Bab 10 – Menjadi Diri Sendiri (Grimgar)

Haru telah lebih dulu mengambil posisi dan menyergap budak tempur yang berjalan di samping kereta kurungan, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Manato mengamati kejadian itu dari balik semak-semak di sisi belakang kereta, sedikit ke arah samping. Ia melihat Haru mengayunkan belati panjangnya, tapi sang budak merunduk dan berhasil menghindar.

Hingga detik terakhir—tidak, bahkan sampai momen itu terjadi—Manato sama sekali tak tahu di mana Haru berada.

Haru memang pandai menghilang. Bukan benar-benar lenyap dari pandangan, tentu saja, tapi tak ada kata lain yang bisa menggambarkannya selain “menghilang.” 

Bagaimana caranya bisa lenyap seperti itu? Aku ingin tahu. Harus kutanya nanti.

Tapi meskipun bagi Manato Haru seolah-olah muncul entah dari mana, budak tempur itu bereaksi dengan sigap.

Dan bukan hanya menghindar dari serangan belati. Ia langsung membalas.

Dengan gerakan cepat, ia melempar sesuatu ke arah Haru—sisa lengan goblin yang belum sempat ia makan.

“—Tch…!”

Haru menepis lengan itu. Di saat itulah sang budak mencoba menyelinap ke jarak dekat. Haru segera melompat mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Budak itu langsung mengejar, berusaha menutup jarak kembali.

Kereta berhenti. Dua orc yang menariknya menyadari kegaduhan dan menghentikan langkah mereka.

Yori dan Riyo, yang tadi berada di dekat Manato, segera berlari menyusuri sisi kereta. Lebih tepatnya, mereka menuju bagian depan kereta. Target mereka jelas: para orc penarik.

Soal budak tempur dan budak biasa, Haru sudah sempat memberi penjelasan singkat sebelumnya. Budak tempur memang merepotkan, tapi budak biasa tidak terlalu mengancam. Bahkan jika yang mereka hadapi adalah orc berpostur besar, Yori dan Riyo seharusnya bisa mengatasi mereka dalam waktu singkat. Setelah itu, mereka akan membantu Haru.

Manato pun melompat keluar dari semak. Tentu saja ia ingin tahu bagaimana jalannya pertarungan Haru, tapi ia sendiri juga punya tugas.

Kereta. Bukan ke depan seperti Yori dan Riyo, melainkan ke belakang. Manato berlari secepat mungkin menuju bagian belakang kereta.

Para goblin yang sejak tadi diam di dalam kurungan kini mulai gelisah, menoleh ke sana kemari, bergumam tak jelas—”Aa… Uu…”—entah karena bingung, takut, atau keduanya.

Bagian belakang kurungan itu memiliki semacam pintu kecil yang bisa dibuka-tutup. Tidak terkunci. Hanya ada pengait dari luar. Cukup membuka pengait itu, maka pintu akan terbuka.

Manato melepas pengaitnya dan membuka pintu.

“Ayo, keluar! Cepat kabur!”

Para goblin menoleh ke arahnya, tapi tidak satu pun yang bergerak keluar. Mungkin mereka kaget. Atau tidak tahu harus bagaimana. Bingung.

“Umm… jadi begini, keluar! Ke luar! Kalau kalian tetap di sini… apa ya, itu lho, kalian bakal dibawa pergi, terus dimakan!?” Manato mengerutkan kening, lalu menambahkan dengan nada panik, “Ah, mungkin… kalian nggak ngerti bahasaku…”

Ia pun berpura-pura menggigit lengan kirinya sendiri.

“Makan! Mengerti? Kalian tadi dimakan, kan? Teman kalian barusan!”

Para goblin hanya memandangi Manato tanpa berkata apa-apa. Ada yang gemetar, ada pula yang menatapnya dengan tatapan kosong. Sepertinya, maksud Manato tak benar-benar sampai ke mereka.

“Hmm, ya sih, itu wajar… mau bagaimana lagi,” gumamnya dengan suara pelan.

Wajar saja kalau mereka tak bisa mengerti bahasa Manato. Tapi mereka itu dikurung. Lalu sekarang pintunya terbuka. Harusnya bisa langsung tahu apa artinya.

Jadi kenapa? Kenapa tak satu pun dari mereka mencoba keluar?

Tentu, bagi para goblin, Manato adalah manusia asing. Wajar jika mereka curiga. Tapi jika mereka terus dibawa pergi seperti ini, mereka akan dimakan. Tak peduli siapa dirinya atau apa yang ia katakan, yang penting sekarang adalah kabur. Kalau aku yang jadi goblin, aku pasti sudah lari tanpa pikir panjang.

Tapi kalau tak bisa bicara, tak bisa juga membujuk mereka. Manato pun nekat. Ia meraih lengan goblin terdekat, bermaksud menariknya keluar.

Dan digigit.

“—Aw!”

Begitu Manato melepas pegangannya, goblin itu langsung berhenti menggigit. Giginya cukup tajam, tapi untungnya tidak sampai membuat luka. Hanya terasa sedikit sakit. Tidak parah.

“T-tapi… kalau kalian nggak keluar… harusnya kabur… kabur—kenapa nggak kabur? Hah? Kenapa? Ayo, lari, dong? Hei, ke luar sana… ah, ini merepotkan, gimana, ya…?”

Manato melangkah mundur, menjauh sejenak dari kereta kurungan.

Ia tidak menyangka ini akan terjadi.

Niatnya adalah membebaskan para goblin. Tapi mereka malah tidak mau kabur.

“—Ihaaah!”

Tiba-tiba, suara teriakan keras terdengar. Seseorang berteriak. Siapa? Goblin. Salah satu goblin dalam kurungan tadi.

Goblin itu menyibak kerumunan dan menampakkan diri, menatap lurus ke arah Manato.

“Nihhaaah!”

Tidak. Bukan ke Manato. Pandangannya melewati Manato. Ke arah belakang.

Manato pun menoleh.

“Wah, gawat—”

Tanpa sadar, ia menggumam dan langsung mencabut pedangnya.

Hitam. Bukan hitam pekat, lebih ke biru gelap. Sosok bersisik dengan warna gelap kebiruan. Budak tempur. Seorang lizardman. Mungkin penjaga dari tempat penangkaran.

Kemungkinan besar memang dia.

Padahal tempat penangkaran itu cukup jauh dari sini. Itulah mengapa mereka memilih menyerang ketika kereta sudah cukup jauh dari sana. Tapi ternyata tetap saja ketahuan.

Budak tempur berkulit biru tua itu berlari ke arahnya.

Entah kenapa, Manato merasa kalau ia mundur sekarang, ia pasti akan mati. Maka ia malah melangkah maju. Begitu menjejak, jarak mereka sudah hampir habis—pedangnya nyaris bisa mencapai lawan.

Dekat. 

Sedekat ini apa sudah cukup?

Manato mengayunkan pedangnya sekuat tenaga.

Sabetannya meluncur deras.

Tapi ia tahu itu tak akan mengenai. Bahkan sebelum ayunan itu selesai, ia sudah merasa: Seranganku tidak akan kena. Dan benar saja.

Dalam sekejap, sosok prajurit itu menghilang dari pandangannya—dan di detik berikutnya, tubuh Manato sudah terlempar, terguling di tanah.

“—ghh…!”

