Bab 16 – Memburu Tikus Dengan Anjing (LoTM)

Hah… akhirnya lolos juga dari sesi bareng si cenayang…

Klein mengembuskan napas panjang. Ia perlahan memutar badan dan membiarkan dirinya menikmati sejuknya angin malam dan ketenangan yang menyertainya, sambil berjalan mendekati pintu gedung apartemen.

Ia mengeluarkan kunci dari saku, memilih yang tepat, lalu memutarnya dengan pelan. Suara pintu yang berderit menyambutnya, bersamaan dengan gelap yang bercampur semburat kemerahan yang mengembang dari dalam.

Saat menaiki tangga yang sepi tanpa seorang pun terlihat, Klein menghirup udara dingin yang terasa menusuk. Entah mengapa, ada perasaan ganjil tapi menyenangkan dalam dirinya. Rasanya seperti ia memiliki beberapa jam ekstra dibanding orang lain. Pikiran itu mendorongnya untuk mempercepat langkah.

Dengan pikiran serupa, ia membuka pintu kamarnya—dan sebelum sempat masuk, ia langsung melihat siluet seseorang tengah duduk diam di depan meja tulisnya. Rambut hitam kemerahan, mata cokelat terang, wajah halus dan cantik. Tak diragukan lagi, itu Melissa Moretti!

“Klein, ke mana saja kau?” tanya Melissa dengan nada ingin tahu, alisnya sedikit mengendur.

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menambahkan, “Barusan aku bangun untuk ke kamar mandi dan baru sadar kamu nggak ada di rumah.” Nada bicaranya seolah ingin menggali semua detail secara tuntas—dari sebab, akibat, hingga logika di baliknya.

Sudah terbiasa berdalih pada orangtuanya, otak Klein berputar cepat sebelum akhirnya ia tersenyum pahit dan menjawab tenang, “Aku terbangun dan nggak bisa tidur lagi. Daripada buang waktu, kupikir lebih baik kugunakan buat latihan fisik. Jadi aku lari beberapa putaran di luar. Lihat nih, bajuku sampai basah keringat!”

Ia melepas jaketnya dan memutar setengah tubuhnya, menunjuk ke punggungnya.

Melissa berdiri, menatap sekilas tanpa terlalu antusias, lalu berpikir sejenak sebelum berkata, “Sejujurnya, Klein, kamu tak perlu terlalu memaksakan diri. Aku yakin kamu bisa lulus wawancara masuk Universitas Tingen. Tapi kalau pun tidak—eh, maksudku kalau—kamu tetap bisa cari universitas lain yang lebih baik.”

Wawancara itu saja belum terpikirkan… Klein hanya mengangguk dan berkata, “Aku mengerti.”

Ia tidak menyebutkan soal “tawaran” yang baru saja diterimanya, karena ia sendiri belum memutuskan apakah ingin menerimanya atau tidak.

Melissa menatap Klein lekat-lekat, lalu tiba-tiba berbalik dan berlari kecil ke dalam rumah. Ia kembali sambil membawa sebuah benda yang bentuknya menyerupai kura-kura. Benda itu terbuat dari berbagai komponen seperti roda gigi, besi berkarat, pegas lilitan, dan pegas biasa.

Setelah cepat-cepat memutar pegas lilitannya, Melissa meletakkan benda itu di atas meja.

Ka! Ka! Ka!

Dum! Dum! Dum!

“Kura-kura” itu bergerak dan melompat mengikuti irama yang seolah bisa menarik perhatian siapa pun.

“Setiap kali aku merasa jengkel, aku jadi lebih tenang setelah melihatnya bergerak. Belakangan ini aku sering banget melakukannya, dan sangat ampuh! Klein, coba deh!” ajak Melissa dengan mata yang berbinar.

Klein tak menolak niat baik adiknya. Ia mendekati “kura-kura” itu dan menunggu sampai gerakannya berhenti, lalu tertawa kecil. Ia berkata, “Kesederhanaan dan keteraturan memang bisa membantu menenangkan diri.”

