Ex.4 Keadilan dan Keadilan (Grimgar)

1. Sebuah Keputusan Antar Sesama

“Moguzo, bro.”

“Huh?”

Itu terjadi saat Moguzo sedang menuang semacam sup ke dalam mangkuk kecil untuk mencicipi rasanya. Tangannya terhenti, dan dia menoleh ke arah Ranta yang berdiri di dekat pintu masuk area memasak.

“A-Ada apa, Ranta-kun…?”

“Kamu nggak ngerasa akhir-akhir ini jadi agak sombong?”

“S-Sombong…? T-Tentu saja nggak, aku rasa enggak, sih…”

“Enggak, bro. Kamu sombong. Itu kenyataannya. Aku yang bilang, jadi pasti benar. Aku, Ranta-sama yang agung!”

“A-Apa yang bikin kamu mikir gitu…? Kalau kamu bisa bilang, aku bakal coba perbaiki.”

“Tuh, itu dia!” seru Ranta sambil menunjuk tangan Moguzo. “Itu! Itu yang kumaksud waktu aku bilang kamu sombong!”

“D-Di mana…?”

“Cara kamu megang sendoknya! Itu teriak, ‘Aku jago masak!’ Gaya cowok-masak-sejati gitu! Kayak bilang, ‘Kasih aku semua poin afeksimu!’ Nah, itu yang kusebut sombong!”

“…Uhh. B-Benar begitu…? Aku cuma masak aja, kok.”

“‘Ini mah gampang buat gue,’ ya? ‘Gue beda dari kalian semua’? Aura itu keluar dari sikapmu, dan, jujur aja, rasanya nyelekit!”

“M-Maaf. Aku bakal lebih hati-hati.”

“Hah! Ngomong sih gampang.”

“…Tapi aku serius, aku bakal hati-hati. Um, boleh lanjut masak? Belum selesai, soalnya.”

“Siapa juga yang nyuruh kamu berhenti? Aku nggak pernah bilang gitu, tahu!”

“Y-Ya. Kalau begitu…”

Moguzo mengambil satu sendok lagi sup, mencicipinya, lalu mengangguk pelan.

“Keh…” Ranta mendesis jijik. “Lihat tuh ekspresi mukamu, kayak ngerasa kamu tuh istimewa banget.”

“Aku nggak gitu, oke?”

“Ya, kamu gitu. Cuma karena kamu nggak bisa lihat muka sendiri aja makanya nggak sadar.”

“…R-Rasanya lumayan enak, mungkin itu sebabnya?”

“Serius? Cuma itu?”

“M-Mungkin aja…”

Cekrek, cekrek, cekrek—Moguzo mencincang sesuatu yang mirip daun teh dengan pisau, lalu menambahkannya ke dalam sup. Wajahnya yang dibalut uap panas memancarkan senyum puas. Ranta mengklik lidahnya kesal.

“Tuh, kamu lakuin lagi!”

“L-Lakuin apa…?”

“Ekspresi ‘Aku berhasil’ itu!”

“Hah? Enggak kok, hasilnya emang sesuai harapanku aja, gitu…”

“Bro, kamu tuh salah paham, ngerti nggak?”

“S-Salah paham…?”

“Dengar ya, Moguzo. Aku tuh bisa aja ngelakuin semua yang kamu lagi lakuin sekarang. Tapi aku memilih buat enggak. Kamu selalu nawarin diri buat gantiin giliran masakku, jadi ya aku kasih aja. Aku ini sedang berbaik hati, ngerti?!”

“A-Aku memang suka masak, jadi nggak masalah buatku…”

“Salah! Bukan itu masalahnya! Kamu jelas-jelas masak buat pamer! Pengen nunjukin betapa hebatnya kamu, karena kamu bisa masak! Pengen ningkatin nilai dirimu, dan kalau bisa sekalian bikin cewek-cewek naksir juga!”

“B-Baiklah, mulai sekarang aku nggak akan gantiin giliranmu lagi, deh.”

Dasar tolol!

“Apa…?”

“Moguzo! Terus kalau bukan kamu, siapa yang bakal gantiin giliran masakku?! Oke, mungkin Manato mau kalau aku minta, tapi aku males repot-repot nyuruh dia! Kamu aja yang gantiin! Tapi bukan itu masalahnya sekarang!”

“…J-Jadi, ini masalahnya apa, sih?”

“Masak!”

Ranta mengepalkan lengan dan memamerkan otot bisepnya, lalu menepuk-nepuk tonjolannya dengan bangga.

“Aku nggak kalah jago masak dari kamu, dan aku pengen kamu sadar itu! Aku bisa aja masak kalau mau, tahu! Aku cuma nggak mau aja!”

“S-Sip… Aku ngerti. Aku bakal inget, kok. Oke?”

“Bagus. Inget yang bener, ya.”

Ranta mengendus-endus udara.

Perutnya keroncongan.

“…Harumnya enak juga.”

“K-Kamu pikir begitu? Um… Mau coba?”

“Kalau kamu maksa sih… ya udah, aku coba deh.”

Ranta membusungkan dada sambil melangkah mendekat ke sisi Moguzo. Ia menerima mangkuk kecil yang disodorkan dan menyeruput supnya perlahan.

Matanya langsung membelalak.

“Y-Yang bener aja ini…! Aroma yang pekat… Keseimbangan rasa yang dalam dan aftertaste yang bersih. Takaran garamnya juga pas banget. Nggak berlebihan, tapi juga nggak hambar… Moguzo!”

“A-Apa…?”

“Moguzo, bro…!”

Ranta merangkul bahu Moguzo dengan antusias.

“Kamu beneran jago masak! Ini enak banget! Gila, aku pengen nambah! Pengen habisin semuanya sekarang juga! Nggak mau bagi ke siapa pun! Mau makan semua isi padatnya juga!”

“Ahaha… T-Terlalu lebay, deh.”

“—Whoa, tunggu dulu!”

“A-Apa lagi?”

“Barusan… lubang hidungmu melebar!”

“Nggak kok, kayaknya enggak…” Moguzo buru-buru menutupi hidungnya dengan kedua tangan.

Ranta menyeringai puas. “Ketahuan deh kamu, Moguzo. Aku liat! Serius, aku liat banget! Ekspresi bangga diri penuh kepuasan itu…!”

“A-Aku nggak sengaja, sungguh…”

“Gak apa-apa, bro. Beneran, santai aja.”

“Huh…?”

“Moguzo, kamu jago masak. Apa salahnya bangga sama itu? Justru, menurutku yang nggak sopan itu kamu tetap bersikap rendah hati dan sok nggak mau pamer. Padahal kamu bisa banget! Pakai bakat masakmu buat nunjukin betapa hebatnya dirimu! Gaskan aja! Nilai kamu bakal naik drastis! Cewek-cewek bakal jatuh cinta! Kejar harem! Itu kan sebenernya yang kamu mau, kan? Jadi nggak usah disembunyiin! Jujur aja. Bener nggak?”

“…Kamu salah.”

“Huh?”

“Kamu salah. Aku nggak mikirin hal-hal kayak gitu… Serius. Aku cuma pengen semua orang bisa makan lebih enak. Pengen liat semua orang senang…”

Gappiin!!

“…Gappin?”

“Gahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!”

Ranta lompat mundur, badannya melengkung ke belakang, lalu mulai menari aneh-aneh.

“Piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!!”

“…Hah? A-Apa? A-Apa yang terjadi, Ranta… -kun?”

“Jeledak! Brak!”

“Nggak, tunggu dulu, aku nggak ngerti—”

“Hei, Moguzo, sentuh aku di sini. Tepat di sini.” Ranta berdiri tegak, menunjuk ke lehernya.

Moguzo dengan ragu menyentuh leher Ranta. “…Di sini?”

“Itu dia! Tepat di situ sisikku berada…!”

Ranta lompat mundur lagi dan menunjuk Moguzo dengan jari telunjuknya.

“Kamu tadi ngusap sisikku ke arah yang salah! Kamu ngelakuinnya…!”

“Haa… K-Kamu punya sisik, Ranta-kun…?”

“Jelas punya! Dan kamu barusan nyentuhnya pakai tangan telanjangmu sendiri! Aku bisa ngerasain kamu usap ke arah yang salah!”

“Sisikmu…?”

“Jangan berani-berani bilang aku nggak punya! Nggak setelah kamu ngelus-elus semuanya kayak gitu!”

“Aku cuma nyentuh dikit doang—”

“Itu alasan?! Penjelasan?! Pembelaan?! Kamu nyari pembenaran?! Atau… justru perlawanan?!”

“A-Aku sama sekali nggak ngerti kamu ngomongin apa sekarang…”

“Tenang aja! Karena aku sendiri juga nggak ngerti! Aneh emang kalau aku yang ngomong begini, tapi hal-hal kayak gini emang kadang terjadi dalam hidup! Bener, kan?!”

“A-Aku nggak tahu harus jawab apa kalau kamu nanya, ‘Bener, kan?!’ sambil teriak gitu…”

“Bener, kan?!”

“Y-Yaa…”

“Jadi! Karena udah sampai sejauh ini, nggak ada lagi jalan damai! Soalnya kamu beneran udah bikin aku salah urat! Kita harus selesaikan ini! Hadapi aku, Moguzo…!”

“H-Hadapi…? Dalam hal apa…?”

“Bukannya jelas?!” seru Ranta sambil merentangkan tangan, “Dalam pertarungan masak serius! Allez cuisine!

2. Rasa Terima Kasih dan Alasan

“Hei, yang gede, kamu cocok.”

Ia masih menyesali kenyataan bahwa saat Kuzuoka—seorang pria dengan topi berbulu—mengucapkan kata-kata itu kepadanya di Kantor Korps Tentara Relawan, ia tak langsung menolak dengan tegas.

Kuzuoka terlihat seperti orang baik—padahal tidak sama sekali. Justru sebaliknya. Wajahnya mencerminkan pembully, dan mulutnya pun kasar. Kuzuoka bilang akan mengajarinya banyak hal, bahkan mau meminjamkan uang. Tapi terus terang saja, Moguzo mengira itu semua cuma omong kosong. Meskipun begitu, ia tetap tidak menolak.

Faktanya, opsi untuk menolak bahkan tidak pernah terlintas di benaknya sejak awal.

Di suatu sudut pikirannya, ia sebenarnya tahu arah semuanya sudah mulai melenceng dari jalur yang benar sejak awal. Ia tahu mengikuti Kuzuoka adalah sebuah kesalahan. Tapi, meski menyadarinya, Moguzo hanya bisa membiarkan semuanya mengalir begitu saja.

Ia melakukan semua yang diminta Kuzuoka: pergi ke guild warrior, membayar delapan koin silver, dan mengikuti pelatihan untuk pemula. Di sana, dia dibuat kelelahan oleh seorang instruktur perempuan bernama Komo, yang mengenakan celana bikini dari kulit dan atasan berupa tali kulit—tanda jelas bahwa dia seorang penyimpang. Waktu ia memanggilnya “instruktur”, wanita itu malah marah dan berteriak, “Namaku Komo-san! Panggil aku Komo-san!” Sampai sekarang pun Moguzo masih tidak paham maksudnya apa. Komo-san adalah orang yang sangat berapi-api, kuat, dan… aneh.

Ia sudah tak lagi menghitung berapa kali ia menghela napas sambil berpikir, Aku memang nggak cocok untuk ini, selama pelatihan tujuh hari itu. Mengayunkan pedang besar mungkin masih bisa diterima, tapi menghantam sesuatu dengannya—melukai, menghancurkan, membunuh—itu terasa salah baginya. Ia memang sudah banyak berlatih menggunakan pedang kayu melawan boneka kayu di guild warrior, tapi bahkan saat lawannya benda mati, rasanya tetap tidak menyenangkan.

Ia tak bisa menahan diri untuk tidak berpikir, Kenapa aku harus melakukan ini? Bukannya ada hal yang lebih penting yang seharusnya aku lakukan? Mungkin aku melebih-lebihkan, tapi kalau aku punya kekuatan untuk menghancurkan sesuatu, bukankah lebih baik kalau kekuatan itu dipakai untuk menciptakan sesuatu? Itu pasti lebih membangun. Dan setiap kali pikiran itu melintas, semangatnya langsung padam.

Komo-san benar-benar mengomelinya habis-habisan karena itu.

“Moguzo! Dasar cacing! Gimana kalau teman-temanmu mati gara-gara kamu lamban?! Keraguanmu bisa membunuh rekanmu sendiri! Bunuh dulu sebelum kamu yang dibunuh! Itu hukum mutlak di medan perang!”

Mungkin aku lebih cocok di tempat di mana aku nggak harus membunuh atau dibunuh…

“Moguzo! Barusan kamu meragukan alasanmu bertarung, ya?! Bodoh! Pertarungan dulu, alasannya belakangan!”

Ia tidak bisa menerima itu. Ia tak mungkin bertarung tanpa alasan yang jelas. Kalau bisa, ia sama sekali tidak ingin bertarung. Ia bukan hanya enggan mengayunkan pedang—menghadapi pedang pun ia tak ingin.

