Saat sadar kembali, aku hanyalah seberkas cahaya.
Apa arti dari seberkas cahaya itu?
Tentu saja, aku tahu jawabannya.
Lumiaris.
Cahaya itu sendiri.
Dia tak lain, tak bukan—adalah Tuhan.
Sang Dewa Cahaya, Lumiaris.
Cahaya yang bersemayam dalam diriku.
Ia adalah sebagian dan sekaligus keseluruhan dari Sang Dewa Cahaya.
Aku adalah cahaya.
Tentu saja, aku telah menyerahkan diriku pada cahaya. Tanpa keraguan sedikit pun.
Aku terhubung dengan cahaya, menjadi bagian darinya, menjadi segalanya, menjadi cahaya itu sendiri.
Namun, cahaya yang sejati… adalah Lumiaris.
Wahai cahaya.
Wahai Tuhan.
Oh Dewa Cahaya, Lumiaris.
Aku—tidak, kami semua—tengah berlutut di hadapan Lumiaris. Kami menekukkan lutut kami dan menundukkan kepala kami dalam takzim.
Tak seorang pun dapat menatap Lumiaris secara langsung.
Karena dialah cahaya yang sejati.
Meski begitu, Lumiaris memerintahkan kami.
“Lihatlah,” demikian sabda-Nya.
Kami mendongak.
Melihat cahaya. Melihat Tuhan. Melihat Lumiaris.
Meski seberapa menyilaukannya pun, mata kami dapat menatap-Nya.
Cahaya!
Oh Dewa!
Lumiaris!
Kami bersorak dalam ekstasi.
Dewa tidak sedang memancarkan cahaya, atau diselubungi oleh cahaya—Dewa adalah cahaya itu sendiri. Dialah cahaya. Dewa adalah cahaya yang menjelma dalam wujud.
Ya Dewa, ya Lumiaris!
Wujud-Nya menyerupai manusia.
Tidak—bukan itu. Bukan seperti itu.
Kami langsung menyadarinya: bukan Dewa yang menyerupai manusia, melainkan manusialah yang dijadikan menyerupai Dewa.
Apa yang hanya dimiliki oleh perempuan, apa yang hanya dimiliki oleh laki-laki—Dewa memiliki keduanya. Bahu-Nya lebar namun landai, dan dari sana lengan yang panjang dan halus menggantung dengan anggun. Dada-Nya membusung megah, pinggang-Nya tinggi dan menyempit dengan curam, namun tidak tampak janggal—justru seakan-akan begitu adanya secara alamiah.
Kedua kaki-Nya tegak lurus, dan paha yang tampak kenyal itu menyambung mulus ke betis yang ramping. Dan di atas leher yang seolah diciptakan bukan untuk menyangga, melainkan untuk menjulang—terpahatlah wajah Dewa. Terlalu kecil, namun tak bisa dibayangkan dalam ukuran lain. Itu… sempurna.
Dewa tersenyum.
Dan Dewa, seakan tengah terlelap dalam damai.
Saat itu, aku mendapati diriku sendiri dalam rupa sang dewa—dan tertegun.
Di saat yang sama, aku tak bisa menahan rasa haru yang meluap dari dalam.
Bukan hanya aku. Kami semua yang bersujud di hadapan cahaya, di hadapan Dewa, masing-masing dari kami berbagi sesuatu yang serupa dengannya.
Aku tak bisa menjelaskan secara pasti bagian mana yang mirip, atau dalam hal apa. Tapi perasaan itu tak bisa disangkal.
Jelas bagiku: dewa itu adalah aku.
Dewa itu adalah kami.
Dan aku—kami semua—adalah dewa.
Bahkan mereka yang belum bersujud kepada cahaya, bahkan yang berasal dari ras lain—pada mereka pun, aku melihat kilasan kemiripan. Seolah mereka pun terhubung.
Dan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, aku menyadari: ini adalah bukti bahwa kami, sejatinya, adalah anak-anak Dewa—anak-anak cahaya.
Itulah sebabnya kami berserah kepada cahaya.
Itulah kenapa yang lainnya pun harus tunduk kepadanya.
Dan mereka yang memilih tidak, jelas telah keliru.
Dan karena keliru, keberadaan mereka dalam kekeliruan tak seharusnya diizinkan.
Sebuah logika yang amat sederhana. Terang benderang.
Aku mengerti itu, kami semua mengerti, seketika.
Cahaya.
Biarlah ada cahaya.
