Bab 2 – Masa Lalu yang Tak Ada (Grimgar)

Kapan, dan bagaimana ia berpindah dari Jepang ke Grimgar—Manato benar-benar tak punya jawaban. Tapi yang jelas, perutnya terasa sangat lapar. Itu satu-satunya hal yang bisa ia pastikan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia makan.

“—Wow, keren banget!”

Mereka kembali masuk ke dalam menara dan menaiki tangga spiral. Tempat yang ditunjukkan Haru berada di lantai atas: sebuah ruangan luas dengan dinding dan langit-langit berwarna abu-abu, sementara lantainya sedikit lebih gelap.

“Begitukah?” jawab Haru santai.

Ia berjalan ke sisi ruangan dan membuka pintu sebuah kotak besar berbentuk balok—semacam lemari penyimpanan. Bagian dalamnya berupa rak-rak, penuh dengan wadah-wadah yang berjajar rapi. Haru mengambil dua wadah, lalu menutup pintunya kembali.

“Duduklah di mana saja yang kau suka.”

Di bagian tengah ruangan memang kosong, lapang tanpa perabot. Tapi di dekat penyimpanan itu ada sebuah meja dengan empat kursi mengelilinginya.

Manato segera berlari dan duduk di salah satunya. Haru meletakkan dua wadah di atas meja, lalu membuka tutupnya. Wadah pertama berisi sesuatu yang tampaknya buah atau akar tanaman. Ada yang merah, putih, dan hijau—semuanya terendam dalam cairan. Saat Manato mencium aromanya, ia mencium bau asam yang cukup kuat.

Wadah kedua berisi potongan daging—kemungkinan besar daging hewan. Warnanya kehitaman dan tampak keras, tidak lembut sama sekali. Potongannya padat dan memenuhi seluruh ruang dalam wadah.

“Aku sebenarnya tidak perlu makan terlalu sering, tapi tetap saja hambar rasanya kalau tidak sama sekali. Jadi kadang-kadang aku membuat makanan awet untuk dimakan sesekali,” kata Haru.

Ia membuka lemari lain dan mengambil beberapa alat makan: piring, garpu, dan pisau.

“Makanlah sepuasnya.”

“Beneran boleh?”

“Yang ini acar dari labu dan akar-akaran, dan yang daging itu berasal dari binatang mirip sapi yang disebut ganaro. Dagingnya diawetkan dengan garam, lalu dijemur dan diasapi. Masih ada juga kacang panggang, buah-buahan kering, dan lainnya. Kacang kering perlu direndam dulu sebelum bisa dimakan, tapi kalau kau mau, nanti aku siapkan juga.”

“Hebat… lengkap banget persediaannya.”

“…Yang kupunya cuma waktu, sih. Aku kumpulkan apapun yang kira-kira bisa dimakan, kuolah supaya bisa tahan lama. Tapi kadang, tetap saja ada yang keburu basi sebelum habis dimakan.”

“Itu namanya sayang! Harusnya dihabiskan semua.”

“Benar juga.”

Sepertinya Haru tersenyum sedikit dari balik topengnya.

Manato mengambil garpu dan memindahkan beberapa potong acar ke piringnya. Ia sudah pernah makan acar juga di dunia lamanya. Ia mencoba yang berwarna putih terlebih dahulu. Rasanya sedikit terlalu tajam—mungkin karena terlalu lama direndam—tapi tetap lezat, asamnya kuat dan rasanya mantap.

“Aku bisa makan ini,” katanya.

“Syukurlah kalau cocok di lidahmu.”

“Boleh makan daging juga?”

“Tentu saja.”

“Aku suka banget daging.”

Manato mengambil sepotong daging asap dari wadah, lalu mengirisnya tipis dengan pisau.

“Whoa…”

Saat dikunyah, rasanya cukup asin. Tapi perlahan, rasa gurih dari daging mulai muncul, disusul lemak yang kaya rasa. Asinnya pun jadi tak terlalu terasa.

“Enak banget. Ini apa, sih? Makin dikunyah, makin lezat. Rasanya sayang ditelan.”

Akhirnya, Manato menghabiskan tiga potong daging asap dan hampir setengah wadah acar seorang diri. Haru kemudian membawakannya air—di dalam cangkir ringan dan wadah sempit bermulut kecil—yang cukup untuk mengganti cairan tubuhnya.

