Dibekuk, dicabik, lalu dipisahkan.
Apa pun yang sebenarnya terjadi, begitulah rasanya.
Manato terseret dalam arus yang luar biasa kuat. Dihantam dan diombang-ambingkan oleh sesuatu yang hitam pekat, ia menyadari satu hal: sosok apa pun itu bukanlah dirinya.
Aku Manato.
Kalau begitu—rasa sakit dan penderitaan yang masih begitu nyata ini pun bukan milikku juga.
Tapi kenyataannya, Manato hampir tak bisa bernapas di dalam pusaran benda hitam itu. Terus terang, ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia merasa seperti masih hidup, mungkin, tapi sepertinya itu hanya karena dirinya belum sempat mati. Atau jangan-jangan, ia memang sudah di ambang kematian.
“Bukankah kaulah yang bercumbu denganku…! Hei, Cheeerrrrriel…!”
Suara itu—ia tahu suara itu.
Seorang saint.
Saint of Tremors, Tidariel.
Kenapa?
Kenapa suara Saint Tidariel bisa terdengar di sini?
Tapi ini bukan saatnya mempertanyakan hal itu. Kalau terus dikepung oleh benda hitam kental seberat lumpur basah yang menyelimuti seperti rawa ini, ia benar-benar akan mati. Dengan sisa tenaganya, Manato mengayuh, meronta, menerobos benda hitam itu. Wajahnya muncul ke permukaan—atau sebagian dari wajahnya, setidaknya. Ia bisa sedikit bernapas melalui hidung. Warna lain mulai terlihat. Bentuk-bentuk samar, bukan hanya hitam semata. Ia tak tahu itu apa.
Tapi semuanya terasa menyilaukan.
Hanya sekejap.
Ia segera tenggelam dan segalanya menjadi gelap gulita lagi. Atau seharusnya disebut hitam pekat? Entahlah.
Apa ini… akhirku?
Sudah tak ada harapan lagi, ya?
“—Manato…!”
Seperti ada yang memanggil namanya. Atau mungkin hanya perasaannya saja.
Tapi itu bukan hanya perasaan.
Sesuatu mencengkeram pergelangan tangan kirinya.
Ditarik.
Tangan kirinya seperti akan tercabut.
Bahunya seperti akan lepas.
Lengannya nyaris terputus.
Tubuhnya terangkat, melayang.
Manato terpental keluar dari arus hitam pekat itu.
Meski lengannya tak benar-benar terlepas, rasa seolah bahunya terlepas masih terasa jelas.
Ia sempat keluar dari pusaran hitam itu, namun segera terseret kembali. Tak sepenuhnya—sekitar separuh tubuhnya masih berada di luar arus itu.
Secara naluriah, Manato memahami.
Bukan “sesuatu”, tapi “seseorang”—seseorang sedang mencoba menariknya keluar dari kegelapan itu. Riyo. Namanya dipanggil Riyo. Itu barusan pasti suara Riyo.
Riyo mencengkeram pergelangan tangannya, berusaha sekuat tenaga menariknya keluar dari pusaran hitam yang menggulung.
Kalau ada yang sudah sejauh itu mencoba menyelamatkannya, maka sebaiknya ia juga mencoba untuk selamat.
Bukan berarti Manato tidak ingin hidup—tentu saja ia ingin.
Hanya saja, masalahnya, ia tidak tahu harus melakukan apa.
Ia juga tak punya cukup waktu atau ruang untuk berpikir dengan tenang.
Untuk sekarang, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menggerakkan tubuhnya ke arah yang ditarik Riyo.
“Abaaaabaaabaaaabababababaaaaa…!”
Ia tidak bermaksud mengeluarkan suara aneh. Itu hanya meluncur begitu saja saat ia berjuang sekuat tenaga.
