Selama beberapa menit setelah itu, Sunny tenggelam dalam suasana hati yang suram. Namun tak lama kemudian, ia menarik dirinya keluar dari kubangan murung itu dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menikmati udara segar di sekitarnya. Memang, udara seperti ini nyaris mustahil ditemukan di dunia nyata: debu mikro dan polutan lainnya membuat udara terasa kasar dan tak menyenangkan — belum lagi bau busuk khas daerah pinggiran. Di bagian kota yang lebih elit, sistem penyaringan canggih bekerja keras membersihkan udara — tapi udara hasil filtrasi terasa hambar dan mati. Hanya orang-orang superkaya yang bisa menikmati napas yang benar-benar menyenangkan.
Dan sekarang, di sinilah dia — menghirup udara murni dan segar sepuasnya, seperti anak konglomerat generasi kedua.
Jadi orang terpilih oleh Mantra ada untungnya.
Andai saja tak ada dingin yang menggigit, telapak kakinya tak terasa nyeri, dan pergelangan tangan serta punggungnya tidak seolah terbakar setiap kali bergerak…
Karavan budak itu terus menyeret dirinya menanjak gunung, dengan semakin banyak budak yang terhuyung dan sesekali terjatuh ke tanah. Beberapa kali, mereka yang sudah tak sanggup berjalan lagi dilepaskan dari rantai dan — tanpa belas kasih sedikit pun — dilemparkan begitu saja dari tepi jalan, jatuh ke jurang yang menganga di sisi kirinya. Sunny memperhatikan mereka jatuh dengan sedikit rasa kasihan.
Kasihan sekali. Semoga kalian bisa beristirahat dengan tenang, jiwa-jiwa malang.
Secara keseluruhan, suasana hatinya cukup baik.
Agak aneh memang merasa senang di tengah mimpi buruk seperti ini, tapi untungnya Sunny sudah menyiapkan diri untuk semua kemungkinan ini. Saat gejala Spell mulai muncul untuk pertama kalinya, ia tak bisa menerimanya dengan baik. Gagasan bahwa ia akan mati sebelum genap berusia tujuh belas tahun bukanlah sesuatu yang mudah dihadapi.
Namun, pada akhirnya, Sunny hanya butuh beberapa hari untuk berdamai dengan semuanya. Setelah mengunjungi tempat peristirahatan orang tuanya — yah, sejujurnya, karena ia terlalu miskin bahkan untuk membeli slot termurah di fasilitas pengingatan, itu hanyalah dua baris ukiran di batang pohon tua — dan menambahkan baris ketiga untuk dirinya sendiri, Sunny tiba-tiba merasa lega dan bebas.
Itu karena ia tak perlu lagi memikirkan soal mencari uang, mendapatkan makanan, melindungi diri, atau merancang masa depan. Setelah hal terburuk yang bisa terjadi sudah terjadi… apa lagi yang perlu ditakutkan?
Jadi, menjadi budak dan perlahan membeku sampai mati bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan.
Lagipula, ia tahu bahwa dingin ini tidak akan membunuhnya — karena ia sudah melihat seperti apa akhir yang menanti karavan ini di bagian atas gunung. Gambar tumpukan tulang berserakan di tanah masih segar dalam ingatannya. Kemungkinan besar, segerombolan monsterlah yang akan membantai seluruh karavan… dan dari tampaknya, serangan itu akan terjadi dalam hitungan jam, bukan hari.
—dengan kata lain, ia masih punya kesempatan.
Memanfaatkan waktu yang ada, Sunny memutuskan untuk kembali melihat status miliknya dan memanggil rune-rune itu sekali lagi. Terakhir kali, ia terlalu terpukul oleh penampakan Aspek-nya hingga tak sempat benar-benar memeriksa bagian Atribut. Meskipun tidak sepenting Aspek, Atribut sering kali menjadi faktor penentu antara hidup dan mati. Mereka mewakili sifat alami dan afinitas seseorang — terkadang bahkan memberikan kemampuan pasif atau efek khusus.
[Fated] – Deskripsi Atribut: “Tali-tali takdir melilit erat di sekelilingmu. Peristiwa-peristiwa yang mustahil — baik maupun buruk — tertarik oleh kehadiranmu. Ada mereka yang diberkati, dan ada yang terkutuk… namun jarang yang mengalami keduanya.”
[Mark of Divinity] – Deskripsi Atribut: “Kamu mengemban jejak samar keilahian, seolah-olah pernah disentuh olehnya — sekali, lama yang lalu.”
[Child of Shadows] – Deskripsi Atribut: “Bayangan mengenalmu sebagai salah satu dari mereka.”
Hmm… Menarik.
Sunny langsung mengenali atribut pertama, [Fated], sebagai biang keladi dari semua kesialan yang menimpanya. Sekilas, atribut itu seolah menunjukkan bahwa ia ditakdirkan untuk nasib tertentu — seperti mati mengenaskan dan lenyap tanpa jejak, misalnya. Tapi setelah membaca deskripsinya, ia menyadari bahwa menjadi sosok yang ditakdirkan sebenarnya hanya berarti bahwa kejadian-kejadian tak masuk akal memiliki peluang lebih besar terjadi di sekitarnya.
Jadi ini penyebab kenapa aku bisa dapat salah satu Aspek paling langka sekaligus paling nggak berguna — dan itu pun dalam versi yang aneh pula!
Kalau [Fated] adalah Atribut bawaan dari dirinya sendiri, maka dua atribut lainnya berasal dari Aspek [Temple Slavel]. Atribut [Mark of Divinity] cukup mudah dimengerti — atribut ini seharusnya memungkinkan seseorang memasuki tempat-tempat suci tertentu di dalam Dunia Mimpi dan memperkuat jenis-jenis sihir tertentu. Namun karena sekarang tidak ada tempat suci yang terlihat, dan Aspek Sunny sama sekali tidak berhubungan dengan sihir, maka atribut itu… ya, tidak berguna juga.