Ia benar-benar membencinya—begitu, begitu, begitu, begitu, begitu, begitu benci. Tapi setiap kali Komo-san berkata, “Lakukan,” tubuhnya bergerak sendiri. Ia mengayunkan pedang kayu sesuai perintah, dan menghantam boneka latihan.

“Terlalu lemah!” teriak Komo-san, dan ia pun mengayun lebih keras. Bahkan ketika tubuhnya ambruk karena kelelahan, jika Komo-san menendang pantatnya, ia akan bangkit lagi.

“Kamu bakal mati kalau kayak begini, Moguzo! Atau bikin temanmu yang mati! Kamu rela?!”

Dan meski kata-kata itu keras, ia balas berteriak, “Tentu saja tidak!”

Tapi… Ia memang tak punya kehendak sendiri.

Dan pada akhirnya, saat itu pun begitu juga.

Setelah menyelesaikan pelatihan pemula, ia akhirnya resmi bergabung dengan kelompok Kuzuoka sebagai warrior. Sebagai semacam ujian awal, mereka memutuskan untuk mengadakan duel antara dirinya dan seorang dread knight—atau paladin, atau apalah—anggota kelompok mereka, di luar gerbang utara.

Bukan dengan pedang kayu. Ini memang pertandingan latihan, tapi mereka tetap menggunakan pedang sungguhan.

Mana mungkin aku bisa melakukan ini, pikirnya. Tapi saat mereka bilang, “Lakukan,” ia tak sanggup menolak.

Ia dikalahkan dalam sekejap, dan Kuzuoka meludah ke arahnya.

“Brengsek, kamu nggak berguna. Nyesel banget gue buang waktu nungguin kamu. Rugi besar. Jadi, bayar. Uang. Gue mau duit lo. Kasih semua uangmu. Anggap aja lunas pakai itu. Ayo, cepetan.”

Dia tahu pasti ada yang salah dengan dirinya—dengan rela menyerahkan semua uangnya seperti itu. Tapi dia tak bisa melawan. Ia tahu benar kalau tanpa uang, ia akan kesulitan, dan jelas-jelas ia tak ingin melakukannya, namun tetap saja, ia tak menemukan kehendak untuk menolak.

Andai saja saat itu Manato dan kelompoknya tidak lewat, siapa tahu apa yang akan terjadi padanya. Tidak—bahkan sebelum itu, apa sebenarnya yang berniat dilakukan Moguzo?

Ia tak bisa membayangkannya. Ia bahkan tak sempat berpikir. Bisa saja ia tetap duduk di sana, di pinggir jalan, tepat di luar gerbang utara, tanpa satu pun pikiran melintas di benaknya.

Manato, Haruhiro, Yume, Shihoru, dan Ranta—kelima orang itulah yang telah menyelamatkan Moguzo. Ia berutang budi pada mereka. Kalau ada sesuatu, apa pun itu, yang bisa ia lakukan untuk mereka, maka ia ingin melakukannya. Ia harus melakukannya. Secara teknis, ia adalah seorang prajurit, jadi ia akan bertarung sekuat tenaga untuk mereka semua.

Dan selain itu… ia akan memasak.

Ia akan memasakkan makanan untuk semuanya.

Dalam hal itu, ia memang punya sedikit rasa percaya diri.

Ketika mereka menghadapi para goblin, meskipun di dalam pikirannya ia terus-menerus berteriak, Bertarunglah! Kamu harus bertarung!, ia tetap saja tidak tahu harus berbuat apa, atau bagaimana caranya, dan tubuhnya enggan bergerak. Ia tidak bisa bertarung tanpa berpikir keras, Aku harus begini. Apa yang harus kulakukan? Oke, aku tahu. Aku harus melakukan ini, sambil menganalisis segalanya secara rinci. Karena itulah, ia selalu tertinggal satu langkah.

Tapi dalam memasak, itu semua berbeda.

Ini jenis hal yang ingin aku buat, atau inilah yang ingin aku ciptakan. Gagasan-gagasan itu datang dengan mudah. Setiap kali membeli sesuatu dari warung, dia bisa menebak bahan-bahannya, juga cara pembumbuan yang digunakan. Selama punya bahan yang diperlukan, dengan sedikit trial and error, dia bisa mereplikasi hampir semua hidangan.

“…Apa aku mulai besar kepala soal ini…?”

Moguzo berdiri di tengah halaman penginapan sukarelawan, menunduk dalam diam.

“Dan Ranta-kun… melihat itu…? Begitukah maksudnya?”

“Moguzo?”

“Huh…?”

Saat Moguzo mendongak, Manato sudah berdiri di sebelahnya, memiringkan kepala, menatapnya dengan tatapan heran.

“Oh… M-Manato-kun.”

“Ada apa? Sesuatu terjadi?”

“Nggak, eh, ya… N-Nggak juga. Tapi… aku juga nggak bisa bilang… nggak ada apa-apa…”

“Maksudnya gimana coba?” tanya Manato sambil tertawa kecil, lalu duduk di samping Moguzo. “Kelihatannya sih memang ada yang terjadi. Kalau kamu nggak keberatan, kenapa nggak diceritain aja? Kadang, cuma dengan mengeluarkan unek-unek itu ke kata-kata, beban di dada bisa jadi lebih ringan, lho.”

“B-Benar juga… Baiklah…”

Moguzo menghela napas, lalu mengusap dadanya sendiri. Tapi itu tidak membuat kata-katanya jadi lebih mudah keluar.

“Gak masalah,” kata Manato dengan nada santai. “Kalau memang belum siap bicara, ya nggak usah. Gak perlu dipaksain.”

“R-Ranta-kun itu…!”

Tiba-tiba, sesuatu melonjak keluar dari tenggorokannya, dan Moguzo sendiri kaget menyadari kalau itu adalah suaranya sendiri. Rasanya benar-benar seperti suara itu keluar tanpa perintahnya.

“R-Ranta-kun, dia, um… Aku nggak tahu harus bilang apa. D-Dia menantangku untuk sebuah pertandingan. Jadi…”

“Oh, ya? Pertandingan apa?”

“I-Itu… m-memasak.”

“Yah, kamu pasti menang. Pertandingannya sudah selesai bahkan sebelum dimulai.”

“H-Huh? G-Gak, kamu nggak bisa bilang begitu sebelum benar-benar dimulai…”

“Maksudku, Ranta kayaknya belum pernah masak yang bener. Kupikir dia bahkan nggak bisa ngupas atau motong bahan dengan baik.”

“D-Dia itu agak sembarangan, tahu? Maksudku, Ranta-kun. Dia nggak telaten…”

“Berantakan. Itu Ranta banget. Dia selalu nyari jalan pintas, sebisanya.”

“Aku juga pikir begitu. …T-Tapi masak itu nggak bisa kayak gitu. Semua langkah ada tujuannya. Oh, dan soal menaruh hati saat masak, hasilnya beda banget kalau kamu bener-bener niat.”

“Ranta itu tipe yang cuma nurutin mood dan pengen semuanya praktis.”

“T-Tapi itu nggak bagus. Maksudku, aku nggak tahu apa aku pantas bilang itu buruk. Mungkin buat hal lain bisa aja, tapi dalam memasak, kalau kamu bener-bener nyisihin waktu dan usaha, hasilnya bakal beda jauh. Semua itu saling menyambung dan—”

“Kalau gitu, kenapa nggak kalahin dia sekalian?”

“…Huh?”

“Kamu harus tanding di depan semuanya, dan buat Ranta malu-maluin.”

Saat Manato bilang itu dengan senyum santai, Moguzo sempat bingung.

“Tenang aja. Apa pun yang terjadi, nggak bakal canggung. Aku yang urus. Lagipula, kamu juga pengin, kan, Moguzo?”

Mata Moguzo membelalak. Saat Manato bilang begitu, untuk pertama kalinya dia sadar—memang iya.

“…Y-Ya.”

3. Ini Tentang Bagaimana Kau Menjalani Hidup

Saat Ranta berkeliaran di pasar, ia kebetulan melihat Yume dan Shihoru. Ia bisa saja memanggil mereka, tapi setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk tidak melakukannya.

“…Cih. Entah kenapa, mereka kelihatan bersenang-senang. Si Dada Mini dan Si Diam-Diam Bohay.”

Ia membalikkan badan, lalu menggaruk kepalanya sambil menghela napas.

“Apa mereka benar-benar bisa akrab dengan perbedaan ukuran dada segitu? Aku gak ngerti cewek. Kalau kami cowok, perbedaan ukuran segitu bakal bikin canggung. Meskipun di luar kelihatan akrab, di dalam hati pasti ada yang mikir, ‘Tapi, bro, punyamu kecil banget… Pfft!’ Yah, meskipun ukuran kami nggak sedramatis itu juga sih…”

Sambil bergumam, matanya melirik deretan bahan makanan yang ditata di rak-rak toko dan gerobak pedagang.

Secara umum, bahan makanan segar harganya mahal, sedangkan yang tahan lama cenderung lebih murah.

“Aku mesti beli apa, ya? Hmm. Masak. Masak… Tunggu, kenapa aku bisa-bisanya terlibat duel masak sama Moguzo, sih…?”

Ia berhenti melangkah, menyilangkan tangan, dan mencoba mengingat-ingat.

“Karena kebawa suasana…?”

Yah, itu memang penting. Sama halnya waktu ia memutuskan jadi dread knight dulu.

“Baiklah, kita sepakat, Ranta jadi warrior-nya.”

Saat Manato bilang begitu—waktu mereka belum bergabung dengan guild masing-masing—Ranta langsung setuju tanpa pikir panjang. Terutama karena posisi warrior adalah pusat perhatian dalam kelompok.

Kau tahu, kan? Mereka bakal butuh aku. Tanpa aku, mereka nggak bakal bisa ngapa-ngapain. Kan, kan, kan? Jadi, aku bakal jadi Ranta-sama bagi mereka. Yap, yap. Begitulah cara pikirnya, dan ia cukup puas dengan itu.

Lalu, kenapa dia nggak jadi gabung ke guild warrior?

Saat itu, Ranta sedang berada di distrik selatan Altana, dalam perjalanan menuju guild warrior yang letaknya dekat kota para pengrajin. Semangatnya sedang di puncak.

Warrior, ya? Aku, jadi warrior? Warrior. Warrior! Warrior itu keren. Maksudku, mereka warrior, gitu loh. Pasti aku bakal digilai cewek-cewek. Waktuku untuk jadi idola datang! Nggak mungkin enggak datang!

Sambil berjalan dan bersenandung kecil, tiba-tiba kata-kata Manato terngiang kembali di benaknya.

“Selain warrior, kudengar ada dua pekerjaan serupa—dread knight dan paladin. Tapi kupikir, sebaiknya kita…”

Dread knight? Paladin?

Oh? Oh ho ho ho? Hmm? Hummm? Tunggu dulu…

Mungkin… salah satu dari itu malah lebih keren?

Begitu pikiran itu terlintas, opsi untuk menjadi warrior langsung lenyap seketika tanpa bekas. Dread knight, atau paladin? Tinggal dua pilihan itu yang ada.

Aku pilih kegelapan? Atau… mungkin cahaya?

Jawaban yang jelas itu kegelapan… kan?

Kurasa begitu.

Ranta masih ingat saat dia mengatakannya pada dirinya sendiri.

“Tuan dread knight, Ranta. Ranta, dread knight. Dread knight Ranta. Dread knight yang menandingi semua dread knight lain—itulah Ranta. Ranta memang ditakdirkan untuk menjadi seorang dread knight. Dread knight sejati adalah Ranta. Dread knight Ranta…”

Itu terdengar sempurna. Mungkin memang itu tujuan kelahirannya—menjadi dread knight. Ya. Sudah pasti begitu.

Dan demikianlah, Dread Knight Ranta pun lahir.

Tujuh hari pelatihan kelam di guild dread knight berjalan berat dan melelahkan, tapi ia berhasil melewatinya. Soalnya… ya, kalau tidak, dia bakal mati. Sekarang sih, dia sudah nggak terlalu ingat apa saja yang dia lalui, tapi yang jelas, dia menuntaskan semua ujian dengan cemerlang dan penuh kemegahan, jadi dia tidak menyesal sama sekali.

“Semangat sesaat… Itu penting.”

Ranta mendengus dan mengepalkan tinjunya.

“Pada akhirnya, hidup itu soal intuisi dan semangat sesaat. Itu berarti persaingan ini memang sudah ditakdirkan terjadi. Kejadian ini… nggak terhindarkan. Ya. Nggak terhindarkan? Atau seharusnya ‘tak terelakkan’? Meh, mana saja. Aku suka dua-duanya. Karena, bagaimanapun juga, yang aku ucapkan itu selalu benar. Tapi tetap saja…”

Ia menoleh ke sekeliling dengan gelisah.

“Mau masak apa, ya…? Moguzo itu jago masak. Itu satu-satunya keahlian dia sih. Kalau aku mau menang dari dia dalam hal masak-memasak, ini bakal jadi tantangan berat. Maksudku, aku kan aku, jadi ya pasti menang. Tapi aku harus milih metode dengan hati-hati. Hmmm. Nghh…”

Sambil berpikir keras, ia terus berjalan sampai akhirnya tiba di kota para pengrajin di distrik selatan.

