Reruntuhan yang terletak tak jauh dari Bahtera disebut sebagai Altana Lama. Di sebelah selatan Altana Lama menjulang Pegunungan Tenryuu, dan di balik pegunungan itu terletak tanah kelahiran Yori dan Riyo—Kerajaan Persatuan. Pemimpin tertinggi Kerajaan Persatuan adalah Raja Luden Alabakia. Katanya, raja ini adalah ayah kandung dari Yori dan Riyo. Dengan kata lain, mereka berdua adalah putri kerajaan. Putri yang sebenarnya—darah biru, bangsawan sejati.
Namun terlepas dari itu, jika menyeberangi hutan yang membentang di utara Altana Lama, akan tampak sebuah tanah tandus yang berbukit dan miskin vegetasi. Di tengah kawasan gersang itu berdiri sunyi sebuah reruntuhan lainnya.
Saat ini, Manato dan yang lain sedang berdiri dari kejauhan, memandangi reruntuhan itu.
“Jauh lebih kecil dibandingkan Altana,” ujar Manato.
Ia hanya membawa pedang dan belatinya. Busur dan anak panah memang berguna untuk berburu, tapi tak ada gunanya menghadapi para pemuja Lumiaris. Lagi pula, satu set busur dan tabung anak panah cukup memakan tempat. Karena bukan sedang dalam perjalanan berburu, lebih baik bepergian dengan beban ringan. Manato juga membawa ransel—kalau-kalau mereka menemukan sesuatu yang layak dibawa pulang.
“Dulu tempat itu adalah sebuah benteng,” ujar Haru, mengenakan topeng dan jubah seperti biasa. Sudah berpuluh-puluh tahun ia selalu tampil seperti itu.
“Deadhead Watching Keep. Katanya, dulunya dibangun oleh ras bernama Orc.”
“Ngomong-ngomong—” ucap Manato, lalu sedikit memutar tubuhnya dan menyentuh bagian jahitan pada jumpsuit-nya. “Yang menjahit ini… Haru, ya?”
“Iya.”
“Dia pakai jarum dan benang, nyulam sedikit-sedikit gitu,” kata Yori. “Saat Manato lagi tidur, aku duduk di kamar Haruhiro dan dengar dia cerita tentang kakek buyut. Sambil cerita, tangannya terus kerja. Hebat juga, ya?”
“Aku hanya sudah terbiasa,” jawab Haru singkat, datar seperti biasa.
Ngomong-ngomong, Yori mengenakan mantel, tapi bagian dalamnya justru cukup terbuka. Atasannya ringan dan hanya menutupi bagian dada, sementara celananya ketat menempel di tubuh. Kacamata bertali yang tergantung di leher kemungkinan digunakan saat menunggang naga. Sebilah pedang dengan sarung merah diselempangkan di punggungnya, dan sebilah pisau terikat di pinggang. Selain itu, ia tak membawa apa pun.
Riyo memakai jumpsuit kulit, lengkap dengan sarung tangan dan sepatu bot khasnya. Perangkat bernama Kudus dan Haduma terpasang di tangan dan kakinya. Ia membawa semacam tas yang disandang dengan tali di bahu, mirip ransel, tapi pipih dan susah didefinisikan—intinya, itu semacam tas juga. Di tas itu terdapat banyak kantong, dan tampaknya ia menyimpan berbagai senjata tajam di dalamnya. Kalau tidak salah, dulu dia sempat bilang bahwa di Odrad, ia menggunakan senjata lempar. Mungkin itu yang dimaksudnya. Kacamata bertali miliknya disimpan di dalam tas.
“Eh, Junza pernah bilang, kalau gak salah… satu sha—satu syak satu sun… gitu, ya?”
“Satu atap dan satu piring nasi,” Riyo langsung membetulkan ucapannya.
“Itu dia, ‘satu nasi satu atap’! Maksudnya, kalau sudah diberi makan, kita harus membalas budi, kan?”