Cahaya—!
Yang perlu dilakukan hanyalah berserah pada cahaya.
Mengikuti cahaya.
Menjadi cahaya itu sendiri.
Lalu biarkan semuanya dipenuhi oleh cahaya.
Hanya itu.
Hanya itu saja.
Jadi kenapa kau tak melakukannya, Renji?
Renji?
Renji…
Siapa itu?
Renji…
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Renji.
Ah, Renji…
Meski namanya terus menerus terulang, gaungnya lenyap ditelan cahaya. Tak ada bayang wajah yang bangkit kembali dalam benakku.
Aku tak tahu.
Aku tak mengenal siapa pun bernama Renji.
Chibi.
Kenapa… kenapa, Chibi…?
Suara ini?
Suara yang terdengar entah dari mana ini—milik siapa?
Tatapan itu?
Siapa dia?
(Renji.)
(…Kamu tidak melupakannya.)
(Kamu masih mengingatnya.)
(Kamu tidak bisa melupakannya.)
(Tertanam dalam-dalam…)
(Dengan tanganmu sendiri, kamu…)
(…membunuh Renji.)
Karena dia…
Karena dia menolak cahaya.
Karena dia tidak mau tunduk pada cahaya.
Karena dia menolak menjadi cahaya.
Karena aku tahu itu.
Karena tak ada jalan lain.
(…Benarkah?)
Benar.
Memang tidak ada pilihan lain.
Aku harus melakukannya.
Tak ada jalan lain yang bisa kuambil.
(Sebenarnya…)
Pengabdianku kurang.
(Aku tahu itu bukan alasan…)
Aku belum cukup.
Terlalu jauh dari cukup.
Lalu…
Apa yang harus kulakukan?
Kepada Cahaya.
Aku harus mengabdi pada Cahaya.
Cahaya akan menyelimuti dunia dan memenuhi segalanya. Aku harus menjadi bagian dari kekuatan itu.
Demi tujuan itu—
Apa yang harus kulakukan?
Cahaya akan memberi perintah.
Aku hanya perlu mematuhinya.
Menjalankan semua yang diperintahkan.
Wahai Cahaya…!
Cahaya telah memerintahkan untuk memperbanyak Cahaya!
Anak-anak Cahaya—terutama kami yang paling dekat dengannya, boleh dibilang anak-anak kandung dari Cahaya—memiliki kewajiban untuk memperbanyak Cahaya ini!
(Memperbanyak…?)
Wahai Cahaya!
Jadilah terang!
Wahai anak-anak Cahaya!
Bersatulah dengan Cahaya!
Bila Cahaya bersatu dengan Cahaya, maka di dalam Cahaya akan bersemayam Cahaya.
Dan Cahaya akan melahirkan Cahaya.
Dengan demikian, Cahaya akan bertambah banyak.
Oh, Cahaya!
Aku mematuhi.
Aku akan bersatu dengan Cahaya.
Cahaya kini bersemayam dalam diriku.
Bila Cahaya ini lahir, maka Cahaya akan bertambah banyak.
Belum cukup?
Masih harus?
Masih harus, ya…
Baiklah.
Aku akan bersatu dengan Cahaya.
Dalam diriku yang telah bersatu dengan Cahaya, Cahaya akan bersemayam.
Dengan melahirkan cahaya ini, cahaya akan bertambah banyak.
Belum cukup?
Masih belum?
Masih harus menyatu?
Masih, ya…
Baiklah.
Aku bersatu dengan cahaya, menampung cahaya, melahirkan cahaya. Lalu kembali bersatu dengan cahaya, menampung cahaya, melahirkan cahaya. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan. Bersatu. Menampung. Melahirkan.
Menyatu, menampung, dan melahirkan cahaya. Menyatu, menampung, dan melahirkan cahaya. Cahaya. Cahaya. Cahaya.
Begitu banyak cahaya—aku tak lagi mampu…
Menyatu… menampung… melahirkan…
Cahaya memenuhi diriku.
Cahaya—
Cahaya!
Cahaya, wahai cahaya, jadilah terang!
(—Sialan.)
Sialan kau!
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] 1 – Memanggil NamamuBab 2 – IntiBab 3 – Penebusan yang Tak Pernah UsaiBab 4 – Berkah Ketuhanan yang DidapatBab 5 – Lucu, ya?Bab 6 – Hidup dalam Tipu MenipuBab 7 – Terjalin dan TerjeratBab 8 […]