Di daerah dekat kota para pengrajin, terdapat sebuah desa yang dipenuhi kios-kios, sebagian besar dikelola oleh para pekerja tangan terampil. Rumah penginapan untuk para prajurit relawan hanya sepelemparan batu dari sana, dan ada banyak tempat makan serta minum di area ini, jadi Ranta dan yang lainnya sering datang ke sini untuk mengisi perut mereka. Ia sudah hafal tempat ini luar kepala.

Ping!

Dapat! pikirnya, lalu langsung melesat lari. Ia bergegas menuju desa kios. Hidungnya mulai mencium aroma yang menggugah selera.

“Di sini! Petunjuk yang kubutuhkan! Ini pasti tempatnya! Harusnya sih…!”

Sambil berlari melintasi desa kios, ia menoleh ke sana dan ke mari, memandangi satu tempat lalu yang lain. Hidungnya bekerja keras mengendus setiap arah. Pada akhirnya, Ranta berhenti mendadak di depan salah satu kios.

“Ini dia…! Tidak salah lagi! Kunci kemenanganku tersembunyi di sini! Itu bisikan naluriku! So! Ru! Zo!”

“A-Apa…?”

Dari balik kios, sang pemilik warung soruzo—yang sedang mengaduk panci—tampak benar-benar kebingungan.

Ranta tertawa.

“Heheheheheh… Gwahahahaha…! Jangan takut begitu dong! Meski kau tak bisa menahan diri untuk gentar pada Dread Knight Ranta-sama! Aku nggak akan memakanmu atau semacamnya, kok!”

“…Kau baik-baik saja, Bung?”

Pemilik warung soruzo itu berambut garam dan merica, mungkin usianya sekitar lima puluhan. Perutnya buncit seperti genderang, persis seperti yang kau bayangkan dari pecinta soruzo sejati—dan memang begitulah seharusnya seorang juru masak soruzo. Kebetulan, ini bukan jam makan, jadi tidak ada pelanggan. Ia sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan.

Ranta berdeham dan membusungkan dada.

“Tentu saja aku baik-baik saja!”

“O-Oke. Baguslah kalau begitu… Kau sudah beberapa kali ke sini sebelumnya. Ke tempatku.”

“Sudah dong! Soalnya aku ini prajurit relawan! Meskipun masih pemula sih!”

“Gaya bicaramu kayak orang penting aja, padahal baru pemula…”

“Heh… Gitu ya, Pak Tua? Yah, wajar saja. Soalnya aku emang penting! Sampai-sampai terpancar dari seluruh pori-poriku! Aku punya aura semacam itu, tahu!”

“…Entahlah. Aku nggak peduli kau penting atau nggak, jadi bisa pergi sekarang? Aku lagi sibuk.”

“Tapi ada syaratnya.”

“K-Kau kasih syarat? Cuma buat nyuruhmu pergi…?”

“Tenang saja. Tentu saja, kau bebas menerima atau menolak.”

“Kalau nggak bebas, itu namanya ancaman. Tapi meskipun bebas, rasanya tetap kayak ancaman…”

“Bukan hal besar kok.”

“Biar kutebak, kau tipe orang yang nggak pernah dengerin omongan orang lain ya…”

“Betul sekali!”

“Tapi kau dengerin itu?!”

“Yah, yang itu kudengerin. —Nah, soal syarat tadi. Ajari aku soal masakin soruzo. Kalau kau mau ajarin, aku nggak masalah pergi. Gampang, kan?”

4. Apa yang Sebenarnya Kucari?

Saat sedang berjalan melewati pasar, sesuatu menabraknya dari belakang.

“Ugh!”

“Wah…”

Ia memang tidak sampai terjungkal ke depan, tapi refleks membuatnya menoleh dengan terkejut—dan di sanalah Yume, yang rupanya telah menabraknya dengan semangat.

“…Yu-Yume-san? Oh…! Shihoru-san juga, ya.”

“Nyaa! Yume datang~!” serunya riang.

Sambil melambaikan tangan ke segala arah dan melompat-lompat penuh energi, Yume tampak sama cerianya seperti biasa. Sementara itu, Shihoru berdiri di belakangnya, melambaikan tangan dengan jauh lebih kalem.

“…H-Halo.”

“U-Umm…” Moguzo meletakkan tangan di dadanya sendiri. Mereka benar-benar mengejutkannya, dan jantungnya masih berdegup kencang.

“A-Ada apa, kalian berdua? K-Kalian lagi belanja, mungkin…?”

“Mm, ya, Yume sama Shihoru lagi liat-liat aja sih. Bener, Shihoru?”

“…I-Iya, betul. Kami lagi lihat-lihat…”

“Kalau kamu sendiri, Moguzo? Lagi ngapain?”

“A-Aku…? Umm, a-aku juga, kurasa. Lagi liat-liat juga…”

“Cari makanan, ya?”

“Y-Yah, begitu…”

“Soalnya kamu itu makanan sih.”

“Huh…?”

“Ups! Maksud Yume, kamu tuh foodie! Kamu jago banget masak. Denger ya, Yume juga suka banget sama makanan! Tapi kalau soal masak… yah, mungkin lebih baik fokus makan aja deh.”

“A-Ah, begitu ya… Umm…”

Kadang Moguzo butuh waktu untuk memahami maksud Yume. Cara bicaranya yang berputar-putar sering membuatnya harus berhenti sejenak dan memikirkannya pelan-pelan.

“…K-Kayaknya aku suka dua-duanya? A-Aku juga nggak yakin kenapa. Tapi… kalau aku berhasil dapetin rasa yang aku inginkan, rasanya senang banget.”

“Ohhh…” Mata Shihoru sedikit membesar, lalu ekspresi wajahnya berubah seakan dia mengerti perasaan itu.

“Hm?” Yume menggembungkan salah satu pipinya, lalu mengetuk dagunya dengan jari telunjuk. “Apa rasanya kayak itu, ya? Yang, tahu kan, kalau kita nutup mata terus nyoba jalan lurus, pas buka mata, nyooo, malah belok ke mana-mana? Rasanya kayak gitu, ya?”

“U-Um… A-Aku nggak tahu juga. Mungkin agak beda…?”

“Beda, ya.”

“Iya. Maaf. Kayaknya.”

“Yume juga minta maaf.”

“Nggak, aku yang lebih minta maaf…”

Cara mereka terus-menerus membungkukkan kepala satu sama lain membuat Shihoru terkekeh kecil. Saat Yume menyadarinya, ia tersenyum lebar, dan Moguzo pun ikut tertawa melihat betapa konyolnya semua itu.

Ketiganya tertawa bersama, dan tiba-tiba saja Yume melompat ke arah Shihoru.

Gloooomp!”

“Eeeek!”

“Unyaa. Glomp!”

“Hei, Yume, hent—”

“Oke! Yume bakal berhenti sekarang!”

Apa yang sedang mereka lakukan, sebenarnya? Jenis komunikasi apa ini? Moguzo benar-benar tak mengerti, tapi Shihoru tampaknya tidak benar-benar keberatan, dan mereka terlihat seperti sedang bersenang-senang.

Rasanya menyenangkan melihat mereka bisa akrab seperti itu.

Kayaknya aku memang bukan tipe yang cocok jadi seorang prajurit, pikir Moguzo. Tapi, demi teman-teman yang sudah menerima dirinya masuk ke dalam kelompok ini, ia harus menjadi prajurit terbaik yang bisa ia jadi. Ia benar-benar berniat begitu. Namun suatu hari nanti, ketika ia sudah terlalu tua untuk bertarung, mungkin menyenangkan juga kalau bisa membuka restoran bersama mereka.

“U-Um, jadi, begini… ada sesuatu yang terjadi…”

“Mm-hm, mm-hm. Apa itu, Moguzo?”

“…Entah kenapa, aku bakal adu masak sama Ranta-kun.”

“Ranta-kun jadi aneh lagi…” Ekspresi jijik di wajah Shihoru membuat Moguzo tersenyum kecut.

“Kurang lebih kayak gitu… T-Tapi apa pun alasannya, aku akan senang kalau bisa memasak sesuatu yang enak untuk dimakan bersama.”

“Ohhh, begitu dong caranya!”

“Kalau bisa, aku ingin bikin sesuatu yang nggak akan kubuat kalau bukan karena acara kayak gini…”

“…Aku tunggu, ya.”

Shihoru menutup mulut dengan tangannya, matanya berkilat penuh antusias. Dari tempat Moguzo berdiri, kelihatannya Shihoru mungkin lebih rakus daripada Yume. Yume lalu berjinjit, mendekatkan wajahnya ke arahnya.

“Terus, terus?”

“…Y-Yah. Terus gimana? Aku belum kepikiran apa-apa… makanya aku lagi lihat-lihat bahan di sini.”

“Keberuntungan berpihak pada yang nekat, lho!”

“Err… Oke?”

Moguzo dan Shihoru saling melirik. Dari ekspresi Shihoru, bisa dilihat bahwa dia pun nggak ngerti apa maksud Yume. Jadi Moguzo hanya bisa pura-pura mengerti.

“Y-Yah… bener juga, ya?”

“Bener, kan? Iya, Shihoru?”

“…Huh? E-Ehm… kayaknya?”

“Oh! Kalau begitu, Yume pikir Yume, Shihoru, dan Moguzo harus nyari bareng-bareng!”

“Kamu yakin mau bantu? Aku bakal berterima kasih banget.”

“Tentu aja Yume mau bantu. Shihoru juga kan, ya?”

“…Iya. Kalau kamu nggak keberatan, Moguzo-kun.”

Begitulah akhirnya mereka bertiga keliling pasar bersama. Karena ini bukan hal yang sering terjadi, Moguzo pun mencoba menanyakan beberapa hal pada Yume dan Shihoru.

“Um, kalian berdua suka apa?”

“Hmm? Kami suka apa, ya? Coba Yume pikirin… Yume suka anjing serigala!”

“…Yume, maksudnya itu makanan.”

“Oh? Maksudnya begitu? Makanan, ya? Ummm. Hmmm. Nnnghh…”

“M-Maaf, Yume-san. Jadi kepikiran keras begitu…”

“Nyaaah?!”

“Huh…?!”

“Moguchin, barusan kamu manggil Yume dengan sebutan Yume-san, ya?!”

“…M-Moguchin?”

“Mau Moguzo?”

“A-Aku sih nggak masalah dua-duanya, tapi… Entahlah. Rasanya aneh kalau manggil kalian tanpa pakai sapaan hormat…”

“Kamu pikir begitu?”

“Terasa terlalu akrab, gitu.”

“Emang terlalu akrab, ya, menurutmu?”

“A-Aku juga nggak yakin soal itu.”

“Yume sih nggak masalah dipanggil Yume aja, tahu? Yumerin juga boleh, kok. Atau Yummy?”

“…Yume. ‘Yummy’ itu aneh, tahu…?”

“Unghh. Yaudah. Shihoru tetap Shihoru, kan? Jadi Yume cukup Yume aja. Mungkin Moguzo juga harus tetap Moguzo. Soalnya Moguzo itu imut, lho.”

“…K-Kamu pikir begitu?”

Wajah Moguzo terasa panas. Padahal cuacanya nggak panas, tapi dia merasa akan berkeringat sejadi-jadinya.

“Iya, iya. Yume pikir kamu imut. Shihoru juga imut, kok.”

“…A-Aku nggak merasa begitu…”

“Kamu imut, tahu? Moguzo setuju, kan?”

“Huh? U-Umm, iya… I-Iya, aku pikir dia im…”

Moguzo langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia merasa malu bukan main, tapi kalau dia berhenti bicara di tengah jalan, bisa-bisa maksudnya disalahpahami. Dia nggak mau itu terjadi.

“…Aku pikir dia imut. Beneran.”

“Oh…” Shihoru menunduk sopan entah kenapa. “Te-Terima… kasih…”

“N-Nggak, aku yang… makasih?”

Nyaaah? Kalian berdua lagi ngapain, sih?”

Aku nggak mau dengar itu dari orang yang bikin kita terjebak dalam situasi ini! adalah hal yang mungkin akan dibalas oleh Ranta—kalau dia yang ada di sini. Tapi jelas Moguzo tidak mungkin mengatakan hal seperti itu.

“Ngomong-ngomong, soal makanan yang Yume suka…”

Dan sekarang tiba-tiba balik lagi ke topik itu? Tapi itu pun tak bisa ia ucapkan.

“Yume sih, asal enak, apa aja dimakan, tahu?”

Setelah semua itu, ujung-ujungnya terserah juga? Tapi ya, lagi-lagi, ia tidak bisa mengatakannya.

“A-Aku sendiri…”

Shihoru memang orang baik, ya. Berusaha mencairkan suasana.

“Kalau aku… um, lebih suka yang nggak bikin gemuk meski makannya banyak…”

Makanan diet?! Itu yang dia mau? Yang itu? Tapi, ya, dia cewek… Mungkin memang begitu, ya.