“Wah, perutku kenyang banget. Mungkin karena itu, aku jadi ngantuk. Boleh tidur?”

“…Silakan saja. Tapi, ranjangnya cuma satu. Itu pun sesekali kupakai.”

“Ranjang? Ah, enggak usah.”

“Enggak usah… maksudmu?”

“Tidur di lantai juga nggak masalah. Aku rebahan dulu, ya.”

“A—ah, oke…”

“Biar aku tidur sebentar.”

Manato lalu berbaring di lantai dan memejamkan mata.

Dia tahu Haru sedang bingung. Tapi orang itu sepertinya bukan tipe yang jahat. Meski pakai topeng… kenapa dia menutupi wajahnya, ya? Pasti ada alasannya. Tidak mungkin tanpa sebab. Seperti apa wajah aslinya?

Yah, intinya… dia sepertinya orang yang bisa dipercaya. Entah kenapa, aku merasa begitu.

Seketika, Manato terlelap. Lalu, tiba-tiba terbangun.

Saat ia duduk, Haru yang sedang sibuk di dekat dinding kaget dan menoleh cepat.

“…Sudah bangun? Cepat juga.”

“Rasanya segar!”

Manato berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di depan Haru ada semacam meja kerja—atau lebih tepatnya dapur. Ya, itu dapur. Rumah Kariza juga punya dapur. Tempat untuk memasak, dengan meja dan peralatan yang dikumpulkan di satu area. Lalu, di sana ada rak yang berisi benda-benda yang sepertinya buku. Dekat situ ada ranjang—mungkin ranjang yang dipakai Haru. Di samping ranjang, ada meja kecil dengan satu buku terbuka yang dibalik menghadap ke bawah.

Anehnya, meski tak ada jendela, ruangan ini terang. Di beberapa bagian langit-langit, terpasang alat penerangan yang memancarkan cahaya. Cahayanya cukup terang, tapi tidak menyilaukan.

“Aneh sekali…”

Manato menarik napas dalam-dalam.

Wadah daging asap dan acar sudah tidak terlihat—mungkin sudah dibereskan. Karena itu pula, tak ada aroma cuka atau daging di udara.

Ruangan ini nyaris tak memiliki bau apa pun.

Satu-satunya bau yang ada mungkin hanya berasal dari dirinya sendiri.

Selain itu, suhu di sini pun terasa netral—tidak hangat, tidak dingin. Udara pun tak terasa lembap ataupun kering.

“Apa yang kamu bilang aneh?” tanya Haru.

Manato sempat terdiam, berpikir sejenak sebelum menjawab, “Semuanya, kurasa.”

“Hm.”

Haru melangkah mendekat ke meja tempat Manato baru saja makan dan menyandarkan satu tangannya di atasnya.

“Kamu sebaiknya jangan mengira bahwa Grimgar seperti ini. Ruang di dalam bahtera ini berbeda. Tempat ini… bisa dibilang adalah dunia lain. Di luar sana—aku tak tahu harus menggambarkannya bagaimana, tapi yang jelas, itu bukanlah surga.”

“Seperti neraka, maksudmu?”

“Neraka, ya…”

Haru mengulang kata itu pelan, lalu menghela napas.

“Dalam arti tertentu, mungkin memang mirip.”

“Salah satu temanku pernah bilang… Kalau seseorang mati, dia akan pergi ke tempat bernama neraka. Katanya tempat itu mengerikan dan banyak hal buruk terjadi di sana. Waktu aku dengar itu… entah kenapa aku malah ketawa.”

“Kau… tertawa?”

“Iya. Maksudku, hidup ini aja udah cukup buruk, kan? Jadi kalau setelah mati pun tetap buruk, ya apa bedanya? Rasanya ya begitu-begitu aja.”

“Apa lucunya dari itu…?”

“Bukan lucu, sih. Tapi… bikin ketawa aja. Mati di tempat buruk, terus pergi ke neraka yang juga buruk. Kayak enggak ada bedanya. Absurd banget, kan? Jadi… artinya mati itu ya sama aja kayak hidup. Gimana coba itu maksudnya?”

“Gimana, ya… mungkin memang begitu.”

“Iya, kan? Terus habis itu, si Junza bilang—oh iya, Junza itu temanku, dia yang cerita soal neraka—katanya itu semua cuma… apa ya, semacam teori? Pandangan hidup gitu deh. Katanya itu cuma salah satu cara memandangnya aja. Dan pas dia bilang begitu, aku malah makin ketawa.”