Tanpa menunggu balasan Melissa, Klein menunjuk ke arah “kura-kura” itu dan bertanya santai, “Kamu yang buat sendiri? Kapan kamu buatnya? Kenapa aku nggak tahu?”

“Aku memakai bahan-bahan bekas dari sekolah dan barang-barang yang kutemukan di jalan untuk membuat ini. Baru selesai dua hari lalu,” jawab Melissa dengan nada biasanya, sudut bibirnya terangkat sedikit lebih tinggi dari biasanya.

“Itu mengesankan,” puji Klein tulus.

Sebagai anak lelaki yang dulu payah dalam urusan merakit mesin, ia bahkan kesulitan menyusun mobil-mobilan roda empat sewaktu kecil.

Dengan dagu yang sedikit terangkat dan mata yang sedikit menyipit, Melissa menjawab tenang, “Biasa saja.”

“Bersikap terlalu rendah hati itu bukan kebiasaan yang baik,” ujar Klein sambil tersenyum tipis, lalu melanjutkan, “Ini kura-kura, kan?”

Suasana ruangan langsung berubah drastis. Udara terasa berat dan murung sejenak. Kemudian, dengan suara pelan dan samar, seolah terselubung kabut merah yang misterius, Melissa menjawab, “Itu boneka.”

Boneka…

Klein tersenyum kaku, mencoba menjelaskan dengan paksa, “Masalahnya di bahan-bahannya. Terlalu seadanya.”

Setelah itu, ia mencoba mengalihkan topik. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu ke kamar mandi tengah malam? Bukannya kita punya toilet di sini? Dan biasanya kamu tidur sampai pagi, kan?”

Melissa terlihat tertegun sesaat.

Butuh beberapa detik sebelum ia akhirnya membuka mulut, bersiap menjelaskan.

Namun saat itu juga, suara keras dari perutnya terdengar dari arah dada dan perut bagian atas.

“A-Aku mau tidur lagi!”

Brak! Ia meraih “boneka” mirip kura-kuranya, lalu bergegas kembali ke dalam rumah dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

Makan malam tadi terlalu enak, dan dia makan terlalu banyak. Sekarang perutnya kesulitan mencernanya… Klein menggeleng sambil tersenyum, lalu berjalan perlahan menuju mejanya. Ia duduk tanpa suara, larut dalam diam, merenungkan undangan dari Dunn Smith saat bulan merah darah perlahan muncul dari balik awan kelam.

Menjadi staf sipil Nighthawk memiliki kekurangannya sendiri yang cukup jelas.

Dengan statusku sebagai transmigran, “The Fool”—penggagas Pertemuan Misterius itu—dan banyak rahasia yang kusimpan, bergabung di bawah hidung Gereja Evernight yang menangani urusan Beyonder bisa sangat berisiko.

Kalau aku bergabung dengan Dunn Smith dan timnya, sudah pasti tujuanku adalah menjadi seorang Beyonder. Dengan begitu, aku bisa menutupi berbagai keuntungan yang kudapatkan dari Pertemuan itu.

Tapi menjadi anggota resmi berarti harus siap dibatasi oleh banyak aturan. Bahkan staf sipil saja harus melapor jika hendak keluar dari kota Tingen. Aku tak akan bebas bepergian atau melakukan apa pun sesuka hati lagi. Banyak kesempatan yang pasti akan kulewatkan.

Nighthawk adalah organisasi yang ketat. Begitu misi diberikan, tak ada ruang untuk menolak—hanya menunggu perintah dan menjalankannya.

Dan Beyonder… selalu ada risiko kehilangan kendali.

