keinginan itu dan terus menatap Dune. Aku tak mempercayai diriku sendiri. Aku tak mempercayai laki-laki. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan, jadi aku tidak menurunkan kewaspadaanku.
“…Itu, hmm… cuma untuk sekarang? Atau aku nggak punya harapan sama sekali, bahkan di masa depan?”
“Tidak ada. Sama sekali tidak. Nol. Tidak pernah ada.”
“Oh, ya?” Dune memalingkan wajah dengan kesal. Sepertinya dia tidak akan menjadi pelanggan tetap. Hal-hal seperti ini memang terjadi. Tak ada yang bisa kulakukan.
Dalam perjalanan kembali ke Altana, di malam hari, saat aku tidur agak terpisah dari party, Dune mencoba memanjatku. Balas dendam karena kutolak? Atau karena dia putus asa? Aku tidur ringan. Aku sempat menyadarinya dan mengusirnya, jadi hal itu tidak berkembang menjadi sesuatu yang lebih buruk. Hal-hal seperti ini memang terjadi. Aku tak boleh terlalu memikirkannya.
Begitu kami tiba di Altana, Dune menggerutu soal bayaranku selama delapan hari. Aku, tentu saja, menuntut dibayar penuh, sesuai kesepakatan kami.
“Kawan, hebat juga kau bisa bicara padaku dengan setenang ini setelah semua yang terjadi.”
“Yang melakukannya itu kau, bukan aku. Dan lagi, aku bukan kawanmu.”
“Mungkin kau bisa sedikit memikirkan perasaan orang lain.”
“Apakah kau memikirkan perasaanku saat mencoba melakukan itu?”
“Itu… Baiklah, aku memang salah waktu itu.”
“Ya. Kau sepenuhnya salah. Aku tidak tahu apakah penolakanku melukai harga dirimu, atau apalah, tapi kau benar-benar pria kecil hati kalau sampai bersikap sepicik ini hanya karena itu.”’
“Kawan—”
“Kau tidak dengar, ya? Aku bukan kawanmu. Kau membuatku muak. Apa? Mau memukulku? Ayo saja. Aku yakin itu akan sakit kalau kau benar-benar serius, tapi aku bisa menyembuhkan luka-lukanya dengan sihir cahaya. Kau pasti akan merasa sangat menyedihkan setelah melakukan sesuatu yang sia-sia. Dan kau pantas merasakannya.”
“Kalau kau mau uangmu, ambil saja!”
Wajah Dune memerah, lalu ia melemparkan upah delapan hari ke tanah.
“Kau perempuan menyedihkan, menjual diri demi uang! Itulah dirimu, Merry!”
Begitu ia lari, aku memunguti koin-koin itu satu per satu. Aku marah. Aku menyedihkan, dan menyedihkan sekali. Tapi uang tetaplah uang.
Kalau aku pergi ke Kedai Sherry, mungkin saja aku bertemu Dune. Lalu kenapa? Bukan aku yang seharusnya malu. Itu Dune. Tapi meski aku merasa begitu, saat melihat dia tidak ada di kedai, aku jelas merasa lega.
Aku tidak menjual diri. Aku juga tidak mengabaikan perasaan orang lain. Atau mungkin aku memang begitu. Tapi aku tidak mau memikirkannya—pikiran-pikiran itu memenuhi kepalaku saat aku menyesap arak suling, ketika tiba-tiba, Kikkawa sudah duduk di sebelahku. Tentu saja aku mengabaikannya, tapi Kikkawa bukan tipe orang yang akan mundur hanya karena diabaikan.
“Tahu nggak… Tetangga. Ini cuma perasaanku aja, atau kamu lagi kelihatan murung? Semoga sih cuma perasaanku. Aku pengen tetanggaku semangat. Aku pengen dia bersinar. Kayaknya cocok deh kalau dia bersinar. Oh iya, cuma mau bilang, ini aku ngomong sendiri, ya. Ngomong ke diri sendiri.”
Iya, iya, ngomong aja ke diri sendiri. —Aku juga tadi ngomong ke diri sendiri. Nggak, bahkan aku nggak ngomong sama sekali.
Nggak bisakah aku menolak Dune dengan cara yang lebih halus? Itu bukan salahku. Aku nggak berbuat salah apa-apa. Tapi aku bisa saja bilangnya dengan cara lain. “Merry, kamu selalu berlebihan.” Itu pasti yang Mutsumi bakal bilang. Tapi kalau aku balas setengah hati, yang bisa kasih dia harapan, itu juga nggak bagus. Apa itu yang kupikirkan? Atau aku sengaja menyakiti Dune? Apa aku justru melampiaskan perasaanku ke dia?
“Tetaaanggaaa~. Semangaaat dong. Hei. Tetaaaanggaaa~. Kalau kamu lagi punya masalah, kamu bisa cerita, lho. Aku bakal dengerin semuanya. Anggap aja kamu lagi ngomong ke diri sendiri.”
Aku nggak akan cerita. —Aku nggak bisa. Aku sendirian. Dan sendirian itu yang paling baik.
6. Tak Terduga
Ingatanku tentang saat ketika aku membiarkan tiga orang mati—dan segala hal yang terjadi setelahnya—mungkin agak kabur. Tapi saat aku minum, aku selalu berhati-hati agar tidak sampai mabuk. Setidaknya, aku selalu sadar atas apa yang telah kulakukan.
Aku juga sepenuhnya menyadari bahwa aku bukan orang yang disukai banyak orang.
Aku punya beberapa julukan, meski tak ada yang berani mengatakannya langsung di hadapanku. Salah satunya adalah Merry si Pemarah. Yang lain, Merry si Menyeramkan.
Menurut orang-orang, aku adalah wanita yang menakutkan.
