Bab 6 – Hidup dalam Tipu Menipu (Grimgar)

“Aku tak keberatan.”

Tangan bawahan kegelapan terulur ke arahnya.

Hanya sedikit lebih dekat.

“Aku bisa membantumu. Tapi dengar baik-baik. Keputusan tetap ada padamu. Kau mengerti, kan?”

Ya.

Aku mengerti.

Aku terbungkus dalam jūtai yang dibawa oleh Cahaya.

Dan di dalam diriku tertanam Rokubō Kōkaku—Inti Cahaya Heksagram.

Kalau jūtai ini dilucuti dari tubuhku, dan Inti Cahaya itu dicabut, apa yang akan terjadi?

Sudah pasti aku akan kehilangan ikatan dengan Cahaya. Tapi bukan hanya itu.

“Tak perlu takut. Memang, kau akan mati. Tapi hanya sekali. Setelah itu, kau akan bangkit kembali. Tenang saja. Serahkan padaku.”

Tapi…

“…Huh?”

Kau sendiri?

Siapa kau?

Apa kau ini sebenarnya?

“Aku, ya…?”

Bawahan kegelapan itu menyipitkan mata dan mengendurkan pipinya. Ekspresi yang tak simetris itu—meski tampak tersenyum—lebih terlihat seperti sedang tersipu.

Ia terasa anehnya… begitu manusiawi, pikirku.

Seolah sangat piawai berpura-pura menjadi manusia.

“Atona,” katanya.

Bohong.

Anak kegelapan, Atona—?

Itu pun dusta.

Ia berbohong.

Ia ingin menipuku.

Ia sedang menyembunyikan jati dirinya.

Itu pasti Skullhell.

Makhluk itu—yang berpura-pura jadi manusia—tidak mungkin lain. Dia adalah Skullhell.

“Chibi.”

Kau adalah Skullhell.

“Chibi—”

Benar, kan?

“Chibi-chan~”

Atona tidak menjawab.

Ia hanya memanggilku.

“Kemarilah.”

Ia mengulurkan tangan.

“Ke sini, ayo ke sini,” katanya, mengundangku dengan isyarat.

Panas.

Sangat panas. Tak terbayangkan panasnya.

Ada panas yang terpancar.

Apa?

Aku.

Aku sendiri yang memancarkan panas, dan panas itu menjalar ke seluruh tubuhku, memanaskanku dari dalam. Tubuh yang sudah panas ini semakin memanas, dan panas itu terus meningkat, memperbesar api yang menyala dalam diriku. Rasanya seperti akan terbakar. Mungkin aku memang sudah terbakar.

Tapi ini bukan api.

Ini cahaya. Cahaya dengan suhu yang melampaui batas, membengkokkan pandanganku, menghancurkan penglihatanku.

Aku merasa seperti akan meleleh.

Mungkin aku sudah mulai meleleh.

Apa yang sedang terjadi?

Bukan… bukan kebingungan.

Ini kekacauan.

Ketakutan.

“Hukuman terikat, ya? Klasik.”

Inti Cahaya.

Inti Cahaya Hexagram itu.

“Itu memang cara si Lumiaris yang picik, ya kan—”

Cahaya yang mengalir melalui Inti Cahaya itu menembusku, memanasku, berusaha melumerkanku hingga tak tersisa. Cahaya itu memperingatkanku—menyuruhku mundur.

Menjauhlah. Tinggalkan kegelapan.

Mencari tahu untuk membongkar tipu daya musuh memang diperbolehkan. Tapi lebih dari itu—mendekat lebih jauh ke dalam kegelapan—adalah sebuah pengkhianatan besar. Begitulah peringatan yang disampaikan cahaya padaku. Itu adalah penyimpangan yang fatal, kesalahan yang tak bisa dibatalkan. Dan jika aku melakukannya, aku akan kehilangan segalanya. Cahaya akan merenggut segalanya dariku.

“Tak perlu khawatir, Chibi. Bukankah begitu…?”