Entah di momen yang mana, sebagian besar tubuhnya berhasil keluar dari aliran deras benda hitam itu. Manato pun segera bangkit dan berlari. Lengan kirinya—yang sedang ditarik Riyo—terasa lemas dan tak bisa digerakkan. Sakit, memang. Tapi ini bukan saatnya mengeluh soal rasa sakit. Ada kekhawatiran bahwa jika Riyo melepaskan tangannya sekarang, mereka akan terpisah dan tak akan bertemu lagi. Lengan kirinya terasa nyeri luar biasa—yang berarti Riyo masih menariknya. Riyo ada di sana.
Manato tersadar. Daripada hanya menunduk, kenapa tidak ia angkat wajahnya dan melihat sendiri apakah Riyo masih bersamanya? Ia melakukannya—dan benar saja, punggung Riyo tampak di depan.
“Lepasin tanganku…!”
Begitu ia meminta, Riyo langsung melepasnya. Rasa sakit karena ditarik pun lenyap. Tapi lengannya tetap tidak bisa digerakkan. Itu hanya berayun-ayun, tetap terasa nyeri.
Riyo terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Manato tak sempat menoleh. Ia hanya menahan lengan atas kirinya dengan tangan kanan, berusaha sebisanya agar tak banyak bergerak. Tetap saja sakit—tapi ia menahannya, dan terus mengejar Riyo. Itu saja sudah sangat sulit.
Sudah seberapa jauh mereka berlari? Di mana ini?
Ia melirik ke kanan dan kiri—reruntuhan dan pepohonan menghampar di sepanjang jalan. Apakah ini masih bagian dari Kota Tua Damuro?
Sebenarnya… apa yang sebenarnya terjadi?
Ia—ditelan oleh Chegubrete of Remorse. Lengan-lengan hitam itu. Ya, oleh lengan hitam. Lalu setelahnya…?
Rasanya seperti habis terbangun dari mimpi buruk yang sangat panjang. Seperti mimpi yang menyiksa dan tak kunjung berakhir. Dalam mimpi itu, Manato adalah Chegubrete. Atau, lebih tepatnya, Chibi. Chibi. Atau mungkin Chibisuke? Tapi juga… ia adalah Cheriel. Semuanya menjadi satu. Satu sosok yang sama—jika memang para saint atau oni kami bisa disebut “sosok.”
Ia telah membunuh rekan-rekannya.
Rasa sakit dan penderitaan ini akan selalu menyertainya. Selamanya.
—tidak.
Ini bukan tentangku.
Dia tahu itu. Yang itu punya Chibi-chan. Sempat dikenal sebagai Cheriel, Saint of Cherished Devotion dari Sekte Cinta dan Belas Kasih. Seorang pemuja Luminis, dewa cahaya. Tapi sekarang—dia bukan lagi orang yang sama. Dia telah menjadi oni kami. Chegubrete of Remorse.
Manato bukan Chibi-chan. Bukan Cheriel. Bukan Chegubrete.
Aku bukan dia.
Bukan, demi apa pun, bukan.
Kalau dia tak terus-menerus menegaskan itu pada dirinya sendiri, rasa sakit itu—penderitaan milik Chegubrete, milik Chibi-chan—akan membanjiri dirinya. Mual. Bukan sekadar isi lambung, tapi seluruh organ lambungnya seakan hendak naik ke kerongkongan dan keluar lewat mulut.
“—Khh…!”
Tiba-tiba, Riyo yang berada di depan membalikkan tubuh ke kiri.
Sesuatu yang gelap menerjang dari arah kiri—dan entah bagaimana, Riyo berhasil menendangnya.
Karena kejadian itu terjadi begitu cepat, Manato tak sempat melihat dengan jelas, tapi yang pasti—sesuatu memang datang menyerang, dan Riyo menghalaunya.
Manato secara refleks menghentikan langkah. Ia mencoba mencari sosok gelap yang tadi ditendang Riyo. Tapi justru saat itu, sosok gelap lainnya—atau mungkin yang sama?—melompat ke arahnya.
Ia tak tahu pasti apakah itu yang tadi atau bukan. Tapi yang jelas, kalau saja Riyo tidak segera berputar dan memukul balik makhluk itu, Manato pasti sudah terpental atau terkunci dalam cengkeraman.
