Bab 8 – Ketidaksempurnaan (Grimgar)

“Kan kita punya hubungan khusus, bukan! Hei! Cheriel…!”

Begitu suara itu terdengar, Yori merasa seolah diseret paksa kembali ke dunia nyata. Namun kenyataannya pun tak kalah buruk. Tubuhnya dipelintir dan dibekap oleh sesuatu yang hitam, dan entah bagaimana ia masih bisa bernapas—itu sendiri adalah keajaiban.

“Kau yang pernah tidur bersamaku…! Hey! Cheriel…!”

Ia mengenali suara itu.

Seorang Saint.

Saint of Tremors—Taidariel.

“Akan kubunuh kau…”

Tiba-tiba saja, amarah murni yang membara menggelegak dari dalam dirinya. Ia tahu betul bagaimana cara mengendalikan emosi sekeras itu. Atau mungkin, kata “tahu” tak lagi tepat. Emosi semacam itu telah menyatu dengan tubuhnya; ia bisa mengendalikannya tanpa perlu berpikir. Ia hanya bereaksi, secara alami, tanpa ragu.

Dalam pelatihan Dasar Pertama dari Enam Tingkatan Rokushi—Ilmu Tempur Penyatuan Tubuh dan Roh—praktisi diajarkan merasakan naiki (energi dalam) melalui latihan fisik, mengasah dan mengendalikannya. Kemudian, pada Tingkatan Ketiga, mereka mulai melatih pelepasan naiki ke luar tubuh secara langsung, dan belajar meningkatkan volumenya melalui berbagai teknik. Namun dia… tanpa perlu diajari, mampu mengubah ledakan emosi menjadi naiki. Dan melakukannya seketika.

Dengan memanfaatkan naiki yang kini meluap-luap dalam tubuhnya, ia meledak keluar dari belitan gumpalan hitam itu, kecepatan dan kekuatannya melonjak drastis.

Dan ia melihatnya.

Saint of Tremors—Tidariel.

Makhluk menjijikkan itu, yang seluruh tubuhnya tertutup cahaya menyilaukan, adalah bentuk hidup yang buruk rupa dan tak sedap dipandang. Tubuh bagian atasnya berbentuk segitiga terbalik, dan entah bagian mana yang bisa disebut sebagai kepala—karena yang ada hanya bentuk yang menyerupai kepala. Dari kedua sisi atas tubuhnya tergantung lengan besar menyerupai palu raksasa, sementara kedua kakinya tampak anehnya terlalu ramping.

Apa yang sedang dilakukan Tidariel? Ia menghantam Chegubrete of Remorse dengan kedua lengannya yang berbentuk palu. Setiap kali palu itu menghantam, lengan hitam milik Chegubrete tercabik dan hancur, beterbangan ke segala arah.

“Hi-hi-hi-ha-ha-haaa…! Cheeerieeeel! Dasar pengkhiaaaat!”

Hentikan.

Darahnya mendidih.

Berhenti.

Pembuluh darahnya seakan akan meledak.

Berhenti.

Jantungnya hampir meledak.

Berhenti.

Berhenti.

Berhenti.

Apa yang telah dialami Chegubrete, dia tahu benar. Dia memang bukan Chegubrete—dia mengerti itu. Tapi, apakah perlu membuat batas yang tegas? Chegubrete memang telah melakukan dosa yang tak terampuni. Itu pun dia pahami. Tapi hanya karena itu, apakah Chegubrete harus menerima semua hukuman ini begitu saja? Menerima dan menunduk, seolah semua ini pantas?

Tidak mungkin, tegasnya dalam hati. Bahkan jika para dewa menyetujui, dia akan menolaknya.

Apa itu “dewa”?

Persetan.

Dia tahu.

Dia mengetahuinya secara langsung—dengan tubuh dan jiwanya sendiri.

Tidariel.

Dia tahu apa yang telah dia lakukan pada Chegubrete.

Bukan hanya pria itu.

Dia tahu apa mereka lakukan.

Tak bisa diterima.

Tak mungkin dimaafkan.