Pertama-tama, karena cara bicaraku yang dingin dan to the point. Aku tak pernah berkata lebih dari yang diperlukan. Itu memang kuakui sendiri. Tapi aku tak merasa sedang bersikap dingin secara khusus. Aku tak mencoba menakut-nakuti siapa pun, atau menghina mereka. Tapi tentu saja, aku akan berbicara jika memang perlu. Misalnya, kalau ada orang yang bertingkah bodoh, membiarkannya bisa berbahaya. Kebanyakan orang tak mengungkapkan semua yang mereka pikirkan, dan aku paham alasannya—mungkin mereka terlalu penakut, atau tak ingin merusak hubungan, atau, yah, ada banyak alasan lainnya. Tapi kalau aku merasa perlu menghentikan seseorang, aku akan melakukannya tanpa ragu. Aku tak peduli orang lain akan berpikir apa. Keselamatanku jauh lebih penting dari itu.
Aku memang sulit diajak bekerja sama. Itu sebabnya aku tak pernah punya rekan. Itu juga salah satu keluhan yang paling sering kudengar. Tapi, tolong ya—aku tidak butuh ceramah dari mereka.
Aku memang tidak berniat menjalin pertemanan sejak awal. Aku berharap mereka tidak serta-merta menganggap aku sama seperti mereka, hanya karena mereka sangat menginginkan teman, karena mereka merasa tidak aman tanpanya, karena mereka tak bisa melakukan apa-apa sendiri. Aku justru merasa lebih baik tanpa teman, dan aku pun bertindak berdasarkan perasaan itu. Itu berbeda dengan tidak mampu mendapatkannya.
Silakan kalian lakukan apa yang kalian mau dengan teman-teman kalian, dan aku akan melakukan apa yang kuinginkan sendirian, jadi tolong biarkan aku sendiri. Kurang lebih seperti itulah perasaanku. Bukan berarti aku tidak punya kemampuan untuk bekerja sama—aku hanya tidak mencobanya. Karena memang tidak ada kebutuhan untuk itu.
Nyatanya, aku tetap mendapatkan pekerjaan. Tidak terus-menerus, memang, tapi aku tidak kesulitan untuk bisa makan. Tak ada yang berhak mencerca pilihan hidupku, tapi kenyataannya, aku terus mendapatkannya.
Hidup sebagai prajurit relawan memang tidak selalu mudah, tapi mungkin banyak dari mereka yang terlalu banyak waktu luang untuk menyeramahi.
Namun bukan hanya itu masalahnya. Aku paham itu.
Orang-orang dari Serikat Bebas, juga pria seperti Dune. Ada cukup banyak pria yang membenciku tanpa alasan yang jelas. Dan seolah itu belum cukup buruk, kadang ada juga perempuan yang tiba-tiba bersikap tidak ramah hanya karena aku satu party dengan mereka. Mereka juga tidak punya alasan yang jelas.
Bayangkan ada seorang wanita yang naksir pemimpin party-nya, tapi pria itu tidak membalas perasaannya. Lalu aku bergabung ke party mereka, entah sebagai healer pengganti sementara atau karena alasan lain. Si pemimpin itu bersikap agak ramah padaku, sedikit memperhatikanku. Wanita itu tidak menyukainya. Padahal aku tidak berperilaku aneh, sama seperti biasanya, tapi dia bilang aku menggoda pria itu, dan itu sebabnya pria itu jadi salah paham. “Jauhi dia,” katanya padaku. “Main tarik-ulur itu memang kebiasaanmu, kan?”
Itu bukan kali pertama aku mendengar ucapan seperti itu. Aku hanya bisa menjawab bahwa, dari pihakku sendiri, aku tak punya maksud seperti itu. Tapi memang ada wanita yang, meskipun sudah dijelaskan dengan jujur, tetap bertahan pada prasangkanya sendiri.
Orang-orang seperti itu—baik pria maupun wanita—terus menyebarkan gosip tentangku, entah yang benar atau yang sepenuhnya karangan. Aku tidak repot-repot membantah mereka, dan tahu-tahu aku sudah dikenal dengan julukan Merry Si Menyebalkan dan Merry Si Menyeramkan.
Mereka bisa bilang apa pun yang mereka mau. Mereka bebas menyebarkan apa saja. Semakin buruk reputasiku, semakin tidak ada orang yang menggantungkan harapan padaku. Hanya orang-orang yang benar-benar terdesak dan tidak peduli dengan siapa aku sebenarnya yang akan datang padaku menawarkan pekerjaan. Mereka hanya ingin memanfaatkanku. Itu tak masalah. Justru lebih mudah bagiku seperti itu.
Satu-satunya saat di mana aku merasa canggung adalah ketika tanpa sengaja bertemu Hayashi, Shinohara-san, atau anggota Orion lainnya di Kedai Sherry. Aku tak bisa begitu saja mengabaikan mantan rekan-rekan seperjuangan yang pernah memperlakukanku dengan baik, jadi setidaknya aku memberikan anggukan kecil. Kadang mereka mencoba mengajak bicara.
Shinohara-san, khususnya, tak pernah gagal untuk menghampiri dan menyapa. Tak pernah dengan obrolan berat. Hanya, “Gimana kabarmu?” atau “Kau baik-baik saja?” Sekadar beberapa patah kata. Sikap Shinohara-san sungguh patut dicontoh. Bahkan terhadap orang tak tahu diri sepertiku, dia masih peduli. Dia orang yang terlalu baik—sampai rasanya hampir menyeramkan. Dia satu-satunya orang yang tak bisa kutanggapi dengan buruk.
Lalu ada orang ini. Kikkawa.
“Ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne. Tetangga, tetangga, Merry-san? Ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne. Huh? Kau tanya aku lagi ngapain? Oh, nggak nanya ya? Ya udah, tanya dong! Ayo, tanya! Yah, meski nggak juga nggak apa-apa sih. Aku tetep bakal ngasih tahu kok. Jadi, dengerin ya. Ini, ada tantangan gitu buat lihat seberapa banyak kau bisa bilang ‘ne’ secara berurutan. Ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne nen nen ne. Wah! Salah! Susah juga ternyata kalau benar-benar dicoba. Serius deh. Nggak percaya? Coba aja. Mau coba nggak? Nggak ya? Yah, ya udah. Lagian aku juga yang pertama nyoba! Baru kepikiran tadi! Mungkin aku juga nggak akan ngelakuin lagi. Oh iya, iya, iya. Ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne ne! Lihat, aku malah ngelakuin lagi! Emang begitulah gayaku! Bam…! Smash! Oh, iya iya iya. Sebenarnya aku ke sini mau ngomong bisnis sama kamu, untuk sekali ini!”