Manato menutup mata lalu membukanya lagi. Kepalanya diguncang hebat, berusaha menjernihkan pikirannya.
“Ah, cukup sudah…!”
“Musuh datang…!”
Riyo mengucap singkat—dan melompati Manato.
Tentu saja ia tak melakukan itu tanpa alasan. Tepat ke arah Manato, sesuatu yang hitam meluncur, menyerang. Riyo menendang makhluk itu di udara, menjatuhkannya ke tanah.
Akhirnya, Manato bisa melihat dengan jelas wujud dari benda hitam itu. Seluruh tubuhnya tertutup semacam benjolan hitam yang menyerupai tumor atau bisul busuk. Kalau ia tak salah, makhluk-makhluk yang seperti itu di pihak Skullhel disebut sebagai “Prajurit Budak”.
Namun yang satu ini… lengan kirinya entah ada atau tidak—sementara lengan kanannya, sangat besar. Sebegitu besar hingga ukurannya hampir menyamai tubuhnya sendiri.
Makhluk bertangan kanan itu melompat dengan dorongan dari lengannya sendiri—dan kembali berusaha menghantam Manato dengan lengan raksasanya. Kalau saja Riyo tidak cepat-cepat mengaitkan kaki panjangnya untuk menjatuhkan si makhluk, Manato pasti sudah remuk dipukul.
Makhluk itu terjerembab telentang.
Dan saat itu juga, Manato mencabut pedangnya.
Ia tidak memutuskan sebelumnya akan melakukannya. Ia bahkan tidak sempat berpikir bahwa ia harus mencabutnya. Itu adalah gerak refleks. Ia mencabut pedangnya—dan langsung menancapkannya ke makhluk bertangan kanan itu. Tepat ke tengah-tengah lengannya yang besar.
Pedangnya adalah tachi, sejenis pedang panjang bermata satu. Bisa digenggam dengan dua tangan.
Dengan segenap tenaga dan berat tubuh, Manato menghujamkannya sedalam mungkin.
“NGAAAAAAAHHH!”
Ia kemudian menginjak makhluk itu dengan kaki kanan, mencabut pedang—dan kembali menikamkannya.
“KUHHHHHHHHHHHHH!”
Ia melakukannya berulang kali. Menancap. Menarik. Menancap lagi. Dan lagi.
Sakit.
Sakit, sakit, sakit, sakit, sakit, sakit, sakit, sakit—perih.
“WAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!”
Ia akan menghancurkannya. Menghancurkan makhluk bertangan kanan itu. Menghancurkan lengannya yang menjijikkan itu. Menusuknya saja tidak cukup. Ia harus menginjaknya, menghajarnya. Menancap, memutar, menancap lagi, berkali-kali, hingga semuanya hancur berantakan.
Sakit. Sakit. Perih. Sakit. Perih. Sakit, sakit, sakit, sakit, sakit, sakit, sakit.
“BUH… FOH…!”
Manato memuntahkan isi perutnya. Rasa asam dan pahit dari cairan lambung menyengat hingga ke hidung.
Renji. Dia membunuh Renji. Dengan tangannya sendiri.
Renji?
Bukan, bukan begitu?
Tidak. Bukan.
Mahluk itu bukan Renji. Itu hanya si tangan kanan. Tapi tetap saja sakit. Menyakitkan dan menyiksa. Manato menancapkan pedangnya ke lengan kanan makhluk itu, lalu dengan tangan kiri mencabut belati dan menusukkannya juga ke lengan besar yang sama.
“Uaaagh! Aaagh! Hiaaaghhh…!”
Apa yang sedang terjadi padaku?—begitu terdengar suara samar di sudut pikirannya. Hanya sekilas. Sakit. Terlalu sakit dan menyiksa. Tak ada ruang untuk berpikir. Hanya rasa sakit.
“Manato…! Sadarlah…!”
