Bonus Cerita Pendek (Grimgar)

Adegan #20: Apa yang Menanti di Ujung “Pas-Saja”

Baiklah, mari kita lihat apa yang bisa kau lakukan…

Karena saat itu libur Golden Week, keluarga mereka naik Shinkansen dan pergi liburan kecil-kecilan. Masih ada sedikit waktu sebelum kereta pulang mereka berangkat, jadi mereka memutuskan untuk makan dulu selagi menunggu. Begitulah mereka akhirnya sampai di tempat ini.

Nama restorannya agak aneh, tapi konon ada hubungannya dengan Dazai Osamu, seorang penulis yang cukup dikenal Monzo. Dazai sendiri berasal dari Aomori, dan restoran ini terletak di area komersial yang terhubung langsung ke Stasiun Shin-Aomori. Monzo sudah makan banyak saat sarapan di hotel—sampai-sampai membuat tamu lain melirik aneh ke arahnya—dan saat makan siang pun, dia kembali memaksakan diri. Jadi sekarang, ia ingin sesuatu yang tidak biasa: makanan yang ringan. Pilihannya jatuh pada ramen shijimi.

Hmm, mungkin seharusnya aku pilih ramen niboshi saja. Tapi, kalau mau makan ramen niboshi, harusnya di Naki, di Golden-gai. Tapi tempat ini menunya lumayan lengkap, ya? Menu set-nya juga kelihatan enak. Memang sih, perutku lagi agak capek… tapi apakah aku pengecut karena memilih ramen shijimi? Aku selalu pengen menantang diri kalau soal makanan…

Saat ia masih tenggelam dalam pikiran, ramen shijimi-nya tiba. Restorannya cukup ramai, hampir penuh, tapi tetap saja makanannya datang dengan cepat.

Ah, aku suka itu. Makanan yang keluar cepat. Ramen memang seharusnya disajikan cepat, dan dimakan cepat juga. Tapi, tentu saja, keterampilan koki juga penting, jadi bukan cuma soal kecepatan. Kalau mereka mengerjakannya dengan lambat tapi teliti, itu juga bisa jadi kelebihan…

Ia menyeruput kuahnya terlebih dahulu.

“Ini…”

Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa ia maksudkan.

…Ini. Rasanya begitu—

Monzo menutupi matanya dengan tangan kiri.

Sampai sekarang… Aku tidak tahu. Tidak tahu apa-apa. Selama ini… Tidak satu pun…

INI SHIJIMI. Atau lebih tepatnya, INILAH SHIJIMI. Tidak—INILAH SHIJIIIIIMIIII.

Rasa shijimi ini… dalam sekali… Ini… benar-benar bergizi dan lezat…

Monzo masih duduk di bangku SMA. Sebagai seorang anak di bawah umur, tentu saja dia belum pernah minum alkohol, jadi ini murni imajinasinya saja—tapi rasanya, ini pasti akan terasa luar biasa nikmat setelah minuman keras yang berat.

Aku bisa merasakannya…

Nutrisi dari shijimi itu meluncur turun di sepanjang kerongkongannya, mencapai lambung, diserap melalui dinding perut, lalu menyebar ke seluruh sel di tubuhnya. Ia tidak sekadar merasakannya—Monzo nyaris bertanya-tanya apakah ia baru saja mengonsumsi semacam narkotika aneh. Rasanya seperti tubuhnya membaik setiap detiknya. Tapi lebih dari itu—rasanya luar biasa. Bukan cuma enak—melampaui enak.

Haaah… Ini… Aku tak sanggup. Sungguh tak sanggup. Aku menyerah…

Ia melirik ke sekeliling restoran. Ada papan kecil yang dengan ramah memberi tahu bahwa, jika rasanya terlalu kuat, pelanggan bisa menambah kuah untuk mengencerkannya. Tapi… itu tak perlu. Meskipun, ya—ia akui—rasanya memang agak asin.