Pendapat mereka bahkan lebih nggak membantu dari yang dia bayangkan. Mungkin Shihoru bisa menangkap pikiran Moguzo lewat ekspresinya yang menggertakkan gigi, karena dia segera menundukkan kepala.

“…M-Maaf. Jawabanku nggak terlalu membantu, ya? Soalnya aku… gemuk…”

Aku rasa itu nggak ada hubungannya sama sekali. Lagipula, kamu juga nggak kelihatan gemuk, kok.

Dia sungguh berharap bisa mengatakannya. Tapi dia jelas-jelas tidak bisa.

Moguzo menatap ke langit. Dia menginginkan pencerahan.

Dan pada saat dia berharap akan itu—perutnya berbunyi nyaring. Moguzo buru-buru melirik Yume dan Shihoru. Sepertinya keduanya tidak mendengar. Syukurlah. Tapi kemudian—

“Ah…!”

Barusan, dari sudut pandangnya, dia melihat sesuatu!

“Moguzo? Kamu liat sesuatu?”

“Y-Yah…”

Dengan jawaban seadanya untuk pertanyaan Yume, Moguzo mulai mencarinya.

Ada. Di sanalah tempatnya.

Di depan lapak itu ada beberapa tong berdiri, dan dia bisa melihat ke dalamnya. Moguzo menunjuk dan berbicara pada si pemilik.

“I-I-Itu… Apa itu… beras?!”

Pemilik lapak menatapnya dengan raut curiga, lalu mengangguk singkat.

“Itu beras dari daratan utama. Memangnya kenapa?”

5. Sangat Rahasia

Pernah ada seorang pria. Oke, ya, memang pria ada di mana-mana, tapi jangan dibahas sekarang. Ini cuma pembuka cerita. Atau lebih tepatnya, pembuka dari pembuka cerita.

Intinya, ada seorang pria. Dahulu, pria ini adalah seorang prajurit relawan. Ya, kisah seperti ini memang sudah terlalu umum, tapi bersama rekan-rekannya, pria itu bertarung—bertarung dan terus bertarung; hari demi hari, ia bertarung, dan meski kadang beristirahat, ia lebih sering bertarung, dan dari sanalah ia mendapat uang. Ia bertarung habis-habisan. Dan setelah semua itu, akhir pun datang—begitu saja.

“Hei, Takakage! Takakage?! Takakage?! Sadarkan dirimu…!”

“U-Usuradani… T-Tidak bisa…”

“Jangan ngomong begitu, Takakage! Jangan nyerah! Kalau kamu nyerah, ya tamat sudah! Jadi jangan nyerah, dasar bodoh!”

“J-Jangan panggil aku bodoh… Orang yang manggil orang lain bodoh itu sebenarnya… bo…doh…”

“Itu yang kamu marahin sekarang?! Hei?! Dalam situasi begini, itu yang kamu keselkan?! Ini jelas bukan waktunya, tahu?!”

“A-Aku… nggak… marah…”

“Kamu jelas marah! Aku tahu! Kamu tuh jelas-jelas marah!”

“…Aku nggak… marah…”

“Takakage?! Takakage?! Takakageeeeeeeeeeee?!”

“Ru… zo…”

“Apa?! Kamu bilang apa?! Apa tadi?! Kalau kamu mau ngomong sesuatu—”

“So… ru… zo…”

“Soruzo…?”

“Hei! Usuradani!” Salah satu rekan mereka menarik lengan Usuradani dengan panik.

“Kita harus kabur! Kalau begini terus, kita semua bakal ikut mati…!”

“Mana bisa kita tinggalin Takakage…?!”

“Terserah, kamu aja yang tinggal! Kami yang lain pergi sekarang juga!”

“Apa-apaan itu?! Aku juga ikut! Ya jelas ikut! Jadi begitulah, Takakage! Aku nggak bakal bilang selamat tinggal! Cuma… sampai jumpa…!”

*Ini adalah rekonstruksi berdasarkan interpretasi dari desas-desus dan kabar burung. Mungkin sedikit berbeda dari kejadian yang sebenarnya. Mohon pengertian Anda.

Setelah kehilangan Takakage, Usuradani mulai merasa bahwa hidup sebagai prajurit relawan telah mencapai batasnya, dan ia memutuskan untuk berhenti.

Namun, meskipun ia bisa berhenti menjadi prajurit relawan, ia tidak bisa berhenti menjadi manusia. Sebenarnya, satu-satunya cara untuk berhenti menjadi manusia secara umum adalah dengan mati, dan ia berhenti menjadi prajurit karena tidak ingin mati—jadi, ia harus hidup. Dan untuk hidup, ia butuh penghidupan. Setelah mempertimbangkan banyak hal, ia memutuskan untuk masuk ke dunia makanan dan minuman.

“Soalnya, aku memang suka makan. Kalau harus makan, aku maunya yang enak. Makan makanan yang nggak enak tuh bikin kesal. Ini sih jelas banget, tapi dalam hidup ini, kesempatan kita buat makan itu terbatas, kan? Nah, kalau sampai makan makanan yang menjijikkan, satu kesempatan itu terbuang sia-sia. Dan itu bikin aku jengkel. Aku rasa, banyak orang, laki-laki maupun perempuan, yang juga pengen makan makanan enak. Jadi mungkin restoran itu ide bagus? Aku punya tabungan juga, jadi kenapa nggak dicoba aja? Ayo kita lakukan. Ya! Aku bakal jalanin ini…!”

*Ini mungkin agak berbeda dari peristiwa sebenarnya. Mohon pengertian Anda.

Usuradani dulunya tergabung dalam kelompok beranggotakan enam orang. Setelah Takakage gugur, tersisa lima. Begitu Usuradani keluar, tinggal empat. Empat orang? Itu tidak cukup untuk melakukan ini—itulah yang mereka pikirkan, hingga dua dari empat orang yang tersisa memutuskan untuk ikut dengan Usuradani, dan mereka bertiga membuka usaha makanan dan minuman bersama sebagai rekan bisnis.

“Kalau kita ambil sedikit dari nama kita bertiga—Usuradani, Tsumozuka, dan Yanku—gimana kalau kita namain tempat ini Usutsumoya?!”

“Eh, tunggu dulu, Usuradani. Kenapa nama kamu yang di depan?”

“Iya, iya. Mendingan pakai Yantsu’u aja.”

“Hei, tunggu, Yanku. Itu cuma ngasih aku satu huruf. Nggak adil.”

“Diam, Usuradani. Usulanmu yang awal malah ngasih kamu dua suku kata, sementara aku cuma dapet Ya.”

“Omong kosong, Yanku. Lagian, Yanku tuh nama macam apa, sih? Dari dulu gue pengen nanya. Apa sih arti Yanku sebenernya?”

“Apa—Usuradani, jadi itu yang kamu pikirin selama ini…?”

“Maaf ya, Yanku. Gue juga mikir gitu, sih.”

Et tu, Tsumozuka?! Udahlah! Gue nggak tahan lagi sama kalian! Gue cabut!”

“Oh, gitu? Ya udah, sana.”

“Lah?! Cegah gue dong! Minimal sekali aja!”

“Nggak lah. Kamu ribet banget, soalnya.”

“Sialan! Gue nggak akan lupa ini, Usuradani! Kamu juga, Tsumozuka! Sumpah gue bakal bikin kalian nyesel!”

Kejadian sebenarnya mungkin sedikit berbeda, tapi kira-kira begitulah cara Yanku keluar setelah bertengkar dengan yang lain.

Sementara itu, Usuradani dan Tsumozuka menunda dulu soal nama tempat usaha mereka, dan menghabiskan malam dengan ngobrolin seperti apa jenis usaha makanan dan minuman yang mereka pengin jalankan—sambil minum, tentu saja.

“…aku pengin cewek.”

“Huh? Maksudmu apa, Tsumozuka…? Ini soal makanan, bro. Makanan. Kita bakal buka restoran di sini, ingat?”

“Whoa, whoa, whoa, Usuradani? Nafsu yang paling mirip dengan nafsu makan itu apa…? Ya jelas, nafsu seks dong!”

“Iya, terus?! Lu ngehina gue, ya?! Gue tonjok juga lu!”

“Ayo sini, rambut-abu…!”

“H-Hey, gue sensitif soal itu! Tsumozuka, bro, yang itu nggak bisa gue maafin!”

“Kalau nggak bisa dimaafin, terus mau apa?!”

“Gue bunuh lu!”

“Lu bilang apa barusan?! Bunuh gue?! Lu bilang kata terlarang itu, ya?! Lu beneran bilangnya, kan?!”

“Udah diam, deh!”

“Lu mukul gue barusan?! Bokap gue aja nggak pernah mukul gue!”

“Iya, mungkin bokap lu nggak pernah, tapi lu udah sering dipukul sampe keliatannya udah biasa banget!”

“Ya maaf! Emangnya lu siapa ngatur-ngatur gue suka apa?!”

“Lu suka dipukul, gitu?! Kita udah temenan lama, tapi gue nggak pernah tahu soal itu. Sumpah. Jijik banget! Creep lu, tahu nggak?!”

“Gue nggak butuh omongan kayak gitu dari lu, rambut-abu!”

“Jangan panggil gue gitu!”

“Raaaambuuut—abuuu~”

“Lu nyanyiin itu?! Seriusan lu nyanyiinnya?! Pake vibrato segala?! Pake irama nyentrik?! Dan suaranya malah enak didengar?! Udah cukup! Gue nggak sanggup lagi. Gue cabut!”

“Ya, gue juga ogah kerja bareng lu! Dadah, rambut-abu! Maksud gue, Usuradani! Bye…!”

“Usuradani sama rambut-abu nggak mirip sama sekali! Jumlah suku katanya aja beda…!”

Meski ada sedikit perbedaan dalam rincian kejadian, pada dasarnya Tsumozuka pergi dalam situasi seperti itu, dan sejak saat itu Usuradani mengelola usaha restoran seorang diri.

Usuradani berpikir keras. Setelah melalui banyak percobaan dan kegagalan, ia akhirnya memutuskan untuk membuka kedai yang menyajikan mi berbahan dasar tepung. Mi yang dibuat dengan cara menguleni tepung bersama sedikit garam dan air sebenarnya sudah cukup umum di Altana. Awalnya, Usuradani pun berniat bersaing di segmen pasar itu. Namun, semakin dipikirkan, ia merasa peluangnya nyaris tak ada. Kalau ia hanya membuat hal yang sama seperti orang lain, penjualan tidak akan berjalan.

Ia mulai berkeliling, mencicipi berbagai hidangan mi di restoran-restoran. Dengan semangat pantang menyerah, ia terus mencari sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa laku.

Dan pada akhirnya, ia menemukan satu harapan.

Kalau aku memang membuat hidangan mi, bukankah seharusnya aku fokus sepenuhnya pada mi-nya sendiri…?

Dengan sedikit penyesuaian, ia berhasil menciptakan mi yang berbeda dari apa pun yang ada di luar sana. Mi itu membuatnya berpikir, Ini, ini, ini dia…—yang entah kenapa rasanya terasa sangat akrab.

Setelah mempertimbangkan biaya dan berbagai faktor lainnya, Usuradani memutuskan untuk memangkas menu restorannya hingga hanya menyajikan satu hidangan. Ia akan mempertaruhkan segalanya pada satu hidangan itu. Gagal atau berhasil, ia akan menghadapi konsekuensinya nanti. Ia menyeruput sedikit kuah dari hidangan andalannya, lalu menyantap mi kuningnya.

Kemudian, dengan satu anggukan kecil, Usuradani berbisik pada dirinya sendiri.

“Kau adalah soruzo. Kata terakhir yang penuh misteri dari Takakage—orang yang memberiku dorongan untuk memulai perjalanan ini—adalah ‘Soruzo’. Maka, aku menamakanmu… soruzo!”

Rincian kisah ini sedikit berbeda dari kenyataan, tapi itulah legenda rahasia seputar asal-usul soruzo.

Ranta berdiri di hadapan seorang pria berambut campuran putih dan abu—Usuradani, pemilik kedai soruzo—dan membungkuk dalam sebuah kowtow yang mengesankan.

“Kumohon…! Ajarkan padaku seni rahasia membuat soruzo! Kenapa aku ngomong begini?! Aku juga nggak tahu, tapi serius deh, soruzo itu luar biasa, jadi tolonglah, tolong banget, aku mohon…!”

Usuradani menyilangkan tangan dan memejamkan mata, tampak berpikir mendalam.

Lalu tiba-tiba, matanya terbuka lebar dan ia menatap tajam ke arah Ranta.

“Aku tidak mau.”

“Gabyoon!”

Ranta terjungkal ke belakang, masih dalam posisi membungkuk.

“Gabyoon! Gaaaabyoon! Gabyobyoon…! Gak mungkin! Seriusan?! Tadi kelihatannya kayak mau bilang ya! Atau aku cuma salah paham?!”

“Kau memang salah paham. Kenapa aku harus mengajarkan rahasia dagangku pada bocah ingusan yang bahkan gak ada hubungan apa pun denganku?”