Jarang sekali dia benar-benar punya bisnis denganku. Saat aku duduk di balik meja di Kedai Sherry, menunggu pekerjaan masuk, Kikkawa kadang—tidak, sering—mendekat dan mulai mengoceh entah apa. Hampir semuanya kuabaikan. Toh, dia memang tak punya urusan denganku. Iya kan? Kalau memang tidak ada urusan, lalu apa sebenarnya maksudnya?
Orang-orang yang mendekatiku dengan niat tersembunyi justru lebih mudah dipahami—dan ditangani. Tapi kalau soal yang satu ini, dia memang seperti itu ke semua orang, bukan cuma padaku. Dia berkeliling, mengoceh pada siapa saja yang ada. Setahuku, tak ada prajurit relawan lain yang seperti dia. Kikkawa itu… di luar nalar.
“…Apa, kamu ada bisnis denganku?” tanyaku, meski sempat berniat tak menggubris.
“Yap, yap. Soal itu, nih.”
Kikkawa mengernyit, lalu menggosok pangkal hidungnya dengan jari telunjuk.
“Jadi, dengerin, ya. Hmm. Ehh… Jadi, yah, bisa dibilang ini soal kerjaan, sih? Tapi bukan dari aku langsung, ya? Maksudku, aku kan gabung sama Tokkis, ya, bareng Tokimune dan teman-teman luar biasanya, jadi bukan dari aku, tapi aku pengin ngenalin kamu ke beberapa orang yang… ya, bisa dibilang masih ada hubungannya lah. Ngerti, kan? Intinya, kami semua daftar bareng. Jadi, gimana kalau kamu gabung sama mereka? Itu maksudnya.”
“Kamu mau aku gabung dalam party mereka?”
“Yup, bener banget. Wahey!”
“Sebagai sub healer?”
“Jadi begini, ya? Ada kejadian, gitu, dan mereka sekarang nggak punya healer. Jadi kamu bakal kayak jadi healer utama, bukan cadangan. Oke, bukan kayak healer utama, tapi beneran healer utama.”
“Kalau itu pekerjaan, aku ambil.”
“Oh, ya? Serius?! Keren! Oke deh, nanti aku kenalin, ya! Umm, aku bakal bawa mereka ke sini, sekarang juga. Gak apa-apa, kan?”
“Silakan.”
“Oke, tunggu sebentar, ya! Aku bakal melesat secepat cahaya! Syuuung…!”
Kalau mereka masuk bareng Kikkawa, berarti mereka juniorku. Yah, meskipun begitu, itu nggak penting juga. Kerja ya kerja. Siapa pun rekan satu timnya, aku tetap harus jaga emosi, tetap datar, dan fokus pada tugasku sendiri. Bukan cuma tidak berharap banyak—aku memang sama sekali nggak berharap apa pun.
Tapi begitu melihat para prajurit relawan yang dibawa Kikkawa, aku langsung merasa, Ini bakal bahaya, nggak sih?
Ada tiga orang pria. Tapi, lebih pas kalau disebut anak-anak. Bukan karena umur, tapi tingkah laku mereka. Kalau mau dibilang sopan, mereka kelihatan polos. Kalau tidak, ya… seperti bocah.
“Jadi, jadi! Ini Haruhiro, terus yang ini Ranta, dan itu Moguzo! Ayo dong, kalian bertiga, sapa dulu! Salam itu dasar komunikasi yang baik, lho!”
Atas dorongan Kikkawa, prajurit relawan bermata ngantuk yang tampak seperti thief itu menunduk sedikit dan berkata, “…Uh, halo. Aku… Haruhiro. Seorang… thief. Nggak banyak yang bisa aku katakan selain itu…”
“A-a-aku Ranta!”
Pria kecil berambut keriting itu tampak terlalu ringan untuk disebut seorang warrior. Wajahnya membawa ekspresi usil. “Aku ini dread knight… Paham, kan? Heh. O-oh, dan… oh iya, aku juga lagi nyari pacar. Iya. Heheheh!”
“A-aku Moguzo. Aku… seorang warrior.” Pria ini bertubuh besar seperti beruang tanpa bulu, tapi meskipun posturnya mengintimidasi, kesan yang ia beri justru jinak. Malah cenderung pemalu, sampai-sampai aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar akan berguna. “S-senang bertemu denganmu…” akhirnya ia menutup perkenalannya.
“Nah!” Kikkawa melirikku sambil melempar kedipan penuh gaya seolah ada kilau-kilau khayalan di sekitarnya. Ia membentuk tanda damai di dekat wajahnya, lalu berkata, “Aku cabut ya! Sisanya kuserahkan pada kalian yang muda-muda! Sampai jumpa, sampai jumpa, sampai jumpa, Merry… beeeeam…!”
…Beam macam apa itu?
Tiga cowok itu hanya diam, gelisah dan bergumam pelan, memejamkan mata dengan ekspresi seperti sedang menahan rasa sakit. Tapi tak satu pun dari mereka membuka mulut padaku. Apa-apaan ini? pikirku. Bukannya mereka yang punya urusan denganku? Apa aku harus yang memulai pembicaraan? Kalau aku diam saja, ini tak akan pernah selesai.