Sudah berapa lama sejak terakhir kali dia merasa semarah ini? Mungkin pertama kali seumur hidup. Atau setidaknya, sudah sangat, sangat lama.

Bisakah dia benar-benar mengendalikan emosi sebesar ini—sebanyak ini?

Tentu saja bisa.

Guru langsungnya, Guru Agung Rokusokutai Wandanborou, pernah berkata bahwa itulah bakat ilahinya—karunia dari langit.

Bahwa bahkan hasrat dan amarah pun bisa diubah menjadi naiki. Meski, dalam kebanyakan kasus, emosi yang berlebihan justru menjadi penghambat.

Namun dia berbeda.

Dengan mengubah hasrat membara menjadi naiki, dia bisa menjaga kejernihan pikirannya, tak peduli seberapa keras jantungnya berdegup.

Seorang petarung harus tetap tenang, bahkan ketika kematian telah berdiri di hadapan.

Pikiran harus setajam biasanya, sama seperti saat tenang.

Dan dia mampu melakukannya.

“Che—riell! Cherieeeeel! Cheriel! Che—riel!”

Jangan sebut nama itu.

Tidariel.

Menjijikkan.

Dasar bajingan.

Semakin marah dia, semakin deras naiki mengalir dalam tubuhnya.

Dia telah mengulang-ulang pelatihan untuk menjaga agar ki itu tak meluap keluar—tanpa henti dan tanpa jemu.

Pada tingkat keempat dari Rokushi, aliran bela diri terpadu, yaitu Yonshiki, seseorang harus membuka persepsi luar (gaiki-kaku) untuk bisa melihat aliran ki dari luar tubuh, mempelajari cara menggunakannya, dan kemudian mempertemukannya dengan ki dalam tubuh.

Dengan kata lain, menyatukan keduanya dalam interaksi ki dalam dan luar.

Ki yang telah menyatu itulah yang disebut Gouki—Qi Gabungan.

Dan Gouki itulah yang digunakan dalam Tingkatan Kelima: Goshiki.

Rokusoki terletak setelah itu.

Saint of War, Momohina—yang menyempurnakan Ilmu Bela Diri Terpadu Enam Tingkatan (Tōgō Bufō Rokusoki) dengan mewujudkan Gouki (Qi Gabungan)—telah mencapai pemahaman mendalam: bahwa ki dalam dan ki luar sejatinya bukanlah dua hal yang berbeda secara hakiki.

Lebih jauh lagi—ki dalam, ki luar, benda-benda fisik, dan materi—pada akhirnya, semua itu bersumber dari esensi yang sama.

Segala sesuatu berada dalam siklus lahir dan musnah, terus mengalir dan berubah.

Kebulatan Ki dan Materi.

Itu bukan sesuatu yang cukup dipahami secara logis.

Harus dirasakan, dialami secara langsung—jika tidak, ia tak akan memiliki makna sejati.

Hanya ketika seseorang merasakan kesatuan antara ki dan materi itulah, ia akan mencapai Rokusoki.

Konon, hanya dua orang yang pernah mencapai tingkatan itu: Saint of War Momohina dan murid utamanya, yang juga merupakan guru dari Yori—Guru Agung Rokusoki Wandanborou.

Nenek buyutnya, Yume, juga pernah dikatakan telah menyentuh pengalaman kesatuan ki dan materi saat turut membantu Wandanborou dalam membentuk ajaran Rokusoki. Namun, nenek buyutnya sendiri selalu membantah. Baginya, Rokusoki adalah warisan Momohina dan para penerusnya—bukan untuk dirinya. Dia tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari aliran itu.

Begitulah keras kepalanya sang nenek buyut.

Namun tetap saja—Yori yakin: nenek buyutnya pernah merasakan kesatuan itu. Dia percaya sepenuhnya. Karena benih pemahamannya sendiri terhadap kesatuan ki dan materi tumbuh bukan dari ajaran formal apa pun, melainkan dari kata-kata sang nenek buyut.

“…Nenek buyut, Yori, juga Riyo… semuanya sama saja, tahu. Semuanya satu.”