“Ka-Karena! Aku ikut lomba masak! Dan buat menang, aku harus bikin hidangan yang paling tepat! Aku yakin soruzo adalah jawabannya! Nggak bangga apa?! Pasti bangga, kan?! Dari semua hidangan di Altana, aku pilih soruzo! Gimana?!”

“Kau pikir aku peduli dengan kontes konyolmu? Itu nggak ada hubungannya denganku.”

“Memang gak ada hubungannya, tapi aku udah sujud minta tolong, kan?! Lihat nih! Aku mohon banget! Ayolah, ayolah, ayolah…!”

Ranta membalikkan tubuhnya dan langsung melakukan beberapa kowtow cepat tanpa henti.

“Udah berkali-kali aku memohon, masa’ nggak bisa ajarin aku juga, dasar pelit!”

“Pe—pelit kaaaau bilang?!”

“Whoa, whoa! Maaf, maaf! Itu bukan maksudku! Tadi cuma keceplosan, lidahku terpeleset!”

Melihat situasinya, pisau rasanya bisa saja meluncur ke arahnya kapan saja. Tak punya pilihan lain, Ranta berdiri dan menepuk-nepuk tanah yang menempel di lututnya.

“Baiklah, baiklah. Aku ngerti. Aku nggak bakal minta lagi.”

“Pilihan yang bijak. Lagipula, aku tetap nggak bakal ngajarin.”

“Sebagai gantinya…”

“Kenapa kamu sok banget soal hal-hal begini…?”

“Aku bakal belajar dengan mengamati! Yang perlu kamu lakukan cuma tunjukkan cara kamu kerja! Itu nggak masalah, kan?! Kamu nggak bakal ngeluh, kan?!”

“…Kamu benar-benar nggak pernah dengerin orang ngomong, ya?”

Usuradani mengembuskan napas panjang, lalu mendecak kesal, “Terserahlah. Lakukan sesukamu. Tapi kalau kamu ganggu pekerjaanku, bakal kuusir dari sini.”

“Siap! Aku janji nggak bakal bikin kamu nyesel!”

“Sebenarnya aku udah agak nyesel sekarang…”

“Hahahaha! Itu cuma perasaanmu aja! Nggak nyata, serius!”

6. Perilaku Buruk

“…Umm.” Moguzo menundukkan kepala. “A-Aku agak merasa bersalah soal ini, Haruhiro-kun. Membuatmu melakukan sesuatu yang aneh seperti ini…”

“Ah…” Haruhiro menggaruk belakang kepalanya. Matanya tampak mengantuk. “Yah, tidak apa-apa. Maksudku, ini kan bukan salahmu juga, kan? Aku rasa kamu bukan orang yang perlu minta maaf di sini. Maksudku, semua ini jelas-jelas gara-gara Ranta, bukan?”

“Whoa, whoa, whoa, whoa, whooooaaa!” Ranta menaruh tangan kirinya di pinggul dan menunjuk Haruhiro dengan tangan kanannya. “Hei, jangan asal menyalahkanku, Parupiro! Kamu selalu nyoba melempar semua kesalahan ke aku!”

“Maksudku, kalau ada kejadian aneh, biasanya emang kamu penyebabnya.”

“Itu prasangka! Kalau Moguzo nggak setuju, pertarungan ini nggak bakal terjadi! Karena itu, kita butuh seorang saksi! Dan untuk pertandingan, kita juga butuh juri! Sebaiknya jumlahnya ganjil! Karena kalau genap, bisa terjadi hasil seri!”

Di lokasi kompetisi yang telah disiapkan di halaman rumah penginapan prajurit relawan, berdiri enam orang: para peserta, Moguzo dan Ranta; saksi, Haruhiro; dan para juri, Manato, Yume, serta Shihoru.

Moguzo dan Ranta berdiri saling berhadapan, dengan Haruhiro berdiri di antara mereka.

Manato, Yume, dan Shihoru duduk agak berjauhan dari sana.

“Baiklah, dengan ini!” Ranta membusungkan dada dan berdeham keras. “Aturan kompetisinya sederhana! Jelas dan mudah dipahami! Aku dan Moguzo masing-masing akan menyiapkan satu hidangan, lalu tiga juri akan mencicipinya! Setelah itu, mereka memutuskan mana yang lebih enak! Para juri harus memilih salah satu! Jadi hasilnya akan 3-0 atau 2-1, menciptakan perbedaan yang tak terbantahkan! Dengan begitu, pemenang dan pecundang akan langsung ketahuan!”

“Pertanyaan.”

Manato mengangkat tangan, dan Ranta langsung menunjuk ke arahnya.

“Apa, Manato?! Singkat saja!”

“Kita cuma menentukan siapa menang dan siapa kalah, ya? Ada untungnya menang?”

“Jelas ada! Yang menang boleh nyuruh yang kalah ngelakuin apa aja! Itu udah biasa!”

“Kalau begitu…”

“Hei, Yume, jangan ngomong kalau belum angkat tangan!”

“Ah, udahlah. Gak apa-apa juga, kan?”

“Ya enggak boleh!”

“Ya udah, Yume gak bakal ngomong apa-apa deh.”

“Ngomong aja! Jangan setengah-setengah! Ntar aku jadi penasaran terus kepikiran semalaman! Gimana kalau aku gak bisa tidur gara-gara itu?!”

“Itu bukan urusan Yume! Kalau kamu gak bisa tidur, ya jangan tidur.”

“Kalau aku gak tidur, aku bisa kena kurang tidur! Kesehatanku bergantung pada tidur yang cukup, BAB yang lancar, dan… menyombongkan diri dengan baik!”

“Menyombongkan diri dengan baik…”

Shihoru mengulang kata-kata terakhir itu dengan ekspresi jengah, membuat urat di pelipis Ranta menegang.

“Hahhhh?! Kamu ada masalah, ya?! Kalau iya, bilang aja! Langsung bilang! Aku sebel banget liat kamu kayak gitu!”

“Kau tahu, Ranta…” ucap Manato sambil tersenyum, “Aku sudah lama memikirkan ini, tapi kamu itu punya bakat, lho.”

“…Oh? S-Serius? Y-ya, aku sih memang tahu aku ini bukan cuma berbakat, tapi juga jenius sejati.”

“Kamu punya bakat bikin orang kesel.”

“Heyyyy! Manatoooo! Aku gak butuh bakat buat yang kayak gitu!”

“Yah, itu memang nggak bisa dihindari…” Haruhiro menghela napas. “Kau kebetulan lahir dengan bakat alami buat bikin orang kesal. Mungkin memang begitu harga jadi jenius, ya…?”

“Hm… Harga jadi jenius, ya? Kedengarannya keren juga…”

Ranta meletakkan tangan di dagunya, tampak cukup puas dengan dirinya sendiri. Dia blak-blakan banget… pikir Moguzo, tapi ia memilih untuk tidak mengatakannya. Dia nggak mau jadi seperti Ranta, tapi diam-diam dia sedikit iri juga.

“Yah, kira-kira aku ngerti aturannya, tapi…” Haruhiro mungkin sebenarnya nggak capek, tapi matanya benar-benar terlihat mengantuk. “Jadi, eh… aku ini saksi, ya? Itu alasan aku di sini, kan? Aku satu-satunya yang bukan juri. Berarti aku nggak boleh makan makanannya?”

“Benar sekali!”

“Apa-apaan, sih? Masakan Moguzo pasti enak banget. Aku juga pengin nyobain. Tapi kalau masakanmu, sih, aku nggak peduli.”

“Maksudmu nggak peduli?! Harusnya kau berekspektasi tinggi! Harusnya begitu!”

“Kalaupun iya, kau juga nggak bakal ngasih aku makan, kan?”

“Itu hukuman! Hukuman! Hukuman Ilahi buat orang yang bilang nggak peduli sama hidangan super-spesialku!”

“Ha-Haruhiro-kun… Aku bakal bikin cukup supaya kamu bisa ikut makan, kok…”

“Hei, Moguzo! Jangan coba-coba nyuap saksi dengan sogokan murahan kayak gitu!”

“Aku bukan penentunya, jadi nyuap aku juga nggak ada gunanya.”

“Bukan itu masalahnya! Aku cuma nggak tahan lihat betapa baiknya dia!”

“Se-sebengkok apa sih kepribadianmu, sebenarnya…?”

“Diam! Diamlah! Aku sudah muak denganmu dan mata kantukmu itu! Tidurlah saja, Haruhiro! Selamanya! Dadah! Oke, Moguzo! Ayo kita mulai pertunjukannya!”

“Eh, uh, baiklah…”

“…Terserah, lakukan saja sesukamu.” Haruhiro tampak merajuk. Entah kenapa, semuanya terasa makin gila.

“Baiklah.” Manato, yang sepertinya menangkap suasana, berdiri. “Aku yang akan memberi aba-aba untuk mulai. —Allez cuisine…!”

Suara itu—jernih dan penuh wibawa—memberi dorongan bagi Moguzo yang dia butuhkan.

“Tunjukkan padanya siapa bosnya, Moguzo!”

“…Moguzo-kun, semangat ya!”

Dengan sorakan dari Yume dan Shihoru, yang sebelumnya membantunya memilih bahan-bahan, Moguzo menerima tantangan itu.

“O-Oke…!” Moguzo menampar pipinya sendiri. Terlalu keras, sampai terasa sakit, tapi justru rasa sakit itu membantunya berkonsentrasi.

“Heh…” Ranta menunjuk ke arahnya. “Siapkan dirimu, Moguzo. Aku akan menghancurkanmu tanpa ampun! Jangan harap belas kasihan!”

“K-Kalau kita memang mau bertanding, semoga pertandingannya berjalan baik…!”

“Bodoh! Dalam pertarungan, nggak ada yang namanya baik atau buruk! Yang menang selalu benar, dan yang kalah cuma bisa menyesal! Itu sebabnya aku pasti akan menang!”

Apakah dia benar-benar menghabiskan banyak waktu menyusun resep, dan dari situlah datang rasa percaya dirinya? Atau ini cuma nyali kosong tanpa dasar? Ranta mendengus dan melangkah menuju area memasak dengan napas memburu.

Apa pun alasannya, Moguzo hanya berniat melakukan yang terbaik. Tidak seperti Ranta, dia tidak pergi ke tempat memasak. Moguzo memilih menyiapkan hidangannya di sini saja. Selain dapur utama, halaman juga punya tungku sederhana yang terkesan kuno. Hidangan pilihan Moguzo hanya perlu direbus, jadi tempat ini sudah lebih dari cukup. Lagipula, semua bahan pun sudah siap.

Di samping tungku ada—

“Err, pertama aku pakai ini, lalu… Huh?!”

“Ada apa, Moguzo?” tanya Haruhiro sambil mendekat.

Di sebelah kompor, bahan-bahan masakan telah tersusun rapi dalam keranjang. Moguzo sudah menyiapkannya sebelumnya.

Namun, salah satu keranjang entah kenapa kosong.

“Tidak ada! Hilang! Aku yakin aku taruh sepotong besar daging ganaro di keranjang ini! Tadi aku sempat cek dan masih ada, jadi kenapa sekarang…?!”

“Jangan-jangan, itu ulah dia…?” Haruhiro menoleh ke arah area memasak lain. “Aku nggak mau menuduh sejauh itu, tapi… yang kita bicarakan ini Ranta. Aku bakal ke tempat dia dan tanya langsung. Toh, aku secara teknis bertindak sebagai saksi di sini. Kalau dia curang, dia harus tanggung akibatnya…”

“Tidak.” Moguzo menggeleng pelan. “Sudahlah… Pasti aku yang keliru.”

“Tapi itu potongan daging, kan? Kalau cuma bumbu atau rempah, mungkin bisa lupa. Tapi ini bukan barang kecil. Masa bisa salah taruh?”

“Tidak apa-apa! Aku masih bisa mengatasinya… Pokoknya, aku mau masak sesuatu yang enak buat kalian semua.”

Moguzo mengambil keranjang berisi beras. Yang ia beli dari pasar adalah beras yang baru ditumbuk, belum dimasak, tapi karena proses memoles beras butuh waktu lama, ia sudah menyiapkannya sejak tadi malam.

“Aku juga mau Ranta mencicipinya. Aku nggak peduli ini lomba atau bukan. Buatku, itulah arti memasak.”

“Moguzo…” Haruhiro mengernyit. “…Tapi serius deh, sebrengsek apa sih orang itu?”

7. Ini Pertarungan yang Tak Boleh Kukalahkan

“Jangan salahkan aku soal ini, Moguzo,” ujar Ranta dengan senyum nihilistis sambil menatap sebongkah besar daging ganaro di atas meja masak. “Bahkan sehebat apa pun diriku, aku tahu aku kalah telak kalau harus melawan juru masak sepertimu. Aku orang yang realistis, tahu? Setidaknya aku paham kalau melawan Moguzo secara jujur, peluangku buat menang nyaris nol. Jadi aku harus pakai cara licik. Lagipula, sekalipun Moguzo sadar aku nyabotase dia, dengan sifatnya yang kayak gitu, dia nggak akan ngomong apa-apa. Memang begitu orangnya. Terlalu baik buat kebaikan dirinya sendiri. Itu kelebihan sekaligus kelemahan. Kebaikan yang berlebihan itu bisa jadi lubang kuburnya sendiri. Dia harus belajar. Dunia ini kejam, dan kadang kita harus jadi kejam juga…!”