“Yang benar itu satu atap satu nasi, bukan ‘satu nasi satu atap’.”
Riyo menoleh ke arah Manato, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“Maknanya, diberi tempat bermalam satu malam dan satu kali makan. Ada beberapa ras dan budaya di berbagai belahan Benua Merah yang menganggap itu sebagai bentuk kebaikan besar, dan karena itu, balas budi menjadi keharusan.”
“Eh, begitu ya?”
“Iya.”
“Riyo pintar juga, ya. Kayak Junza.”
“Aku tidak pintar. Justru, lebih banyak hal yang tidak kuketahui.”
“Kalau aku, jangankan lebih banyak, rasanya memang cuma hal-hal yang tidak kuketahui.”
“Jadi?”
Yori mengangkat bahu, tampak sedikit jengkel.
“Kenapa tiba-tiba ngomongin ‘satu atap satu nasi’ segala?”
“Ah, itu, itu. Maksudku, Haru tuh udah kayak ‘satu atap satu nasi’ banget. Eh? Aneh ya penyampaiannya? Haru itu udah ngasih banyak kebaikan. Dia ngasih tempat tinggal, minjemin baju, ngasih pedang, bahkan udah benerin yang rusak. Makan juga dua kali. Jadi ini bukan ‘satu atap satu nasi’ lagi… tapi, uh—‘satu atap, dua nasi, satu baju, satu pedang’… ugh.”
Begitu mulai dihitung, malah jadi geli sendiri.
“Banyak juga, ya. Harus dibalas, nih.”
“Itu bukan hal yang perlu kau pikirkan,” ucap Haru, masih menghadap ke arah reruntuhan, topengnya tak bergerak.
“Bukan soal harus, sih. Aku ingin membalasnya,” sahut Manato, mengangguk kecil. “Ya… Bakal aku lakuin itu.”
“…Tolong, jangan.”
“Nggak boleh ya?”
“Aku nggak dalam posisi melarang, cuma…”
“Aku rasa… lebih baik punya sesuatu untuk dilakukan. Di Jepang, aku akhirnya dapat tempat tinggal, dan tinggal menjalani hidup sampai mati, gitu aja. Tapi tanpa tujuan atau arah, entah kenapa rasanya…”
“Kosong?” potong Yori.
“Ah… mungkin itu. Kosong. Atau…”
“Atau mungkin tidak ada makna hidup,” ujar Riyo, kali ini.
“Makna hidup!”
Manato menoleh ke arah Riyo.
“Itu dia! Makna hidup! Temanku pernah bilang begitu. Katanya, berada bersama semua orang seperti ini adalah makna hidupnya. Tapi dia sudah meninggal sebelum sempat menemukan rumahnya.”
“…Sudah meninggal, ya.”
Yori mengucapkannya pelan, seolah gumaman.
“Iya,” jawab Manato sambil tersenyum. Bukan karena itu lucu—tidak sama sekali. Tapi saat ia mengingat kenari kecil itu, senyum itu keluar begitu saja.
“Dia itu orang yang suka tertawa. Kecil, ringan. Sakit-sakitan, demam, sering batuk juga. Karena sudah nggak bisa jalan sendiri, kadang aku harus menggendongnya. Tapi dia tetap tertawa. Aku pikir, semoga saja suatu saat dia bisa sembuh. Tapi akhirnya dia meninggal juga. Waktu itu hujan terus, dan kami kesulitan menguburkannya.”
“Manato.”
Tiba-tiba, Riyo meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Manato.
“Hmm?”
Saat Manato melirik, Riyo terlihat sedikit menunduk. Meskipun sudah menyentuhnya, Riyo tak juga menatap mata Manato.
“Aku turut berduka cita.”
“Turut berduka cita? Maksudnya? Siapa? ‘Cita’? Dia orang penting?”
“Itu artinya ‘ikut sedih’,” kata Yori menjelaskan mewakili Riyo. Tapi Manato masih belum benar-benar paham.
“Ikut sedih? Kenapa?”
