Bab 5 – Lucu, ya? (Grimgar)

Aku tahu dari cara dia mendekat, bahwa sosok itu adalah musuh.

Musuhku.

Musuh kita.

Musuh cahaya.

Musuh dari sinar ilahi.

Musuh Lumiaris.

Dia bukan sekadar makhluk yang menolak tunduk pada cahaya. Bukan sekadar gangguan yang menghalangi jalan. Dia bukan wilayah kosong yang suatu hari akan ditaklukkan.

Musuh ini adalah kegelapan yang sejati—bukan sekadar bayangan. Karena sejatinya, yang disebut “bayangan” hanyalah bagian dari cahaya. Sebuah ruang yang tak dijamah sinar, dan karena itu dinamai “gelap”. Tapi tetap terikat pada cahaya, tetap menjadi bagian dari Lumiaris, sang dewa terang. Di mana kami berdiri, bayangan tak bisa jatuh.

Karena itu, bila aku menoleh dan mendapati ada “bayangan” di sana, itu bukanlah bayangan. Itu pasti kegelapan murni.

Kegelapan sejati.

Musuh cahaya.

Ketika aku memanggilnya, kegelapan itu perlahan bangkit dan memperlihatkan wujudnya. Aku mengenalnya. Sosok itu adalah wajah yang pernah kukenal.

Namun, aku langsung tahu bahwa itu bukanlah dia. Bukan dia yang kukenal. Karena aku ingat—aku tahu betul—dia telah kehilangan nyawanya pada hari itu, pada saat itu, sebelum menerima kehidupan keduanya. Entah apakah yang dimilikinya sekarang layak disebut “kehidupan kedua” atau bukan, yang jelas—saat ini dia adalah pelayan kegelapan, hamba sang gelap.

Seperti kami yang dianugerahi kehidupan cahaya oleh sinar suci, melangkah di jalan yang bersinar, dipenuhi cahaya, dijiwai cahaya, dan melahirkan cahaya—dia pun seharusnya punya jalannya sendiri: jalan yang dibentuk oleh kegelapan, dilumuri kegelapan, ditakdirkan bagi kegelapan.

Namun dia… tidak memilihnya.

“Jangan salah paham.”

Makhluk kegelapan itu mengangkat satu tangan dan menyeringai tipis.

“Aku bukan musuhmu, tahu.”

Apa yang coba dia katakan? Dia makhluk kegelapan, dan tetap saja berbicara seolah bukan ancaman. Menjijikkan. Bahkan menyebut namanya saja membuatku muak. Bagi kami, para pembawa cahaya, dia adalah sesuatu yang hina. Dia bukan dewa, namun dipanggil dewa. Membiarkan dirinya dipuja seperti itu. Pemalsuan dari segala yang palsu. Penipu yang menyamar sebagai sesuatu yang suci. Sosok yang paling jauh dari kebenaran. Sebuah keberadaan yang tidak seharusnya ada. Bagi kami, ia hanya bisa eksis sebagai lawan. Bukan bayangan, bukan pula gelap sejati—ia hanyalah siluet yang terbentuk oleh cahaya.

Sebuah kontradiksi yang hidup.

Sesuatu yang tak bermakna.

Yang tidak bisa memberikan makna.

Tak menyenangkan rasanya menyebut namanya, tapi justru karena itulah, akan kupanggil namanya dengan seluruh jijik dan hina yang kumiliki, agar tercemar dan terendahkan.

Skullhell.

Budak kegelapan.

“Benar sekali—”

Makhluk yang pastilah kaki tangan kegelapan itu menurunkan tangan kanannya secara ringan, membungkukkan sedikit tubuhnya, menundukkan kepala, lalu melangkah mundur dengan kaki kirinya. Sebuah penghormatan palsu.

“Aku adalah utusan Skullhell, dan kau… kau adalah salah satu dari para saint yang melayani Lumiaris. Saint of Cherished Devotion, Cheriel.”