“Jadi?” Aku menatap mereka dan melontarkan satu kata itu—kata paling minim yang bisa kupilih. Akhirnya, Haruhiro membuka mulut. “U-umm, begini… Aku tanya Kikkawa—maksudku, dia yang bawa kami ke sini, jadi kamu pasti udah tahu, ya? Ya, pastilah. Jadi, erm… kami kekurangan priest. Bisa dibilang, kami lagi nyari priest yang mau gabung sama party kami. Jadi, um…”
Bisakah kau bicara tanpa terputus-putus? Aku menahan diri untuk tidak mengucapkan itu, lalu menarik napas panjang. Harusnya aku sudah menduga dari awal—ini Kikkawa, bagaimanapun juga. Ini pertama kalinya dia memberiku pekerjaan, dan lihatlah hasilnya. Dia memang pria yang sulit ditebak.
“Syaratnya?”
Haruhiro mengulang, “…Syarat?” matanya membelalak, terkejut. Tapi tetap saja terlihat mengantuk.
“Uhm, syaratnya itu… kita pergi ke Damuro, dan—oh, maksudmu syarat… syarat yang mana ya?”
Ranta menggerutu, “Bodoh,” lalu menyikut Haruhiro di rusuk. “Maksudnya bayaran per malam. Hal semacam itu. Kau mestinya ngerti dong!”
Aku melotot padanya. Ranta langsung berujar, “Eeek…” dan mundur menjauh.
“A-Aku cuma bercanda… oke? Maksudku, bukan bercanda, cuma contoh, walaupun… mungkin bukan contoh yang tepat…”
“Benar. Itu memang sangat tidak pantas.”
“…Iya, ya? Maaf? Aku nggak bermaksud yang aneh-aneh… aku cuma lagi tegang…”
“Kau? Tegang?” Haruhiro menyindir, dan Ranta langsung membalas, “Berisik kau!”
Moguzo menunduk, seperti sedang menahan sakit perut atau semacamnya, dan peluh menetes di wajahnya.
Akhirnya aku sampai pada kesimpulan: sistem bayar per hari jelas tidak mungkin. Anak-anak ini tidak akan sanggup. Artinya, aku hanya akan mendapat bagian dari hasil mereka. Tapi berapa? Tak banyak, bisa kupastikan. Kemungkinan besar jumlahnya kecil. Asal tidak merugi setelah memotong biaya sewa harian dan makan, itu sudah bagus.
Aku bukan tipe yang pilih-pilih. Tapi… mungkin ini tawaran pertama yang seharusnya kutolak.
Tapi.
Kalau aku menolak, apa yang akan dilakukan anak-anak yang luar biasa tidak bisa diandalkan ini? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apa aku peduli? Mereka sama sekali tidak ada hubungannya denganku.
Tapi.
“Kalau aku dapat bagianku, itu sudah cukup. Kita mulai besok? Kalau kalian punya tempat kumpul, bilang saja padaku.”
7. Sebelum Fajar
Jam delapan pagi, di depan gerbang utara Altana. Aku belum pernah sekalipun datang terlambat ke pertemuan. Biasanya aku malah tiba lebih dulu dari siapa pun. Hari itu pun begitu.
“—Dan dengan itu, temaaaan-temaaaan! Aku mau memperkenalkan kalian pada teman baru kitaaa! Ini dia si priest, Merry! Ayo beri tepuk tangan yang meriah…!”
Ketika Ranta yang berambut ikal meneriakkan itu dengan putus asa, Haruhiro yang masih mengantuk dan Moguzo yang mirip beruang bertepuk tangan setengah hati. Dua orang lainnya hanya ternganga. Keduanya perempuan. Yang satu tampak pendiam, mungkin seorang mage. Yang satunya membawa busur dan anak panah—sepertinya seorang hunter. —Perempuan. Mereka benar-benar terasa seperti perempuan biasa, bukan tipe yang cocok jadi prajurit relawan. Sebenarnya, tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat cocok.
Kalian bercanda…?
Itu kesan jujurku. Kupikir aku sudah cukup sering bekerja dengan prajurit relawan dari berbagai latar belakang. Ada yang lebih tua, ada yang lebih muda. Ada yang berpengalaman, ada yang masih hijau. Tapi belum pernah aku melihat sekelompok anak-anak seperti mereka.
Mereka kelihatan seperti baru saja jadi calon prajurit relawan. Normalnya, setelah sehari atau dua hari menjalani hidup seperti ini, orang akan sedikit berubah. —Normal. Dalam arti tertentu, mungkin merekalah yang normal. Kamilah yang tidak. Kami sudah menyesuaikan diri. Mau tidak mau. Sepengetahuanku, semua orang begitu. Anak-anak ini memang normal, tapi tetap terasa… aneh.
“Ini… Ini Merry-san…”
Saat Ranta menunjuk ke arahku lagi, gadis mage itu akhirnya berkata pelan, “Ha…” sambil membungkuk ragu. “…Halo.”
“Sa… Senang bertemu denganmu,” gadis hunter itu juga menyapaku.
Aku seharusnya bilang apa? Gadis-gadis ini tampak waspada padaku. Tentu saja. Itu hal yang wajar. Tapi tidak ada nada tajam. Kewaspadaan yang biasa kutemui cenderung agresif, nyaris seperti permusuhan terang-terangan. Atau rasa jengkel dan jijik. Ketidaksenangan yang nyata. Tapi dengan gadis-gadis ini, kewaspadaan mereka justru dibarengi dengan kebingungan yang begitu besar, sampai-sampai aku sendiri jadi ikut bingung.
Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Aku menyelipkan rambutku ke balik telinga, lalu menatap Haruhiro. “Ini semua orang?”
“Y-Ya…”
Aku menatap mata Haruhiro, dan dia buru-buru mengalihkan pandangan ke bawah. Reaksi itu. Terlalu… normal.
“Uh, ya. Ini semua orang. Termasuk kamu, jadi kita berenam.”
“Begitu,” jawabku dengan sedikit tawa mengejek. Aku tak bisa terus bersikap begini kalau tidak tertawa. Aku perlu mengubah sikap. Ini terlalu berat. Terlalu sulit.
“Yah, tak masalah. Asal bagianku ada, aku tak peduli. Kita mau ke mana? Damuro?”
“Y-Yah… Kurasa begitu?”
“‘Kurasa’? Yang jelas.”
“D-Damuro. Kota Tua. Berburu goblin… Untuk sisanya, aku belum tahu.”