“…Kalian kan sedang mencari rumah, kan? Dan anak itu… meninggal sebelum sempat menemukannya. Itu yang disebut menyedihkan. Juga… Manato pasti sedih karena kehilangan teman. Riyo cuma ingin bilang itu.”
“Ah… begitu. Yah, kalau bisa hidup sampai rumah ditemukan sih pasti lebih baik. Tapi dia bilang dia senang sampai akhir, dan dia tertawa. Jadi menurutku, nggak menyedihkan juga.”
Manato perlahan meraih tangan kanan Riyo yang masih bertumpu di bahunya. Karena Riyo mengenakan kudus, tangan itu terasa keras.
“Tapi, makasih. Kamu peduli, kan? Kamu baik, Riyo.”
“…Tidak.”
Riyo menggeleng pelan. Atau mungkin lebih tepatnya, tubuhnya bergetar.
“Aku… bukan orang yang… baik. Aku bukan orang seperti itu…”
“Oh ya? Tapi aku tetap pikir kamu baik. Yori juga, kamu menjelaskan maksud Riyo dengan jelas. Kamu baik… dan hebat.”
“Aah, itu mah jelas banget!”
Yori membuang muka sambil menyilangkan tangan, terlihat kesal… atau mungkin malu.
“…Yori itu sudah sempurna, baik kepribadian maupun bakatnya. Dia juga cicit dari nenek buyut. Lagipula, Yori ya Yori—wajar saja kalau begitu. Maksudku…”
“Maksudmu?”
“Bukan apa-apa. …Nenek buyut bilang dia dulu dikelilingi banyak pengagum. Tapi itu bukan soal Manato, sih—”
“Orang yang dulu pernah jadi rekan Haru? Yang kebetulan namanya sama?”
“Yah… mungkin.”
Haru menyentuh topengnya.
“Dia orang yang menarik perhatian. Dihormati. Ramah ke semua orang, selalu tersenyum, dan banyak tertawa.”
“Orang kayak gitu… apa namanya, ya. Ketawa… ketawa-apa gitu?” (note: disini Manato pake kata “ketawa-apa” yang normalnya dipake buat orang mabuk)
“Istilah ‘ketawa’ yang kamu maksud biasanya muncul saat seseorang minum alkohol. Seperti suka menangis kalau mabuk, atau mudah marah. Itu bukan untuk orang yang memang suka tertawa.”
Riyo berkata pelan, masih menunduk.
“Jadi, bukan itu, ya. Orang yang suka ketawa? Hmm, ada istilah lain nggak, ya? Tapi ya sudahlah. Nggak penting juga.”
“Ta…”
Riyo menggeliatkan tangan kanannya.
“Tangan.”
“Tangan?”
“Tolong… lepaskan.”
“Oh, maaf.”
Begitu Manato melepaskan genggamannya, Riyo menarik tangan kanannya, lalu menggenggamnya erat dengan tangan kiri. Mungkin sakit? Tapi sepertinya tidak mungkin. Manato tadi tidak menggenggam terlalu kuat, dan tangan Riyo pun seharusnya terlindungi oleh Kudus.
“Ada penghuni di reruntuhan benteng itu?”
Saat Yori bertanya, Haru menggeleng.
“Sejauh yang kutahu, tidak ada. Dari arah sini memang kelihatan dindingnya masih utuh, tapi sebenarnya hampir dua pertiganya sudah runtuh. Bangunan utama juga sudah tidak bisa dimasuki.”
“Berarti nggak bisa dipakai, ya.”
“Benar. Tapi… aku masih kepikiran soal para pengikut Lumiaris yang datang ke Altana.”
Haru menunjuk ke arah barat.
“Sekitar empat kilometer ke barat dari sini, ada kota bernama Damuro. Seratus tahun lalu, tempat itu pernah dikuasai oleh bangsa goblin. Sekarang, para pengikut Dewa Kegelapan Skullhell yang bermukim di sana.”