[Child of Shadows] adalah atribut yang lebih aneh. Sunny belum pernah mendengarnya dan sama sekali tak tahu apa fungsinya — setidaknya sampai matahari bersembunyi di balik gunung dan langit mulai menggelap. Yang mengejutkannya, Sunny mendapati dirinya mampu melihat dengan sempurna dalam kegelapan, seolah-olah dunia di sekitarnya tetap seterang siang hari. Kemampuan ini saja sudah luar biasa dan jelas bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Ada kemungkinan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan bayangan akan memberinya hadiah lain, yang belum ia ketahui.
Akhirnya, sesuatu yang bagus. Aku jadi penasaran apakah…
“Berhentikan karavan! Bersiap untuk berkemah!”
Mengikuti perintah kepala prajurit, para budak langsung berhenti dan jatuh ke tanah, menggigil dan kelelahan. Lapangan kecil tempat jalanan sedikit melebar ini terlindungi sebagian dari angin berkat tonjolan batu besar di satu sisi, namun tetap saja terlalu dingin untuk benar-benar bisa beristirahat dengan nyaman.
Para prajurit segera sibuk menggiring para budak ke dalam formasi melingkar yang rapat, memaksa mereka untuk saling berbagi kehangatan, lalu menyalakan api unggun besar di tengah-tengah perkemahan — meski sebelumnya mereka memastikan kuda-kuda mereka sudah ditangani terlebih dahulu. Gerobak besar yang mengangkut makanan, air, dan barang-barang lainnya — tempat rantai utama para budak terpasang — didorong ke depan untuk menjadi penahan angin.
Saat mengedarkan pandangan, Sunny melihat prajurit muda dari sebelumnya sedang menatap gunung dengan ekspresi rumit di wajahnya.
Aneh juga orang ini.
Tak lama kemudian, api unggun menyala dengan terang. Para budak yang lebih kuat berusaha menyelinap lebih dekat ke api, sementara yang lebih lemah — seperti Sunny — terpaksa duduk di bagian luar lingkaran, punggung mereka membeku digigit angin malam. Tentu saja, semua gerakan mereka dibatasi oleh rantai yang masih terbelenggu di pergelangan tangan dan kaki. Karena itulah, si budak berbahu lebar yang sudah akrab bagi Sunny berakhir di tempat semula, meski sudah berusaha keras untuk mendekat ke api.
“Keparat, para Imperial!” desisnya dengan kesal.
Para prajurit berjalan di antara para budak, membagikan air dan makanan. Sunny, seperti yang lain, menerima beberapa teguk air dingin dan sepotong kecil roti keras berjamur. Meski tampak menjijikkan, ia tetap memakannya sampai habis — hanya untuk tetap merasa lapar seperti sebelumnya.
Dilihat dari ekspresi mereka, ia bukan satu-satunya.
Budak licik yang berjalan di belakang Sunny sebelumnya menatap sekeliling dengan putus asa.
“Demi Tuhan, bahkan di penjara mereka memberiku makan lebih baik dari ini!” Ia meludah ke tanah dengan kesal. “Padahal kebanyakan dari kami di sana cuma menunggu giliran ke tiang gantung!”
Beberapa langkah dari mereka, di ujung jalan beraspal yang mulai berubah jadi bebatuan tajam, tumbuh sekumpulan buah beri merah terang di sela-sela salju. Sunny sudah memperhatikan mereka sejak tadi — tersebar di sana-sini sepanjang jalan — dan sempat mengagumi betapa cantiknya warna merah itu yang mencolok di antara putihnya salju. Mata budak licik itu bersinar penuh harap saat ia mencoba merangkak mendekati buah beri tersebut dengan tangan dan lutut.
“Aku sarankan untuk tidak memakan itu, kawan.”
Suara lembut itu terdengar lagi. Budak bersuara lembut. Sunny menoleh dan akhirnya melihat sosoknya secara langsung untuk pertama kalinya. Seorang pria tinggi berusia sekitar empat puluhan, bertubuh kurus dan memiliki wajah yang anehnya tampan, dengan sorot mata tenang seperti seorang cendekiawan. Bagaimana pria seperti itu bisa berakhir sebagai budak adalah sebuah misteri. Tapi nyatanya, di sanalah ia sekarang.
“Kau dan nasihatmu lagi! Apa?! Kenapa?!”
Cendekiawan tersenyum, meminta maaf dengan anggukan halus.
“Beri itu disebut Bloodbane. Mereka tumbuh di tempat-tempat yang pernah berlumur darah manusia. Itu sebabnya mereka sering ditemukan di sepanjang jalur perdagangan budak.”
“Lalu kenapa?!”
Pria tua itu menghela napas.
“Bloodbane beracun. Beberapa butir saja cukup untuk membunuh pria dewasa.”
“Sialan!”
Budak licik itu langsung menjauh dan menatap Cendekiawan dengan marah.
Sunny sendiri tidak terlalu memperhatikan mereka.
Karena saat menatap sekeliling, ia akhirnya menyadari bahwa lokasi perkemahan mereka sekarang adalah tempat yang, dalam penglihatannya di awal Nightmare, merupakan lokasi di mana tulang-belulang para budak terkubur di bawah salju. Dan ia cukup yakin, apapun yang telah membunuh mereka semua akan segera terjadi.
Seakan menjawab pikirannya, suara gemuruh keras bergema dari atas.
Dan di detik berikutnya, sesuatu yang sangat besar menghantam dari langit…
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] < Bab 3 – Tali-Tali Takdir (SS) […]