Tendangan. Mungkin. Sesuatu menghantam sisi kanan perutnya. Ia terjatuh, lalu saat tubuhnya menelentang di tanah, sesuatu menekan perutnya kuat-kuat.

“Urghh…!”

Sekali bukan cukup. Prajurit itu menghantam perutnya lagi. Dan lagi. Tendangan ketiga menyusul tak lama setelah yang kedua. Semua mengarah ke perut bagian bawah.

Rasanya seolah perutnya akan meledak.

Bahkan kalau isi perutnya sudah tumpah keluar sekarang pun, itu tidak akan mengejutkannya.

Atau mungkin organ dalamnya sudah hancur berantakan di dalam sana.

Sesuatu naik dari perutnya, mendesak keluar lewat tenggorokan, lalu menyembur dari mulut.

Ia tak tahu itu apa. Rasanya pahit dan berbau amis.

“Gahh…!”

Dengan putus asa, ia mengayunkan pedang secara membabi buta. Prajurit itu berkelit, melompat mundur dengan gerakan lincah.

Manato pun bangkit, tapi tubuh bagian bawahnya terasa mati rasa. Ia limbung.

Dan sebelum bisa menstabilkan diri, sesuatu kembali menghantamnya—tendangan, mungkin, atau pukulan.

“Ahh—!”

Ia jatuh terhempas, punggung menghantam tanah. Napasnya terhenti. Tapi entah bisa bernapas atau tidak, ia tahu satu hal: kalau tidak bergerak, ia akan mati.

Entah bagaimana, ia terlibat adu fisik dengan prajurit itu. Tangan besar mencengkeram lehernya—dan entah bagaimana, ia berhasil melepaskan diri.

Tapi belum sempat bernapas lega, tinju-tinju menghantam wajahnya bertubi-tubi. Pandangan sebelah kiri menghitam.

Mata kirinya. Ia tidak bisa melihat.

Prajurit itu menindih tubuhnya. Cengkeramannya mencapit sesuatu—entah bagian tubuh mana yang dicengkeram. Rasanya tidak jelas lagi.

Dari jarak sedekat itu, Manato hanya bisa melihat dengan satu mata—mata kanan. Tapi dari dekat begini, prajurit budak itu… tak terlihat seperti manusia. Bukan cuma karena kulitnya bersisik gelap kebiruan—bentuk wajahnya pun aneh.

Apa ya, Manato belum pernah melihat makhluk seperti ini. Kalau harus dibandingkan, mungkin…

Antara ikan dan serangga?

Ikan?

Serangga?

Gabungan keduanya?

Bagian mana yang seperti itu?

“—AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARGHH!!!”

Teriakan pun pecah dari tenggorokannya.

Pecah.

Pecah, pecah, pecah.

Benar-benar pecah.

Kepalaku rasanya mau pecah.

Prajurit budak itu mencengkeram kepala Manato dengan kedua tangannya. Seolah ingin menghancurkannya.

“Shishishishishishishishishishishishishi…”

Suara itu keluar, entah apa. Mungkin itu suara tawa prajurit budak itu.

Tertawa?

Apa-apaan ini?

Apa sebenarnya dia?

Kepalaku benar-benar seperti mau pecah.

Tidak. Tidak boleh. Kepala ini tidak boleh pecah.

“Ugiigii…!”

Tapi suara itu berbeda.

Bukan dari prajurit budak.

Bukan pula dari Manato sendiri.

Suara lain.

Apakah itu suara goblin?

Ada sesuatu yang mencengkeram prajurit budak itu dari belakang. Goblin, mungkin.

Tidak salah lagi, itu goblin.

Seorang goblin menempel erat di punggung prajurit itu, bahkan menggigit lehernya.

Kulit prajurit budak itu sangat keras. Tidak seperti batu, tapi lentur dan kuat.

Aku tidak yakin gigi goblin bisa menembusnya, tapi goblin itu terus mencoba menggigit, kan?

Prajurit itu sedang berusaha meremas kepala Manato sampai hancur.

Tangan kanan masih menggenggam kepala Manato erat, sementara tangan kiri dilepaskan.

Tangan kiri itu kini merentang ke arah kepala goblin.

Duh, bahaya sekali.

Goblin itu bakalan mati.

Kepalanya bisa remuk.

Manato masih kuat. Tapi goblin itu dulunya dari penangkaran. Ia pasti tidak sehat atau kuat. Bahkan tubuhnya jauh lebih kecil dari Manato.

Manato tidak membawa pedang. Pedangnya entah ke mana. 

Tapi masih ada belati. Saat kedua tangannya diremas prajurit, Manato tidak bisa berbuat apa-apa. Namun sekarang hanya satu tangan yang memegang kepalanya, memberi sedikit ruang.

Manato segera memutar gagang belati itu dan mencabutnya. Dengan satu tarikan nafas, ia menusukkan belati ke bawah rahang prajurit budak itu, tepat ke tenggorokan.

“Krh…”

Suara aneh keluar dari mulut prajurit budak itu. Entah karena terkejut atau alasan lain, tekanan yang diberikan ke tubuh Manato sedikit mereda. Manato berteriak sambil mencoba menyingkirkan prajurit itu.

“Lari…!”

Entah mengapa, Manato merasa sempat bertatapan dengan goblin itu. Meskipun tak saling mengerti bahasa, Manato yakin perasaannya tersampaikan.

Goblin itu berteriak-teriak lalu melepaskan cengkeramannya dari prajurit budak. Ya, itu yang harus terjadi.

Manato menambahkan tangan kirinya pada tangan kanan yang masih menggenggam erat belatinya, berusaha menambah kekuatan. Namun tiba-tiba, tinju prajurit itu turun menghantamnya. 

Ah, ini gawat—bagaimana caranya menghindar—?

Reflek, Manato menahan pukulan itu dengan dahinya. Prajurit budak sepertinya hendak menghantam mata kanannya. Dalam sekejap, Manato memutar kepala sedikit agar posisi dahinya menghalangi pukulan tersebut.

Mata kanannya masih bisa melihat—meski pandangannya bergetar hebat.

Ini sangat berbahaya. Jelas-jelas ini terlalu berbahaya.

Kalau saja tidak ada yang melempar prajurit budak itu, mungkin Manato sudah benar-benar tamat.

Dengan mata kanan yang masih samar-samar melihat, Manato mengenali sosok Riyo.

Riyo datang untuk menyelamatkannya.

Manato berusaha bangkit. Ia ingin berdiri, tapi yang bisa ia lakukan hanya berguling dan membalikkan badan hingga posisi tengkurap. Entah kenapa, ia malah berakhir tengkurap. Mungkin ini kesalahan besar.

Rasanya sangat sesak dan menyakitkan. Ia sama sekali tak tahu kenapa dan di mana rasa sakit itu berasal, tapi rasanya amat perih dan tak tertahankan.

Di kejauhan, Riyo tampaknya sedang bertarung.

Ia seolah mendengar suara Yori memanggil namanya.

Kemudian Haru juga, sepertinya.

Seseorang bertanya apakah ia baik-baik saja. Manato berusaha menjawab, “Ya, aku baik-baik saja.” Tapi siapa tahu apakah jawabannya sampai. Mungkin ia hanya mencoba menjawab saja, dan tidak benar-benar memberikan jawaban.

Karena wajahnya menghadap ke bawah, pandangannya sangat terbatas. Tapi setidaknya, ia berusaha mengangkat kepala.