“Dengan kata lain—”
Yori memegang dagunya, berpikir.
“Seluruh daerah sekitar sini termasuk wilayah kekuasaan Skullhell, ya?”
“Benar. Faksi Lumiaris dan faksi Skullhell terus bersaing memperebutkan pengaruh di seluruh Grimgar, tapi bagi mereka, wilayah selatan dari Dataran Quickwind dianggap terpencil. Faksi Skullhell lebih dulu menancapkan akar di Damuro, dan di bekas tambang Cyrene yang letaknya agak ke barat laut. Mereka juga sudah beberapa kali berhasil memukul mundur serangan dari faksi Lumiaris. Akhir-akhir ini memang sempat tenang… tapi.”
“Jadi sekarang, para pengikut Lumiaris mungkin sedang mengincar Damuro lagi. Itu dugaan Haruhiro, kan?”
“Ada kemungkinan seperti itu.”
“Berarti orang-orang yang Yori dan yang lainnya kalahkan kemarin… bisa jadi pasukan pengintai.”
“Mungkin saja.”
“Mereka hanya pelopor, sedangkan pasukan utamanya—atau sebagian dari pasukan itu—sedang bersembunyi di reruntuhan benteng itu, atau entah di mana. Dan pengintai dikirim untuk memata-matai Altana?”
“Karena belum pasti, aku ingin menyelidikinya langsung. Kalau aku sendirian, mungkin aku bakal mengurung diri saja di Bahtera dan menunggu badai reda.”
“Kalau begitu, kenapa kita nggak langsung pergi dan lihat saja?”
Manato mengangkat satu tangan sambil berkata santai, tapi wajah Yori langsung mengernyit.
“…Kelihatan banget bakal ketahuan penjaga, terus semuanya jadi kacau.”
“Benar juga. Tapi kalau kita hati-hati, jangan sampai ketahuan… hmm, apa ya… ah, ya, ini disebut penyelidikan? Eh, bukan… pengintaian! Itu dia. Aku pernah jadi pemburu, jadi cukup terbiasa dengan hal-hal kayak gitu. Hewan malah biasanya lebih sensitif daripada manusia. Dan lagi, tubuhku bisa pulih kalau terluka. Yori dan Riyo nggak begitu, kan?”
“Nggak secepat kamu, sih. Kami bisa melatih naiki buat mempercepat penyembuhan, tapi itu pun paling-paling cuma lebih cepat dari orang biasa, nggak sampai selevel kamu.”
“Baiklah.”
Haru melambaikan tangan, memberi isyarat.
“Aku dan Manato yang pergi. Yori dan Riyo tunggu di sini.”
†
Manato bisa berjalan dengan langkah ringan, nyaris hanya menggunakan ujung jari kakinya agar tidak menimbulkan suara. Tapi untuk benar-benar bergerak tanpa suara sama sekali… itu hampir mustahil. Kalaupun bisa, pasti akan butuh waktu sangat lama hanya untuk melangkah beberapa meter.
Haru jauh lebih cepat dan senyap. Langkah-langkahnya ringan, tapi tepat. Dia bergerak mulus, seolah sudah tahu di mana harus meletakkan kakinya tanpa perlu berpikir.
Dalam waktu singkat, Haru dan Manato sudah berhasil mendekati reruntuhan benteng, bersandar di sisa tembok pertahanan.
Dari posisi ini, mereka tak bisa melihat Yori dan Riyo. Kedua gadis itu sedang bersembunyi di balik bukit kecil di kejauhan.
Haru menunjuk ke arah timur. Manato membalas dengan anggukan, lalu Haru kembali bergerak.
Manato mengikuti di belakangnya.
Mereka menyusuri sisi dinding pertahanan hingga mencapai sudut. Begitu membelok, yang tampak hanyalah reruntuhan yang menjulang seperti gunung kecil, sisa dari sesuatu yang telah runtuh total.
Haru mengangkat telapak tangannya ke arah Manato—sebuah isyarat agar dia menunggu di situ. Manato mengangguk paham.