Namun Atona tidak maju.

Dia tidak bergerak dari tempatnya.

Tetap di sana—dan meskipun begitu, jarak antara kami berdua kini terasa lebih dekat dibandingkan sebelumnya. Apa artinya itu?

Artinya… akulah yang melangkah mendekatinya. Aku sendiri, yang perlahan mendekati kegelapan, meski tubuhku nyaris meleleh oleh panas cahaya.

Tak perlu khawatir.

Ya, benar. Jika cahaya hendak mengambil semuanya dariku, biarkan saja. Aku bahkan menginginkannya.

Barulah aku benar-benar mengerti.

Cahaya tidak akan menyelamatkanku.

Di ujung jalan cahaya, tidak ada apa pun yang kuinginkan.

Tidak ada Renji di sana.

Juga tidak ada Adachi, tidak ada Ron.

Tidak ada siapa pun.

Karena akulah yang telah membunuh mereka.

Dengan tangan ini.

Karena cahaya memerintahkannya.

Namun, yang memilih untuk mematuhi cahaya adalah aku sendiri.

Itu bukan salah cahaya.

Akulah yang memilih.

Selama ini aku mencoba meyakinkan diriku sendiri seperti itu. Bahwa itu adalah hal yang benar. Karena itu, tidak ada yang bisa dilakukan. Aku adalah bagian dari cahaya, tapi—

Cahaya yang menuntunku ke sana.

Itu bukan jebakan dari kegelapan, musuh yang selama ini kukira sedang mengintai.

Itu adalah jebakan dari cahaya.

Aku yang terperangkap.

Oleh cahaya.

Musuhku ternyata, sejak awal, sudah ada di dalam diriku sendiri.

Cahaya… cahaya itulah musuhku yang sebenarnya.

Aku telah menyerahkan segalanya pada musuhku. Mengorbankan orang-orang yang berharga, membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Aku bodoh. Dan ini tak bisa diperbaiki lagi.

Panas dari cahaya itu melelehkanku.

Sambil meleleh, aku melangkah menuju Atona.

Sayap palsuku—yang dibentuk dari begitu banyak lengan dan tangan—kini tak lebih dari jerat. Mereka hanya menangkapku dan melelehkanku dalam panasnya. Hukuman dari cahaya yang dijatuhkan padaku. Pada saat yang sama, Inti Cahaya Hexagram perlahan-lahan mencoba melepaskan diri dari tubuhku, bahkan ketika mereka terus memancarkan cahaya hukuman ke dalam diriku.

Aku tahu di mana letak Inti Cahaya Hexagram. Itu ada di dalam kepalaku. Bukan perumpamaan. Secara harfiah, benda itu berada di dalam kepalaku. Di dalam otakku.

Awalnya hanya satu.

Dari situ, jumlahnya bertambah satu demi satu, menyusuri sepanjang sumsum tulang belakang. Hingga kini, ada enam Inti Cahaya Hexagram dalam diriku.

Dan keenamnya perlahan-lahan bergerak.

Sambil menghukumku dengan cahaya yang membakar, mereka berusaha meninggalkan tubuhku.

Inti Cahaya Hexagram terikat padaku dengan cara yang tak terpisahkan. Bukan sekadar pemahaman—aku merasakannya. Bahkan jika jantungku rusak dan aliran darahku berhenti, aku takkan mati. Cahaya itu, cepat atau lambat, akan memperbaiki jantungku. Tapi bila Inti Cahaya Hexagram menghilang, maka diriku—sebagai makhluk hidup—takkan bisa bertahan. Aku telah diubah oleh cahaya. Entah sejak kapan, aku tak lagi mampu berjalan tanpanya.

Itu adalah perangkap. Perangkap cahaya.

Pada akhirnya, aku menerima dominasi cahaya tanpa pernah benar-benar melawan.

Aku tidak akan sempat. 

Selesai sudah.

Inti Cahaya Hexagram itu tengah merobek kulitku, berusaha keluar.

Selamat tinggal, cahaya.