Tapi entah kapan, tanah sudah ada tepat di depan matanya.

Mungkin karena sering dilewati kereta, rumput di sana jarang tumbuh, dan sudah terbentuk bekas roda. Kalau hujan turun, pasti tanah itu akan menjadi becek dan berlumpur.

Manato menekan wajahnya ke tanah, tapi rasa sakit membuatnya menahan diri. Ia meletakkan kedua lengannya bersilang di depan dahi untuk menghalangi benturan.

Bagian yang terluka itu sangat sakit.

Itu berat sekali.

Sakitnya sampai ia tak sengaja tertawa.

Tertawa membuat seluruh tubuhku sakit. Tapi justru itu yang membuatku tertawa lagi.

Tapi aku tidak bisa terus-terusan tertawa saja. Manato mengangkat kepala lagi. Mata kirinya masih belum bisa melihat, tapi mata kanan tampaknya baik-baik saja. Tubuhnya pun masih bisa digerakkan dengan susah payah.

Manato mencoba bangkit. Ia berhasil merangkak menggunakan tangan dan lutut.

“Aah…”

Goblin—goblin-goblin itu. Di luar pintu kurungan, mereka sudah berkumpul. Beberapa sudah keluar, tapi masih lebih banyak yang bertahan di dalam. Jumlah mereka jauh lebih banyak.

Seorang goblin berdiri di pintu, memanggil-manggil teman-temannya. Mungkin dia bilang, “Keluar! Kabur! Cepat!”

Mungkin itu goblin yang tadi menempel dan menggigit prajurit budak. Manato tidak bisa mengenali wajah mereka satu per satu, tapi rasanya dia memang benar.

“Manato!”

Saat dipanggil, Manato menengadah dan melihat Yori.

“—Wah, parah banget!” Yori mengerutkan wajah kesakitan dan berteriak. Mendengar itu, Manato malah tersenyum.

“Aku yang sakit, lho.”

“Kok kamu bisa tertawa, sih…”

“Yah, aku sudah mulai membaik. Masih sakit sih, tapi… sakit di mana-mana… hehehe…”

Riyo yang tinggi itu membungkuk, setengah masuk ke dalam kurungan, menangkap goblin satu per satu lalu melemparnya keluar. Para goblin di dalam saling dorong dan tarik, berusaha menuju pintu. Jumlah mereka di dalam sudah jauh berkurang.

Bagaimana dengan dua prajurit budak dan dua budak orc? Manato tidak melihat mereka. Mungkin sudah beres.

“Kita harus segera pergi dari sini!”

Haru berlari mendekat.

“Serius, nih?!”

Yori langsung membantah.

“Masih ada goblin di penangkaran! Setidaknya kita harus bebaskan mereka dulu!”

“Kamu gimana, Manato?”

“Aku baik-baik saja!”

Manato langsung berdiri. Ia terkejut bisa berdiri.

“Ooh—pfuh…”

Tiba-tiba ada sesuatu keluar dari mulutnya.

“Darah campur ludah?!”

Yori langsung mengulurkan tangan hendak menopang Manato, tapi Manato menolaknya.

“Tidak, aku baik-baik saja… pfuh…

“Tidak mungkin kamu baik-baik saja!”

“Aku… aku tidak akan mati. Palingan begini saja… pfuh…

“Normalnya kau sudah mati!” Haru menegur dengan keras.

Kalau memang normal, aku seharusnya sudah mati.

Apakah aku ini tidak normal?

Memang, Manato berbeda dengan Junza dan yang lain. Tapi selama mereka dianggap teman, maka tetaplah teman. Normal atau tidak, sama saja.

Hanya saja, ucapan Haru tentang “normalnya” itu terasa aneh. Bahkan lucu.

“Guhok, bof, kafo…”

“Tunggu, orang ini tertawa sambil terus muntah darah, ya?”

Behf… Aku bilang, sakitnya nggak separah itu, jadi aku baik-baik saja…”

“Kita tidak bisa terus seperti ini! Manato harus dibawa ke tempat aman dulu!”

Haru mengangkat Manato dengan cara memeluknya menyamping.

“Dengar baik-baik, Yori, Riyo! Tolong, ikuti apa yang kukatakan!”

“Kalau begitu, Haruhiro, kau yang bawa Manato pergi! Riyo!”

Yori memanggil Riyo dan langsung berlari.

“Ayo, ke penangkaran…!”

Riyo mengikuti Yori. Haru membawa Manato sambil mengejar keduanya.

“Kenapa jadi begini…”

Manato ingin sekali dilepas dan berlari dengan kakinya sendiri. Tapi tubuhnya belum cukup kuat untuk itu.

Kalau berlari, mungkin ia akan muntah darah lagi.

Siapa sangka, tubuhnya akan sampai jadi seperti ini—muntah darah kalau dipaksa berlari.

Lucu sekali, sebenarnya.

Tapi, bukan saatnya tertawa.

Baru tadi tertawa, malah muntah darah lagi.

Sepertinya apa pun yang dilakukan, mudah sekali muntah darah.

Apa jenis manusia seperti ini?

Lucu sekali.

Tapi serius, aku nggak boleh tertawa.

Dilarang ketawa.

Aku harus sebisa mungkin menghindari pikiran yang bikin aku ingin tertawa.

“Oh, pedang… dan belati juga…”

“Semuanya bisa diatur!”

Haru membentaknya.

Kasihan Haru juga. Manato merasa seperti orang luar yang cuma melihat masalah. Padahal sebenarnya ini urusannya sendiri juga.

Penyebabnya mungkin bukan cuma Manato, tapi separuh lebih dari masalah ini dibuat oleh Manato.

Apa-apaan ini, kenapa aku malah ketawa.

Semakin aku berusaha menyadarkan diri, justru aku makin ingin tertawa.

Junza dan yang lain sudah mengingatkan berkali-kali supaya tidak tertawa dan lebih serius.

Meski tidak berniat bercanda, kalau tertawa malah kelihatan nggak serius.

Harus hati-hati.

Tapi kenapa ya, aku selalu pengen tertawa.

Sepertinya aku cuma bisa tertawa saja.

Tapi aku nggak bakal ketawa.

Aku nggak bakal biarin diriku ketawa.

Di depan, Yori dan Riyo sedang berusaha membuka gerbang penangkaran.

“—Yori…!”

Haru berteriak dengan suara keras.

Di atas tembok penangkaran—itu tempat prajurit budak berlari.

Apakah itu penjaga lain?

Salah satu penjaga sudah berlari ke arah kereta kurungan yang mereka serang, tapi ternyata masih ada penjaga lain.

Prajurit budak itu meloncat dari tembok dan menerjang Yori dan Riyo.

Yang menghadang adalah Riyo.

Riyo memutar tubuhnya dengan lincah dan menendang prajurit budak itu menggunakan kakinya yang panjang.

Prajurit budak itu terlempar, tapi segera bangkit dan mencoba mendekati Riyo lagi.

Namun, sebelum prajurit itu berhasil mendekat, Riyo sudah lebih dulu menyerang.

Sementara itu, Yori berusaha membuka kunci gerbang.

Dua orc penjaga yang membantu membukanya pun kesulitan. Gerbang tidak mudah dibuka begitu saja.

“—E’Lumiaris, Oss’lumi, Edemm’lumi, E’Lumiaris…”

Suara nyanyian terdengar.