“Kau ketawa lagi?”

“Iya, karena… siapa sih yang tahu apa yang terjadi setelah mati? Gimana cara mastiinnya? Kalau aku bisa ngobrol sama Ayah dan Ibu yang udah meninggal sih, aku bakal tanya langsung. Tapi ya nggak bisa, kan?”

“Ya, memang nggak bisa, sepertinya.”

“Jadi, ternyata ada orang yang tetap memikirkan hal-hal yang jelas-jelas nggak bisa dimengerti, ya… Gila sih. Aneh juga. Ah.”

“…Ada apa?”

“Aku pengin keluar. Masih bisa keluar lagi, nggak? Atau lebih baik aku tetap di sini?”

“Tidak… tak masalah.”

“Harus bareng kamu ya, Haru?”

“Kalau kamu tidak keberatan.”

“Aku nggak keberatan kok. Kenapa?”

“Kamu tidak mencurigai aku?”

“Curiga sih.”

“…Jadi kamu memang mencurigai aku.”

“Iya. Sedikit. Soalnya aku nggak tahu apa-apa soal kamu.”

“Kalau dipikir-pikir, aku juga nggak tahu apa-apa soal kamu.”

“Iya juga, ya. Tapi entah kenapa, aku merasa nggak apa-apa. Soalnya aku Manato?”

“…Maksudmu apa?”

“Teman.”

Manato tak kuasa menahan senyum kecil.

“Kamu pernah bilang kan? Ingat? Teman? Temanmu dulu namanya Manato, kan?”

“Ah… iya.”

“Cuma misal aja, ya, anggap kamu punya niat buruk atau apa…”

“Untuk berjaga-jaga, aku bilang dulu—aku tidak merencanakan hal semacam itu.”

“Iya, ini cuma misal. Tapi meskipun kamu lagi mikir buat ngelakuin hal jahat, kamu nggak bakal enak hati, kan? Soalnya aku Manato. Kamu bakal mikir, ‘Ah, orang ini Manato juga, ya’ gitu.”

Haru menyilangkan tangan di dadanya. Tapi tak lama kemudian, dia melepaskannya lagi.

“Aku tidak akan menyakitimu. Bahkan kalau pun kamu bukan Manato, itu tidak akan mengubah niatku. Tapi… kebetulan aku bertemu dengan seseorang yang namanya sama dengan temanku. Dan itu… kurasa aku senang karena itu. Aku harap aku bisa menyampaikannya dengan baik. Sudah lama sejak terakhir aku ngobrol dengan orang lain…”

“Tenang aja.”

Manato menepuk dadanya, meyakinkan.

“Aku ngerti kok. Haru orang baik. Entah gimana, aku bisa ngerasain itu.”

Haru menundukkan kepala sedikit, bayangan topengnya turun menutupi sebagian wajahnya.

“…Semoga memang begitu.”

Begitu mereka keluar dari kamar Haru, tangga spiral yang tadi mereka lalui sudah berubah. Atau lebih tepatnya, kini tempat itu bukan lagi tangga. Dinding, lantai, langit-langit, dan lampunya masih mirip seperti kamar Haru, tapi sisanya… sekarang itu adalah lorong. Lurus memanjang, dengan pintu-pintu di kiri-kanan yang muncul di beberapa titik. Di ujungnya pun tampak ada sebuah pintu.

Ngomong-ngomong, waktu dia masuk ke kamar Haru, dia tak membuka pintu apa pun. Dia hanya melewati bagian tangga spiral yang tak memiliki pagar, dan tahu-tahu sudah berdiri di depan pintu dalam kamar.

“…Waktu keluar tadi, aku buka pintu, kok keluarnya ke tempat lain? Huh?”

“Sulit untuk dijelaskan.”

Haru terus melangkah menyusuri lorong.

“Tapi… tempat ini masih berada dalam ruang yang sama dengan tangga spiral itu. Itu bisa disebut tangga spiral, atau juga koridor. Atau mungkin… bukan keduanya sama sekali—”

Manato mengikuti Haru dari belakang.

“Ugh… aku nggak ngerti sama sekali.”

“Aku juga. Aku pun belum benar-benar memahaminya.”

“Yah, sudahlah.”

“…Sudah, gitu aja?”