“Terserah, apa pun itu. Ya sudah, kenapa tidak mulai saja? Aku akan mengikuti kalian.”
“…Hei, dengar, ya?” Ranta menatapku dengan mata mengharap. “T-Tak bisakah, uh, kau… mengubah cara bicaramu, sikapmu itu…?”
“Hah?”
“…N-Nggak, maaf… Serius, maaf. Lupakan saja…”
Pria ini bahkan tidak layak disebutkan. Kalau aku bisa membungkamnya semudah ini, berarti dia memang kroco.
Selama satu jam perjalanan menuju Damuro, tak ada satu kata pun yang terucap. Bahkan jika mereka mencoba mengajak bicara, kurasa aku tak akan menjawab. Anak-anak ini biasanya membicarakan apa, sih? Aku sama sekali tak bisa membayangkannya. Yang kutahu, mereka tidak sejalan denganku. Meski begitu, akhir-akhir ini, tak ada seorang pun yang sejalan denganku.
Aku sudah sejauh ini, ya? pikirku tiba-tiba. Kurasa aku pun dulu memulai dari tempat yang tak jauh berbeda dari Haruhiro dan kelompoknya. Masa itu bukan masa yang cukup ringan hingga bisa kusebut, “Waktu itu menyenangkan.” Tapi… entahlah. Mungkin memang menyenangkan. Setidaknya memuaskan. Saat melihat anak-anak ini, rasanya seperti aku bisa mengingatnya kembali. Tapi aku tak mau mengingat. Seharusnya aku menolak pekerjaan ini. Aku ceroboh.
“…Gimana kalau kita ketemu mereka lagi?”
Tepat sebelum kami memasuki Kota Tua, Haruhiro bergumam seperti itu.
“Kalau ketemu,” ucap Ranta dengan nada aneh yang suram, “Kita harus bunuh mereka. Aku nggak bakal puas sampai aku menebas si bajingan berzirah itu dan motong kuping si hobgob, lalu persembahkan semuanya di altar Lord Skullhell.”
“Tapi…” Nada suara gadis mage itu bukan gelap, tapi dingin. Tidak cocok dengannya. “Kita nggak bisa menang. Bukan dengan kondisi kita sekarang.”
Ranta mendengus. “Kita tetap harus bertarung meski tahu kita nggak bakal menang.”
“Kalau kita sampai mati gara-gara itu—” suara gadis hunter itu bergetar, “…Kalau kita mati sia-sia kayak gitu, semuanya bakal percuma.”
“Mati itu bukan pilihan.” Moguzo mengangguk kuat-kuat. “Aku nggak mau ada lagi yang mati.”
Aneh rasanya melihat satu party berisikan warrior tapi tanpa priest. Bahkan lebih aneh lagi kalau sejak awal party ini memang tidak punya priest. Itu mustahil.
“Apa ada yang…” Aku hampir mengucapkannya, lalu menggigit bibirku sendiri. Tidak perlu ditanyakan.
Mereka bukan tidak pernah punya penyembuh. Mereka kehilangan satu. Kemungkinan besar… sudah mati.
“…mau pergi? Atau nggak? Aku nggak peduli yang mana, tapi cepat tentukan.”
Ranta memalingkan wajah, mengklik lidahnya dengan kesal.
“Ayo cepat, Haruhiro.”
“Iya…”
Tatapan Haruhiro melayang, seolah ragu. Kalau dipikir-pikir, siapa sebenarnya pemimpin kelompok ini? Perasaanku bilang Haruhiro, tapi aku nggak yakin. Kelompok ini terlihat seperti tak punya pemimpin. Apa mungkin…
…yang mati itu, penyembuh mereka, adalah pemimpin?
Kalau benar begitu—kalau memang itu yang terjadi—itu hasil terburuk yang bisa dibayangkan. Bukan cuma buruk. Itu bencana.
Pekerjaan ini… menakutkan. Terlalu menakutkan. Meski begitu, aku tetap harus menjalankannya tanpa memperlihatkan rasa takut. Itu prinsipku. Tapi kali ini, rasanya sungguh berat. Cara Haruhiro terbata-bata saat berkata, “A-Ayo pergi,” jujur saja, membuat suasana hati ikut muram.
Bagaimana anak-anak ini bisa bekerja, sih? Aku nggak mau mikir. Aku cuma bisa berharap mereka setidaknya paham teori dasar. Aku nggak minta banyak. Tapi harapan itu pun langsung hancur.
Tidak terjadi langsung sih. Kami semua mengintai area itu. Haruhiro, setidaknya, memang tampak seperti seorang thief saat bergerak dan mengamati keadaan, tapi kami tidak menemukan mangsa yang cocok. Yah, tentu saja tidak. Anak-anak ini tampaknya hanya mengincar kelompok goblin yang berjumlah dua atau kurang. Tapi goblin bukan makhluk bodoh. Mereka tahu jauh lebih aman bergerak dalam kelompok. Jarang sekali ada goblin yang sendirian, atau hanya berdua. Berdasarkan pengalamanku, goblin-goblin di Kota Tua Damuro biasanya bepergian dalam kelompok berjumlah tiga atau lebih.
Bagaimana mungkin kelompok ini bisa mengalahkan tiga goblin sekaligus? Itu adalah rintangan pertama dalam berburu di Kota Tua—dan segalanya, pada dasarnya, dimulai dari sana.
Singkatnya, anak-anak ini bahkan belum benar-benar berdiri di garis awal.
Tapi kalau terus begini, kami tak akan bisa berburu, dan itu artinya tak ada pemasukan. Haruhiro tampaknya sudah membulatkan tekadnya. Sasaran yang ia temukan tak lama setelah tengah hari adalah sekelompok goblin berjumlah tiga.
Di reruntuhan sebuah bangunan yang hancur, ada seekor goblin berzirah rantai dengan tombak pendek, dan dua goblin lain mengenakan pakaian dari kain sungguhan—salah satunya membawa kapak, yang satunya lagi membawa pedang pendek. Haruhiro mulai menjelaskan sesuatu yang bisa dibilang sebagai strategi.
