Bonus Cerita Pendek (Grimgar)

#1 Makna Sebuah Nama Kerja

Guru lamaku bernama Ripper. Sekarang dia sudah tua.

Tiap kali aku memanggil, “Hey, Kakek,” Ripper akan langsung kesal.

“Aku nggak tua,” katanya.

Yah, memang sih. Kalau dari segi usia sebenarnya, dia belum bisa dibilang tua. Tapi penampilannya… benar-benar tampak tua. Rambutnya sudah memutih seluruhnya, dan tubuhnya mengecil, ringkih. Waktu pertama kali aku tahu umur aslinya, aku sampai terkejut. Sempat nggak percaya juga.

Belakangan ini, dia malah makin kelihatan menua. Aku tahu alasannya. Beberapa waktu lalu, saat aku mampir ke markas guild setelah sekian lama…

“Mau minum bareng?” tanyanya.

“Apa kamu lagi coba godain aku?” aku menggoda.

“Jangan bodoh,” balasnya sambil tersenyum, agak susah payah.

Akhirnya kami minum bersama, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dalam hati aku sempat berpikir, Mungkin aku harus tidur sama dia. Menurutku, orang-orang terlalu melebih-lebihkan arti dari seks. Kalau suasananya pas, tinggal jalanin aja. Aku cukup sering melakukannya—dengan siapa saja. Aku nggak merasa bersalah kalau itu merusak hubungan. Selama aku bersenang-senang, itu cukup bagiku.

Ripper sudah jadi guruku sejak pertama kali aku terbangun di Grimgar, tapi waktu kami minum bersama itu, aku sempat berpikir dia mungkin cocok untuk sekali saja. Tapi ternyata Ripper tidak menginginkan hal yang sama, jadi ya, arah pembicaraan kami nggak ke sana.

“Aku nggak akan lama lagi disini,” katanya. Aku nggak perlu tanya maksudnya apa. Aku bukan orang bodoh. Langsung kutangkap maksudnya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku. Dia tidak menjawab, jadi aku ubah pertanyaannya, “Lalu, apa yang ingin kamu lakukan?”

Tentu saja maksudnya: Kalau kamu butuh bantuan, aku akan bantu semampuku.

Keinginan untuk tidur dengannya sudah lenyap dari pikiranku. Yang ada sekarang cuma keinginan untuk bersikap sebaik mungkin padanya.

“Bukan buat aku,” katanya. Ia meneguk minumannya. Lalu, setelah menarik napas, ia berkata, “Maukah kamu bekerja untuk guild?”

“Kamu nyuruh aku jadi mentor?”

“Kurang lebih, ya.”

“Kenapa aku?”

“Aku akan mati sebentar lagi. Para pendeta tidak bisa menyembuhkan penyakitku. Tapi apa boleh buat, kan? Lagipula aku masih punya kamu. Dan murid-muridku yang lain juga.”

“Dan kamu ingin aku menjaga mereka untukmu?”

“Dengar, Barbara. Nama kerja yang aku kasih ke kamu—itu berarti perempuan asing.”

“Cocok. Aku selalu merasa nggak pernah cocok di mana pun. Kamu memang pandai menilai orang, Kakek.”

“Masalahnya bukan karena kamu nggak cocok. Kamu sendiri yang nggak mau menyesuaikan diri agak cocok. Kamu selalu melihat segalanya secara objektif, bahkan dirimu sendiri pun kamu posisikan sebagai orang luar.”

“Benarkah begitu?”

“Kamu tidak pernah terlalu terikat dengan rekan-rekanmu. Karena itu kamu juga jarang bertahan lama dalam satu kelompok. Kamu tahu betul bahwa setiap kebersamaan itu cuma momen singkat, tidak lebih. Hentikan saja jadi tentara sukarelawan. Berat juga buatmu, bukan?”

“Dan kerja di guild bakal lebih cocok buatku?”

“Kamu akan jadi guru yang baik. Jauh lebih baik dari aku.”

“Aku bersyukur pernah jadi muridmu.”

“Nanti akan ada orang yang bilang begitu juga ke kamu.”

“Hey, Kakek.”

“Apa?”

“Sebelum kamu mati, tidur denganku sekali saja.”

“Nggak ah,” kata Ripper dengan senyum sedih. “Aku tidak bisa tidur dengan perempuan lagi. Lagipula… kamu terlalu bersinar untukku.”

Saat itu aku sadar, Ripper sebenarnya takut mati. Dia belum cukup tua untuk benar-benar disebut tua. Semuanya terlalu cepat. Tapi di perbatasan Grimgar ini, pria dan wanita yang jauh lebih muda darinya pun mati seperti daun gugur. Sebagai mentor di guild thief, Ripper ingin mati dengan semua urusannya selesai rapi.

Kalau dia sampai menghabiskan malam tak terlupakan denganku, dia akan mulai merasa enggan mati, dan menyesal saat ajal menjemput.