“Banyak hal yang nggak kita pahami, kan? Bahkan, kenapa kita ada di Grimgar aja masih jadi pertanyaan.”

“Itu… memang benar juga.”

Haru membuka pintu di sisi kiri lorong. Manato tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya dilakukan Haru—tapi yang pasti, Haru menyentuh bagian tertentu dari pintunya.

Di balik pintu itu terbentang sebuah ruangan. Kamar Haru sebelumnya cukup luas, tapi yang satu ini jauh lebih besar. Hanya saja, pencahayaannya tak secerah kamar Haru. Beberapa lampu bundar dipasang di langit-langit, memancarkan cahaya berwarna kehijauan yang redup—terlalu lemah untuk benar-benar menerangi seluruh ruangan.

Saat Manato ikut masuk, pintu itu menutup sendiri di belakang mereka, tanpa suara derit atau gemeretak. Hanya terdengar bunyi lembut, syut, nyaris tanpa kesan kehadiran.

“Apa ini…”

Manato berdiri terpaku, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Ukuran ruangan itu satu hal, tapi yang lebih mencengangkan adalah jumlah benda yang memenuhi setiap sudutnya. Ada benda-benda bundar, benda-benda persegi. Berbagai macam mesin. Beberapa meja dipenuhi benda-benda kecil yang tersusun rapat. Ada rak-rak berisi guci dan botol. Buku-buku juga ada. Ada benda-benda menyerupai bentuk manusia. Wadah-wadah dalam berbagai bentuk. Di beberapa bagian ada ruang kosong yang tampaknya disediakan untuk berjalan, dan Haru memilih jalur itu. Manato buru-buru mengikutinya.

“Apa ini semua? Haru… ini tempat apa, sih?”

“Kebanyakan cuma barang rongsokan.”

“Rongsokan?”

“Semuanya dulunya relik. Tapi Elixir-nya sudah diekstrak—mereka telah kehilangan kekuatannya.”

“Eli…sir? E-ri…ku…?”

“Tempat ini gudang. Segala sesuatu yang sudah selesai digunakan dibawa ke sini dan disimpan sementara. Tapi ada beberapa yang masih bisa dipakai.”

Haru berhenti di salah satu sudut gudang. Sebuah permadani biru terbentang di lantai—cukup besar ukurannya. Di atas permadani itu, berjajar senjata: pisau, pedang yang lebih panjang, tombak, busur, dan benda menyerupai crossbow. Jumlahnya banyak sekali. Jelas lebih dari sepuluh atau dua puluh. Mungkin bahkan melewati seratus.

Haru menyingkap mantelnya. Terlihat ada sebilah pisau dalam sarung yang tergantung di pinggangnya—ia memang sengaja memperlihatkannya pada Manato.

“Aku membawa senjata. Tapi kamu nggak. Itu berbahaya. Di sini mungkin ada sesuatu yang bisa kamu pakai. Kalau bingung, biar aku pilihkan.”

“Aku boleh pilih yang aku suka, gitu?”

“Tentu saja. Aku akan ambilkan pakaian yang kira-kira pas buatmu. Sementara itu, pilih saja yang kamu mau.”

“Oke, oke! Wah… banyak banget. Boleh pilih bebas? Duh, bingung…”

Manato berjongkok dan mengambil pisau pertama yang menarik perhatiannya. Ia menariknya dari sarung—ternyata bermata dua.

“Eh… Sekarang aku pikir-pikir, aku bahkan nggak bawa pisau. Aneh ya? Soalnya di rumah biasanya aku selalu bawa satu. Heran deh… Padahal udah terbiasa pakai. Tapi ya udahlah. Hmm… yang ini kelihatannya bagus juga. Tajam. Karena bermata dua, pasti enak buat menusuk juga. Ah, tapi yang panjang itu keren juga. Pedang, ya? Mungkin. Kayaknya pernah lihat yakuza bawa yang kayak gitu… Tapi ini beda, ya? Coba lihat…”

Manato memasukkan kembali pisau bermata dua ke dalam sarungnya dan meletakkannya di atas permadani. Kali ini, ia mengambil pedang itu. Saat berdiri dan menggenggam gagangnya, beratnya tidak seperti yang dibayangkannya.