Keparat kau.

…Ah.

Tiba-tiba, aku mengingatnya.

Kata-kata yang kadang keluar dari mulut Renji.

“Ini belum akhir.”

Atona mendekat.

Bukan aku.

Bukan diriku yang sekarang.

Karena aku—sudah tak bisa melangkah barang selangkah pun.

Atona semakin mendekat.

Aku mendengar suara yang menggema dari dalam diriku ke luar—suara yang luar biasa dahsyat. Panas yang melampaui panas, rasa sakit yang melampaui rasa sakit, mencabik tubuhku, berusaha menghancurkanku hingga serpihanku tak bersisa. Jika Inti Cahaya Hexagram benar-benar lepas dari tubuhku, mungkin aku akan tercerai-berai dan lenyap begitu saja. Mungkin tak akan tersisa satu potong daging pun.

“Ini adalah awal—”

Satu kata dari Atona, dan segalanya berubah. Dunia terbalik. Segala hal berbalik arah. Ia pun berbalik.

Apa yang semula membungkus dan melindungiku—yang seperti sepasang sayap, yang merupakan wadah pemberian cahaya, tangan-tangan dan lengan-lengan tak terhitung jumlahnya—dalam sekejap diselimuti oleh kegelapan. Akhirnya, Inti Cahaya Hexagram itu meninggalkan tubuhku. Di saat itu juga, kesadaranku benar-benar terputus.

Namun seketika, aku kembali.

Tapi diriku yang kembali itu… bukan lagi diriku yang sama. Aku disadarkan, suka atau tidak, bahwa sebagian besar diriku telah hilang. Aku tak bisa menggerakkan satu jari pun. Aku tak bisa bernapas. Tak ada darah yang mengalir di tubuhku. Bahkan tak ada pengganti darah yang berputar dalam diriku. Aku tak lagi punya sesuatu yang layak disebut tubuh.

Mungkin tubuhku telah dilahap habis oleh panas cahaya ketika Inti Cahaya Hexagram itu pergi.

Aku tenggelam dalam kobaran. Terpanggang dan dibekukan secara bersamaan.

Aku dikupas. Dikeruk. Dihiris. Dibelah. Disobek. Dicabik. Dihancurkan. Diulet dan ditumbuk. Digiling dan dipukul. Dilempar dan dijatuhkan. Diinjak dan ditertawakan. Dilecehkan dan diludahi. Aku dilucuti dari seluruh nilainya.

Secara menyeluruh.

Aku menjadi sesuatu yang takkan pernah dilirik kembali. Sesuatu yang ditinggalkan.

Namun meski begitu… aku tetap mengingat.

Aku belum melupakan.

Dan meski itu tidak memberiku ketenangan, aku tahu—dari kedalaman diriku—bahwa ini sudah seharusnya. Bahwa tak bisa melupakan sampai detik ini adalah sebuah hukuman. Tapi bagi diriku yang sekarang, itu bukan hukuman lagi.

Rasa sakit ini. Penderitaan ini. Aku tahu, ini bukanlah penyelamatan.

Tapi ini milikku. Hanya milikku.

Lengan dan tangan kegelapan membungkus sisa-sisa diriku yang tinggal sedikit.

Renji…

Aku akan terus hidup dalam rasa sakit ini. Dalam penderitaan ini.

Aku tidak akan berkata, “Maafkan aku.”

Aku tak mengira akan dimaafkan.

Tak mungkin aku dimaafkan.

Aku pun tak menginginkan pengampunan.

“Selamat daaatang… ke sisi ini―”

Atona menegakkan tubuhnya hingga nyaris bersandar ke belakang, dadanya membusung, kedua lengannya terentang lebar.

Dagunya terangkat, dan dari bawah, dengan sorot mata puas, ia menatapku.

“Mulai sekarang, kaulah Chegubrate dari penyesalan yang paling dalam dan rasa malu yang tak berkesudahan.”

Bahwa aku tidak berdiri di sisi Cahaya… itu sudah jelas.