“Pertama, Yume dan Shihoru serang lebih dulu si goblin tombak. Aku, Ranta, Yume, dan Merry akan mengalihkan perhatian goblin kapak dan pedang pendek, jadi Moguzo dan Shihoru bisa menghabisi si tombak. Kalau kalian berdua kesulitan, aku atau Ranta akan bantu. Begitu si tombak tumbang, sisanya bakal lebih gampang.”
“Tunggu dulu.”
Sebenarnya aku sudah menduganya. Aku sudah curiga anak-anak ini bahkan tidak tahu teori dasar sekalipun. Dan ternyata benar. Itu saja. Tapi tetap saja, ini mengejutkan. Mereka benar-benar tidak mengerti? Inilah alasan mereka kehilangan rekan mereka.
“Kenapa aku yang melawan goblin?”
“Hah… E-Eh, memangnya itu nggak boleh? Huh? Kenapa nggak…?”
“Aku bukan penyerang. Aku ini seorang priest. Alasannya seharusnya jelas.”
“Hei…” Ranta mulai membentak, tapi buru-buru menahan diri, “…kawan.”
“Kawan?”
Aku kesal. Bukan marah, hanya kesal. Tidak ada alasan untuk marah. Ini hanya pekerjaan.
Bagiku, ini cuma pekerjaan. Tapi kalian? Kalian benar-benar oke dengan ini?
Ranta ragu, “…K-Kau?” lalu buru-buru memperbaiki ucapannya. Dialah yang awalnya terpancing emosi, tapi sepertinya tidak suka dengan cara bicaranya sendiri. “Nggak, aneh banget rasanya ngomong begitu ke kamu… M-Merry!”
“Mana -san-nya?”
“M-Merry…-san,” urat di pelipis Ranta menonjol, dan seluruh tubuhnya tampak gemetar.
Kenapa dia sewot begitu? Dia bodoh, ya?
“D-Dengar, para priest itu bawa, itu lho, apa namanya? Tongkat priest? Kamu bawa juga, kan? Itu kan buat mukulin musuh, kan? Atau cuma pajangan doang?”
“Benar. Ini cuma pajangan.”
“Dasar kamu…”
“Apa?”
“M-Merry…-san, kamu, nggak bisakah kamu sedikit lebih, maksudku, lebih… entahlah. Lupakan saja. Terserah deh, lakukan sesukamu…”
“Aku memang akan melakukan sesukaku tanpa perlu kamu suruh, tahu?”
“Tentu saja kau akan begitu! Hahahaha! Sudah kuduga! Sial, apa sih masalah cewek bajingan ini…?”
“Bisakah kau tidak memakai kata-kata kotor seperti itu? Menyakitkan di telinga.”
“Maaf banget! Salahku! Tapi kalau kamu sebegitu nggak sukanya, gimana kalau pakai penutup telinga aja?”
“Kenapa aku yang harus repot-repot seperti itu?”
“P-Pokoknya…” kata Haruhiro, menggaruk lehernya sambil melangkah maju untuk menghentikan kami berdua, “Aku mengerti maksudmu. Merry akan berjaga di belakang sampai dibutuhkan. Umm, mungkin di dekat Shihoru saja. Soalnya Shihoru itu mage, jadi dia nggak pernah maju ke depan. Harusnya itu cukup baik… kan?”
Berdiri di belakang sampai dibutuhkan. Memang seperti itulah peran seorang priest. Akhirnya dia paham juga. Gadis mage itu… Shihoru, ya? Bahkan namanya pun belum pernah kudengar. Anak-anak ini… menyebalkan sekali. Kalau aku terlalu kesal, itu bisa mengganggu pekerjaanku.
“Kedengarannya masuk akal, kurasa?”
“Y-Yasudah, kita pakai rencana itu… Yume, Shihoru, tolong ya.”
Saat Haruhiro memanggil nama mereka, si gadis mage dan gadis hunter itu mengangguk pelan tanpa berkata apa pun. Rupanya si gadis hunter bernama Yume.
Yume dan Shihoru tampak jelas-jelas kesal. Sepertinya mereka benar-benar nggak suka padaku, sampai-sampai menolak menatap mataku. Yah, bukan berarti aku peduli.
Tiga anak laki-laki itu sepertinya tidak repot-repot menjelaskan dengan cukup jelas alasan aku ada di sini. Ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa memang itulah yang terjadi. Kalau benar begitu, rasanya sulit menyalahkan dua orang itu karena bersikap waspada padaku. Maksudku, biasanya orang akan menjelaskan dulu, kan? Bukankah sudah jelas kalau satu kelompok harusnya membicarakan hal semacam ini bersama-sama? Apa mereka tidak saling berkomunikasi? Mereka bukan hanya tidak berpengalaman—mereka bahkan lebih buruk dari amatir. Dan mereka juga tidak terlihat akrab satu sama lain. Serius, ada apa sebenarnya dengan kelompok ini?
Haruhiro maju ke depan, dengan Yume dan Shihoru mengikutinya dari belakang. Saat ia mendekati area yang dimaksud, Shihoru mulai menyiapkan mantra sesuai isyarat darinya, dan Yume bersiap dengan busurnya. Shadow Beat, ya? Mantra Shihoru mengenai goblin pembawa tombak. Tombaknya terjatuh dari tangan si goblin, tapi anak panah Yume meleset. Ya, itu senjata jarak jauh; sesekali meleset itu wajar. Tapi tidak separah itu.
“…Itu benar-benar buruk,” gumamku, dan Yume sedikit tersentak sambil menggenggam busurnya lebih erat.
Kau terlalu fokus saat melepaskan anak panah. Emang bukan keahlianku, dan aku bukan rekanmu, jadi aku tidak akan mengatakannya padamu. Tapi kuharap kau bisa menyadarinya sendiri. Meski kadang sulit melihat kekurangan diri sendiri.