Nenek buyutnya sering berkata seperti itu sambil mendudukkannya di pangkuan, memeluknya dari belakang, menggenggam kedua tangannya.

Ucapannya tak berubah, diulang-ulang hingga puluhan, ratusan kali. Dia mungkin tak ingat lagi tiap katanya secara harfiah, tapi maknanya terpatri dalam dirinya.

Bukan hanya Yori dan Riyo, atau orang-orang yang punya hubungan darah—tapi juga orang-orang di sekitar mereka, bahkan mereka yang lewat tanpa nama atau sapaan.

Semuanya satu.

Kadang, nenek buyutnya akan memungut batu kecil atau daun kering dan berkata, “Ini juga sama.”

Di lain waktu, sambil menatap matahari dengan mata menyipit, dia akan berbisik, “Semuanya satu adanya.”

Yang dimaksud sama oleh sang buyut bukan sekadar berada di tempat yang sama. Maksudnya adalah menjadi satu, tak terpisahkan. Sampai Yori mencapai tahap pelatihan keenam, ia belum sepenuhnya memahami maksud itu. Namun ketika pandangan tentang Kebulatan Ki dan Materi mulai tampak di kejauhan, dunia sebagaimana yang dahulu dirasakan oleh sang buyut pun terhampar di hadapannya.

Dengan kata lain, orang yang membuatnya benar-benar merasakan makna dari Kebulatan Ki dan Materi—adalah sang buyut.

Karena sang buyutlah, ia mampu mencapai tahap keenam di usia muda.

Karena sang buyutlah, ia dipandu menuju ke sana.

Karena sang buyut pulalah, ia terlahir ke dunia ini.

Dan sekarang, meski sang buyut telah tiada, ia tetap bersama sang buyut.

Mereka selalu bersama.

Tahap Keenam…

Ia pun mencabut pedangnya.

Namanya Frenzy.

Sebuah pedang merah dari batu permata, ditempa oleh sang pandai besi legendaris bernama Wobonak. Pedang lurus bermata dua yang terbuat dari paduan logam berwarna merah ini dikenal sebagai pedang merah. Di Benua Merah, pedang semacam ini cukup mahal, meski tidak bisa dibilang langka. Bahkan karya Wobonak, yang telah lama meninggal, masih beredar dalam jumlah ratusan.

Frenzy dianggap sebagai mahakaryanya—meski tak memiliki kekuatan istimewa. Ia hanya menggunakannya karena pedang merah umumnya memiliki afinitas tinggi terhadap Ki Gabungan, dan hasil karya Wobonak terkenal akan daya tahannya yang luar biasa.

Dalam satu sisi, tubuhnya kini diselimuti Ki Gabungan. Meski Ki dan tubuhnya adalah dua hal yang berbeda, secara esensial mereka satu dan sama. Antara keduanya, bisa dikatakan ada batas, namun sekaligus tak ada.

Dengan tubuh yang dibalut Ki, ia melesat di atas lengan-lengan hitam yang saling bertubrukan dan mengalir deras seperti arus keruh. Di tengah derasnya arus itu, ia melihat adiknya—berjuang, terombang-ambing, mencoba meraih lengan Manato.

Sebagai kakak, tentu ia ingin menyelamatkan adiknya. Tapi hatinya tak lagi terusik.

“Yori…!?”

Yang memanggil namanya adalah Haruhiro. Ia mengangkat Tata dengan satu lengan dan tengah berusaha melarikan diri dari arus deras lengan-lengan hitam.

Adiknya pasti akan menangani Manato. Selama ada Haruhiro, Tata akan baik-baik saja.

Bukan berarti ia merasa lega.

Ia hanya mengonfirmasi kenyataan sebagaimana adanya.

s

“—Aaahhnn…!?”

Tidariel, Saint of Tremors yang tengah mengayunkan kembali lengan raksasa berbentuk palu ke arah Chegubrete of Remorse—yang berusaha melindungi diri dengan mengerahkan kumpulan lengan hitam—mendadak menoleh ke arahnya.