Setelah mencatat semua kerugian satu per satu, Klein mulai menimbang apa saja kebutuhan dan keuntungan yang bisa ia peroleh:

Kalau melihat hasil dari ritual peningkatan keberuntungan kemarin, aku jelas bukan bagian dari delapan puluh persen orang yang beruntung. Cepat atau lambat, akan ada kejadian aneh yang menimpaku, dan itu hanya akan menambah bahaya yang harus kuhadapi.

Hanya dengan menjadi salah satu dari para Beyonder atau bergabung dengan Nighthawks-lah aku bisa memiliki kemampuan untuk melawan.

Keinginan untuk menjadi Beyonder tidak bisa semata-mata bergantung pada Gathering (Pertemuan). Formula ramuan memang bukan masalah besar, tetapi di mana aku bisa menemukan bahan-bahan yang sesuai? Bagaimana caranya mendapatkan dan meraciknya?

Belum lagi pengetahuan dan latihan harian yang harus terus dilakukan—semuanya menghadirkan rintangan yang nyata. Aku tidak mungkin terus-menerus bertanya kepada Justice dan The Hanged Man tentang segala hal, atau menukar setiap benda dengan mereka. Itu bukan hanya akan merusak citra The Fool dan membangkitkan kecurigaan mereka, tapi juga akan kekurangan waktu untuk membahas hal-hal sepele semacam itu.

Lagi pula, aku juga tidak punya sesuatu yang bisa benar-benar menarik perhatian mereka.

Belum lagi bahan-bahan yang terlalu sering ditukar kemungkinan besar akan meninggalkan jejak identitas asliku. Ketika itu terjadi, “perselisihan daring” bisa berubah menjadi “konflik di dunia nyata,” dan itu akan mendatangkan masalah besar.

Dengan bergabung bersama Nighthawks, aku akan memiliki akses pada pengetahuan umum seputar dunia misteri dan saluran-saluran terkait. Dari sana, aku bisa membangun jaringan sosial yang sesuai dan memanfaatkannya sebagai pijakan. Hanya dengan begitu Gathering bisa kugerakkan secara efektif, dan aku bisa meraih manfaat sebesar-besarnya dari Justice dan The Hanged Man. Pada akhirnya, keuntungan dari sana akan berdampak langsung pada realitasku, memberiku lebih banyak sumber daya dan menciptakan siklus yang saling menguatkan.

Tentu saja, aku juga bisa mempertimbangkan bergabung dengan organisasi yang ditekan oleh berbagai Gereja, seperti yang disebut Dunn—para Alkemis Psikologi.

Namun, aku juga akan kehilangan kebebasanku—dan hidup dalam ketakutan serta kecemasan yang terus-menerus. Tapi yang lebih penting, aku sama sekali tidak tahu di mana bisa mencari mereka. Kalaupun aku berhasil mendapatkan informasi dari The Hanged Man, melakukan kontak secara sembrono dengan mereka bisa membahayakan nyawaku.

Menjadi staf sipil memberi ruang—baik sebagai penyangga maupun jalan keluar.

Pertapa rendah menyembunyikan diri di alam liar; yang unggul, di tengah keramaian. 

Mungkin identitas sebagai seorang Nighthawk bisa menjadi penyamaran yang lebih baik.

Kelak, saat aku sudah menjadi salah satu petinggi tribunal, siapa yang akan mengira bahwa aku sebenarnya seorang bidah—kepala dari organisasi rahasia yang bergerak di balik layar?

Saat cahaya pertama dari matahari pagi mulai menyapu langit, rona merah itu pun lenyap. Menatap cahaya keemasan di cakrawala, Klein pun mengambil keputusan.

Hari ini, dia akan mencari Dunn Smith—dan bergabung sebagai staf sipil Nighthawk!

Saat itu juga, Melissa yang sudah bangun dan kembali keluar dari kamarnya, membuka pintu. Ia tampak terkejut melihat kakaknya sedang meregangkan tubuh dengan gerakan yang tidak terlalu anggun.

“Kamu belum tidur?”

“Aku sedang memikirkan beberapa hal,” jawab Klein sambil tersenyum, kini merasa lebih ringan.