Tapi rasanya pas… Pas banget. Mungkin tak ada hal lain di dunia ini yang lebih “pas” dari ini. Benar-benar pas…

Itu tidak berlebihan dan tidak mencoba tampil mencolok. Mienya juga enak. Pas. Semakin banyak ia menyeruput kuahnya, semakin dalam ia melahap mie-nya, semakin ia merasa tenggelam dalam lautan rasa “pas” itu. Semuanya pas.

Tingkat kepas-an seperti ini… pantas dapat empat bintang…

Panduan Michelin memang hanya sampai tiga bintang, tapi Monzo kadang mengakui adanya bintang keempat. Dan inilah salah satunya. Pas. Siapa sangka “pas” bisa jadi sesuatu yang begitu luar biasa? Monzo tidak tahu sebelumnya. Tapi sekarang ia tahu. Dan ia menginginkannya lagi. Bahkan, ia sangat menginginkannya.

Kalau saja tempat ini ada di dekat rumahku…

Ia pasti akan jadi pelanggan tetap. Setidaknya sekali seminggu ia akan datang, mengejar rasa “pas” ini. Kepas-annya akan mengatur ulang indra perasanya, dan setelah itu, ia bisa menikmati berbagai rasa lain dengan lebih dalam.

Adegan #21: Dosa dari Surga

Ini dia. Perasaan ini. Pagi di Golden-gai memang luar biasa…

Bangunan-bangunan panjang, rumah-rumah berdempetan, berjajar rapat di kedua sisi jalan yang cukup sempit hingga lebih mirip gang daripada jalan. Anehnya, di sudut kota kecil ini saja, ada hampir 300 tempat usaha. Karena sebagian besar adalah bar atau tempat yang menyajikan alkohol, suasananya di pagi hari tentu agak lengang. Justru karena itu, siswa SMA seperti Monzo bisa masuk ke sini tanpa merasa terlalu terintimidasi.

Monzo belum pernah melihat Golden-gai di malam hari. Ia hanya mengenalnya lewat gambar-gambar di televisi, majalah, dan internet. Tapi aroma tempat itu—esensinya—masih terasa melekat, dan berada di sana saja sudah membuatnya merasa sedikit lebih dewasa.

Oh! Itu dia. Di sana.

Monzo menemukan tempat yang ia cari, membuka pintunya, dan menaiki tangga curam yang mengarah ke atas. Saat ia membalas sapaan staf dan hendak duduk, ia diberitahu untuk terlebih dahulu membeli tiket makanan dari mesin otomatis.

“Oh! Maaf!”

Benar juga, aku selalu lupa soal ini…

Ia dihadapkan pada dua pilihan: niboshi tsukemen luar biasa atau niboshi ramen luar biasa. Ia sempat ragu, tapi akhirnya memilih niboshi ramen luar biasa—seperti biasanya. Tentu saja, tsukemen juga sangat menggoda. Sebenarnya, memesan keduanya pun bukan hal yang mustahil. Tapi Monzo punya prinsip: satu hidangan setiap kali ia datang ke sebuah restoran. Itu bentuk rasa hormatnya—untuk bisa benar-benar mencurahkan seluruh perhatian dan jiwa raga demi menikmati satu mangkuk ramen dengan sepenuh hati.

Saat ia menyerahkan tiket makanannya, staf bertanya apakah ia punya preferensi khusus. Ini juga salah satu pertanyaan yang sulit. Kalau dipaksa menjawab, tentu saja ia punya preferensi. Namun, Monzo adalah tipe orang yang bisa menikmati makanan apa pun selama rasanya enak. Ia juga percaya bahwa rasa yang disajikan oleh sebuah restoran untuk pelanggan yang tidak meminta macam-macam pastilah rasa terbaik mereka.

“Aku pesan yang biasa saja.”

Setelah itu, yang bisa Monzo lakukan hanyalah diam-diam mengamati staf menyiapkan pesanannya sambil menunggu. Meski hari itu hari Sabtu, karena waktunya masih pagi, hanya dia satu-satunya pelanggan di sana. Hebatnya, tempat ini buka 24 jam nonstop, dan berkat itulah ia bisa menikmati kemewahan seperti ini. Luar biasa.