Ranta tertawa terbahak-bahak, lalu memiringkan kepala.

“Tapi… nasi dan daging ganaro? Dia tadi mau bikin apa, sih…? Yah, apa pun itu, Moguzo nggak bisa pakai daging ini lagi. Soalnya, daging ini pasti mahal. Dia nggak bisa beli lagi sekarang. Jadi, aku yang akan pakai daging ini! Ya, aku! Betapa kejamnya! Sungguh, aku ini panutan sejati bagi para dread knight!”

Dengan pisau ukir di tangan, ia mengambil daging itu—Aku akan memotongnya!

Namun, di detik terakhir, Ranta berhenti.

“…Apa ini boleh? Boleh, kan? Aku nggak keterlaluan, kan? Maksudku, gimana pun hasilnya nanti, mereka pasti bakal mandang ini dengan sinis… kan? Nggak, nggak. Bukan gayaku buat takut-takutan soal gituan. Y-Ya. Ini demi kemenangan! Nggak usah mikirin moralitas kalau tujuannya menang—itulah keadilanku! Ya! Kalau aku kalah, aku bakal jadi bahan ejekan! Aku harus menang! Tangan ini sudah kotor! Dengan daging gelap ini! Masak bisa dikembalikan sekarang?! Gimana aku harus menghadapi mereka…?! Nggak ada pilihan selain pakai daging ini! Sekalian musnahkan barang buktinya! Sayang banget kalau cuma dibuang! Harus dimakan! Hah, hah, hah, hah! Begitu dimasak, nggak akan ada yang tahu dari mana dagingnya! Oke! Aku lakuin! Ayo, Dread Knight Ranta! Potong! Potong semuanya…! H-Huh…? Tapi, char siu itu dipotong dulu…? Sebelum dimasak? Atau sesudah…? Yang mana, ya…? Sial. Padahal aku udah lihat Usuradani waktu bikin ini, tapi sekarang malah lupa…?!! Kok bisa lupa…?!! Ini nggak masuk akal! I-Inget… inget…! Char siu, char siu… Gimana cara bikin char siu…? Bukannya char siu biasanya pakai daging babi…? Ganaro itu lebih kayak… sapi, ya…? Apa ini nggak masalah…? Entahlah. Apa aku sudah tamat…? Nggak. Nggak, nggak, nggak, nggak, nggak…”

Ranta menengadah ke langit-langit, lalu menarik napas dalam-dalam.

“…Oke. Nggak, deh! Char siu-nya batal dulu! Kutunda sampai aku yakin! Sekarang, mi! Mi dulu! Itu prioritasnya! Lihat… tepung, tepung… Sip, ketemu. Ini dia. Tinggal tuang tepung ke talenan, dan… Whoa?!”

Ia menuangkannya terlalu banyak. Ada batas seberapa banyak yang seharusnya dituang, tapi tepung dari kantong linen itu sekarang berserakan ke mana-mana—dari talenan sampai lantai.

“Bangsat! Kau enggak bisa ngontrol diri, ya, Tepung?! Sialan kau, Tepung…! Seharusnya kau berhenti, tahu?! Aku enggak bisa mungutinmu dari lantai, jadi yang repot itu kau juga! Cobalah mikir dikit, Tepung…! Ah, sudahlah! Bagian yang jatuh aku anggap hilang! Aku cuma bakal urus yang di atas talenan! Umm, pertama air dulu! Guyur! Sekarang, mi soruzo itu warnanya agak kuning, kan?! Saatnya mengungkap misteri di balik itu! Usuradani memang enggak pernah bilang, tapi aku udah nemu jawabannya! Ini dia…! Telur!”

Begitu Ranta memecahkan telur dan memasukkannya ke tepung, cangkangnya ikut masuk juga.

“Ngh! Sial…! Cangkangnya, cangkangnya! Harus aku ambil! Sudah semua? Belum, masih ada—arrgh! Sudahlah! Apa pentingnya sedikit cangkang?! Mungkin malah bagus buat kesehatan! Bisa jadi bikin gigi makin kuat! Sekarang, tinggal… aduk!”

Ia mulai mengaduk.

Diaduknya.

Terus diaduknya.

“Akh! Kok enggak nempel di tangan?! Kenapa adonannya belum bisa kalis?! Ada apa, sih?! Usuradani waktu itu ngelakukannya kayak gini, ya…!”

Ia mengaduk. Dan terus mengaduk. Mengaduk seperti Usuradani. Mengaduk dan mengaduk seperti orang gila.

“Tepat! Bagus! Bagus…! Sekarang mulai terlihat seperti adonan! Huh?! Ngomong-ngomong, aku seharusnya masukin garam dan semacamnya juga, kan?! Yah, kalau dimasukin sekarang juga nggak apa-apa, kurasa! Tabur, tabur! Perlu nambah lagi, nggak ya? Kalau mau masukin, sekalian aja sekalian! A-Apa?! Garamku habis?! Sekarang, pas saat-saat kayak gini, malah kehabisan garam?! Terus, buat kuahnya gimana dong?! Nggak, nggak! Kalau mienya udah asin dari awal, itu udah cukup! Heheheh! Jelas dong! Pertama-tama adonannya dulu! Aku bakal bikin mi terbaik yang pernah ada! Mi pamungkas! Hore…!”

Adonan mie-nya sekarang sudah mulai membulat, jadi ia pun mulai menguleni.

“Gwohrahh…!”

Ia banting adonan itu ke talenan, lalu menguleni.

“Zwosharahhh…!”

Ia menguleni. Menguleni seperti orang kesetanan. Ia uleni, uleni, uleni, uleni, uleni, uleni, uleni, uleni—terus saja menguleni tanpa henti.

“Faiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…!”

Tak cukup hanya menguleni, ia mulai menghajarnya juga. Ia angkat adonan itu, lalu menghantamkannya ke talenan berkali-kali. Ia hajar. Dengan tinjunya sendiri. Ia habisi adonan itu habis-habisan. Buk! Buk! Duk! Duk! Bugh! Bugh! Ia mengamuk terhadap adonan itu sampai—Eh? Apa ini?

“Terlalu keras?! Ini jadi keras banget?! Kenapa jadi sekeras ini, hah?! Nggak, tunggu… Kenapa aku ngomong kayak Yume, sih?! Ah, sudahlah, lupakan itu… Tapi, apa aku bisa motong ini?! Bisa nggak sih aku iris tipis kalau sekeras ini?! Kayaknya mustahil, deh?! Wah, gawat ini; mending disimpan aja dulu, ya. Oke. Lanjut ke sup. Sup, sup. Sekarang bikin sup! Err, masukin air ke panci. Air. Sip. Mantap. Sekarang kaldu dasarnya. Aku tahu mau pakai apa. Nih dia. Tulang! Nggak tahu tulang apa, sih, tapi harganya murah. Eh, gratis malah! Berkat itu, aku punya banyak banget! Tinggal cemplungin ke panci, terus rebus! Nyalain, nyalain! Nyalain kompornya! Ya… Ribet banget, ya. Tapi ya udahlah. Harus dikerjain aja.”

Menggunakan batu api untuk menyalakan kompor, Ranta berhasil menyelesaikan tugas itu dengan cepat.

“…Terlalu gampang, kalau boleh jujur. Apa yang barusan kulakuin. Aku ini luar biasa banget, kan?! Sayang banget nggak ada yang nonton. Tapi nanti, pas mereka nyicip soruzo-ku, mereka bakal terpaksa mengakui kehebatanku. Heheheh… Hahh, hah, hah, ha, hahhhh! Gweh, uhuk uhukbuagh?! A-A-Apa?! Asap?! Gawat! Asapnya jadi gila begini?! G-G-Gimana nih…?!”

8. Percaya pada Dirimu Sendiri

Masalahnya ada pada temperatur yang digunakan.

Itulah satu hal yang harus benar-benar ia perhatikan.

“Sekarang!”

Moguzo menarik tongkat yang dimasukkan ke dalam gagang panci. Dari panas rendah, ke sedang, lalu tinggi—kemudian dibiarkan mendidih perlahan. Ia memasak dengan cekatan, mengubah suhu seperti itu. Ia sendiri tak tahu apakah ini pengetahuan yang ia miliki sebelum datang ke Grimgar, atau bukan, tapi ia tahu betul bahwa mengatur panas dengan kompor seperti ini tidaklah mudah.

Kalau ia mencoba mengatur apinya langsung, semua perhatian akan tersedot ke situ—dan itu bisa membuatnya lengah terhadap kondisi masakan, yang bisa berujung pada kesalahan fatal.

Karena itu, Moguzo memilih untuk menjaga nyala api tetap stabil, dan sebagai gantinya mengatur jarak antara panci dan api. Sebuah solusi sederhana… tapi tidak semua orang akan terpikir melakukan hal itu.

“Aku masih kurang pengalaman…!”

Keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Ada gagang di kedua sisi panci, dan masing-masing dilewati sebuah tongkat yang kokoh. Kalau ia tak menjaga posisi agar tetap seimbang, kompor bisa bergeser, dan panci bisa tumpah. Jadi, ini membutuhkan tenaga yang tak sedikit.

“Kuh, kuh, kuh, kuh…! Guh, guh, guh, guh…!” Moguzo mengerang dan menggumamkan suara-suara penuh tekanan.

“Moguzo! Terus semangat…!”

“J-Jangan menyerah, Moguzo-kun…!”

Yume dan Shihoru masih memberi semangat dari belakang.

“Um, Moguzo…” Haruhiro menghampiri. “Perlu bantuan? Kalau kita berdua yang memegang ujung tongkat ini masing-masing, bukannya akan jadi jauh lebih mudah…?”

“A-Aku baik-baik saja, Haruhiro-kun…! Ini adalah… pertarungan satu lawan satu antara aku dan Ranta-kun!”

“Yah, ya, sih. Tapi kau kelihatan kesulitan. Rasanya sulit juga cuma diam menonton. Ranta sedang ada di area memasak, jadi kalau kau diam-diam saja, dia nggak bakal tahu…”

“Tidak boleh, Haruhiro.”

Manato, yang sedari tadi duduk di samping Yume dan Shihoru, berdiri dan berbicara dengan nada yang tak biasa—tegas.

“Kalau kau melakukannya, Moguzo tidak akan benar-benar menang. Meski Ranta melanggar aturan, meski dia berbuat semaunya, Moguzo akan bertarung dengan jujur. Dan dia akan menang. Itu penting!”

“…Huh? A-Apa memang begitu caranya?”

“Ya. Moguzo tahu itu. Karena itulah dia berusaha bertarung sendirian, sekeras apa pun itu.”

“Kamu dengar itu sendiri, Haruhiro-kun…!”

Meskipun keringat terus mengalir ke matanya, Moguzo hanya menyipitkan mata, tak sekali pun menutupnya. Dia menahan lengan yang gemetar agar tetap stabil, menjaga posisi panci tetap sejajar tanpa bergeser sedikit pun.

“Aku…! Aku…! Aku tahu ini aneh kalau aku yang bilang, tapi aku pengecut, ragu-ragu, dan kurang percaya diri! Hampir tak ada hal yang bisa kubanggakan! Tapi untuk hal ini saja…! Dalam urusan memasak, aku tidak boleh kalah…!”

“…Moguzo. Sampai segitunya kau mencintai memasak. Tapi, tunggu, kenapa kau sebegitu fokusnya sama memasak…?”

“Karena ini…!” Moguzo menoleh ke arah Haruhiro dengan wajah penuh keringat, lalu tersenyum lebar. “Ini adalah… kebanggaanku!”

“…Yah, baiklah, Moguzo. Tapi bukankah kau itu seorang warrior, bukan koki?”

“Haru-kun…!” Yume menggeleng cepat. “Kalau kamu mulai ngomong kayak gitu, semuanya selesai!”

“…Serius?” tanya Shihoru dengan raut sedikit ragu.

“Serius!”

Manato langsung menegaskan dengan penuh keyakinan, membuat Shihoru mengangguk mantap.

“…Y-Ya! Semuanya akan selesai, kan…!”

“Semuanya akan selesai…” Haruhiro pun tampak mulai yakin.

Moguzo merasa, kalau dia kehilangan fokus, panci itu akan turun.

“Hunnghh…!”

Dia terus mengerang, menjaga semangatnya tetap menyala.

“Ngwah…! Hahh…! Houaghhh…! Kuuoahhhhhhhh…!”

Yang penting sekarang adalah menjaga rebusan itu tetap mendidih.

Dia harus terus menjaga suhu. Harus.

“Fwah?! Moguzo, kamu mulai ngeluarin asap…!” Yume berteriak.

Itu—bukan asap. Itu uap.

