Bab 3 – Penebusan yang Tak Pernah Usai (Grimgar)

Hari itu.

Aku kembali teringat akan apa yang terjadi saat itu.

Suara menggema di udara.

Satu ledakan dahsyat, di luar batas kewajaran.

Tubuhku nyaris terangkat oleh getarannya.

Refleks, aku merendahkan posisi tubuh agar tak terjatuh.

Lalu aku menoleh ke utara.

Aku tahu persis apa yang ada di sana.

Aku masih mengingatnya dengan jelas.

Di sana dulunya berdiri Gunung Mahkota—disebut begitu karena bentuknya menyerupai mahkota.

Dulu.

Tapi yang tersisa saat itu… sudah bukan mahkota, bukan gunung, bahkan bukan bentuk yang bisa dikenali.

Yang tampak hanyalah seperti mangkuk raksasa berwarna hitam yang dibalik.

Gunung Mahkota telah berubah total. Tapi tetap, aku tahu itu tempat yang sama.

Dan aku juga ingat betul ketika tempat itu—Gunung Mahkota, atau apa pun yang tersisa darinya—menghilang.

Gunung itu, atau apa pun yang pernah menjadi gunung, telah dihancurkan sepenuhnya.

Bongkahan batu beterbangan ke segala arah.

Asap hitam pekat menjulang tinggi ke langit.

Aku bisa mengingat semuanya sejelas siang hari.

Dan saat itu, di dalam kepulan asap itu…

Aku merasakan sesuatu.

Dan aku tahu apa itu sebenarnya.

Karena aku sama sekali tidak terkejut.

Kilatan-kilatan cahaya menembus gumpalan asap dan menyibaknya.

Semua itu… terasa seperti bagian dari takdir.

Bukan sesuatu yang mengejutkan—justru, seolah-olah aku telah menunggu saat itu datang.

Aku yakin akan hal itu.

Aku menatap lurus pada cahaya yang menyilaukan itu.

Cahaya yang begitu kuat hingga jika aku menatapnya secara langsung, mataku seharusnya terbakar habis.

Tapi aku bahkan tidak berkedip.

Sesuatu yang memancarkan cahaya berada di balik asap hitam itu.

Dan pada saat yang sama—cahaya itu juga ada di dalam diriku.

Tak ada benturan antara cahaya di luar dan cahaya di dalam.

Tak ada batas di antara keduanya.

Tak ada perbedaan.

Maka cahaya itu tidak akan pernah membakar mataku.

Cahaya akan terus meluas tanpa henti.

Kelak, cahaya itu akan menyelimuti dunia.

Dunia akan dipenuhi oleh cahaya.

Cahaya akan menjadi dunia itu sendiri.

Dunia harus diselimuti oleh cahaya, harus dipenuhi olehnya.

Segala sesuatu dalam dunia ini harus menjadi bagian dari cahaya.

Apa pun yang menolak cahaya harus dilenyapkan.

“Apa-apaan ini,” gumam seorang pria—seorang manusia.

“Hei,” katanya lagi, memanggilku.

Tapi aku tahu.

Pria manusia itu tidak tunduk pada cahaya.

Ah…

Aku tahu itu—tahu lebih dari siapa pun.

Sebagai bagian dari cahaya, aku hanya bisa… menginginkan.

Aku ingin pria manusia itu mengikuti cahaya. Aku ingin dia menjadi bagian dari cahaya yang mutlak dan tak tertandingi.

Namun aku tahu. Itu tidak akan pernah terjadi.

Jika seseorang memintanya untuk bersujud di hadapan cahaya—jika aku yang mengucapkannya padanya—lalu apa yang akan ia balas? Sudah pasti ia akan menolak. Dia akan menyatakan dengan tegas bahwa dia tak akan pernah bersujud kepada apa pun. Bahkan pada takdir sekalipun, dia akan menentangnya.

Sama sepertiku, dia seharusnya menjadi bagian dari cahaya.

Namun dia tidak akan pernah menjadi bagian dari cahaya.

Ah, karena itu—karena itulah aku harus menusukkan benda keras berbentuk tongkat yang kugenggam ini ke tubuh pria itu.

Maka aku melakukannya.

Dengan segenap kekuatan, aku hantamkan ujung tongkat ke dahinya. Keras. Tanpa ragu. Langsung ke dahi pria manusia itu.

Pria itu mengerang pelan—“Ugh”—dan terhuyung ke belakang. Hampir saja ia terjatuh duduk. Tapi meskipun begitu, tatapannya tetap tertuju padaku.

Matanya membelalak.

Dia terus menatapku.

Meski baru saja dihantam di dahi, meski tubuhnya limbung dan hampir ambruk, dia tetap berdiri. Dia tetap menatapku.

Bibirnya bergerak. Dia berkata sesuatu. Suaranya membentuk kata-kata.

Aku mengenal suara itu. Aku mengingat kata-kata itu.

Yang dia katakan adalah—

“Chibi.”

Aku tidak ingin mendengarnya. Bukan itu yang seharusnya keluar dari mulutnya. Dia keliru. Dia seharusnya memuliakan cahaya. Dia seharusnya bersumpah setia pada cahaya—di hadapanku, yang merupakan bagian dari cahaya itu sendiri.