Suara Riyo menyentaknya. Manato tersadar, mencabut pedang dan belatinya lalu melompat mundur. Makhluk bertangan kanan itu langsung bangkit seolah tak terjadi apa-apa. Padahal, ia sudah ditusuk berkali-kali, ditendang, dihajar tanpa henti. Tapi sekarang, ia masih tegak berdiri. Lengan kanannya yang kelewat besar memang terlihat rusak sebagian, tapi masih mengaung dan menyerang Manato tanpa ragu.
Nggak bisa ditahan, pikir Manato. Tak mungkin bisa diterima begitu saja. Ia meloncat ke samping, menghindari tebasan lengan kanan makhluk itu, lalu berguling dan berdiri kembali.
Riyo di mana?
Eh?
Belati—aku pegang di tangan kiri.
Tangan kiriku… bisa digerakkan?
Sudah sembuh?
Beberapa pikiran melintas cepat di benaknya. Ia mengabaikannya, lalu kembali berguling menjauh. Kali ini ke arah kiri depan secara diagonal. Makhluk bertangan kanan itu menyusul, melayangkan pukulan dari lengan besarnya. Manato entah bagaimana berhasil menghindar—hanya sehelai rambut jaraknya. Atau mungkin tidak. Tapi dia berhasil. Kalau tidak, tubuhnya pasti sudah terpental jauh sekarang.
Sesaat, Manato merasa melihat Riyo bergumul dengan sesuatu yang hitam. Sosok hitam itu mirip dengan makhluk berlengan kanan besar yang sedang dihadapinya. Tapi itu hanya sekejap saja, dan karena itu, Manato tidak bisa memahami lebih dari itu.
Yori bagaimana?
Tata bagaimana?
Haru?
Makhluk berlengan kanan itu mengayunkan lengan besarnya ke segala arah—suara angin yang dihasilkannya bising dan berat. Manato sudah kewalahan hanya untuk menghindarinya, jadi seharusnya ia tak perlu memikirkan hal lain. Tapi tetap saja, pikirannya menolak diam. Napasnya sudah ngos-ngosan; tak ada ruang untuk lengah. Meski begitu, entah bagaimana ia masih belum terkena satu pun serangan. Setiap kali ia merasa “akan datang”, serangan itu benar-benar datang. Dan ketika datang, tubuhnya bergerak sendiri, lebih cepat daripada pikirannya.
Ia pun bisa menebak, kurang lebih, apa yang sedang terjadi pada Riyo. Bukan karena sengaja memperhatikan, tapi kadang, dari sudut penglihatannya, ia melihat Riyo sedang bertarung. Sepertinya Riyo juga menghadapi makhluk serupa dengan yang ia hadapi, hanya saja yang satu ini berlengan kiri besar. Si lengan kiri.
Ya ampun…, pikir Manato.
Kalau begini terus…
Kita bisa apa, coba?
Para budak tempur ini benar-benar menyulitkan. Salah satu lengan mereka yang seukuran tubuh itu bukan hanya besar, tapi juga keras dan sangat kuat. Satu pukulan saja bisa jadi mematikan. Dan bahkan serangan dari pihak Manato pun tertahan oleh lengan itu. Padahal ia sudah menusuknya berkali-kali dengan pedang, tapi makhluk itu tampak tidak merasakan apa-apa.
Mungkin satu-satunya pilihan adalah melarikan diri. Tapi kemungkinan besar, si lengan kanan dan si lengan kiri itu memang mengejar Manato dan Riyo sejak awal—dan mereka berhasil menyusul, lalu menangkap mereka. Kalau begitu, artinya mereka juga kalah cepat.
Melarikan diri pun mungkin bukan solusi yang realistis.
Kalau ia bisa bertahan cukup lama, mungkin Yori atau Haru akan datang menyusul dan membantunya—Tata mungkin tidak, tapi keduanya mungkin saja.
Mungkin saja.
Semoga saja begitu.
Kalau dibilang dia tidak berharap, itu jelas bohong.
Lagipula… selain itu, apa ada pilihan lain?
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)