Sengaja dibuat berlebihan.

Tentu saja. Sudah pasti itu dibuat-buat.

“Chibi. Chibiii. Chiiiibiiii. Chiiiibiiii. Chibi-chibi-chiiiibiiii. Chiiiibiiii. Hihi! Hahaha! Chiiiibiiii, hei! Lama tak jumpa ya! Chiiiibiiii! Gyaahahaha!”

Menghina dirinya berarti menghina cahaya itu sendiri. Tentu saja, hal semacam itu tak bisa dibiarkan. Ia tidak pernah memberi izin kepada makhluk rendahan utusan kegelapan untuk memanggilnya dengan nama itu. Entah mereka utusan kegelapan atau bukan, ia tidak ingin dipanggil begitu.

Ia berusaha menundukkan para hamba kegelapan dengan kekuatan cahaya. Begitu cahaya mengenainya, sosok kegelapan itu pun langsung menghilang tanpa jejak.

Namun saat ia menoleh, ia mendapati bayangan jatuh dari dirinya—padahal seharusnya ia tak memiliki bayangan.

Dan dari bayangan itu, seolah merayap keluar dari bawah tanah, si hamba kegelapan kembali menampakkan diri. Ia menertawakannya.

“Chibiii!”

“Chiiibi-chaaaan!”

“Chibi-chibi-chiiiibiiii! Hahaha!”

“Chiiiibiii!”

“Hihyahha!”

Hamba kegelapan itu tengah mencoba memancingnya keluar. Ia pasti berniat menariknya menjauh dari sisi cahaya. Ia tahu itu. Ia sudah melihat maksud busuknya dari awal.

Dan karena itu, ia sengaja mengikuti umpannya.

Karena dia adalah musuh.

Dan musuh harus dimusnahkan. Tapi jika di balik tipu dayanya yang dangkal itu tersembunyi sesuatu yang lebih dalam, maka ia harus menggali lebih jauh untuk menemukannya.

Ia bukan satu-satunya yang disebut sebagai saint. Ada yang lain. Mereka telah bersatu dengannya. Cahaya tinggal dalam dirinya, dan dari dalam dirinya cahaya pun lahir.

Mereka adalah saudara-saudarinya—yang layak dihormati, dan sedikitnya, menyebalkan sampai ke tulang.

Dan dari semua kemungkinan yang ada, si hamba kegelapan justru memilih dirinya.

Ya. Justru dia.

Kenapa?

Kenapa harus aku yang dipilih?

“Kau pasti sudah tahu alasannya, kan?”

Semakin lama dia kulihat, semakin kuat kemiripannya dengan orang itu—pengikut kegelapan itu…

“Chibi?”

Aku masih ingat.

“Chibiii-chaaan…?”

Rambutnya yang kusut dan berantakan.

“Karena kau menyimpan niat lain terhadap Lumiaris.”

Tatapannya yang liar dan buas, tapi rapuh. Penuh kontradiksi, namun juga sangat jujur.

“Menurutmu ada alasan lain?”

“Kau mengikuti Lumiaris.”

“Kau sudah sepenuhnya tunduk padanya.”

“Kau menyerahkan tubuh dan hatimu. Tapi…”

“Kau masih punya celah.”

“Ada jurang antara kau dan Lumiaris.”

“Jurang yang sebenarnya tak bisa dijembatani…”

“Kau pasti sadar juga, kan?”

“Dan tentu saja, Lumiaris pun tahu.”

“Dengan kata lain, itu berarti, yaa…”

“Lumiaris menyadari penderitaanmu. Dia tahu segalanya. Kalau itu Lumiaris, dia pasti bisa menyucikan dan melenyapkan rasa sakit itu, bukan? Bukan cuma bisa—nggak mungkin dia gak bisa.”