“Haru…”

Sebelum Manato menyuruh, Haru sudah mengamati sekeliling.

“Ini gawat. Itu lantunan suci. Lantunan Lumiaris—”

“Lumi na oss’desiz, Lumi na oss’redez, Lumi eua shen qu’aix…”

Nyanyian itu.

Manato pernah mendengar nyanyian itu di reruntuhan Deadhead Watching Keep.

Itu nyanyian yang sama.

Tapi cara menyanyikannya berbeda jauh.

Di menara itu, banyak orang bernyanyi pelan dan terbata-bata.

Namun yang sekarang terdengar, suara nyanyiannya lebih kuat dan serempak.

“Lumi na qu’aix, E’Lumiaris, Enshen lumi, Miras lumi…”

Suara mereka menyatu dan lantang.

Volume nyanyian itu tidak terlalu keras karena jarak yang cukup jauh.

“Lumi na parri, E’Lumiaris, Me’lumi, E’Lumiaris…”

Mereka masih jauh.

Tapi suara itu semakin mendekat.

“Lepaskan aku…!”

Manato melepaskan pegangan Haru dari lengannya.

Haru tidak melawan dan membiarkan Manato bebas.

Saat berdiri dengan kakinya sendiri, Manato merasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

Lengan dan kakinya sudah bisa digunakan dengan tenaga yang cukup.

Ia bahkan tidak lagi ingin batuk.

Haru melirik ke arah Manato untuk memastikan kondisinya, lalu segera menuju Riyo yang sedang bertarung sengit dengan prajurit budak.

“Bertahanlah Yori! Aku yang akan mengurus prajurit budak ini!”

“E’Lumiaris, Oss’lumi, Edemm’lumi, E’Lumiaris, Lumi na oss’desiz…”

Suara nyanyian itu semakin mendekat.

“Lumi na qu’aix, E’Lumiaris, Enshen lumi, Miras lumi…”

Manato berlari menuju gerbang.

“Lumi na parri, E’Lumiaris, Me’lumi, E’Lumiaris…”

Kakinya goyah, membuat gaya larinya terlihat aneh dan canggung. Sakit? Ya, tubuhnya memang terasa nyeri di beberapa bagian, tapi masih dalam batas yang bisa ditahan.

“Yori—Yori, bisa kita kabur dulu…!?”

“Bantu aku buka ini dulu!”

“Aku ini, ya, cedera, ingat?”

“Kamu tadi lari ke sini juga, kan!?”

“Yah, memang sih…”

“Aku tahu apa yang kulakukan! Ini bukan tindakan nekat. Ayo bantu aku!”

“Eh, begitu ya? Oke deh!”

Manato segera ikut membantu Yori menarik gerbang agar terbuka. Saat diperhatikan lebih dekat, bagian bawah gerbang tampak sedikit tertanam ke dalam tanah. Apa bisa dibuka? Tadi sempat terbuka, jadi seharusnya masih memungkinkan, kan?

“Nnnnnnnnnnnnngh!”

“Jangan maksa terlalu keras, ya!?”

“Kamu yang minta… bantu buka… Yori…!”

“Iya, tapi—”

“Ah, kayaknya bisa kebuka! Cuma nyangkut di bagian sini, kalau lewat titik ini pasti lancar!”

“Kalau gitu, bareng… sekuat tenaga… hahh!”

Begitu berhasil melewati titik tersulit berkat kerja sama mereka, sisa gerbang pun terbuka cukup mudah. Gerbang itu memiliki dua daun pintu, dan meskipun kereta tahanan takkan bisa lewat kalau tidak membuka keduanya, satu sisi saja sudah cukup bagi orang untuk lewat.

“—Terus? Sekarang gimana!?”

“Riyo, Haruhiro…!”

Yori tak masuk ke dalam peternakan, tapi langsung memanggil keduanya. Prajurit budak tadi tergeletak di tanah. Entah mati atau tidak, tak ada yang bisa memastikan. Malah, mengingat tubuhnya penuh benjolan hitam busuk akibat infeksi—apa mereka bisa mati? Mungkin bukan prajuritnya yang abadi, tapi benjolan itu yang tak bisa mati?

Haru memang sempat menjelaskan soal itu, dan Manato pikir dia sudah cukup paham… tapi sekarang pikirannya terasa kusut. Yang jelas, tubuh prajurit itu tidak sekadar jatuh. Kepala dan lengannya terlepas dari tubuh, bahkan sebagian tubuhnya tampak hancur. Mustahil bisa bangkit lagi dalam kondisi begitu.

Tentu saja, Riyo dan Haru selamat. Begitu Yori memanggil, Riyo langsung berlari ke arah mereka tanpa berkata apa-apa.

“Kita harus segera keluar dari sini…!”

Haru juga ikut berlari, bergumam dengan nada cemas.

“E’Lumiaris, Oss’lumi, Edemm’lumi, E’Lumiaris…”

Nyanyian itu terdengar semakin dekat.

“Lumi na oss’desiz, Lumi na oss’redez, Lumi eua shen qu’aix…”

Para pemuja itu belum terlihat, tapi rasanya mereka sudah sangat dekat.

“Lumi na qu’aix, E’Lumiaris, Enshen lumi, Miras lumi,…”

“Masuk semua ke dalam!”

Yori berseru sambil berlari melewati gerbang. Riyo langsung menyusul tanpa ragu, dan Manato pun otomatis mengikuti. Tak lama kemudian, Haru juga menyusul, melompat masuk ke dalam area peternakan.

Bagian dalam peternakan tak sepenuhnya digali membentuk lubang. Sekitar enam atau tujuh langkah dari dinding, tanah masih sejajar dengan permukaan luar, sebelum tiba-tiba ambles membentuk semacam tebing curam. Sepertinya, mereka harus turun lewat sana. Tak jauh dari gerbang, tampak semacam struktur pijakan dari kayu—mungkin itu jalan turunnya.

Bau busuk yang semula tak terlalu terasa dari luar kini begitu menyengat, menusuk hidung. Jelas sumbernya adalah lubang besar yang digali di tengah area peternakan ini.

Lubangnya sebenarnya tak terlalu dalam—paling-paling hanya dua kali tinggi badan Manato. Kalau mau, seharusnya masih bisa dipanjat untuk keluar. Tapi anehnya, para goblin di dalam sana tak mencoba melarikan diri. Di dasar lubang, ada area yang sedikit lebih tinggi kering, sementara sisanya digenangi lumpur kotor yang pekat dan menjijikkan.

Goblin-goblin kurus tanpa sehelai kain pun, tampak duduk berkelompok atau tergeletak di tempat yang kering. Beberapa berjongkok sambil melakukan sesuatu—seperti makan. Ada yang tampak bergumul… atau mungkin sebenarnya mereka sedang kawin? Yang duduk diam pun bukan berarti benar-benar tak bergerak. Bibir mereka tampak bergerak. Mengunyah sesuatu.

Saat Manato memperhatikan lebih saksama, ia menyadari goblin yang tampak sedang makan itu sedang menggigit goblin lain yang sudah mati—mengorek-ngorek daging dan isi perut dari tubuh temannya sendiri.

“Segera tutup gerbangnya!”

Yori juga jelas melihat apa yang terjadi di dasar lubang, tapi raut wajahnya tak menunjukkan tanda terganggu sedikit pun. Bersama Riyo, ia menarik kembali daun gerbang yang sebelumnya mereka buka. Mereka benar-benar mau menutupnya kembali?