“Jangan dipikirin!” seru Haruhiro pada Yume sambil mencabut belatinya.
Kau masih sempat menenangkan Yume, ya? Hebat juga, tapi itu jelas bukan hal yang seharusnya jadi fokusmu sekarang.
Moguzo dan Ranta menyerang para goblin. Goblin kapak dan goblin pedang pendek menghadang mereka, sementara goblin tombak sibuk meraih tombaknya yang terjatuh. Haruhiro melancarkan serangan Backstab ke arah goblin pedang pendek. Hanya goresan ringan. Tapi cukup untuk membuat goblin itu mengalihkan fokus padanya.
Ranta menghadapi goblin kapak. Moguzo mengejar goblin tombak. Ah, tapi goblin tombak lebih cepat. Ia berhasil mengambil tombak pendeknya dan menusukkannya ke arah Moguzo. Moguzo dengan sigap menarik kedua lengannya dan menggunakan pedang besar miliknya untuk menangkis serangan. Untuk pria sebesar itu, dia cukup terampil.
Yume mencabut parangnya dan menerjang ke depan. Sepertinya dia akan membantu Haruhiro. Tindakan yang cukup berani untuk seorang pemburu perempuan. Diagonal Cross. Goblin pedang pendek melompat ke belakang dan menghindar, tapi serangan itu tetap bagus. Apa Yume sebenarnya lebih mahir dalam pertarungan jarak dekat?
“Ohm, rel, ect, vel, darsh…!”
Shihoru kembali melafalkan Shadow Beat. Tampaknya ia berusaha mendukung Moguzo, tapi goblin tombak berhasil menghindar. Elemen bayangan yang dilepaskan oleh Shadow Beat memang lambat. Sulit mengenainya tanpa persiapan. Tapi bidikan Shihoru cukup tepat. Goblin tombak sedikit kehilangan keseimbangan, dan Moguzo segera mengayunkan pedang besarnya.
Sayangnya, jaraknya terlalu jauh. Ayunannya hanya mengenai udara kosong. Sepertinya dia belum mengerti jangkauan serangannya sendiri. Apa dia belum pernah melawan musuh bersenjata tombak sebelumnya?
Ranta tengah kesulitan melawan goblin kapak. Pertarungannya tak berjalan mulus, tapi… apa dia tak bisa memperbaiki cara bertarungnya? Gerakannya terlalu boros, terlalu banyak yang sia-sia. Apa memang begitu gaya bertarung seorang dread knight? Sulit untuk mempercayainya. Dread knight memang banyak bergerak, tapi biasanya gerakan mereka lebih tajam, lebih terarah. Yang satu ini terlihat seperti katak yang mengamuk tanpa arah.
Haruhiro dan Yume punya keunggulan dua lawan satu. Mereka seharusnya bisa mengatasinya.
Sementara itu, Moguzo menerima rentetan serangan tusukan dari goblin bersenjata tombak dan terus terdesak mundur. Tapi justru karena musuhnya memakai tombak, mundur hanya akan memperburuk situasinya. Dia kurang pengalaman. Dia belum tahu bagaimana cara bertarung yang benar. Kalau aku adalah rekannya… Tidak, sekalipun aku rekan satu timnya, aku tetap tak berada dalam posisi untuk menyuruhnya begini atau begitu.
“Agh…!”
Ranta mendapat luka di paha kiri, lalu melompat mundur seperti katak. Goblin lebih pendek dari manusia. Seharusnya dia lebih waspada terhadap serangan ke bagian bawah tubuh, tapi tampaknya dia bahkan tak menyadarinya.
“Yume, biar aku yang urus yang ini. Kau bantu Ranta!”
Haruhiro berniat meminta Yume untuk membantu Ranta? Dia memperhatikan situasi dan mengambil keputusan dengan cukup cepat. Tapi apakah itu keputusan yang tepat? Apa Ranta memang butuh bantuan sekarang?
“Merry, sembuhkan Ranta!”
“Tidak,” jawabku cepat.
“Tidak?! Hah?! Kenapa?!”
“Itu bukan luka yang butuh perawatan segera. Tahan saja.”
“…Dasar kau…!” Ranta melampiaskan amarahnya pada goblin kapak.
Tuh, dia baik-baik saja.
“Sial, sial, sial, sial! Jangan sok-sokan cuma karena kamu itu sedikit—oke, sangat—cantik! Ini omong kosong! Omong kosooooong…!”
“Bukannya kamu lagi kesakitan, Ranta?”
“Aku memang kesakitan! Hatred…!”
Ranta mengayunkan pedang panjangnya secara diagonal ke bawah ke arah goblin kapak. Tapi dengan serangan seterang itu, sudah jelas tak akan kena. Goblin itu dengan mudah menghindar.
“Aku berdarah parah di sini, tahu nggak?! Jelas sakit! Sakit, sialan…!”
Goblin pedang pendek menyapu kaki Yume hingga ia terjatuh dan mendarat di pantatnya dengan jeritan kaget. Sesaat aku hampir saja bergerak, tapi Haruhiro sudah di sana. Tak ada yang tahu apakah musuh punya bala bantuan. Aku harus tetap menjaga Shihoru. Lagi pula, para goblin itu tampak siap kabur.
“Dasar kau…!” Haruhiro berusaha berdiri di antara goblin pedang pendek dan Yume. Tapi goblin itu melarikan diri. Ia kabur. Bersama goblin-goblin lainnya.
Haruhiro tampak melongo. Ranta terlihat frustrasi. Moguzo, Yume, dan Shihoru tampaknya merasa lega.
“Kalian semua kewalahan.” Aku menyampaikan pendapatku apa adanya. Mungkin seharusnya tidak kulakukan. Tapi aku tak bisa menahannya. Haruhiro menatapku tajam, tapi tak berkata apa-apa. Kalau dia mengucapkan satu kata saja saat itu, aku yakin aku takkan bisa menahan diri lagi.
Baguslah. Kalian selamat. Kalian beruntung kali ini. Tapi kalau terus begini, cepat atau lambat, kalian akan membayarnya.