Kurang dari sepuluh hari kemudian, Ripper terbaring di ranjang. Lima hari setelahnya, dia meninggal.

Aku berhenti jadi tentara sukarelawan, dan mulai bekerja untuk guild.

#2 Mentalitas

Eliza adalah seorang mentor di guild thief.

Tapi dia sangat pemalu, dan semua orang tahu itu—termasuk dirinya sendiri. Ia tidak suka menampakkan dirinya di hadapan orang lain. Terutama wajahnya. Kalau bisa dihindari, ia bahkan tak ingin suaranya terdengar. Saat harus berbicara dengan rekan sesama mentor atau murid-muridnya, Eliza akan bersembunyi sebaik mungkin, dan meniru suara orang lain.

“Aku dapat murid yang menarik,” kata Barbara.

Eliza berdiri di antara dua rak, sehingga tidak terlihat dari posisi Barbara. Barbara juga seorang mentor, dan dulunya adalah murid senior dari guru yang sama. Karena mereka sama-sama perempuan, Eliza merasa sedikit lebih nyaman bicara dengannya.

“Matanya itu selalu tampak mengantuk. Aku penasaran ada apa dengan anak itu. Dia nggak punya ambisi, tapi bukan berarti nggak punya motivasi juga. Kalau harus dibilang dia serius atau enggak… yah, mungkin serius,” lanjut Barbara.

“Anak-anak yang serius memang banyak,” ucap Eliza pelan, begitu pelan hingga suaranya terdengar seperti bisikan paksa.

“Itu karena perbedaan generasi, ya?” tanya Barbara. “Mereka agak beda dari kita.”

“Kalau kamu menyamaratakan begitu, rasanya kamu agak keliru.”

“Oh, iya juga. Kamu lebih muda dariku, ya? Tapi kita kan masih satu generasi, kira-kira?”

“Aku rasa aku termasuk generasi setelahmu.”

“Buatku nggak masalah, sih. Tapi ya, oke.”

“Jadi, ada apa dengan muridmu yang bermata mengantuk itu?”

“Ah, entahlah. Dia kepikiran terus di benakku.”

“Kamu suka dia? Kamu memang selalu bernafsu dari dulu.”

“Bukan begitu. Dia kelihatan rapuh banget. Aku nggak yakin dia bisa bertahan lama.”

“Kalau kamu merasa begitu, kemungkinan besar kamu benar.”

“Jangan ngomong sekelam itu,” kata Barbara sambil tersenyum canggung.

“Tapi firasatmu seringkali benar, kan?”

“…Eliza, dengar.”

“Ada apa, Barbara?”

“Orang bilang kamu pemalu dan nggak suka bicara, tapi sebenarnya nggak sepenuhnya begitu, kan? Aku sudah lama mikir soal itu.”

“Aku memang pemalu. Itu fakta. Aku hampir nggak pernah bicara dengan mentorku, atau dengan anggota party-ku waktu itu.”

“Tapi kamu ngobrol denganku sekarang, kan?”

“Kamu yakin sedang bicara denganku? Atau bahwa aku ini benar-benar Eliza? Apa kamu pernah lihat Eliza bicara?”

“Nggak sih, tapi aku sudah lama tahu kalau kamu itu ribet banget soal beginian.”

“Kamu satu-satunya orang yang masih mau repot-repot ngobrol sama aku, Barbara.”

“Padahal tetap saja aneh kamu bisa jadi mentor.”

“Itu jauh lebih mudah daripada jadi prajurit relawan. Aku nggak harus keluar rumah di siang hari seperti ini.”

“…Iya juga. Aku lupa kamu itu tipe yang suka mengurung diri.”

“Jadi, kamu sudah selesai cerita soal muridmu yang bermata mengantuk itu?”

“Kamu bahas dia lagi?”

“Mati muda itu hal biasa.”

“…Yah, iya sih.”

“Kamu nggak akan bertahan jadi mentor kalau terus larut dalam kesedihan tiap ada murid yang mati.”

“Mungkin kamu benar.”

“Itu sebabnya aku selalu menganggap murid-muridku seperti batu.”

“Batu?”

“Mereka itu batu. Aku pahat mereka jadi manusia, jadi thief. Tapi pada dasarnya, mereka cuma patung dari batu. Kalau pecah, ya tinggal pahat lagi yang baru.”

“…Itu cara pikir yang… unik.”

“Aku nggak bakal sanggup lanjut kalau nggak berpikir seperti itu.”

“Aku suka cara berpikirmu itu, Eliza.”

“…Kamu yakin aku ini Eliza? Padahal kamu belum pernah lihat Eliza bicara.”

“Oke, cukup. Jangan dibahas terus.” Barbara tertawa.Aku nggak tahu apakah aku akan bilang aku suka cara pikirku itu, tapi yang jelas aku juga nggak membencinya, pikir Eliza.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x