Melissa tampak berpikir sejenak lalu berkata, “Kalau aku menghadapi masalah, biasanya aku akan mencatat satu per satu kelebihan dan kekurangannya, lalu membandingkannya. Setelah itu, biasanya aku bisa mendapat sedikit petunjuk tentang apa yang harus kulakukan.”

“Itu kebiasaan yang bagus. Aku juga melakukannya,” Klein tersenyum dan menjawab.

Wajah Melissa terlihat santai, dan ia tak menambahkan apa pun lagi. Sambil membawa selembar kertas kekuningan dan perlengkapan mandinya, ia melangkah menuju kamar mandi.

Sementara itu, Klein tidak terburu-buru pergi setelah menyantap sarapan dan kepergian adiknya. Ia justru mengambil waktu untuk tidur siang sejenak. Berdasarkan pengetahuannya, hampir semua pub tutup di pagi hari.

Sekitar pukul dua siang, ia merapikan lipatan topi sutra dan saputangannya dengan kuas kecil. Ia juga membersihkan noda-noda kecil agar tampilannya kembali rapi.

Setelah itu, ia mengenakan setelan pakaian formal, seolah-olah hendak menghadiri wawancara kerja.

Karena Jalan Besik cukup jauh dan ia khawatir melewatkan “jam kerja” para Nighthawk, Klein memutuskan untuk tidak berjalan kaki. Ia menunggu kereta kuda umum di Jalan Iron Cross.

Di Kerajaan Loen, kereta kuda umum dibagi menjadi dua jenis—tanpa rel dan dengan rel.

Jenis pertama adalah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda dan bisa memuat sekitar dua puluh orang, termasuk penumpang di bagian atas kereta. Jalurnya tidak tetap, tanpa halte khusus. Ia beroperasi secara fleksibel dan bisa diberhentikan di mana saja selama tidak penuh.

Jenis kedua dioperasikan oleh Perusahaan Kereta Rel. Pertama-tama, alat semacam rel akan dipasang di jalan utama. Kuda akan bergerak di jalur dalam, sementara roda berjalan di atas rel, menjadikan perjalanan lebih mudah dan hemat tenaga. Karena itu, jenis ini mampu menarik kereta bertingkat dua yang dapat menampung hampir lima puluh penumpang.

Namun, satu-satunya masalah adalah rute dan perhentiannya sudah tetap, sehingga banyak tempat menjadi tak terjangkau.

Sepuluh menit kemudian, suara roda yang menghantam rel terdengar mendekat dari kejauhan. Sebuah kereta kuda tingkat dua berhenti di depan halte di Jalan Iron Cross.

“Ke Jalan Besik,” kata Klein kepada kusir kereta.

“Kamu harus turun di Jalan Champagne. Begitu sampai di sana, jaraknya hanya sepuluh menit jalan kaki ke Jalan Besik,” jelas kusir itu kepada Klein, menjelaskan rutenya.

“Kalau begitu, ke Jalan Champagne saja.” Klein mengangguk setuju.

“Jaraknya lebih dari empat kilometer, empat sen,” kata seorang pemuda berwajah bersih dan cerah sambil mengulurkan tangan.

Ia adalah petugas yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan ongkos.

“Baik.” Klein merogoh sakunya dan mengeluarkan empat koin perunggu, lalu menyerahkannya kepada pemuda itu.

Ia menaiki kereta dan mendapati jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak. Bahkan di lantai satu, masih ada beberapa kursi kosong.

Cuma punya tiga sen sekarang… berarti nanti pulangnya harus jalan kaki, pikir Klein sambil menekan topinya dan duduk dengan mantap.

Di lantai ini, para pria dan wanita umumnya berpakaian rapi, meski ada beberapa yang masih mengenakan pakaian kerja mereka, santai membaca koran. Hampir tak ada yang berbicara, suasananya cukup tenang.