Bukan urusanku. Itu tidak ada hubungannya denganku. Karena aku bukan rekan kalian. Kalian pun pasti tak menganggapku demikian, dan aku juga tidak.
Aku hanya punya satu saran—bagaimana kalau kalian berhenti saja? Menurutku, kalian memang bukan tipe yang cocok jadi prajurit relawan. Kalian tidak dibuat untuk itu. Meski begitu, mencari gaya hidup lain juga bukan perkara mudah.
Altana dulunya adalah pangkalan untuk Kerajaan Arabakia dalam upaya merebut kembali wilayah perbatasan. Kota itu tak lebih dari sebuah benteng besar. Pasukan Perbatasan bermarkas di sana, dan para prajurit relawan bertugas mendukung mereka. Pasukan Perbatasan adalah militer profesional, jadi masuk ke dalamnya bukanlah hal yang mudah. Sementara itu, semua pekerjaan lain sudah diisi orang-orang yang cukup mumpuni. Bergabung dengan serikat pandai besi, ahli mekanika, atau pedagang membutuhkan lebih dari sekadar uang—dan bahkan setelah itu, kalian tetap akan disuruh kerja kasar dengan upah yang nyaris tak layak. Kalau kau perempuan, mungkin bisa bekerja di kedai atau bisnis semacamnya, tapi hidup seperti itu juga jelas tak akan mudah. Singkatnya, kami nyaris tak punya pilihan selain menjadi prajurit relawan. Rasanya, hampir seperti ada konspirasi yang sengaja membuat keadaan menjadi seperti ini.
Hari itu, kami menyelesaikan “pekerjaan” kami. Aku menyebutnya pekerjaan, meski sebenarnya penghasilan kami nol. Malah, aku rugi. Malamnya, aku tak pergi ke Kedai Sherry. Sebagai gantinya, aku tetap di kamar.
Untungnya, penginapan tempatku menyewa kamar memiliki fasilitas mandi yang layak. Aku bisa berendam lama dan santai sendirian di larut malam, jadi hampir selalu memilih waktu itu untuk mandi. Sejak dulu, aku memang lebih aktif di malam hari. Hampir tak pernah tidur lebih awal.
Air mandinya agak hangat kuku. Aku perlu menambahkan air panas agar suhunya pas. Memang merepotkan, tapi aku sudah terbiasa. Selama aku bisa mencuci tubuh dan rambutku, lalu berendam dalam air yang suhunya pas, perasaanku bisa sedikit diatur ulang.
Aku memang seorang prajurit relawan, jadi bukan berarti aku tak sanggup jika harus melewatkan mandi. Tapi sejujurnya, tanpa ritual malam yang kulakukan di penginapan ini, pikiranku mungkin sudah lama goyah.
Namun, ada satu kelemahan dalam ritual ini. Di dalam bak mandi, aku berusaha mengosongkan pikiranku, tapi mencapai keadaan hampa seperti itu bukanlah hal mudah. Kadang, pikiranku justru dipenuhi hal-hal yang tak seharusnya kupikirkan.
Apa aku akan pergi berburu lagi bersama anak-anak itu besok? Pertanyaan itu membebani pikiranku. Perutku terasa sakit. Mungkin aku seharusnya tidak ikut lagi. Aku belum pernah meninggalkan sebuah pekerjaan setelah menerimanya. Tapi, apakah perlu terus mempertahankan prinsip itu? Mungkin tak apa-apa. Aku akan mundur. Meski begitu, aku ragu melakukannya tanpa mengatakan apa pun. Aku harus menyampaikannya sendiri. Aku tidak bisa bekerja dengan kalian. Aku tidak ingin mati hanya karena kalian menyeretku ke dalamnya.
Kalian memang mau mati, kan? Itu sebabnya kalian bertingkah sembarangan seperti ini, kan? Kalau memang mau mati, ya silakan mati saja. Jangan seret aku ke dalamnya. —Tidak.
Itu tak mungkin benar. Kalau mereka memang ingin mati, mereka tak akan repot-repot membawa seorang priest seperti aku. Anak-anak itu sedang berusaha sebaik yang mereka bisa, dengan cara mereka sendiri. Mereka hanya… tidak pandai melakukannya. Mereka mungkin sedang menderita karena apa pun yang mereka lakukan tak pernah berjalan dengan baik. Pasti rasanya menyakitkan dan membuat frustrasi.
Kami juga pernah begitu. Saat semuanya terasa mulus, kami lengah, lalu jatuh dan gagal. Tapi kami melewati itu, dan terus maju. Karena kami berhasil melewati rintangan, kami jadi tinggi hati—dan membuat kesalahan fatal.
Semua orang bisa salah. Kadang cuma perbedaan tipis yang menentukan apakah sebuah kesalahan bisa diperbaiki atau tidak. Tapi dari kesalahan itu, kita belajar. Agar tak mengulanginya lagi.
Bisa dibilang, selama kita masih hidup, kita masih berhak melakukan kesalahan berikutnya.
Selama anak-anak itu masih hidup, besok akan lebih baik dari hari ini bagi mereka. Mereka akan bisa menghadapi situasinya sedikit lebih baik. Asalkan mereka bisa bertahan hari ini dan besok.
Aku bergumam, “Yuk, kita kerja,” lalu membiarkan bibirku tenggelam dalam air. Aku bukan rekan seperjuangan mereka. Tapi aku bisa bekerja. Aku akan menjalankan tugasku sebagai priest—agar anak-anak itu bisa tetap hidup sampai esok hari.
Sampai mereka bosan dengan keberadaanku, yang hanya bisa bekerja dan tak lebih dari itu. Sampai saat itu tiba, aku akan terus melakukan tugasku. Itu satu-satunya hal yang masih kupunya sekarang. Tak ada lagi yang tersisa.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] Keadilan dan Keadilanex.5 Aku yang Kemarinex.6 Keseruan Baru Saja Dimulailampiran #2: Auman di Bawah Bulan, Aku adalah SerigalaCatatan […]