Bab 2 – Inti (Grimgar)

Dulu, cahaya adalah sumber kebahagiaan.

Cahaya adalah satu-satunya sandaran yang kupunya.

(Aku yang…)

Aku terus mengejar sesuatu yang tak mungkin bisa kuraih.

(Ini…)

Karena aku tahu betul bahwa itu tak akan pernah bisa kugapai, aku membutuhkan cahaya.

Selama ada cahaya, aku bisa terus menatap ke atas—kepada hal yang tak bisa kuperoleh—tanpa merasa sesak, tanpa menyadari betapa menyakitkannya itu sebenarnya.

(Siapa… ‘aku’ ini…)

Aku memiliki cahaya.

(Cahaya…)

Maka kupikir… semuanya akan baik-baik saja.

(Tapi…)

Cahaya selalu memandangiku.

Cahaya selalu mengawasiku, memberkati dari jauh.

Bahkan ketika aku terus mengejar sesuatu yang tak bisa kuraih, bahkan ketika aku merindukannya sampai hatiku terbakar, cahaya tetap menganggap itu sesuatu yang indah. Sesuatu yang patut dihargai.

(Namun…)

Cahaya selalu menerima keberadaanku.

(Aku… menangis waktu itu…)

Dulu, cahaya adalah sandaran hidupku.

Dan aku… benar-benar bersyukur atasnya.

Saat terbangun di dunia ini, aku tidak tahu ke mana harus melangkah. Kanan, kiri—semuanya asing.

Syukurlah, aku bertemu dengan Cahaya.

Sebelum itu… aku sebenarnya sudah lebih dulu bertemu dengan dia.

(Dia…)

Meski begitu—tidak, justru karena itu—aku benar-benar bersyukur telah bertemu dengan Cahaya.

(Renji…?)

Sungguh.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku mempercayainya.

(…Benarkah?)

Tanpa kepalsuan, tanpa dusta. Hanya ketulusan. Murni dan apa adanya.

Meski Cahaya bukan segalanya bagiku, ia tetap sesuatu yang amat penting.

(Tapi… aku menangis…)

Tanpa keraguan sedikit pun.

(Air mata itu… hitam…)

Bukan ingatan yang terputus-putus.

Aku masih mengingatnya dengan jelas.

Suara yang memanggil namaku.

Besar, tebal, dan beratnya tangan yang membelai kepalaku.

Dan kehangatan samar yang kutangkap darinya.

Setiap kata yang pernah ia ucapkan.

Nuansa-nuansa halus yang bergetar di antara dirinya dan orang-orang di sekelilingnya.

Terutama—perasaan yang ia arahkan padaku.

Tatapan matanya.

Cara bibir, pipi, dan alisnya bergerak.

Kulitnya yang sedikit berkeringat.

Aroma samar tubuhnya yang terkadang tercium, napasnya, keberadaannya—segala hal tentang dirinya tak bisa kulupakan.

Dia adalah segalanya bagiku.

(Renji…)

Dialah pusat segalanya.

Ia menempati tempat terdalam dalam diriku. Ia adalah intiku.

Dan semua itu… masih terekam jelas dalam ingatanku.

Aku tidak bisa melupakannya.

Aku tidak akan pernah bisa.

Karena aku belum pernah melupakannya.

(…Kalau begitu, kenapa…)

Mengapa aku melakukan hal itu?

(Hal itu…)

Aku tahu.

(Apa yang… sebenarnya…?)

Aku tahu.

(Apa yang telah kulakukan…?)

Cahaya.

Demi Cahaya.

Cahaya itu telah menyembunyikan diri.

Meski aku belum sepenuhnya mampu memahami kenyataan itu…

Setidaknya sampai saat itu.

Ya.

Hingga saat itu tiba, aku tidak tahu.

Nyaris sama saja dengan tak tahu apa-apa.

Aku hidup dalam ketidaktahuan.

Sepenuhnya, dalam kebodohan yang membutakan.

Aku pikir aku dekat dengan Cahaya. Bahwa aku bisa merasakannya begitu dekat.

Tapi nyatanya tidak.

Cahaya sedang bersembunyi—dan berada sangat jauh di sana.

Jauh, jauh, jauh sekali.

Aku tak menyadarinya, dan tetap percaya bahwa Cahaya ada tepat di sisiku. Bahwa ia menyinariku tanpa henti.

Aku bahkan sempat percaya, bahwa Cahaya itu berada di dalam diriku.

Padahal aku tak tahu apa-apa.

Tanpa pernah benar-benar disinari oleh Cahaya sejati, aku hanya melihat sisa-sisa biasnya.

Dan hanya dari pantulan redup itu aku merasa telah memahami Cahaya.

Hari itu…

Saat itu…

Aku menyaksikan sendiri—Cahaya yang sesungguhnya.

Untuk pertama kalinya, aku benar-benar menyentuh hakikat dari Cahaya itu sendiri.

Cahaya.

Cahaya.

Inilah… inilah Cahaya.

Aku tak kuasa menahan gemetar dalam tubuhku.

Cahaya.

Cahaya itu.

Cahaya yang sejati.

Jadilah terang.

Sialan…

(—Eh…?)


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] 1 – Memanggil NamamuBab 2 – IntiBab 3 – Penebusan yang Tak Pernah UsaiBab 4 – Berkah Ketuhanan yang DidapatBab 5 – […]

Scroll to Top
1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x