Asap panas mengepul dari sekujur tubuh Moguzo, sampai terlihat seperti dia sedang menguap.

“Moguzo-kun, a-apa kamu nggak sudah sampai batasmu?!” tanya Shihoru cemas.

“Belum, Shihoru!”

“…Manato-kun?!”

“Moguzo belum di ambang batasnya! Tapi andai pun iya, aku yakin dia bisa menembusnya! Percayalah pada potensi terpendam Moguzo…!”

“Potensi…” Haruhiro tampak kebingungan. “Tapi kayaknya nggak perlu sampai keluarin potensi cuma buat ini, deh…”

Tinggal sedikit lagi. Moguzo tahu itu. Selama dia bisa bertahan…

“Terimaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa kasiih…!” teriaknya keras-keras, dan Manato mengepalkan tangannya dengan penuh semangat.

“Itu dia! Jurus pamungkasnya: Tebasan Terima Kasih…!”

“…Uh, tapi dia nggak nyabet apa-apa, kan?!”

“Haru-kun! Kamu nyakitin perasaan Yume dan yang lain!”

“A-Aku lakuin itu ya…?”

“Haruhiro!”

Manato memberikan sinyal tangan yang rumit, dan Haruhiro mengangguk ragu.

“…M-Mengerti. Uh, sebenernya nggak ngerti, tapi ya udah lah…”

“…Iya!” Shihoru kini sudah berlinangan air mata.

Makna dari semua ini… tersampaikan sepenuhnya. Kepada semua rekan-rekannya.

“Saat ini, jiwaku…!”

Akhirnya, Moguzo memindahkan batang penyangga dan meletakkan panci ke tanah.

“…Sedang mendidih! Aku belum bisa buka tutupnya…!”

“Wangi banget, ya,” ucap Yume sambil mengendus udara, matanya berbinar. Shihoru tampak terpesona.

“…Aku setuju,” bisiknya pelan.

“Tapi masalahnya…” Manato, yang sebelumnya begitu bersemangat, kini sudah kembali tenang. “Daging yang seharusnya jadi hidangan utama sudah tidak ada. Jadi, apa yang akan kau lakukan, Moguzo?”

“Tidak apa-apa.” Moguzo mengusap keringat dari sekujur tubuhnya, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah merencanakannya di kepala. Masih ada jalan untuk menang. Aku akan percaya pada potensi terpendam yang kau percayai juga, Manato. Aku tidak akan kalah…! Karena itulah keadilanku…!”

9. Dan Saat Penentuan Tiba

Dum…

Terdengar bunyi genderang dari entah di mana.

Dum… Dum…

Suara itu bergema.

Yah, sebenarnya sih nggak. Itu hanya imajinasi. Tapi anggap saja itu untuk membangun suasana.

Saat kegelapan malam mulai menyelimuti halaman asrama para prajurit relawan, Ranta berdiri berhadapan dengan Moguzo, menyilangkan tangan di dada dan membusungkan dada.

Angin bertiup melewati mereka.

“Heh…” Ranta mendengus. “Sepertinya akan ada badai.”

“Nggak kok, langit masih cerah,” sahut Haruhiro.

“Diam, Parupiro! Ini soal feeling! Jangan jadi pemadam semangat, dong!”

“Iya.” Moguzo maju selangkah dengan tubuh besarnya. “Aku juga ngerasa… kayaknya badai akan datang kapan saja, Ranta-kun.”

“Bicara besar juga, ya.”

Ranta menjilat bibirnya, menatap Moguzo. Jujur saja, dia tidak menyangka ini.

“Gila… aku nggak tahu kamu bisa pasang wajah kayak gitu. Wajah petarung. Aku suka. Jadi semangat juga, nih. Aku terima kamu sebagai lawan sepadan! Dalam pertarungan memasak ini, siapa yang mulai duluan biasanya menang! Tapi… kira-kira kamu mengira aku bakal bilang begitu, ya? Tch, tch, tch! Dalam hal kayak gini, semua orang tahu yang punya keuntungan itu yang terakhir! Karena itu—Moguzo! Kamu duluan! Nggak masalah, kan…?”

“Unuahhhh…”

“Apaan, Yume?! Kamu kan nggak ikut bertanding, kenapa kelihatan kecewa gitu?!”

“Soalnya, yaaa… jelas-jelas masakan Moguzo pasti lebih enak. Yume nggak mau makan punyamu setelah habis makan yang enak banget punyanya dia.”

“…Dia ada benarnya.” Shihoru berdiri di samping Yume, wajahnya terlihat makin tidak nyaman. “Rasanya kita cuma bakal ingat yang rasanya buruk. Itu menyebalkan…”

“Kau bilang apa…! Jangan asal nuduh masakanku bakal gagal! Kalau terus ngomong gitu, kupegang-pegang kau, tahu nggak?!”

“Moguzo?” Dengan mata yang tetap tampak mengantuk seperti biasa, Haruhiro menoleh ke Moguzo dan mengisyaratkan sebagai saksi. “Kalau kamu juga mau jadi urutan kedua, kita bisa undi aja. Batu-gunting-kertas, misalnya.”

“Enggak. Aku nggak keberatan jadi yang pertama,” jawab Moguzo mantap.

Percaya diri banget, ya? Bukan Moguzo banget—tapi bukan itu yang seharusnya kupikirkan sekarang. Anggap saja inilah sifat aslinya Moguzo.

Haruhiro dan Manato saling mengangguk, lalu Haruhiro menarik napas panjang.

“Baik, Moguzo yang pertama, Ranta kedua. Silakan mulai sekarang, Moguzo.”

“Oke…!”

Moguzo mengeluarkan selembar kain putih entah dari mana dan mengikatkannya di kepala seperti bandana, lalu mengangkat sebuah panci ke atas meja.

Di meja, Yume, Shihoru, dan terakhir Manato—tiga orang juri—sudah duduk rapi. Haruhiro berdiri sendirian agak menjauh, terlihat seperti orang yang benar-benar tidak dianggap keberadaannya.

“Itu masakanmu, Moguzo?”

Saat Ranta menunjuk ke arah panci dengan dagunya, Moguzo meletakkan tangan di atas tutupnya.

“Belum, Ranta-kun. Masakanku baru akan dimulai…!”

“Huh? Belum jadi? Hah! Konyol. Kalau belum siap, berarti aku menang kar—”

“Diam dan lihat aja! Terimaaaaaaaaaaaaaaakasiiiiiih…!”

Begitu Moguzo membuka tutup pancinya, whoosh—bersama uap yang mengepul, aroma nasi hangat yang baru matang menyeruak keluar. Hembusan wangi manis itu membuat Ranta sampai terhuyung.

“Kuuh…?! Jadi kau menyerangku bukan dengan Tebasan Terimakasih, tapi dengan Pembuka Terimakasih…?!”

“Dan ini juga…!”

Entah dari mana, Moguzo mengeluarkan sebuah mangkuk kayu, lalu menuangkan isinya ke dalam panci. Setelah itu, dengan centong di tangan, ia mulai mengaduk. Diaduknya lagi. Dan lagi.

“Terimaaaaaaaaaaaaaaakasiiiiiih…!”

“Sialan kau, Moguzo! Setelah Pembuka Terimakasih, sekarang kau keluarkan jurus pamungkasmu, Pengaduk Terimakasih?!”

“…Aku belum pernah dengar ada jurus bernama begitu.”

Haruhiro terdengar seperti pembunuh mood, tapi tak seorang pun berniat menanggapi, dan dia sendiri mungkin sadar dirinya agak di luar konteks. Yah, ini Haruhiro, jadi wajar saja. Maksudku, keberadaannya di situ pun nyaris tak penting.

“Apa sebenarnya yang kau rencanakan, Moguzo?! Hentikan perlawanan sia-siamu…!”

“Ungh…!”

Moguzo meletakkan centongnya, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam sebuah ember. Mata Ranta membelalak. Di dalam ember itu—

“Air…?! Moguzo, kau…?!”

“Terimaaaakasih! Terimaaaakasih! Terimaaaaaakasiiih…!”

Dengan tangan yang basah, Moguzo mengambil nasi putih—bukan hanya nasi putih, tapi juga sesuatu yang ada di atasnya—dan mulai menekannya. Dia tekan dan tekan terus. Manato mengangguk pelan.

“Dia menekannya bukan dengan keras, tapi lembut. Itulah Moguzo kita. Pengendaliannya sempurna. Jurus legendarisnya: Tekanan Terimakasih…!”

“Sudah jadi jurus legendaris sekarang…?”

Haruhiro tetap melontarkan komentar setengah hati, tapi keberadaannya hampir setara dengan udara di sekitar mereka—nyaris tak terasa.

Ranta menggertakkan giginya. Alisnya berkerut begitu dalam seakan tengkoraknya akan retak.

“Apa tekanan ini?! Sialan, Moguzo… Aku tak pernah sadar kau sehebat ini…”

“Terimaaaaakasiiih! Terimaaaaakasiiih! Terimaaaaaakasiiiih! Terimaaaaaakasiiih! Terimaaaaaaaaaaaaaaaaakasiiiiiiiiiih…!”

“Wow! Udah hampir selesai, ya…?!”

“Ini dia…!”

Yume dan Shihoru setengah berdiri dari tempat duduk mereka. Manato menatap makanan yang tersaji di piring di depannya, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut.

“Ayo, santaplah…!” seru Moguzo sambil menepukkan kedua tangannya dengan senyum lebar. “Ini masakanku! Onigiri spesial buatanku! Selamat menikmati…!”

“…Nigirimeshi,” gerutu Ranta sambil menggertakkan gigi. “Jadi, rencanamu dari awal adalah membuat onigiri yang dibungkus daging…?! Hidangan yang mengerikan…!”

“Ahhh…” Haruhiro menunduk, lalu mengusap perutnya.

“Onigiri yang dibungkus daging kedengarannya enak juga. Andai aku bisa mencicipinya. Dan, tunggu dulu, Ranta… barusan kamu mengakui kalau kamu yang nyolong dagingnya, tahu nggak…?”

“Oh, sudahlah! Jangan ungkit-ungkit masa lalu!”

“Masih dalam kompetisi juga. Itu belum jadi masa lalu.”

“Dan sikapmu yang suka ngorek-ngorek hal kecil itulah yang bikin kamu nyebelin! Nggak berguna! Mikir dong, dasar bego!”

“Heh, gimana kalau kita langsung diskualifikasiin dia karena curang? Males banget lihat mukanya.”

“Sebelum itu, Haru-kun, Yume nih, dia pengin cepet-cepet makan onigiri-nya.”

“…A-Aku juga.”

“Bener juga. Aku setuju.”

Begitu ketiga juri mengangkat tangan mereka, Haruhiro menghela napas pelan, lalu menyodorkan piring dengan tangan kanannya.

“Baiklah, silakan.”

“Saatnya makan~!”

“…T-Terima kasih atas makanannya.”

“Terima kasih!”

Ketiganya mengambil onigiri mereka secara bersamaan, lalu mulai menyantapnya.

“Mrrrowr…?!”

“…Ah?!”

“Uwah, gila…!”

Apa-apaan ini? Untuk sesaat, wajah mereka bertiga memerah. Mata mereka berkaca-kaca. Yume malah sampai menangis sambil terus mengunyah.

“Mewwwww… Ini enak banget… Enak. Keterlaluan. Yume sampai nggak tahu harus gimana…”

“A-Aku nggak bisa berhenti… Aku bisa makan sebanyak apa pun… Rasanya pengen terus makan selamanya…!”

“Ini gila! Moguzo, kau benar-benar melebihi batasmu dengan ini!”

Manato saja, yang biasanya paling tenang, tampak sedikit bersemangat.

Ranta menelan ludah.

“Silakan.”

Dengan kata-kata itu, Moguzo meletakkan sepiring penuh onigiri spesialnya tepat di depan hidung Ranta.

Tatapan mereka bersirobok.

“Kamu juga, Ranta-kun. Ambillah kalau kamu mau.”

“…S-Siniin.”

Ranta meraih satu onigiri. Dia tidak mematuk-matukinya seperti burung kecil. Ia memasukkan semuanya sekaligus—dengan mulut menganga, ia melahap bulat-bulat.

Seketika—ada ledakan rasa.

Warna-warna ini… Pelangi…?!

Aku sedang merasakan pelangi?!

Tidak, bukan saatnya terintimidasi. Analisis. Harus dianalisis.

Rasanya… daun shiso hijau? Ada rasa shiso-nya? Garam, tentu saja. Lalu kekayaan rasa ini, kedalaman yang lembut ini—jangan-jangan… keju? Ini keju? Karena nasinya baru matang, masih panas—dan keju itu meleleh! Meleleh di mulut! Dan aroma ini… wijen? Ada rasa asam juga. Asam yang pas, tidak berlebihan. Juga ada tekstur yang renyah dan padat. Ini… tanaman liar…? Ya. Salah satu tanaman yang kami petik di perjalanan pulang dari berburu memang punya tekstur seperti ini kalau dimasak. Rasa pahit-manis samar itu jadi aksen yang pas. Semua elemen ini berpadu seperti harmoni—dalam lapisan rasa yang dalam dan kompleks…!