Selama laki-laki itu bersedia mengikuti cahaya, bagiku itu sudah cukup. Semuanya seharusnya berjalan lancar. Takkan ada masalah.

Namun, aku tahu.

Aku tahu betul—laki-laki itu takkan pernah mengikuti cahaya.

Renji.

Kenapa?

Aku bertanya dalam hati.

Kenapa kamu menatapku dengan mata seperti itu, Renji?

Tatapan seperti apa sebenarnya yang ia arahkan padaku saat itu?

Dia, yang tak pernah mengikuti cahaya, yang tak pernah menjadi bagian darinya—bagaimana bisa dia memandangku, yang telah menjadi bagian dari cahaya itu sendiri?

Aku masih mengingatnya. Tatapan yang ia berikan padaku waktu itu. Meski menyakitkan, aku belum pernah melupakannya. Aku tidak bisa melupakannya.

“Itu tidak benar, kan?”

Ia menatapku seakan ingin mengucapkan kata-kata itu.

Dan bahkan sekarang… ia masih menatapku dengan tatapan yang sama.

“Kau bukan seperti mereka, kan, Chibi?”

Kau seharusnya tidak begitu, bukan?

Tapi aku tidak berbeda.

Aku tidak berbeda.

Jangan lihat aku.

Jangan tatap aku dengan mata seperti itu.

Aku memukuli pria itu dengan tongkat.

Berkali-kali menghantamkan tongkat ke wajahnya.

“Chibi, hentikan!”

Seseorang mencoba menyela, mencoba masuk di antara aku dan pria itu. Aku tahu siapa dia—pria berkacamata itu. Aku juga tahu namanya: Adachi.

Adachi tidak akan tunduk pada cahaya. Kecuali Renji memilih untuk tunduk pada cahaya—tapi itu tidak mungkin terjadi.

Karena itu, aku juga menghantam Adachi dengan tongkatku. Adachi jauh lebih lemah dari Renji; hanya satu pukulan sudah cukup membuatnya tersungkur.

Satu pria lain hanya berdiri di sana, terpaku, bingung. “A-apa ini…?” Aku kenal dia juga. Ron. Dia juga tidak akan tunduk pada cahaya. Setidaknya, tidak dari lubuk hatinya.

Cahaya.

Aku adalah bagian dari cahaya.

Aku adalah cahaya itu sendiri.

Aku mengayunkan tongkatku.

Ujung tongkat menghantam kepala Adachi yang sudah tergeletak.

Kacamatanya pecah bersamaan dengan tengkoraknya.

Retak. Hancur.

“Kenapa kau… Chibi…”

Dia—Renji—menatapku.

Bukan sekadar menatap.

Renji mencoba bangkit.

Kenapa?

Ah…!

Kenapa harus begini?

Segala sesuatu di dunia ini seharusnya menjadi bagian dari cahaya.

Apa pun yang menolak cahaya… harus dimusnahkan.

Kenapa kalian menolak untuk tunduk pada cahaya?

Padahal mereka yang tidak berserah pada cahaya tak punya tempat untuk berdiri!

Aku menghantam Renji—yang sedang berusaha bangkit—dengan tongkatku.

Dan aku pun berteriak.

Wahai cahaya…!

Aku berdoa.

Berserahlah!

Berserahlah pada cahaya!

Kumohon… pada cahaya!

Wahai cahaya!

Pada cahaya…!

Oh, cahaya!

Dengan segenap doa dan keputusasaanku, aku terus memukuli Renji.

Sampai tubuhnya tak lagi bergerak.

Sampai napasnya berhenti.

Sampai jantungnya tak lagi berdetak.

“Uoooooooohhh!”

Laki-laki bernama Ron itu mengayunkan pedangnya yang besar dan menerjang ke arahku. Biarlah dia pun kuserahkan pada cahaya.

Aku adalah bagian dari cahaya.

Aku adalah cahaya itu sendiri.

Aku adalah cahaya.

Inilah yang disebut sebagai pengabdian pada cahaya. Dan bagi diriku—yang merupakan cahaya dan tunduk pada cahaya—ini pastilah kebahagiaan tertinggi. Karena itulah aku gemetar seperti ini.

Cahaya, jadilah.

Sialan.

Cahaya menggerakkanku. Karena aku adalah cahaya. Cahaya yang benar.

Kebenaran lahir dari cahaya, bukan?

Dengan menjadi cahaya, dengan terus menjadi cahaya, bukankah penderitaan ini pun akan disucikan?

Sialan.

Cahaya, jadilah.

Adakah tempat bagi penderitaan di dalam cahaya?

Maka dari itu, bukankah penderitaan ini pada akhirnya akan lenyap juga?

Tatapan itu—tatapan milik Renji.

Suaranya.

Kata-katanya.

Kehangatannya.

Segala kenangan yang melekat padanya.

Semuanya… seharusnya sirna.

Namun kenapa?

Kenapa tak bisa hilang?

Cahaya, jadilah.

Sialan.

Tak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tak bisa melupakannya.

Kenapa?


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] 1 – Memanggil NamamuBab 2 – IntiBab 3 – Penebusan yang Tak Pernah UsaiBab 4 – Berkah Ketuhanan yang DidapatBab 5 – Lucu, ya?Bab 6 – Hidup dalam Tipu […]

Scroll to Top
1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x