Klein memejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga, tak menggubris lalu-lalang penumpang di sekitarnya.

Satu per satu stasiun terlewati, hingga akhirnya ia mendengar kata-kata: “Jalan Champagne.”

Setelah turun dari kereta kuda, ia sempat bertanya-tanya sepanjang jalan dan segera tiba di Jalan Besik, di mana sebuah pub dengan lambang anjing pemburu berwarna cokelat kekuningan terpampang jelas.

Klein mengulurkan tangan kanannya dan mendorong pintu berat itu dengan tenaga penuh. Pintu itu perlahan terbuka, menyemburkan gelombang suara riuh dan hawa panas yang menyergap wajahnya.

Meski hari masih siang, pub itu sudah dipenuhi pelanggan. Beberapa di antaranya adalah pekerja harian yang datang mencari peluang, berharap ada seseorang yang membutuhkan jasa mereka. Sisanya hanya menghabiskan waktu, menumpulkan kesadaran dengan alkohol.

Pencahayaan di dalam redup. Di tengah ruangan, terdapat dua kandang besi besar, dengan sepertiga bagian bawahnya tertanam ke dalam lantai tanpa celah sedikit pun.

Orang-orang berdiri mengelilingi kandang sambil memegang cangkir kayu berisi anggur. Ada yang bersorak keras dan tertawa, ada pula yang mencaci maki dengan wajah memerah.

Klein menoleh penasaran. Di dalam kandang, ada dua ekor anjing. Salah satunya berbulu hitam dan putih, mirip dengan husky yang biasa terlihat di Bumi. Yang satunya lagi seluruhnya berwarna hitam, bulunya berkilau, tampak sehat dan ganas.

“Mau taruhan? Doug sudah menang delapan kali berturut-turut!” seru seorang pria pendek mengenakan baret cokelat, mendekati Klein dan menunjuk ke arah anjing hitam itu.

Taruhan? Klein sempat tertegun, lalu segera memahami maksudnya.

“Pertarungan anjing?”

Dulu, saat masih kuliah di Universitas Khoy, para mahasiswa bangsawan dan kaya sering bertanya padanya—dengan nada ingin tahu tapi merendahkan—apakah para pekerja kasar dan pengangguran senang berjudi dan menonton tinju di pub.

Selain tinju dan kartu, bukankah itu juga mencakup hiburan kejam dan berdarah seperti adu ayam, adu anjing, dan semacamnya?

Pria pendek itu menyeringai. “Tuan, kami ini orang-orang beradab. Kami tidak melakukan hal-hal tak bermoral seperti itu.”

Namun setelah berkata begitu, ia membisikkan, “Lagi pula, hukum baru diberlakukan tahun lalu untuk melarang kegiatan semacam itu…”

“Lalu kalian bertaruh pada apa?” tanya Klein dengan rasa penasaran.

“Pemburu yang lebih hebat.” Baru saja pria pendek itu menyelesaikan ucapannya, terdengar riuh rendah yang menggelegar dari tengah ruangan.

Ia menoleh, melambaikan tangan dengan semangat, lalu berkata, “Putaran ini sudah mulai, nggak bisa pasang taruhan sekarang. Tunggu ronde berikutnya saja.”

Mendengarnya, Klein berjinjit, mengangkat dagu, dan mencoba melihat sejauh mungkin.

Ia melihat dua pria kekar masing-masing menarik sebuah karung, mendekati sisi kandang besi, lalu membuka “pintu penjara” itu. Mereka pun menumpahkan isi karung ke dalam kandang.

Isinya adalah binatang-binatang menjijikkan berwarna abu-abu!

Klein memperhatikan dengan saksama dan baru menyadari bahwa itu adalah tikus. Ratusan ekor tikus!

Karena kandang besi itu tenggelam cukup dalam ke dalam tanah dan tak menyisakan celah sedikit pun, para tikus berlarian ke segala arah namun tak menemukan jalan keluar.