“Huh!? Serius? Ringan banget! Ayo tes…”

Ia menarik pedang itu dari sarungnya. Lagi-lagi bukan mata tunggal, tapi bermata dua. Dan, sekarang saat ia memperhatikannya, bentuk pelindung tangan di gagangnya juga berbeda dari pedang milik yakuza. Pedang yakuza biasanya punya pelindung bundar, tapi yang ini berbentuk salib.

Manato meletakkan sarungnya di lantai dan mencoba mengambil posisi.

“Pakai satu tangan juga bisa banget. Tapi kalau pakai dua tangan…”

Ia menggenggam gagang yang panjang itu dengan kedua tangan. Rasanya jadi jauh lebih ringan.

“Kayaknya bahkan bisa ngalahin beruang. Yah, meskipun lawan beruang besar mungkin tetap susah…”

Ia mengayunkan pedang itu lima, enam kali—sekadar merasakan keseimbangan dan bobotnya. Lalu mulai bermain-main: melemparkannya dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya, membalik arah mata pedangnya, melakukan ayunan lain sambil bergerak maju-mundur, kiri-kanan. Ia mencoba memainkan pedang bermata dua itu dari berbagai sudut.

“Apa ini… Ini beneran luar biasa… Huh? Tapi yang lain juga kelihatannya bagus-bagus. Busur, misalnya… Gimana ya? Nggak tahu sebelum dicoba sih. Tapi itu ada tabung anak panahnya juga. Wah. Tapi tetap sih, punya busur kayaknya penting juga. Semua senjata di sini… dirawat, ya? Kondisinya bagus banget. Duh… bingung nih…”

Sambil terus mencoba-coba senjata—antara pedang, busur, dan lainnya—dan menimbang-nimbang pilihannya, Haru kembali, memeluk setumpuk pakaian.

“Ukuran badan kita nggak beda jauh, jadi harusnya bisa kamu pakai. Tapi… warnanya mungkin agak…”

“Warna?”

Manato meletakkan pedangnya dengan hati-hati di atas permadani, lalu menerima pakaian dari Haru. Berat—bahkan lebih berat dari pedang tadi. Bukan kain biasa; mungkin terbuat dari kulit binatang yang disamak. Sudah diwarnai.

“Ah… oranye, ya…”

Saat dibentangkan, ternyata itu adalah pakaian terusan—semacam jumpsuit—yang menyambung antara atasan dan bawahan. Warnanya kombinasi antara oranye dan hitam. Selain jumpsuit, Haru juga meletakkan sepasang sepatu bot dan sarung tangan di lantai. Semuanya terlihat sama kokohnya.

“Agak mencolok, mungkin,” ujar Haru.

Ia sendiri selalu mengenakan pakaian serba hitam atau mendekati hitam. Warna yang menyatu dengan kegelapan malam, atau berbaur dengan bayangan di hutan—warna yang cerdas untuk bertahan hidup. Manato juga tidak pernah memakai pakaian atau perlengkapan yang mencolok. Terlalu mudah terlihat, dan itu berarti berbahaya.

“Iya juga sih… Tapi, boleh aku coba pakai?”

“Memang itu tujuannya,” jawab Haru sambil membalikkan badan, membelakangi Manato.

Manato tidak begitu paham kenapa Haru mesti membalikkan badan, tapi ia tak ambil pusing. Dengan cepat, ia melepaskan pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian dalam sebelum mencoba jumpsuit itu.

“…Wah! Begitu dipakai, rasanya ringan banget! Gila sih. Enak banget buat bergerak. Eh, ada bagian keras di lutut dan siku juga. Sepatunya… pas banget! Huh? Ringan banget! Padahal sol-nya tebal. Sarung tangannya juga bagus—jariku tetap bisa digerakin dengan mudah. Wah. Aku coba pakai pedangnya lagi, boleh?”

“…Pedang—ah, itu sebenarnya bukan pedang biasa. Itu dulunya disebut ‘Pedang Kutukan Balasan’. Salah satu relik. Tapi setelah eliksirnya diambil, sekarang cuma pedang biasa.”

“Pedang ya? Hmm… Iya sih, pedang. Tapi pedang yang bagus. Keseimbangannya mantap. Enak banget dipakai. Oke, aku ambil ini aja. Sama pisau bermata dua tadi.”

“Pisau itu sebenarnya belati. Namanya Belati Kematian. Sama seperti Pedang Kutukan tadi, efeknya juga sudah hilang.”

“Terus… busur dan tabung anak panahnya juga boleh aku pinjam?”