Haru mulai memanjat timbunan puing itu. Gunung reruntuhan itu hanya sedikit lebih tinggi dari tubuh mereka, jadi tidak butuh waktu lama. Dari puncaknya, Haru mengintip ke sisi seberang. Ia tak langsung menarik kembali kepalanya—diam mengamati situasi di dalam cukup lama sebelum akhirnya turun.
“Seperti yang kuduga. Pasukan pemuja dewa berkumpul di sana,” bisiknya begitu mencapai tanah.
Haru kemudian mendekat, membisikkan kabar ke telinga Manato. “Sedikitnya ada satu priest, dan jumlah mereka bisa puluhan… mungkin bahkan lebih dari seratus.”
“Itu termasuk banyak, ya?”
Manato bertanya tanpa suara, hanya menggerakkan bibirnya dengan jelas agar bisa dibaca. Cara itu cukup bagi Haru untuk mengerti maksudnya.
“Pengikut Damuro jumlahnya tak cuma ratusan. Dengan kekuatan sebanyak itu, tak mungkin mereka bisa merebut Damuro.”
“Berarti masih banyak lagi, ya?”
“Benar. Tapi bukan cuma soal jumlah… Kalau di antara mereka ada seorang saint, itu akan sangat merepotkan.”
“Saint… itu apa?”
“Kau tahu priest, kan?”
“Iya… yang tubuhnya tertutup semacam… perak? Kayak… ju? Jurai?”
“Jutai. Itu semacam tubuh penerima—energi Lumiaris disalurkan ke pengikutnya melalui inti cahaya heksagram dan membentuk wujud itu. Bukan benda biasa… lebih seperti makhluk hidup, dalam bentuk material.”
“Whoa. Jutai. Susah juga namanya.”
“Di atas priest biasa, ada pemimpin priest—seorang pengikut dengan kekuatan lebih besar, yang jutai-nya sebagian telah mengalami perubahan.”
“Perubahan…”
“Biasanya, sebagian tubuh jutai berubah menjadi semacam senjata.”
“Jadi, bisa kelihatan dari penampilannya?”
“Ya. Dan saint… adalah yang berada di atas itu.”
“Hmm…”
Priest memiliki beberapa inti cahaya heksagram di dalam tubuh mereka. Jutai-nya keras dan mereka memiliki kemampuan fisik di atas rata-rata. Kadang mereka mengucapkan mantra aneh dan tubuhnya bersinar, lalu kekuatannya meningkat drastis.
Pemimpin priest lebih kuat dari priest biasa.
Dan saint… lebih kuat lagi.
“Pfft…”
Manato nyaris tertawa. Suaranya hampir lolos, tapi buru-buru ia menahannya. Tertawa di saat seperti ini jelas bukan pilihan cerdas.
Haru menoleh sedikit, kepalanya miring tipis.
“…Apa yang lucu?”
“Enggak,” Manato menggeleng pelan. “Rasanya menakutkan. Tapi… kadang, saat takut, rasanya malah jadi menyenangkan, ya?”
“Aku sih enggak merasa begitu. Tapi… aku mengerti maksudmu. Ada, orang seperti itu. Yang merasakan semacam kesenangan justru saat mengambil risiko. Hmm… sekarang kupikir-pikir, Ranta cukup dekat dengan tipe itu.”
“Dia kan kakek buyutnya Yori dan Riyo.”
“Dua anak itu juga, kelihatannya punya sisi seperti itu. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa menyeberangi Pegunungan Tenryuu.”
“Kalau Haru beda?”
“Aku ini penakut—ayo kita terus selidiki dulu.”
Keduanya menunduk, melewati bagian dinding pelindung yang sudah runtuh. Sebagian masih berdiri, tapi di baliknya, reruntuhan sudah nyaris rata. Tidak ada apa-apa lagi—hanya kehancuran.