Saat pintu kandang ditutup, rantai kedua anjing dilepas.

Guk! Anjing hitam langsung menerjang dan mencaplok seekor tikus dalam sekali gigitan.

Sementara anjing belang hitam-putih sempat terpaku beberapa detik, lalu mulai bermain-main dengan para tikus, terlihat bersemangat seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.

Orang-orang di sekeliling kandang mengangkat cangkir anggur mereka dan menatap tajam ke arah dalam, atau bersorak keras, “Gigit! Bunuh! Hajar!”

“Doug! Doug!”

Bangsat sekali, buru tikus pakai anjing… Klein tersadar kembali, dan sudut mulutnya berkedut tak berhenti.

Tujuan dari pertaruhan ini adalah untuk menebak anjing mana yang bisa menangkap lebih banyak tikus…

Mungkin bahkan ada yang bertaruh pada jumlah pasti tikus yang ditangkap…

Pantas saja ada orang-orang yang membeli tikus hidup di Jalan Iron Cross…

Unik juga, kalau bisa dibilang begitu…

Klein menggeleng sambil tertawa pelan, lalu melangkah mundur, mengitari kerumunan pelanggan mabuk, dan akhirnya sampai di depan bar.

“Baru pertama ke sini?” tanya sang bartender sambil sekilas melirik Klein, sementara tangannya sibuk mengelap gelas. Ia melanjutkan, “Satu gelas bir rye, satu sen. Enmat, dua sen. Bir Southville, empat sen. Atau kau mau bir murni hasil fermentasi malt, Lanti?”

“Aku ke sini untuk menemui Tuan Wright,” jawab Klein langsung dan tanpa basa-basi.

Bartender itu bersiul pelan dan berteriak ke arah samping, “Pak Tua, ada yang mencarimu!”

“Siapa coba…” Suara berat dan tak jelas terdengar, lalu seorang pria tua yang kelihatan mabuk bangkit dari balik bar.

Ia mengucek matanya, menatap ke arah Klein dan bertanya, “Nak, kau yang mencariku?”

“Tuan Wright, aku ingin menyewa regu tentara bayaran kecil untuk sebuah misi,” ujar Klein, mengulang seperti yang telah diarahkan oleh Dunn.

“Regu tentara bayaran kecil? Kau kira ini cerita petualangan? Yang seperti itu sudah lama nggak ada!” sela si bartender sambil tersenyum.

Wright diam selama beberapa detik sebelum akhirnya bertanya dengan nada curiga, “Siapa yang menyuruhmu mencarinya di sini?”

“Dunn. Dunn Smith,” jawab Klein jujur.

Wright langsung terkekeh. “Oh, begitu rupanya. Sebenarnya, regu kecil itu masih ada, hanya saja dalam bentuk yang berbeda, dengan nama yang lebih modern. Kau bisa menemukannya di lantai dua, No. 36, Jalan Zouteland.”

“Terima kasih,” ucap Klein dengan tulus, lalu berbalik dan menyelinap keluar dari pub.

Namun sebelum sempat melewati pintu, suasana yang tadinya ramai mendadak hening. Para pemabuk yang tadi mengelilinginya mulai bergumam pelan.

“Doug ternyata kalah…”

“Kalah…”

Klein hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala sebelum melangkah cepat keluar. Setelah bertanya-tanya sebentar, ia akhirnya menemukan jalan menuju Jalan Zoeterland yang berada tak jauh dari situ.

“Nomor 30, 32, 34… Ini dia,” gumamnya sambil menghitung nomor rumah satu per satu, lalu memasuki lorong tangga bangunan tersebut.

Ia berbelok di sudut, menaiki anak tangga perlahan. Di ujung tangga, ia melihat papan nama vertikal yang menunjukkan nama baru dari ‘regu kecil’ yang dimaksud.

Blackthorn Security Company (Perusahaan Keamanan Blacthorn).


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x