“…Hah? Kenapa ditutup?”

Meski bingung, Manato tetap ikut membantu. Haru pun bergabung, dan berkat tenaga mereka berempat, gerbang bisa ditutup kembali dengan cepat.

“Mau bersembunyi di sini…?” tanya Manato setengah ragu.

“Untuk sementara, iya,” jawab Yori tanpa menoleh.

Begitu gerbang tertutup rapat, Yori segera menjauh dari sana.

“Kalau situasinya makin parah, kita bisa panggil Karambit dan Ushaska. Mereka memang masih anak-anak—belum sepenuhnya tumbuh. Naik berdua sih bakal sempit, tapi untuk jarak pendek, masih bisa terbang. Tapi aku ingin lihat langsung dulu… dengan mataku sendiri.”

Yori berjalan ringan di tepi lubang, langkahnya mantap dan pandangannya terus tertuju ke kumpulan goblin di bawah.

Riyo yang berjalan di belakangnya, sesekali menatap ke dasar lubang, lalu kembali menunduk atau menoleh ke depan. Sepertinya sulit baginya untuk terus menatap langsung pemandangan menjijikkan itu.

Manato pun ikut terguncang.

Saat melihat para goblin di dalam kereta kurungan tadi, ia sudah sedikit banyak membayangkan kemungkinan terburuk. Tapi kenyataan yang kini ia saksikan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Ini sudah di luar nalar. Bagaimana bisa kondisi sekejam ini benar-benar ada?

Yang membuatnya heran—lebih dari jijik atau marah—adalah kenyataan bahwa para goblin itu masih hidup. Mereka masih bernapas, bergerak, makan. Tapi… benarkah makhluk bisa bertahan hidup di tempat seperti ini?

Manato jadi tanpa sadar membandingkan. Kalau mereka manusia… bisakah mereka hidup dalam kondisi seperti ini? Tidak mungkin. Manusia pasti sudah lama mati. Lalu, para goblin ini… masih bisa disebut “manusia” seperti mereka? Apakah mereka termasuk dalam kelompok yang sama?

Bisakah ia, misalnya, menjadikan salah satu dari goblin itu sebagai teman? Yori pasti akan memarahinya hanya karena berpikir begitu. Tapi tetap saja… sejujurnya, rasanya mustahil.

Karena goblin-goblin itu… sama sekali tidak menunjukkan minat terhadap Yori, Riyo, Haru, ataupun dirinya. Bahkan tidak ada rasa penasaran.

Memang, ada beberapa yang sempat melirik ke atas. Tapi jumlahnya tak banyak. Berapa banyak goblin di bawah sana? Puluhan? Ratusan? Mungkin lebih? Tapi bahkan yang menatap pun, hanya sebentar sebelum mereka kembali berpaling seolah tak ada yang terjadi.

Apakah mereka tidak peduli?

Tak mungkin. Kalau mereka benar-benar sejenis dengan manusia, mereka pasti akan peduli.

Mereka yang datang bukanlah para prajurit atau makhluk-makhluk budak pengikut kegelapan—tapi manusia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Orang asing. Dan kini orang asing itu ada di peternakan tempat mereka dikurung.

Seharusnya mereka bertanya-tanya. Siapa kami ini? Kenapa kami ada di sini? Apa yang sedang terjadi? Tapi mereka sama sekali tidak bereaksi. Beberapa dari mereka baru saja kehilangan teman—dibawa pergi, mungkin mati—dan mereka tetap saja melahap tubuh yang tersisa, berbaring malas, bahkan bercumbu. Seolah semuanya memang sudah seharusnya begitu.

“E’Lumiaris, Oss’lumi, Edemm’lumi, E’Lumiaris…”

“Lumi na oss’desiz, Lumi na oss’redez, Lumi eua shen qu’aix…”

“Lumi na qu’aix, E’Lumiaris, Enshen lumi, Miras lumi…”

“Lumi na parri, E’Lumiaris, Me’lumi, E’Lumiaris…”

Nyanyian para pengikut Lumiaris terus bergema dari luar, mengalir dari atas seperti hujan suara. Itu pun, seharusnya jadi pertanda bahaya bagi para goblin. Mereka pasti bisa mendengarnya. Tak mungkin tidak.

Tapi mereka tetap tak bereaksi. Tak menunjukkan rasa takut. Tak juga gelisah. Bahkan satu pun tidak.

Itu tidak wajar.

“…Goblin-goblin ini,” ujar Haru pelan, seperti menggumam. “Mereka lahir di tempat ini. Lalu mati di sini. Atau, dikirim keluar untuk dijagal. Bagi makhluk biasa, tempat seperti ini bahkan tidak bisa disebut ‘layak hidup’. Tapi… entah bagaimana, mereka mampu bertahan. Mereka secara kebetulan—atau mungkin karena alasan lain—berhasil beradaptasi.”

Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan dengan nada tenang namun kelam: “Mereka spesies yang luar biasa tangguh. Bisa bereproduksi bahkan dalam kondisi paling ekstrem. Dan karena itu… kemampuan mereka dieksploitasi. Dipakai oleh perbudakan Dewa Kegelapan, Skullhell…”

Manato menunduk. Ia tidak tahu harus merasa kagum… atau ngeri.

“…Itu yang kupikirkan,” kata Haru lirih.

Yori menghentikan langkahnya. Sudut tembok sudah tak jauh lagi. Riyo, Manato, dan Haru pun ikut berhenti. Tapi Yori tak menoleh ke belakang.

“Kalau saja Yori lahir di tempat ini, dan tumbuh besar di sini… Teman-teman yang mati akan dimakan untuk bertahan hidup. Kalau itu yang dilakukan semua orang, maka Yori pun pasti ikut melakukannya. Meski ingin keluar, kalau coba naik ke atas, pasti langsung ditangkap penjaga dan dimakan. Jadi, lebih baik jangan mencoba. Lebih baik tidak memikirkannya. Kadang-kadang tentara budak datang, membawa pergi satu atau dua teman. Melawan pun percuma, toh tetap akan dimakan. Jadi diam saja. Mungkin, besok giliran Yori yang dibawa. Sekeras apa pun menolak, tidak akan bisa menang. Kalau saat itu tiba, ya sudah. Tak ada yang bisa dilakukan. Karena pada akhirnya, yang bisa dilakukan hanyalah hidup… hidup dengan makan mayat teman, buang air di sembarang tempat, tidur di atas tanah, lalu mengulang semuanya lagi. Sampai mati, atau dimakan. Kalau Yori lahir di tempat ini, dia pasti akan seperti itu juga. Dan nggak bakal jadi Yori yang sekarang.

“Yori lahir sebagai cicit dari nenek buyut. Ada Riyo, ada saudara-saudara lain, dan orang-orang yang mengelilinginya. Itu semua yang membuat Yori bisa menjadi seperti sekarang. Tapi kalau dia lahir di sini… semuanya akan berbeda. Yori pun akan sama seperti para goblin itu.”

Bagaimana dengan Manato?

Bisakah ia berkata, “aku akan berbeda”?

Tidak, rasanya tidak bisa.

Kalau ia yang lahir di tempat ini, ia pun pasti akan sama saja. Manato bisa tersenyum seperti ini karena dibesarkan oleh orang tua yang selalu tersenyum. Karena selama ini ia hidup dilindungi mereka. Karena orang tuanya, yang bahkan menjelang ajal masih tersenyum. Karena Junza dan yang lainnya. Karena mereka semua, Manato bisa tetap menjadi dirinya sendiri.