“Silakan. Aku nggak butuh.”

“Yes! Ayah dan ibu dulu pemburu. Aku sering ikut mereka. Kalau punya perlengkapan sebanyak ini, kayaknya bakal gampang buat berburu mangsa kecil.”

“Pemburu, ya? Jadi orang tuamu juga seorang hunter…”

“Di Grimgar juga ada, kan? Hunter?”

“Dulu, ya.”

Manato menangkap cara Haru mengucapkannya—bukan “ada”, tapi “dulu ada”. Berarti sekarang sudah tidak ada lagi.

“Salah satu teman terpentingku dulu adalah seorang hunter. Dia lebih kuat dari siapa pun, penuh perhatian… seperti matahari.”

“Wah. Dia…”

Sudah meninggal, ya?

Manato hampir bertanya, tapi pada akhirnya memilih diam.

Kematian itu hal yang wajar. Tak ada manusia yang bisa hidup selamanya. Anak-anak, orang dewasa—semua bisa mati kapan saja. Dan saat dewasa, manusia perlahan melemah lalu mati. Begitulah cara Manato memandang hidup. Di Jepang pun memang begitu adanya.

Tapi Haru terlihat seperti sudah hidup sangat lama. Dan dari cara Haru bicara, Manato jadi berpikir: mungkin, dibanding orang-orang Grimgar, orang Jepang itu memang berumur pendek. Mungkin bagi Haru, kematian bukanlah sesuatu yang biasa—tidak seperti pandangan Manato selama ini.

“Itu cerita lama,” kata Haru, tersenyum tipis di balik topengnya.

“Bagiku… semuanya terasa seperti masa lalu yang sangat jauh. Aku sudah lama mencoba untuk tidak mengingatnya. Tapi sekarang, entah kenapa, aku jadi rindu padanya.”

“Rindu, ya…”

Manato memutar-mutar pedangnya. Bukan hanya memutarnya di pergelangan tangan, tapi juga menggulingkan gagangnya di antara jari-jarinya. Gerakannya makin lancar—pedang itu terasa makin menyatu dengan tangannya, seolah memang bagian dari tubuhnya sejak awal. Pedang yang benar-benar bagus.

“Tapi, meskipun seseorang mati, bukan berarti dia benar-benar hilang, kan?”

“…Apa maksudmu? Bisa jelaskan?”

“Umm, maksudku… Ya, mereka mati, tapi bukan berarti lenyap. Ayah dan ibuku juga sudah meninggal, tapi rasanya mereka nggak benar-benar pergi. Beberapa teman juga… banyak yang mati. Tapi entah kenapa, aku masih merasa mereka ada. Sulit dijelasin. Temanmu itu, si hunter itu… Dia udah lama meninggal, kan? Aku harusnya nggak bilang ‘meninggal’, ya?”

“Tidak perlu menahan diri,” jawab Haru. “Aku hanya… aku tidak pernah melihat sendiri kematiannya. Aku tidak sempat. Waktu itu aku sedang jauh… Aku mencoba mencarinya setelahnya, tapi tidak pernah berhasil. Melihat situasinya… rasanya hampir mustahil dia bisa selamat.”

“Begitu ya. Tapi kamu nggak pengin percaya dia udah mati?”

“…Ya. Aku dulu begitu. Tapi kalaupun dia masih hidup waktu itu, sekarang dia pasti sudah meninggal karena usia juga.”

“Meninggal karena usia… jadi dia pasti udah nggak ada, ya.”

“Iya. Kemungkinan dia masih hidup, sudah tidak ada. Dia sudah tiada—seperti yang lain. Tapi…”

Haru mengangkat tangan kanannya dan menekan topengnya pelan. Sesaat, Manato mengira dia akan melepaskannya. Tapi tidak. Haru hanya menunduk dalam, tangan tetap di atas topeng.

“Tapi dia masih ada. Di dalam diriku. Manato… kamu benar. Aku belum benar-benar kehilangan dia. Atau teman-temanku yang lain. Aku… hanya berusaha melupakan. Padahal, itu bukan hal yang seharusnya dilupakan.”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] 1 – Kalau Kau Mau Tertawa, Tertawalah SajaBab 2 – Masa Lalu yang Tak AdaBab 3 – Kau Pernah TerbangBab 4 – Pedang dan TinjuBab 5 – Apa yang Telah Kita […]

Scroll to Top
1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x