Haru mencondongkan tubuh dari sisi dinding yang roboh, lalu segera menarik diri. Ia memberi isyarat ringan dengan tangannya. Manato langsung mendekat.
“Ada sesuatu?”
“Dekat. Para paladin mengelilingi seorang priest. Jumlah mereka sekitar empat puluh.”
“Wah…”
“Itu sepertinya bisa dipanjat.”
Haru mendongak, menatap dinding batu di belakang punggungnya. Tingginya tak lebih dari tiga kali tinggi badan mereka. Banyak celah dan tonjolan kecil yang bisa dijadikan pijakan tangan dan kaki. Memang kelihatan bisa dipanjat. Dan justru karena merasa bisa, keinginan untuk mencoba jadi makin besar.
“Kau tunggu di sini.”
Saat Haru berkata demikian, Manato ingin membantah. Tapi, membantah orang yang sedang ingin dia balas budi rasanya bukan sikap yang benar. Tidak ada pilihan lain. Dengan pipi menggembung, ia mengangkat jempol ke arah Haru.
“…Jangan bergerak sebelum aku beri aba-aba.”
“Tenang aja. Aku bakal dengerin kata-katamu, Haru. Mungkin. Kira-kira, ya. Aku usaha. Beneran.”
Haru mulai memanjat dinding. Gerakannya cepat. Padahal, batu-batu itu tampak rapuh—bisa bergeser atau runtuh kalau dipijak. Tapi Haru tak pernah salah langkah.
Ia tak memanjat sepenuhnya. Tubuhnya masih bergantung di dinding, hanya kepalanya yang muncul separuh dari atas. Ia diam mematung.
“…Huh?”
Ada sesuatu.
Seperti suara.
“E’Lumiaris, Oss’lumi, Edemm’lumi, E’Lumiaris―”
Apakah itu suara?
Ya.
Itu pasti suara.
“Lumi na oss’desiz, Lumi na oss’redez―”
Bukan hanya satu suara.
Beberapa… tidak, banyak orang sedang melantunkan sesuatu. Bukan berbicara—lebih menyerupai… nyanyian.
“Lumi eua shen qu’aix, Lumi na qu’aix, E’Lumiaris―”
Lagu juga ada di Jepang.
Orang tua Manato kadang menyanyi, dan ia sendiri masih hafal beberapa. Di Tsunomiya dan Kariza, ia juga pernah mendengar nyanyian. Teman-temannya pun, masing-masing tahu lagu yang berbeda.
“Enshen lumi, Miras lumi, Lumi na parri―”
Tapi ini bukan nyanyian yang riang, dinyanyikan dengan suara lantang. Meskipun banyak yang menyanyi, itu bukan paduan suara yang harmonis.
Mereka menyanyi sendiri-sendiri—seperti orang yang bicara sendiri, pelan dan berbisik, sambil menunduk.
“E’Lumiaris, Me’lumi, E’Lumiaris―”
Volume suara masing-masing kecil. Tapi, suara nyanyian itu makin lama makin terdengar jelas. Sepertinya para paladin tersebar di dalam benteng, dan mereka mulai bernyanyi satu demi satu, sehingga suara keseluruhan perlahan meningkat.
Entah kenapa… ada sesuatu yang mengusik.
Semua suara itu datang dari dalam benteng, tapi kesannya seperti mereka sedang dikepung nyanyian itu dari segala arah.
Haru akhirnya turun dari dinding.
“Kita kembali,” ucapnya singkat, lalu langsung berbalik dan berjalan ke arah semula.
Ada sesuatu yang tak biasa.
Melihat sikap Haru, lebih baik tidak banyak tanya dan mengikutinya saja.
Sesampainya di bukit kecil tempat mereka semula bersembunyi, Yori dan Riyo masih menunduk rendah, menanti.
“Gimana?”
Yori bertanya pelan. Haru menghela napas pendek dari balik topengnya.
“Kabar buruk. Di dalam benteng ada setidaknya tiga ratus paladin. Bahkan ada seorang Saint.”