“E’Lumiaris, Oss’lumi, Edemm’lumi, E’Lumiaris…”

“Lumi na oss’desiz, Lumi na oss’redez, Lumi eua shen qu’aix…”

“Lumi na qu’aix, E’Lumiaris, Enshen lumi, Miras lumi…”

“Lumi na parri, E’Lumiaris, Me’lumi, E’Lumiaris…”

Lagu para pengikut Lumiaris kini terdengar makin keras. Menggema.

Mereka sudah sangat dekat. Mungkin hanya tinggal satu sisi tembok saja dari tempat mereka berdiri.

“Keinginan untuk bebas, keinginan untuk mengubah keadaan, atau untuk mengubah diri sendiri—”

Yori tidak menoleh ke Manato dan yang lainnya. Ia menunduk, menatap dasar lubang yang dalam itu.

“—mungkin… bahkan memikirkan hal seperti itu pun sudah terlalu sulit bagi mereka. Lalu, bagaimana caranya kita bisa menyelamatkan mereka? Yori sendiri tidak tahu. Tapi kalau ada goblin yang berhasil keluar dari sini dan punya anak… mungkin anak itu bisa menjalani hidup yang berbeda. Mungkin.

“Setidaknya, dibandingkan dilahirkan di sini dan mati di sini, anak itu akan punya lebih banyak kemungkinan. Itulah kenapa Yori tetap ingin mengeluarkan sebanyak mungkin dari mereka. Satu pun tetap berarti.”

“…Melepaskan mereka ke dunia luar, lalu menyerahkan sisanya pada mereka sendiri?” 

Haru menundukkan kepala dan berbicara dengan nada yang seolah-olah ia sedang bertanya pada dirinya sendiri, bukan langsung membantah Yori.

“Heh.”

Manato menoleh dan bertanya pada Haru.

“Haru, apa yang kamu impikan?”

“…Aku tidak punya hal semacam apa. Aku tidak punya apa-apa…”

“Kalau begitu, kamu tidak ingin melakukan apa-apa?”

“…Bukan begitu. Sebenarnya, aku sudah cukup lama menghabiskan waktu tanpa tujuan. Tanpa melakukan apa-apa.”

“Kenapa begitu?”

“Mungkin karena… orang sepertiku, yang tak ada gunanya, merasa tidak ada yang bisa kulakukan. Mungkin itu sebabnya.”

“Oh, begitu. Haru sudah lama sendirian, ya.”

“…Sendirian?”

“Iya. Benar, kan? Kalau aku sih, nggak terlalu sering merasa sendiri. Mungkin setelah ayah dan ibu meninggal, aku merasa agak aneh. Tapi setelah itu, aku bertemu dengan Junza dan yang lain, dan aku jadi punya teman. Kalau sendirian, nggak bisa ngobrol, merasa bosan, dan… nggak enak banget, kan?”

“…Yah, memang.”

“Tapi, sekarang Haru nggak sendirian lagi. Aku bakal tetap di sini, selama kamu nggak nyuruh aku pergi.”

“Aku nggak bakal bilang begitu…”

Tiba-tiba, Haru terdiam.

Suasana menjadi hening. Lagu itu. Lagu yang sebelumnya begitu riuh, tiba-tiba terhenti.

Meski matahari belum tenggelam, namun tembok yang menjulang membuat suasana terasa jauh lebih gelap.

Keheningan yang tiba-tiba terasa sangat berat, seakan menindih mereka.

Lagu itu tidak menghilang begitu saja, melainkan berhenti pada puncaknya. Dengan kata lain, para pengikut Lumiaris sudah sangat dekat. Mereka pasti sedang lewat di dekat gerbang, meski dari sini tak terlihat.

Para pengikut itu tidak lagi bernyanyi, atau mereka masih berjalan tanpa suara? Manato mencoba mendengarkan, namun tidak ada suara langkah kaki yang terdengar. Tembok yang memisahkan mereka mungkin menjadi penghalang, jadi wajar jika tak terdengar apapun. Tapi, entah mengapa, Manato merasa bahwa barisan pengikut itu tidak bergerak.

“…haya… hayaa…”

Sebuah suara terdengar.

Kemungkinan besar itu suara seorang pria.

Haru mengangkat jari telunjuk kiri dan mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah Manato, Yori, dan Riyo. Isyarat yang tenang, seolah memberitahukan mereka untuk tidak bergerak.

Namun, tanpa perlu diperintah, Manato sudah terdiam, tubuhnya kaku. Ia tidak tahu mengapa, tetapi tubuhnya terasa membeku. Napasnya pun susah untuk keluar.

Apakah ini karena rasa takut? Ia tak begitu membenci rasa takut.

Tapi, ini bukanlah ketakutan. Lalu, apa sebenarnya perasaan ini?

“Ca-hayaa~ ca-hayaa~ ca-hayaa~”

Cahaya.

Suara pria itu terdengar berulang-ulang menyebutkan kata “cahaya.” Bukan sekadar mengucapkan kata itu, melainkan menyanyikannya dengan nada tertentu.

“Ca-hayaa~ ca-hayaa~ ca-hayaa~ ca-hayaa~ ca-hayaa~”

Suara itu terdengar seperti sedang mengerjai atau bermain-main. Berbeda jauh dengan paduan suara pengikut Lumiaris.

“…tehe…”

Dia tertawa.

Pria itu berhenti bernyanyi, dan mulai tertawa.

“Ah, hah, hah, hah… hii-ii… hikk, hikk, hikk… uhh… t… t…”

Suara tawa itu masuk ke dalam tubuh Manato, seolah mencengkeram paru-paru, jantung, dan perutnya, ingin meremukkan semuanya. Meskipun itu tidak mungkin, ia merasakannya begitu nyata.

“Cahaya…!!”

Pria itu tiba-tiba berteriak.

“Cahaya—aaahhhhhhh…!”

“Ca-ha-ya…”

Suara lain menyusul, suara yang tidak hanya satu atau dua orang. Mungkin pengikut Lumiaris.

“Ca-ha-ya…”

“Ca-ha-ya…”

“Caa-haa-ya.”

Bukan hanya suara. Para pengikut itu juga menjejakkan kaki mereka di tanah, menginjaknya keras-keras, sambil terus mengulang “cahaya, cahaya, cahaya.”

“Caa, haa… yaaa…!”

Pria itu juga berteriak keras. Suaranya sangat berbeda dari pengikut lainnya, mudah untuk dibedakan.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Tanahnya bergetar. Tidak, hanya tanah kah? Atau mungkin dindingnya?

Dindingnya.

Dinding di sekitar kawasan pembiakan itu bergetar.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Selain suara, terdengar juga bunyi lain. Suara yang cukup keras. Sesuatu sedang memukul dinding. Dari luar. Tentu saja, mereka berada di dalam kawasan pembiakan. Tidak ada yang memukul atau menabrak dinding dari dalam.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Seseorang, atau sesuatu, sedang memberi tekanan pada dinding luar, mungkin dekat dengan pintu, menggunakan cara tertentu.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Setiap pukulan membuat dinding bergetar. Dari celah-celah antara batu yang rapat, debu mulai keluar.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Batu-batu itu tampaknya akan bergeser.