Bagian yang menyerupai sisi atas dari segitiga terbalik, yang juga berbentuk hampir serupa, adalah kepala Tidariel. Di sana terdapat dua lubang menyerupai mata, memancarkan cahaya tajam yang menyilaukan.

“Heeey! Mau mengganggu, hah!? Manusia rendahan…!”

“Yang sudah berhenti jadi manusia tak pantas bicara begitu…!”

Semakin emosi berkecamuk dalam dirinya, semakin kuat pula gerakannya terwujud menjadi aiki—harmoni dalam benturan.

Ki dan Materi, Menjadi Satu.

Segalanya adalah satu kesatuan—serupa, namun tak sama.

Angin yang mengalir dan hasrat yang menyala.

Cahaya dan kegelapan.

Oni kami dan saint.

Manusia dan bukan-manusia.

Diri dan yang lain.

Langit dan bumi.

Darah dan air.

Dengan keenam nyala yang telah ia bangkitkan, ia mendekat pada Tidariel, tetap sebagai dirinya sendiri.

Bergerak seperti sedang berjalan.

Berpindah seperti hendak berhenti.

Bernapas seperti menahan napas.

“Remuk dan sinarilah dirimuu…!”

Tidariel mengayunkan lengan kanannya—yang menjelma menjadi palu raksasa—miring ke bawah, mengarah langsung ke tubuhnya.

Lengan kanan berbentuk palu raksasa itu menyentuhnya.

Tepatnya, menyentuh aiki yang membungkus tubuhnya.

Namun aiki itu telah menyatu dengannya—dan karenanya, juga merupakan dirinya sendiri.

Bahkan wujud asing semacam lengan palu raksasa, yang diberikan Tidariel oleh cahaya Lumiaris sebagai alat penerima serangan, selama masih eksis di dunia ini, bisa dikatakan sebagai bagian darinya, dan bisa juga dianggap sebagai dirinya sendiri.

“Apa-apaan itu…!?”

Tidariel menggeram. Suaranya bergema lewat seluruh tubuhnya, menggetarkan udara di sekitarnya.

Namun lengan palu raksasa itu tak menghancurkannya. Tak melukainya sedikit pun. Hanya meluncur melewati permukaan tubuhnya, seakan terpeleset. Tak satu pun pukulan mencapai sasarannya. Di mata Tidariel, dirinya tak lebih dari darah—tak lebih dari air.

“Bersiaplah, bajingan—!”

Dia sudah berada di dalam jangkauan Tidariel. Amarah yang meluap ini, yang seolah menerobos langit, tak mengoyaknya menjadi kegilaan. Amarah ini hanya memperkuatnya. Menguatkannya. Terus menguatkan dirinya. Di tangannya yang tetap tenang dan tak tergoyahkan, tergenggam sebilah pedang merah yang ironisnya dinamai Frenzy—Kegilaan.

Pedang merah itu adalah bagian dari dirinya—namun juga bukan dirinya.

“DIE・A・DRA.”

Itulah Rokushi-nya. Miliknya sendiri, dan hanya miliknya.

Rokushi milik sang Saint of War, Momohina, dinamai RAY・K. Sementara Rokushi sang Guru Agung Wandanbollow ia namai UNTMYM.

Dan pada saat ia mencapai Rokushi, ia tahu dengan pasti.

Bahwa miliknya adalah—DIE・A・DRA.

Ia menekan bagian dada Tidariel dengan tangan kirinya.

“Uh…!?”

Tidariel mengerang pelan. Namun saat itu juga, pedang merah miliknya, Frenzy, telah menebas kedua lengan Tidariel.

“Uh?”

“Uh!?”

“Uhh…!?”

“Oooooohhhh…!?”

Tidariel tercabik menjadi tiga puluh dua bagian, tubuhnya tercerai-berai.

Namun, waktu sudah tak tersisa bagi Yori untuk melakukan hal lain. Ia menyadari itu sepenuhnya. Rokushi miliknya memiliki cacat—dan bukan cacat sembarangan. Cacat yang sangat fatal. Karena itulah, Gurunya, Wandanboro, melarangnya untuk menggunakan Rokushi. Namun demikian, ia melanggar larangan itu.