Namun terhadap sosok bernama Atona ini, aku tidak merasakan sedikit pun keakraban, apalagi simpati atau empati.

Yang kurasakan hanyalah rasa muak dan benci.

Aku membencinya.

Itulah yang kurasakan.

Dengan sepenuh hati, aku membenci Atona.

Karena itu, tanpa ragu, aku mengulurkan tangan.

Tangan kegelapan.

Tangan ini bukan untuk merangkul.

“Silakan saja,” kata Atona sambil tertawa. “Lakukan sesukamu, Chegubrete. Tak akan kuhentikan, tahu? Teruskan saja. Itulah gaya kegelapan, bukan begitu―”

Dan aku pun melakukannya.

Dengan ratusan, ribuan tangan kegelapan—aku menangkap Atona.

“Wohoooohh!”

Namun aku tidak akan langsung mengakhiri hidupnya.

“Hyaahahahahaaa…!”

Tangan kegelapan itu menyusuri setiap sudut tubuh Atona, menelusuri dan mengoyak dengan berbagai cara, menekan perlahan—sedikit demi sedikit—dengan tekanan yang kian meningkat.

Akan kubuat dia merasakan rasa sakit dan derita yang kurasakan.

Tapi, meski ia merasakannya… rasa sakit dan penderitaanku sendiri tak akan berkurang karenanya.

Tidak akan berubah. Tidak akan memudar.

Selamanya.

Kalau begitu, untuk apa semua ini?

Aku tidak tahu maknanya. Mungkin memang tak ada maknanya sejak awal.

Aku hanya… menginginkannya. Hanya karena aku menginginkannya.

“Itu saja sudah cukup—!”

Aku membiarkan diriku lepas kendali.

“CHEGUBRETEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTEEEEEE……!”

Aku tak butuh lagi rasa sakit dan penderitaan ini. Cukup. Sudah terlalu cukup. Aku ingin membuangnya ke suatu tempat, membuang jauh-jauh semua rasa sakit dan derita ini. Tapi anehnya, meskipun aku tak ingin lagi merasakannya, aku selalu… terus-menerus… tanpa akhir… tetap merasakannya.

Bukan karena aku ingin, tidak. Tapi rasa sakit dan penderitaan ini sudah terlalu melekat. Terlalu menyatu. Seolah diriku sendiri terbuat dari keduanya.

Sejak awal dunia ini, rasa sakit dan penderitaan telah ada. Dan aku—seakan dilahirkan dari keduanya—mengalami kelahiran, menyatu dengan cahaya, memeluknya, dan bahkan melahirkannya… tapi semua proses itu pun tetap dipenuhi oleh rasa sakit dan derita.

Tak ada yang tersisa dari harga diriku.

Renji. Bahkan hanya dengan memikirkanmu pun, aku kembali diseret pada rasa sakit dan penderitaan. Aku yang telah membunuhmu, apa pantas memikirkanmu? Apa pantas merindukanmu?

Aku hanya mengikuti perintah cahaya, melakukan begitu banyak hal yang memalukan—tak terhitung jumlahnya. Semua itu, seluruhnya, berubah menjadi luka dan penyesalan yang terus mengejarku, menyesakkan nafasku, memburuku hingga ke ujung batin.

Namun tetap saja, aku… aku masih memilih untuk bersembunyi di balik penderitaan ini.

Karena pada akhirnya, rasa sakit dan penderitaan ini hanyalah bentuk pelarian.

Pelarian yang memalukan.

Sampai aku benar-benar tahu, benar-benar memahami seluruh kebusukan dan kebejatan dari rasa sakit dan penderitaan yang kumiliki—sampai aku tenggelam sepenuhnya dalam semua ini, lebih dalam lagi, lebih dalam lagi, lebih lagi, lebih lagi, lebih lagi, lebih lagi, lebih lagi―

Kita ini punya hubungan, kan!? Kyaaaaahh…! Ya kan, Cheeeriiiieellll…!”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x