“Saint?”
Saat Haru memberi penjelasan yang sama seperti yang ia berikan pada Manato tadi, Yori mengernyit, tampak berpikir.
“Jadi, ini artinya perang akan segera dimulai? Kami menghabisi satu kelompok pengikut Lumiaris di bekas kota Altana. Kira-kira itu bakal berpengaruh nggak, ya…? Yah, memang merepotkan, tapi untung semuanya benar-benar kami habisi. Kalau satu saja lolos, bisa saja mereka sudah memberi tahu siapa kami pada para pengikut di benteng. Kalau begitu, setidaknya Bahtera masih aman, kan?”
“Sejauh ini, belum pernah diserang oleh pihak mana pun.”
“Kalau begitu, dalam skenario terburuk pun, kita masih punya tempat untuk berlindung. Tapi bagaimana menurutmu, Haruhiro?”
“…Benar juga…”
Jawaban Haru terdengar ragu. Aneh. Apa hanya perasaan Manato saja?
Sejak turun dari dinding, sikap Haru berubah. Lebih gelisah. Apakah karena lagu tadi?
Atau ada hal lain yang belum ia katakan?
“Saint…?”
Manato bergumam, dan Haru perlahan memalingkan wajahnya, menatapnya dari balik topeng.
“…Kenapa dengan Saint?”
“Ah, aku cuma… melihat ekspresimu. Haru, kamu melihat… Saint, ya?”
“Dia duduk di bagian tertinggi dari benteng yang masih tersisa. Sesaat, aku sempat mengira dia menyadari keberadaanku… tapi sepertinya cuma kekhawatiranku saja.”
“Umm, err…”
Manato menepuk-nepuk pelan pipinya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal. Tapi ia tak bisa menemukan kata yang tepat.
“Eh, iya… Haru, sebelumnya kau pernah bertemu si Saint ini?”
“Beberapa kali. Seratus tahun bukan waktu yang singkat. Dan juga, Saint bukan hanya satu orang. Ada banyak dari mereka… meskipun, bertemu, ya. Dibilang bertemu pun…”
“Kau cuma melihatnya?”
“Bukan.”
“Kau bertarung melawan mereka?”
“Bukan pertarungan langsung. Lebih seperti dikejar… dan berhasil lolos.”
“Apakah Saint yang ini seseorang yang Haruhiro kenal?”
Mendengar pertanyaan Yori, Manato merasa menemukan jawabannya. Pasti itu.
Mungkin Haru memang mengenal Saint yang ada di benteng itu. Ia memang punya firasat ke arah sana sejak awal.
“…Bagaimana menjelaskannya ya…”
Haru menundukkan kepala.
“Saint tidak lahir sebagai Saint. Mereka dulunya priest atau paladin yang melayani Lumiaris. Dulunya manusia. Bahkan di pihak Skullhell, ada atasan mereka yang sepadan dengan Saint—disebut Oni-Kami—dan mereka juga awalnya manusia.”
“Mereka dulu… manusia?”
Yori bergumam pelan.
“Orang-orang yang telah berbakti… tidak mati,” ucap Riyo lirih.
Manato menyilangkan tangan dan menatap langit.
“Jadi, Haru mengenal Saint itu. Dia dulunya manusia. Dan dia tidak mati. Kalau begitu… berarti Haru tahu seperti apa dia saat masih menjadi manusia?”
“Benar,” Haru menekan topengnya dengan satu tangan.”Saint yang berada di benteng itu adalah Tidariel, Saint of Chaotic Tremors. Aku mengenalnya sejak dia masih manusia. Kami pernah bertarung berdampingan—berulang kali…”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] yang Telah Kita Lupakan?Bab 6 – Sesuatu yang Bukan ManusiaBab 7 – Dalam KetidaktahuanBab 8 – Lagu SuciBab 9 – Hancurkan SegalanyaBab 10 – Dalam Menjadi DirikuBab 11 – Kini SaatnyaBab […]