Ia meninggalkan Tidariel yang telah terpotong-potong dan segera bergerak pergi dari tempat itu. Ia harus cepat. Tapi tak ada rasa panik dalam dirinya. Ia tetap tak terguncang.

“Kuh!”

“—Uraaah!”

“Jangan lari, kau…!”

“Manusia sialan…!”

Suara Tidariel menggema di belakang. Hanya karena tubuhnya dicabik-cabik, bukan berarti makhluk seperti itu akan musnah. Ia pun tahu betul akan hal itu.

Lalu bagaimana caranya membinasakan sesuatu seperti Tidariel, Saint of Tremors?

Ia tak tahu jawabannya.

Dengan kata lain, setidaknya untuk saat ini, satu-satunya cara baginya untuk mengalahkan Tidariel hanyalah melalui keajaiban belaka.

Meskipun tahu itu, ia tetap memanggil Rokushi dan mencincang tubuh Taidael tanpa ragu.

Dia bukan melanggar pantangan itu karena kehendaknya sendiri. Tanpa sadar, tanpa maksud, ia telah melanggarnya.

Bukan karena ia ingin menggunakan Rokushi.

Saat menyadarinya, Rokushi itu telah menampakkan diri, entah mau atau tidak.

Dan Rokushi miliknya—tak bisa dipertahankan lama.

“…urk.”

Dia mulai kacau.

Aliran ki dalam dan ki luar terlepas dari kendali. Ki luar tersebar ke sekeliling, dan ki dalamnya juga mulai mengalir keluar dari tubuhnya.

Ia berusaha sekuat tenaga menahan ki itu di dalam tubuhnya. Dulu ia bisa mengendalikannya dengan mudah, tapi sekarang entah kenapa, tak satu pun mau menuruti perintah.

Karena dirinya kacau.

Apa yang kacau?

Semuanya.

Ia ingin menarik napas, tapi malah menghembuskan. Ingin membuang napas, tapi malah menarik. Saat seharusnya kaki kanan melangkah lebih dulu, yang maju justru kaki kiri. Apakah dia sedang mengayunkan tangan? Atau mengibaskannya secara membabi buta?

“Frenzy…!”

Tidak. Tidak boleh. Ia tak boleh melepaskan Pedang Merah ini. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap menggenggamnya. Kalau tidak, ia bahkan tak bisa melindungi diri. Tapi—dalam kondisi seperti ini, bagaimana caranya melindungi diri?

Kepalanya hampir membentur dinding. Dinding batu di reruntuhan.

“Sial—!”

Dalam kondisi seperti ini, mungkin lebih baik kalau kepalanya dihantamkan saja ke dinding. Tapi untuk apa? Itu tindakan bodoh. Jelas-jelas tak seharusnya dilakukan. Tapi entah kenapa, seolah tak ada pilihan lain.

Ia menerjang ke arah dinding batu.

Di detik terakhir, tubuhnya diputar paksa.

“—Guh…!”

Bukan kepalanya—punggungnya yang menghantam dinding keras itu. Tapi Pedang Merah, Frenzy, masih tergenggam di tangannya. Ia mencoba menjauh dari dinding. Bahkan untuk sekadar berdiri pun, rasanya mustahil. Ia memutar tubuh ke kiri, lalu bersandar pada batu. Giginya mengatup rapat. Air mata merembes.

Ia telah melampaui batas. Padahal ia pikir, dirinya sudah mulai bisa mengendalikan diri. Tapi kenyataannya, ia lengah. Serangan dari oni kami itu terlalu tiba-tiba. Tidak adil. Siapa pun akan tumbang bila dipaksa mengalami semua itu.

Ataukah… apakah ia benar-benar mengalami hal itu?

Sudah tentu, semua itu bukanlah kejadian yang benar-benar menimpa dirinya sendiri.