Sebenarnya, batu-batu itu sudah mulai bergeser.

“Jauhkan diri!”

Haru memberi isyarat dengan tangannya ke sudut jauh, lalu mendorong punggung Manato.

“Itu akan dihancurkan dan takkan bertahan lama. Cepat jauhkan diri…!”

Yori dan Riyo segera berlari. Manato juga ikut berlari. Untungnya, kakinya tidak tersandung. Haru berada di belakang mereka.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Dinding itu hancur berkeping-keping. Tentu saja, bukan seluruh dindingnya. Hanya sebagian kecil di dekat pintu yang hancur. Meski begitu, jumlah batu yang beterbangan ke dalam kawasan pembiakan sangat luar biasa. Apa yang harus dilakukan untuk menghancurkan tembok batu sebesar itu seperti itu?

Manato dan yang lainnya berbelok di sudut terdekat dan melanjutkan menuju sudut berikutnya. Tampaknya, semua penghuni lain pun sangat terkejut, karena para goblin di dasar lubang mulai berteriak dan berlarian panik.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Dinding kembali dihancurkan, dan batu-batu sebesar yang pertama kali terlempar ke mana-mana. Batu-batu itu jatuh ke dalam lubang. Beberapa goblin terjatuh karena tertimpa batu.

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

“Ca-ha-ya.”

“Ca-ha-ya.”

“Caa-ha-ya.”

“Ca! Ha! Ya!”

Dinding semakin hancur. Kehancuran menuju arah tempat mereka berbelok tadi. Karena debu yang tebal, sulit untuk melihat apa yang ada di balik dinding yang hancur.

“Caa! Haa! Yaa…! Caa! Haa! Yaa…!”

Apakah ini perbuatan para pengikut itu? Atau tidak?

Mungkinkah pria yang bersuara itu melakukannya seorang diri? Bisakah itu dilakukan oleh satu orang saja?

Sudut yang tadinya jauh kini sudah semakin dekat.

Para goblin di dasar lubang berusaha menjauh dari gerbang. Beberapa dari mereka mencoba memanjat untuk keluar. Mereka tidak hanya berusaha melarikan diri, tapi lebih kepada terjebak dalam kepanikan.

“Yori, Riyo! Panggil naga kalian…!”

Haru memberi perintah pada kedua orang yang berjalan di depan.

“Pria itu—dia bukanlah lawan yang biasa! Dia tidak akan bisa dihadapi hanya dengan kita melawan…!”

“Caa! Haa! Yaa…! Caa! Haa! Yaa…!”

Meskipun mereka sudah cukup jauh, suara pria itu masih terdengar. Setiap kali pria itu menyebut “cahaya,” dinding kawasan pembiakan itu semakin hancur.

Yori dan Riyo mengeluarkan seruling naga mereka. Tanpa berhenti, mereka meniup seruling tersebut. Meskipun suara seruling tidak terdengar, mereka pasti meniupnya.

“Caa! Haa! Yaa…! Caa! Haa! Yaa…!”

Hanya suara teriakan pria itu dan suara dinding yang dihancurkan yang terdengar.

Dinding sudah hancur sampai sekitar sudut tempat Manato dan yang lainnya melewati. Sebagian besar goblin mencoba merangkak keluar dari lubang.

Sudut yang tadinya jauh kini sudah semakin dekat.

“Apakah butuh waktu lama…!?”

Haru berteriak bertanya. Mungkin dia bertanya apakah masih akan butuh waktu sampai Karambit dan Ushaska, kedua naga sayap itu, tiba. Yori menggelengkan kepala.

“Mereka seharusnya masih di gunung, jadi masih…!”

“Baiklah, kita tunggu mereka di ujung jalan!”

“Caa! Haa! Yaa…! Caa! Haa! Yaa…!”

Pria itu terus berteriak, sementara dinding semakin dihancurkan.

Akhirnya, mereka sampai di sudut jalan yang ujungnya terhalang.

“Yori.”

Riyo memanggil Yori dan menunjuk ke atas. Manato juga menengadah ke arah yang sama. Ada yang terbang.

Hanya satu ekor? Tidak, ada dua.

Itu pasti kedua naga Yori dan Riyo. Tidak diragukan lagi, itu Karambit dan Ushaska.

Yori melihat sekitar, sepertinya berpikir sejenak. Tampaknya dia segera mengambil keputusan.

“Kita tidak bisa mendarat di sini, kita harus melewati dinding.”

“Kalau begitu naiklah!”

Haru memberi isyarat seolah berkata “Cepat”. Yori dan Riyo mulai memanjat dinding. Manato pun mengikutinya. Meskipun Haru berada di belakang mereka, mereka semua sampai di atas hampir bersamaan. Yori dan Riyo sedikit merambat turun ke sisi dinding, lalu melompat ke bawah. Manato merasa ingin langsung melompat turun, namun ia ragu dan mengikuti cara Yori dan Riyo. Haru sedikit tertinggal, namun akhirnya dia juga berhasil mendarat di sisi lain dinding.

Yori dan Riyo menjauh dari dinding, berusaha memanggil naga sayap mereka ke tempat yang lebih terbuka. Meski mereka hanya mengarahkan tangan ke langit yang mulai gelap, tidak tampak ada gerakan atau tanda lain yang mereka lakukan.

Ternyata, itu sudah cukup. Karambit dan Ushaska terbang berputar, tampaknya mendekat dari arah selatan, barat. Mereka mengurangi kecepatan dan perlahan turun, mendarat dengan sangat halus. Tidak ada tanda-tanda mereka kehilangan keseimbangan atau terjatuh. Kedua naga itu seolah memahami situasi, tidak segera menutup sayap mereka dan membungkuk, seperti memberi isyarat untuk segera naik. Yori naik ke Karambit, sedangkan Riyo naik ke Ushaska.

“Manato, naik ke Ushaska! Haruhiro, naik sama Yori dan Karambit!”

Yori memberikan perintah. Haru, meskipun sedikit terlambat menjawab, segera naik ke belakang Yori. Ternyata, naga ini tidak dirancang untuk mengangkut lebih dari satu orang, jadi Haru merasa perlu untuk berpikir sebentar. Meskipun sedikit ragu, Yori menggenggam lengan Haru dan dengan lembut, memposisikan lengan Haru dengan cermat, menyarankan agar kedua tangan Haru melingkari perutnya.

Manato juga berniat melakukan hal yang sama, namun Riyo dengan tegas menahan bahunya.

“Duduk di depan.”

“Ah, bukan di belakang?”

Manato memastikan, dan Riyo mengangguk sembari mengulangi perintahnya.

“Di depan.”

“Oke deh, di depan!”

Manato hendak memanjat Ushaska, dan Riyo mundur sedikit untuk memberi ruang. Ternyata, mereka tidak langsung duduk di punggung naga. Ada pelana yang terbuat dari kulit atau bahan lain yang dipasang, tempat mereka duduk. Meskipun demikian, sepertinya pelana hanya dirancang untuk satu orang. Manato mencoba merapatkan tubuh ke depan, namun meskipun sudah begitu, Riyo tampaknya tetap sedikit terjepit di pelana.