“Rasanya… pelangi…?! Moguzo…! Kau berhasil mengubah masalah jadi peluang dan mencapai tingkat setinggi ini?! Sialaaaaaaaaaaan…!”

Ranta mengambil onigiri terakhir yang ada di atas piring di meja, lalu memakannya juga. 

“Wah… Hei! Ranta, itu punyaku!”

“Diam kau, Haruhiro! Ini urusan antara aku dan Moguzo…!”

“Masalahnya bukan itu, dan kau tahu itu… Kau makan onigiri-ku…”

“Kalau kau lapar, silakan coba masakanku! Sekarang giliranku! Jangan kaget nanti…!”

Ranta mengambil panci yang ditinggalkan di atas kompor, lalu membantingnya ke atas meja dengan suara keras gedebuk.

Dia membuka tutupnya. Tentu saja, ia lakukan dengan gaya dramatis penuh kejutan.

“Terimaaaaaaaaaaaaaaaaakasiiiiiiiiiih…!”

“Sekarang kau meniru Pembuka Terimakasih-nya Moguzo juga… dan—tunggu dulu…”

“Wah…”

“…Uhh…”

“Ya…”

Haruhiro, Yume, Shihoru, dan Manato semua terlihat jelas-jelas takut.

Mereka takut. Mereka benar-benar takut. Mereka super takut.

“Fwahaahahahaha…!” Dengan tawa besar, Ranta menoleh ke arah Moguzo.

“Bagaimana, Moguzo?! Aku akui onigiri-mu enak! Aku tidak keberatan memujimu karena berhasil menciptakan rasa pelangi itu! Tapi…! Kalau kau pikir itu cukup untuk mengalahkanku, pikir ulang lagi…! Pada akhirnya, siapa yang tampil terakhir, dialah pemenangnya! Inilah pembalikan besar! Ya, kemenangan mutlak! Memang selalu begitu…!”

“U-Uhm, iya, tapi, uh…”

Moguzo memandangi panci itu dengan dahi berkerut. Sulit ditebak apa yang ia pikirkan. Apakah dia kehilangan kepercayaan diri setelah melihat masakan Ranta?

“Apa ini…?”

“Huh? Maksudmu ‘apa’? Ini soruzo, kan?”

“Huh? Soruzo…? Seriusan? Ini…?”

“Kalau dilihat-lihat, jelas ini soruzo! Nih, lihat! Mi-nya!”

“…Yang bentuknya kayak ulat itu?”

“Adonannya terlalu keras, jadi susah dipotong. Aku akhirnya nyobek pakai tenaga, jadinya begini deh. Yah, terserah. Ini terobosan baru di dunia permi-an. Dan, hei, nyebut mereka ‘ulat’ itu keterlaluan, tahu!”

“M-Maaf. U-Um, maksudmu terobosan baru ini? Mi-nya? Ini… udah direbus…? Soalnya kamu udah masukin ke panci…”

“Direbus…?” Ranta menggaruk hidung dengan jari telunjuk kanannya. “Lupa. Oh, iya. Harusnya direbus, ya. Bener juga, bener juga. Tapi kan udah masuk ke sup. Panci juga udah di atas api tadi. Pasti udah setengah matang lah.”

“…I-Ini… cuma daging bahan padatnya?”

“Yup! Udah terlalu repot buat nutupin rahasia ini sekarang, jadi aku ngaku aja—itu daging yang aku colong dari kalian! Kayaknya dagingnya bagus, sih! Dan kupikir, ya udah, pakai itu aja! Aku potong, goreng sebentar, terus cemplungin!”

“Dan kuahnya? Kamu pakai apa buat kaldunya…?”

“Kaldu, ya? Kaldu. Aku bikin dari tulang. Gak tahu itu tulang apaan, sih.”

“D-Dan bumbunya…?”

“Waktu bikin mi, aku kehabisan garam di dapur. Tapi karena mi-nya udah asin, harusnya sih rasanya oke-oke aja.”

“…Harusnya? Huh? Kamu belum nyicip…?”

“Dengar, Moguzo,” kata Ranta sambil menunjuk ujung hidung Moguzo dengan telunjuknya, “Misalnya nih, kamu mau beli pedang, ya? Kalau kamu pikir pedangnya kelihatan keren, apa kamu bakal coba tebas goblin dulu sebelum beli? Nggak, kan? Kamu percaya sama feeling-mu, terus langsung bawa ke pertempuran yang sebenarnya, kan? Nah, ini juga sama aja. Aku yakin ini bakal berhasil. Coba rasa itu cuma buat pengecut. Aku nggak butuh itu.”

“T-Tapi itu beda banget… Kalau pedang, meski nggak dipakai buat ngetes ke goblin, paling nggak bisa diuji ketajamannya ke benda lain…”

“Aku nggak perlu! Soalnya aku ya aku! Aku yang luar biasa ini!”

“Yume nggak tahu gimana rasanya…” Yume mengerutkan alisnya dan memandang dengan ragu. “Tapi dilihat dari tampilannya sih…”

“…Jorok,” bisik Shihoru pelan. Dan itu cukup untuk membuat Ranta naik darah.

“Hei! Shihoru! Apa yang baru aja kamu bilang?! Kamu bilang ini jorok?! Jorok?!”

“Yah, mungkin rasanya nggak seburuk itu…” kata Manato sambil tersenyum.

Ranta langsung mengangguk-angguk penuh pembenaran.

“Ya kan? Jangan nilai dari penampilan. Itu cuma bikin prasangka. Rasanya mungkin nggak—tunggu, kamu baru aja ngehina masakanku secara halus, ya?!”

“Itu bukan maksudku, tapi…” Manato menunduk sambil memegang sumpit. “…Kita beneran harus makan ini?”

“Ma-Manato-kun! Jangan dipaksain! A-Aku aja sendiri…! Aku nggak mau makan sih, tapi… Aku kan juri juga, jadi… walau aku bener-bener nggak mau makan ini…”

“Yume juga enggak mau. Yume beeeeneran enggak mau makan itu. Uuunggh… Yume kangeeeen banget sama onigiri buatan Moguzo…”

“Brengsek kalian! Kalian itu juri, kan?! Kenapa malah saling melempar tanggung jawab begini?! Udah cukup! Haruhiro! Kamu yang makan! Kuhadiahkan padamu kehormatan mencicipi soruzo spesialku! Pasti lebih nikmat di perut kosongmu! Ayo, makan…!”

Ranta menyendok soruzo ke dalam mangkuk, lalu menyodorkannya pada Haruhiro. Dia juga memberinya sumpit.

“…Yaaaah…”

Dengan mata yang bukan cuma terlihat ngantuk, tapi lebih seperti akan benar-benar tertidur, Haruhiro mengendus uap yang mengepul.

“…Uhh. Ini… aku enggak tahu… apa, ya…? Baunya liar banget… Amis… kalau jujur…”

“Liar, kan?! Kalau gitu, langsung sikat aja!”

“…Serius nih?”

“Serius banget! Makan aja! Ini enak bangeeet! Kamu bakal ketagihan, ketagihaaaaan! Jangan ragu! Kujamin, deh!”

“Aku enggak yakin jaminanmu bisa dipercaya…”

“Jangan banyak omong, cepet makan! Cepet! Cepet! Ceeeepeeeet! Hidup itu singkat! Makanlah, Parupiro! Makan, lalu ucapkan terima kasih padaku sambil berlinang air mata penuh rasa haru…!”

“Oh, ya udah lah… Aku sama sekali enggak pengin, tapi aku tinggal makan aja, kan? Mulai dari kuahnya, deh…”

Dengan ragu, Haruhiro mengangkat mangkuk ke bibirnya.

Dia menutup mata, lalu menyesap sedikit.

“Uaghhhh…” Dia membuka mulut lebar-lebar, dan kuah itu tumpah keluar begitu saja.

“Gwuh?!” Ranta langsung lompat mundur. “Jijik! Eh, Haruhiro, apaan sih yang kamu lakuin?! Dasar bodoh…!”

“Enhgak… afha sih… mashalhahmu sevenahrnya…”

“Aku nggak ngerti sama sekali apa yang kamu omongin! Ngomong kayak manusia, dong, dasar bego!”

“Inhi… jih… jhik…”

“Hah?! ‘Jijik’?! Nggak mungkin sampai sebegitu parahnya sampai kamu hampir nangis! Pake akal sehat sedikit, lah!”

“Kahlhau ghitu… cova aza kamhu yang makhan…”

Haruhiro menyeka area sekitar mulutnya dengan tangan kiri, lalu menyodorkan mangkuk dan sumpit ke arah Ranta.

Ranta menerimanya, lalu memandang satu per satu—Manato, Yume, Shihoru, dan Moguzo.

“…Apa-apaan tekanan ini? Kayak kalian semua bilang, ‘Jangan bilang kamu nggak bisa makannya.’ Uh. Dasar kalian… Punya nyali juga, bisa-bisanya ngancem diam-diam kayak gini! Tapi denger ya! Aku nggak tunduk sama tekanan semacam ini! Jangan kira kalian bisa paksa aku dengan tekanan kelompok! Kalau kalian nyuruh aku makan… ya…! Aku nggak akan—!”

“Makan aja, nggak apa-apa.”

Manato tersenyum. Senyum yang terlalu tenang, terlalu ramah, untuk situasi seperti ini.

“Makan, Ranta.”

“A-aku cuma perlu makan, kan? Cuma itu! Baiklah! Aku makan! Sialan! K-Karena ini enak, kan?! Pasti enak! Aku nggak takut sama sekali! A-aku bakal makan! Makan semuanya! Aaaarghhh…!”

Ranta mencelupkan sumpit ke dalam mangkuk. Dia nggak akan cari aman dengan mulai dari kuahnya. Dia akan makan semuanya sekaligus. Terjun langsung. Dia akan melakukannya. Semua keraguan dia buang. —Gas.

“Zubababababababababababaaahhojjaahguhoghgwehahogubuhrabah…?!”

Ranta muntah.

Semua yang dia masukkan ke mulut, dia semburkan lagi tanpa ragu.

Dia melompat berdiri dan mencakar-cakar rambutnya sendiri.

“Siapa yang bikin masakan menjijikkan ini?!” Ranta berteriak sambil menatap isi mangkuknya dengan jijik. “Bau banget! Ini bahkan bukan makanan! Kau mau bunuh aku dengan nyuruhku makan ini, hah?! Ini usaha terang-terangan buat ngebunuh aku, ya?! Ya udah, ayo! Aku yang bakal bunuh kalian! Akan kubalikkan keadaan…!”

“Ya udah, bunuh diri aja sana…” sahut Haruhiro malas.

“Diam kau, Haruhiro! Aku! Aku! Aku…!”

“…Ohhh. Dia nangis sekarang. Jijik banget,” komentar Yume, memiringkan kepalanya.

“Yumeeee! Jangan sebut aku jijik, dasar tetek kecil!”

“Jangan bilang kecil!”

“Kecil, kecil, kecil, kecil, kecil, kecil, super kecil banget!”

“…Kalau udah super kecil banget, bukankah jadinya udah nggak kecil lagi?”

“Aku nggak butuh jawaban tenang dan cerdas dari kau dan tetek rahasiamu yang mega itu! Mau aku paksa makan soruzo super menjijikkan ini?!”

“B-B-Berhenti! Serius…! Jangan itu…!”

“Kayaknya… nggak perlu ada juri buat mutusin siapa yang kalah.”

Saat Manato berkata begitu—dengan senyum seperti biasa dan sedikit mengangkat bahu—Haruhiro pun mengangkat lengan kanan Moguzo.

“Pemenangnya adalah Moguzo. Tapi, dengan lawan kayak gitu, kurasa dia nggak terlalu senang juga… Oh ya. Pemenang boleh nyuruh yang kalah ngelakuin apa aja, kan? Moguzo, mau nyuruh dia apa?”

“Y-Ya. Soal itu…” Moguzo melirik mangkuk soruzo sambil terlihat menyesal. “Aku mikir… daripada bahannya kebuang sia-sia, gimana kalau Ranta-kun makan semuanya…”

“Ampuniii akuu!”

Ranta, dengan mata berkaca-kaca dan ingus meleleh dari hidungnya, langsung bersujud dan membentur lantai sambil meloncat-loncat.

“Apa pun selain itu…! Tolong, jangan itu! Sumpah, itu menjijikkan banget! Bukan lucu lagi! Aku bisa mati, seriusan! Aku bakal ngelakuin apa pun, jadi tolong, jangan itu! Aku mohon, Moguzo! Aku sayang kamu, bro! Jadi, seriusan, tolong…!”

Begitulah, matahari pun tenggelam menandai akhir dari satu hari lagi di asrama para prajurit relawan.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Ex.4 Keadilan dan KeadilanEx.5 Aku yang KemarinEx.6 Keseruan Baru Saja DimulaiAppendix #2: Melolong di Bawah Bulan, Akulah Sang SerigalaCatatan Penulis […]

Scroll to Top
1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x