“Kau tahu ungkapan ‘meski busuk tetaplah ikan tai’? Dia itu disebut-sebut sebagai dewa atau semacamnya, bukan? Maka mengambil dan menghapus akar penyebab dari penderitaanmu seharusnya bukan masalah buatnya, kan? Aku berani jamin—”

“Dia pasti bisa melakukannya. Tapi dia sengaja tidak melakukannya. Nah, artinya apa tuh? Kau juga pasti udah nyadar, kan? Hei, kau bukan orang bodoh. Dari dulu kau udah tahu, kan…?”

Hari itu, saat itu—aku melihat cahaya menembus asap yang mengepul.

Saat itu, aku juga punya cahaya di dalam diriku.

Cahaya yang sama.

Aku tahu bahwa aku adalah bagian dari cahaya itu. Bahwa cahaya dan cahaya terhubung, dan merupakan satu kesatuan. Bahwa yang memancar dan memenuhi diriku adalah hal yang sama dengan yang kulihat.

Aku tahu apa itu sekarang.

Waktu itu, aku belum tahu.

Tapi sekarang aku mengerti.

Inti Cahaya.

Inti Cahaya Hexagram.

Entah sejak kapan, benda itu telah ditanamkan di dalam tubuhku. Mungkin semacam benihnya sudah berakar sejak lama, dan baru bertunas saat itu.

Di dalam diriku.

Di dalam diri kami.

Sumber cahaya yang meluap dari dalam diri kami—dari dalam diriku, dari dalam kami semua—adalah Inti Cahaya Hexagram. Inti itulah yang membawa cahaya. Dan cahaya itu… tak berbeda dari cahaya yang menembus pekatnya asap di kejauhan. Cahaya itu dan Inti Cahaya Hexagram terhubung.

Ya, Inti Cahaya Hexagram adalah ikatan antara kami dan cahaya.

Itulah tali yang mengikat kami pada cahaya.

Itulah kuk yang menundukkan kami pada cahaya.

Itulah pasak yang menancap dalam tubuh kami.

Itulah kandang yang menawan kami dan tak pernah membiarkan kami pergi.

Terima kasih.

Terima kasih banyak!

Kami harus bersyukur. Karena ada Inti Cahaya Hexagram, kami bisa merasakan cahaya secara langsung. Kami bahkan bisa menjadi cahaya itu sendiri. Karena kami adalah bagian dari cahaya, kami bisa percaya bahwa kami satu dengan cahaya. Tanpa ragu. Tanpa celah untuk lari. Karena kami memiliki Inti Cahaya Hexagram. Tak ada alasan untuk melarikan diri.

Cahaya.

Wahai cahaya.

Jadilah terang!

Sialan.

Cahaya!

Inti Cahaya Hexagram memberiku cahaya.

Cahaya memberiku tubuh penerima.

Dan tubuh penerima memberiku kekuatan.

Aku…

Ah, aku—Cheriel, Saint of Cherished Devotion—diselimuti oleh sayap-sayap cemerlang, berlapis-lapis, mengelilingiku dalam pelukan cahaya.

Sayap bercahaya ini adalah wadah yang diberikan padaku.

Cahaya telah menganugerahkannya—sebagai wadahku, sebagai bukti kesetiaanku kepada cahaya.

Belenggu cahaya yang tak bisa kulepaskan.

Aku memiliki sayap cahaya.

Atau sesuatu yang menyerupai sayap.

Banyak sekali.

Namun tak satu pun dari mereka adalah sayap sungguhan.

Aku tidak pernah mengibaskannya.

Aku tidak pernah membentangkan sayapku.

Karena sebenarnya, itu bukan sayap.

Aku tidak bisa terbang.

Aku tidak bisa pergi ke mana pun.

Lihatlah.

Ayo, lihat baik-baik.

Lihatlah “sayapku” itu.

Itu bukan sayap, bukan?

Bukan, kan?

Yang kau lihat itu… tangan.

Lengan.

Begitu banyak.