Ohhh…! Ini dia! Ini dia! Ini dia datang!

Waktu di tempat ini terasa aneh. Rasanya seperti sudah berabad-abad sejak ia memesan, tapi mungkin juga baru sesaat. Perasaan itu manis… namun juga menyiksa. Saat akhirnya Monzo menerima ramen-nya dari staf dan meletakkannya di meja, ia mengambil sumpit, lalu menyatukan kedua tangan.

“Terima kasih atas makanannya.”

Ia ingin berteriak saking bahagianya, tapi ia tahu itu tidak sopan. Ia mengambil sendok porselen, menyendok sedikit kuahnya, dan menyeruputnya perlahan.

…Niboshi! Ini niboshi! Sebuah revolusi niboshi yang sempurna…!

Lalu ia mencicipi mienya.

…Ya! Tekstur kenyal ini! Luar biasa! Rasa niboshi menyelimuti mie dan berpadu menjadi satu. Aku… aku bahkan tak tahu harus berkata apa…

Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Keringat sudah muncul di ujung hidung dan dahinya. Monzo menyeka air matanya dengan tisu.

Ternyata ramen ini pakai lebih dari satu jenis mie, ya…?

Ada ittanmen di dalamnya—sejenis mie lebar seperti lembaran. Teksturnya juga unik.

Oke, yang pertama ini harus dinikmati perlahan…

Ia menyeruputnya masuk ke dalam mulut.

“Ohh…!”

Ia bergumam pelan penuh kenikmatan, tanpa bisa menahan diri.

Ini enak! Ini… luar biasa! Bukan cuma enak—ini takdir!

Daging chashu di tempat ini juga tak kalah nikmat. Bukan tipe yang bumbunya meresap sampai ke dalam, tapi justru berlemak dan begitu menggoda, memberi pengalaman yang hampir sensual. Sebagai daging saja, rasanya sudah sangat memuaskan.

Oke, sekarang giliran chashu-nya…

Ia menyuapkan potongan besar daging itu ke mulutnya.

Surga…

Ia ingin sekali punya satu bongkah besar daging ini. Kalau ia memilikinya, rasanya bukan hanya bisa bertahan hidup dari akhir dunia—ia bisa menjadi raja di tengah dunia pasca-kiamat.

Semuanya enak. Ini dosa. Ini sungguh dosa…

Sambil tekun menyeruput mie, menyantap ittanmen dan chashu, lalu meminum kuahnya, Monzo mulai merasa gelisah. Akankah ada kebahagiaan yang lebih besar dari ini dalam hidupnya? Rasanya begitu lezat hingga pikirannya melampaui kebahagiaan mutlak dan mulai membayangkan takdir tragis yang mungkin menantinya sesudah ini.

Adegan #22: Di Stasiun Utara

Monzo hanya pernah sekali mengunjungi tempat ramen itu. Waktu itu saat liburan. Kedua orang tuanya juga penggemar ramen, jadi mengunjungi tempat itu memang salah satu tujuan dalam perjalanan mereka.

Tapi sekarang, tak akan bisa lagi.

Tempat ramen yang bernama Station itu sudah tutup.

Ia bahkan hampir tak bisa mengingat lagi seperti apa tampak luar bangunannya, atau bagaimana suasana di dalamnya. Tapi satu hal yang ia ingat dengan pasti: ia memesan ramen miso.

Ramen itu luar biasa…

Begitu melihat semangkuk ramen miso yang ia pesan, Monzo kecil langsung terkejut. Kuahnya tampak seperti jeli karena ada lapisan lemak yang mengambang di permukaannya.

Panas…!