Kemudian, tubuh Riyo sedikit terbalik ke belakang, dan tubuh depan Riyo menyentuh punggung Manato dengan erat. Riyo lebih tinggi dari Manato. Dagu Riyo menekan sedikit ke pelipis kanan Manato. Dalam posisi ini, tubuh Riyo cenderung sedikit miring ke kanan. Manato merasa posisi ini tidak nyaman, jadi ia mencoba sedikit menundukkan kepalanya ke kiri, berharap posisi Riyo menjadi lebih lurus.

“Terima kasih.”

Riyo berbisik pelan, suaranya hampir menyentuh telinga Manato, dan itu membuat Manato merasa geli.

“Terbang, Ushaska.”

Perintah Riyo kepada naga sayap itu terdengar begitu lembut, namun kali ini, bukan rasa geli yang Manato rasakan, melainkan jantungnya berdebar. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Saat Ushasuka mulai berlari, tubuh Riyo sedikit terpisah dari Manato.

“Manato, pegang erat-erat.”

“Oke.”

Gerakan vertikal yang sangat kuat membuat Manato terkejut, namun dengan sekuat tenaga, ia bisa bertahan.

Berbeda dengan Manato, Riyo tampaknya menyesuaikan tubuhnya dengan gerakan naga sayap itu, meskipun posisi kepalanya hampir tidak berubah. Dagu Riyo menekan sedikit di atas kepala Manato, sekitar sebelah kanan. Pelana tidak hanya memiliki tempat duduk, tetapi juga tempat untuk meletakkan kaki, dan ada pegangan di bagian leher naga yang sedikit menjulur ke luar. Riyo menempelkan kakinya pada pegangan itu dan menggenggam erat, seolah mengikuti gerakan tubuh naga.

Riyo tampaknya berusaha mengurangi beban yang harus ditanggung oleh naga sayap yang membawa mereka. Sementara itu, Manato hanya bisa bertahan dan berpegangan erat, semakin menambah beban pada tubuh Ushaska.

“Maaf, Ushaska…!”

Manato merasa bersalah, meskipun ia tahu saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan. Jika ia meniru gerakan Riyo, itu justru akan mengganggu Ushaska.

“Tidak apa-apa.”

Riyo berbisik lembut.

“Ushaska tidak akan melakukan hal yang tidak bisa ia lakukan.”

Manato merasa sensasi dingin merayap di tubuhnya.

Ushaska melompat dengan kekuatan lebih besar, menendang tanah sekuat tenaga.

Kini, mereka terbang.

Meskipun ini pertama kalinya Manato naik naga, dan ia belum pernah terbang sebelumnya, ia bisa merasakannya dengan jelas. Rasanya sangat berbeda dengan melompat.

“Begini rasanya terbang, ya.”

Ia merasa seperti didorong dengan kuat ke atas, atau mungkin seperti ditarik. Keduanya terasa nyata.

“Waa…!”

Manato tidak bisa menahan teriakannya.

“Rasanya menyenangkan…!”

Riyo sepertinya tertawa. Meskipun ia tidak mendengar suara tawa, dan wajah Riyo pun tidak tampak, Manato merasa begitu.

Manato tidak ingin merepotkan Riyo dan Ushaska. Ia terus berusaha berpegangan erat pada tubuh Ushaska, berharap bisa menyatu dengan naga itu. Karena kepala Manato tidak bisa bergerak, pandangannya menjadi sangat terbatas. Ia tahu Ushaska sedang terbang, tetapi ia tidak tahu ketinggian atau arah mereka terbang. Bahkan, ia tidak bisa melihat Yori dan Haru yang menaiki Karambit. Ada banyak hal yang membuatnya khawatir. Mungkin lebih baik jika ia menutup mata saja.

“Ca! Ha! Ya…! Ca! Ha! Ya…!”

Suara pria itu terdengar lagi.

“…Eh?”

Manato mendengar suara itu.

“Ca. Ha. Ya.”

“Ca. Ha. Ya.”

“Ca. Ha. Ya.”

Kemudian, suara para pengikut pun terdengar.

Guntur yang keras, suara itu seperti berasal dari penghancuran tembok.

“Ah…!”

Ushaska sepertinya sedang menurun.

Memang, mereka terus terbang, namun mereka tidak terus menerus naik. Mereka sering naik dan turun. Rasanya mereka juga berputar-putar. Di depan, meski Manato kesulitan memperkirakan jaraknya, ia bisa melihat Karambit. Ushaska tampaknya mengikuti Karambit, dan jika dilihat dari posisi mereka, mereka tidak terbang terlalu tinggi.

“Ini… rendah sekali.”

Manato merasa seolah-olah mereka hampir jatuh, saking rendahnya ketinggian mereka. Tanpa bisa menahan diri, ia malah tertawa kecil.

“Apa ini…?”

Apa mereka sedang terbang di atas penangkaran? Apakah Ushaska berencana menukik ke arah penangkaran itu? Meskipun tidak terlalu curam, mereka jelas sedang menuruni ketinggian. Dinding penangkaran itu hampir hancur lebih dari sepertiganya. Manato bisa melihat para pengikut, yang jumlahnya seperti yang Haru katakan, ratusan. Mereka memang terlihat seperti itu, berserakan di luar tembok yang rusak. Namun, suara pria itu tidak terdengar lagi. Apakah pemimpinnya berhenti menghancurkan tembok?

Di depan mereka, tepat sebelum dinding yang masih kokoh, ada sesuatu yang berdiri.

Manato mendekatkan pandangannya.

Apakah itu… seorang manusia?

Mungkinkah itu pemimpinnya? Bentuknya sangat aneh. Bagian atas tubuhnya membentuk segitiga terbalik, dan di kedua ujung atas segitiga itu, ada sesuatu yang menggantung, tampak seperti tangan, meskipun lebih mirip palu besar. Dari dasar segitiga terbalik itu, dua kaki yang sangat ramping tumbuh. Kepalanya… seperti ada, tetapi seakan tidak ada.

Sang pemimpin tampak memutar tubuhnya, mungkin mencoba menatap ke atas. Manato tidak bisa menentukan dengan pasti di mana wajahnya, atau di mana letak matanya. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti sedang diperhatikan.

“Hah! Hahh! Haa…!”

Suara itu, suara pria yang tadi berteriak tentang cahaya. Itu suara yang sama.

“Haruhiro!? Kau Haruhiro, kan…!? Kau merindukan cahaya, Haruhiro…!?”

Karambit yang dinaiki Yori dan Haru, serta Ushaska yang mengangkut Riyo dan Manato, terbang melewati sang pemimpin tepat di atas kepalanya.

Dari yang Manato rasakan, mereka terbang begitu dekat. Rasanya, sang pemimpin bisa saja melompat dan mencoba menjatuhkan mereka.

Namun, kenyataannya mungkin tidak serendah yang ia kira. Sang pemimpin tidak bergerak sedikit pun, dan baik Karambit maupun Ushaska justru terus terbang, semakin tinggi dan cepat. Manato merasa ketinggian itu semakin menakutkan. Mereka terbang tinggi dan cepat… sangat cepat.

“Apakah menyenangkan?”

Riyo berbisik di telinga Manato.

“Hih!”

Manato tidak bisa menahan diri, dan teriakannya keluar begitu saja.

“Ehh, Riyo, berhenti! Itu… itu…!”

“Apa maksudnya itu?”

“Hihi… Ya, maksudku… itu geli…!”

“Maaf…””Ah, tidak perlu minta maaf! Kyaa, aku… aku nggak bisa… merasa aneh… tapi aku tahan kok! Hahaha…”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x