Tangan dan lengan itu saling bertautan, menciptakan wujud yang sekilas menyerupai sepasang sayap.

Dengan cara seperti inilah aku melindungi diri.

Memeluk diriku sendiri.

Meremas diriku erat-erat.

Menahan diriku.

—Aku tahu itu…

Salah satu tangan bawahan kegelapan terulur.

Menuju padaku.

Menuju aku yang merupakan bagian dari cahaya. Ironisnya, tangan bawahan kegelapan yang menggapai daripadaku.

Dengan tatapan yang seolah dilingkupi rasa cemburu, namun tanpa ragu menembus ke dalam diriku, ia memandangku.

Berhenti.

Jangan lihat aku.

Jangan lihat aku dengan tatapan seperti itu.

Jangan lihat!

Bukan seperti itu.

Sama sekali bukan seperti itu.

Kita bukanlah orang yang saling mengenal sejak lama.

Aku tak mengenalmu.

Dia tidak mungkin lagi menjadi manusia yang dulu pernah kukenal.

Namun entah mengapa, di matanya ada kesan seolah ia merasa nostalgia… seolah ia merasakan pilu… seolah ia menaruh iba padaku. Seolah dari lubuk hatinya, dia sungguh-sungguh ingin menunjukkan kasih—bukan dengan paksaan, tapi dengan lembut mengulurkan tangan ke arahku, tanpa mencoba mendekat sembarangan.

Seakan-akan segalanya kini tergantung padaku.

Seolah-olah, tinggal aku yang harus melangkah.

Apakah aku akan maju?

Apakah aku akan menyambut tangan itu?

Seolah dia hendak berkata bahwa mulai dari sini, semuanya kuserahkan padamu sepenuhnya.

“Aku mengerti… dan kau juga tahu.”

Apa yang kau mengerti?

“Lumiaris…”

Apa yang kau tahu tentang Lumiaris?

“Dia menghukummu.”

Dia—cahaya itu—menghukumku?

“Dia menyiksamu, menguji dan terus mengujimu.”

Lumiaris menguji aku?

“Pikirkan baik-baik. Apa penyebab semua penderitaanmu?”

Aku…

“Apa yang jadi titik awal dari semua ini?”

Apa… yang memulainya?

“Kenapa kau harus menanggung derita sedalam itu?”

Kenapa.

“Perangkap macam apa yang telah kau injak?”

Perangkap.

“Dan siapa yang menyiapkan perangkap itu?”

Ya.

“Heh… kau pasti sudah tahu jawabannya, bukan?”

Aku tahu.

Lumiaris.

Cahaya.

Jadilah terang.

Sialan—

Aku tahu. Ini salahku.

Karena aku belum bisa melupakannya.

Karena aku masih mengingatnya.

Renji.

Segalanya tentang dirinya.

Aku yang membunuhnya… dengan tanganku sendiri.

Kenapa kau tak bisa membuatku lupa?

Andai saja kau bisa menghapus ingatan ini!

Menghapus dosa ini!

Aku tahu. Itu bukan dosa. Itu sama sekali bukan dosa. Aku hanya… melakukan apa yang harus dilakukan.

Hal yang seharusnya kulakukan—telah kulakukan.

Aku membunuh Renji.

Aku membunuh Adachi.

Aku membunuh Ron.

Orang-orang yang berharga bagiku… aku yang membunuh mereka.

Lalu kenapa?

Memangnya kenapa?

Itu hanya hal remeh, bukan?

Kalau aku tak bisa melupakannya, lalu kenapa?

Cahaya.

Jadilah terang.

Sialan—!

Hukuman.

Hukuman?

Kau menyebut ini hukuman?

Kau ingin aku menderita?

Kau ingin aku terus dan terus menderita? Tak henti-henti, sampai kapan pun?

Itu yang kau inginkan dariku?

Kau, cahaya?

Kau, Lumiaris?

Ya.

Lumiaris.

Tolong.

Tolong aku.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x