Ia menyeruput sedikit, dan rasanya panas sekali—nyaris tak bisa dipercaya. Cahaya seperti bintang-bintang menari di depan matanya. Ia ingat dirinya merengek kepada orang tuanya, “Aku nggak bisa makan ini…” Ayahnya menjawab, “Tunggu sampai agak dingin.” Tapi karena kuahnya tertutup lapisan lemak, suhunya tak kunjung turun. Tempat itu memang berada di wilayah utara yang dingin. Mungkin itulah alasan ramen di sana dirancang agar tetap panas lebih lama.

Apa pun alasannya, butuh waktu lama sebelum ia bisa mulai makan. Orang tuanya sempat menyarankan untuk memindahkannya ke mangkuk kecil agar lebih cepat dingin, tapi Monzo menolak tegas. Bahkan di usia semuda itu, ia sudah yakin—ramen harus dinikmati langsung dari mangkuknya. Bagi Monzo, ramen memang seharusnya begitu.

Saat akhirnya bisa menyantapnya, Monzo melahap habis ramen miso itu dalam waktu singkat.

Aku belum pernah makan yang seperti ini sebelumnya…!

Rasanya begitu kuat. Lima rasa utama—manis, asin, asam, pedas, dan umami—semuanya hadir. Kalau ada rasa keenam, yaitu kekayaan rasa (richness), ramen miso dari Station ini punya semuanya dalam jumlah berlimpah. Apa saja bahan yang digunakan? Bagaimana cara membuatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu rumit bagi Monzo kecil. Tapi rasa yang kaya, dalam, dan luas itu terus membanjiri lidahnya.

Miso! Miso! Ini miso! Apa itu sup miso biasa? Bukan! Itu bukan miso! Ini! Ini baru miso! Ini miso yang sesungguhnya…!

Monzo sangat menyukai sup miso buatan ibunya, yang penuh dengan berbagai bahan tambahan. Tapi setelah mencicipi miso ramen ini, sup miso biasa terasa terlalu lemah baginya. Kenapa bisa selemah itu? Sup miso bukanlah cara yang layak untuk menggunakan miso. Jika itu bukan miso ramen, maka tidak pantas disebut miso sama sekali.

Inilah kebenaran sejati tentang miso. Dunia ini terbuat dari miso. Pada awalnya, ada miso—dan miso menciptakan dunia. Tuhan telah mati. Miso adalah tuhan yang maha tahu dan maha kuasa atas dunia ini.

Inilah alasan kata “lezat” diciptakan!

Ia masih ingat dengan jelas pernah berpikir seperti itu.

Monzo sudah menyukai ramen selama ia bisa mengingat, tapi setelah makan miso ramen di Station, cintanya terhadap ramen benar-benar terbangun. Ia mulai menyadari bahwa ada begitu banyak tempat ramen di dunia, dan setiap kali melihat satu, ia selalu penasaran. Ramen seperti apa yang mereka sajikan? Apa jenisnya? Tidak, tidak—mungkin jenisnya bahkan tidak bisa dikategorikan. Ia mulai memikirkan hal-hal itu nyaris sepanjang waktu. Miso ramen dari Station adalah titik balik dalam hidupnya.

Berkali-kali, Monzo memohon kepada orang tuanya agar mereka kembali ke Station untuk makan ramen lagi.

Tapi itu bukanlah tempat yang bisa mereka kunjungi hanya dengan naik mobil di akhir pekan. Letaknya di kota yang hanya bisa dicapai dengan naik pesawat melintasi laut. Keluarga Monzo memang tidak tergolong miskin, tapi juga bukan keluarga yang berada. Ditambah lagi dengan pekerjaan orang tuanya, mereka hanya mampu melakukan satu perjalanan keluarga kecil setiap musim panas.

Sebelum mereka sempat kembali ke sana, Station sudah tutup.

Ia tak akan pernah bisa mencicipi miso ramen itu lagi. Namun masih ada beberapa tempat ramen lain yang mengikuti tradisi Station.

Dan lain kali, Monzo bertekad untuk mengunjungi salah satunya.

Dengan harapan, suatu hari nanti… ia bisa kembali bertemu dengan miso ramen itu.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x