Itu adalah rasa bersalah milik Chegubrete. Si iblis. Mantan rekan Haruhiro. Dulu dia manusia. Seorang perempuan. Gadis kecil. Chibi. Mereka dulu memanggilnya begitu. Ia tak sepenuhnya yakin apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan adalah kenyataan. Tapi bagi Chegubrete—bagi si Chibi—itu adalah kebenaran. Sebuah kebenaran yang telah diperlihatkan padanya. Diperkenalkan. Dirasakan.

Apa Chegubrete memang punya kekuatan seperti itu? Untuk membagikan rasa sakit dan penderitaannya?

“Wahai cahaya…!”

Bahkan sebelum seruan itu terdengar, ia sudah menyadari kehadirannya—seorang Penganut Lumiaris, tubuhnya dilapisi jutai yang bersinar redup.

Namun Yori tak sempat bersiap. Ia terlambat.

Penganut itu sudah mengangkat tsuchihoko—semacam tombak-palu, entah mengapa mirip leher bebek atau angsa. Tak tampak berbahaya, tapi bila dihantamkan langsung, tak diragukan akan menghancurkan tubuhnya.

“—Nngah…!”

Ia tidak menangkisnya dengan Pedang Merah—melainkan mengalihkan serangan itu sambil melompat ke samping, mencoba menjauh sejauh mungkin dari lawannya. Gerakannya terlalu besar, posturnya kehilangan keseimbangan. Pasti bukan keputusan terbaik. Tapi ia tak punya pilihan.

Jika ia hanya mencoba menghindar tanpa mengangkat pedang, kepala palu itu pasti sudah mengenai salah satu bagian tubuhnya.

“Cahaya…!”

Palunya yang besar ditepis ke atas, si Pengikut langsung melanjutkan serangan susulan.

Saat ini, dia bahkan tak bisa mengendalikan ki luar—bahkan ki dalam pun tak bisa ia atur dengan baik. Bahkan bagi orang yang tak mampu merasakan ki, pergerakan tubuh tetap melibatkan aliran ki dalam. Dia memang seorang yang terlatih dalam ilmu bela diri, tapi dalam keadaan sekarang, dia bergerak tak ubahnya orang yang benar-benar awam.

“—Kuh…!”

Kalau sudah begini, satu-satunya pilihan hanyalah menghindar sekuat tenaga. Dia tak bisa melakukan hal lain.

Sungguh memalukan.

Tidak. Jangan pikirkan itu.

Kalau kau menganggapnya memalukan, itu justru akan menghambat keberanianmu untuk bertarung mati-matian. Anggap saja dirimu seekor tikus yang terpojok. Seekor tikus kecil yang akan langsung dimakan hidup-hidup bila ditangkap oleh pemangsa. Lari. Hindari. Lari. Lari. Lari. Bertahan hidup. Terus hidup. Tetap hidup—hanya demi satu detik berikutnya.

Sembari menggerakkan tubuh, dia memaksakan diri untuk pulih. Mencoba merasakan kembali aliran ki dalamnya. Jika dia bisa benar-benar merasakannya, maka dia bisa kembali mengendalikannya. Dan setelah itu, ia bisa mulai membentuk dan mengalirkannya kembali.

Namun sebelum itu terjadi, si Pengikut tiba-tiba mundur selangkah.

“Lumi, Betect’os, Edem’os, Tem’os desiz, Tem’os redez, Lumi eua shen qu’aix, Fraw’ou qu’betecra’jis lumi.”

Kata-katanya meluncur begitu cepat—seperti mantra. Dia sedang melafalkan sesuatu. Di seluruh permukaan jutai—semacam wadah tubuh yang menutupi dirinya seperti zirah penuh—muncul pola-pola bercahaya yang samar.

“Lumi garand’es tia vurre eskalys.”

Tanpa jeda, si Pengikut melafalkan sesuatu lagi. Dan cahaya pada pola-pola itu mulai memudar—atau lebih tepatnya, jumlah bagian yang bersinar mulai berkurang.

Itu tidak bagus. Aku harus waspada.

Namun saat pikiran itu melintas, si Pengikut sudah berada tepat di depan matanya.

Cepat sekali.

Terlalu cepat.

Aku tidak akan sempat menangkis—aku akan—


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x