Bab 1 – Kalau Kau Mau Tertawa, Tertawalah Saja (Grimgar)

Pagi itu, Manato terbangun karena kedinginan.

Udara di dalam tenda terasa lembap dan menusuk. Ayah dan Ibu tidak ada di situ. Mungkin mereka sudah bangun lebih dulu dan keluar. Berharap bisa menghangatkan diri walau sedikit, ia menarik selimut lusuh hingga menutupi kepala. Saat itu, ia merasakan tirai pintu tenda bergerak—seseorang masuk. Diselimuti dari luar dengan pelukan yang erat, Manato langsung tahu: itu Ibu.

“Manato, tadi Ibu dan Ayah sudah bicara. Kami putuskan untuk pergi ke kota,” kata Ibu dengan lembut.

Apa yang Manato rasakan saat mendengarnya? Ia sendiri sudah tak begitu ingat. Tapi yang pasti, ia tak langsung memahami maksud ‘pergi ke kota’ sebagai ‘akan menetap di kota’. Selama ini mereka juga pernah sesekali pergi ke kota, bukan hal yang aneh.

Ayah dan Ibu adalah pemburu. Yang disebut pemburu adalah orang-orang yang hidup berpindah-pindah, membunuh binatang dengan panah, tombak, atau pisau, menangkap ikan dengan jaring atau alat jebakan, sambil mengumpulkan buah-buahan, kacang-kacangan, jamur, tanaman liar, rempah, atau tanaman obat yang bisa dimakan atau berguna.

Sejak mulai sadar akan sekelilingnya, Manato sudah punya pisau milik sendiri. Ia tahu mana buah yang bisa dimakan, mana jamur atau tumbuhan yang berbahaya, serangga atau ular mana yang harus dihindari—hal-hal mendasar seperti itu entah sejak kapan sudah tertanam dalam dirinya. Mungkin semua itu ditanamkan oleh Ayah dan Ibu. Kalau ada yang tidak ia tahu, ia akan bertanya. Ibu selalu menjawab dengan sabar, sementara Ayah kadang hanya berkata, “Coba dulu sendiri.”

Ia pun belajar caranya—memetik sedikit, menjilat ujungnya, jika tidak apa-apa, baru dimasukkan ke mulut, dan kalau setelah beberapa saat tidak terjadi hal aneh, artinya aman. Cara semacam itu, Manato sudah terbiasa sejak kecil.

Selain mereka, masih ada pemburu-pemburu lain. Bila memburu mangsa besar, atau mencoba menggiring satu kawanan sekaligus, mereka kadang bekerja sama. Tapi tak pernah dalam waktu lama. Ada beberapa yang pernah bergabung lebih dari sekali, tapi wajah mereka sudah samar di ingatannya, dan nama-nama mereka pun tak satu pun ia ingat.

Manato masih mengingat beberapa permukiman tempat para pemburu biasa singgah. Permukiman-permukiman itu hanya terdiri dari sekitar sepuluh rumah, dengan ladang kecil, dan dihuni oleh para orang tua yang tampaknya bisa mati kapan saja. Ada satu permukiman yang memiliki mata air panas. Permukiman itu, katanya, pernah diserang dan akhirnya dikuasai oleh orang-orang kota.

Kota jauh lebih besar daripada permukiman—jauh lebih besar. Rumahnya tak terhitung jumlahnya. Dan manusia… jumlahnya lebih dari yang bisa dibayangkan. Di kota ada pasar, tempat jual beli berlangsung. Para pemburu menjual kulit hewan atau daging di sana, lalu menukar atau membeli barang-barang yang tak bisa mereka buat sendiri: pakaian dari kain tenun, pisau, paku, perekat, dan macam-macam barang lain. Tapi setelah urusan selesai, mereka tak pernah tinggal lama. Penduduk kota memandang rendah para pemburu—dan waspada terhadap mereka. Lebih baik cepat-cepat pergi.

Ayah dan Ibu adalah pemburu. Karena itu, Manato pun tumbuh sebagai seorang pemburu.

Mereka mau berkunjung saja sebentar ke kota.

Kita bakal pergi lagi, begitu yang Manato pikirkan saat itu.

Tapi ia salah paham.

Sangat salah.

Mereka bertiga pergi ke kota bernama Nikou. Manato pernah ke sana sebelumnya, pernah melihat bangunan emas bernama Tōshōgun dari kejauhan. Tapi rupanya, Nikou bukan tujuan akhir mereka. Mereka hanya melewatinya, lalu berjalan setengah hari lagi hingga sampai ke sebuah kota bernama Tsunomiya.

Itu adalah kali pertama Manato melihat kota itu.

Dan kota itu jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di mana-mana hanya ada bangunan. Bahkan di gang-gang kecil pun selalu ada orang. Jumlah penduduknya jelas luar biasa, dan yang membuat Manato takjub—tak ada mayat di jalan. Tidak di selokan, tidak di lorong sempit.

Padahal kota biasanya selalu punya mayat. Dikerubungi lalat. Tapi di sini, tidak. Burung gagak memang banyak, tapi anjing dan babi liar yang biasa memakan bangkai sama sekali tidak terlihat.

Ada bangunan-bangunan aneh menjulang, mengeluarkan asap hitam pekat seperti monster yang sedang menguap. Seluruh kota diliputi kabut asap samar. Suara manusia bersahut-sahutan—suara obrolan, teriakan, lolongan—dan berbagai bunyi lain yang bahkan Manato tak tahu dari mana asalnya. Semua itu membentuk hiruk-pikuk yang begitu bising, begitu padat, sampai-sampai rasanya sulit bernapas.

Di Tsunomiya, ada sebuah tempat bernama Hachimayā Kōen—dikelilingi pagar tinggi dan kawat berduri. Di depan gerbang besi yang kokoh, terbentuk antrean yang panjangnya sulit dipercaya. Selama Ayah dan Ibu mengantre, Manato harus mencari cara untuk menghabiskan waktu sendiri. Perutnya memang lapar, tapi ia tak sampai merasa bosan. Soalnya, ada puluhan anak lain yang bernasib sama—orang tua mereka sedang berdiri di barisan yang sama.

Manato pun bergabung dengan mereka. Tak perlu banyak basa-basi. Mereka mulai ngobrol, bertukar cerita tentang asal-usul masing-masing, belajar sedikit-sedikit tentang Tsunomiya, atau sekadar berjalan bersama sambil memungut barang-barang yang tampak berguna di pinggir jalan.

Orang yang menguasai Tsunomiya disebut walikota. Tapi sebenarnya, dia itu seorang yakuza—begitu kata anak-anak yang lebih tahu.

Manato juga pernah mendengar soal yakuza. Katanya, mereka biasa mencukur habis rambut atau mewarnainya dengan warna-warna aneh, tubuh mereka penuh tato. Mereka mengenakan pakaian mencolok, membawa senjata secara terang-terangan, dan selalu bergerombol. Tak sulit mengenali mereka. Dan di kota, orang harus lebih hati-hati terhadap mereka. Yakuza itu menakutkan. Kalau sampai salah pandang atau salah bicara, bisa-bisa nasibmu habis—siapa tahu apa yang akan mereka lakukan.

Walikota kota ini seorang yakuza?

Apa-apaan itu?

Manato terkejut. Selama ini ia selalu mengira yakuza adalah penjahat berbahaya. Tapi ternyata, hal semacam ini bukan hal langka. Malah katanya, ini cukup umum terjadi. Begitu kata semua anak.

Ayah dan Ibu mengantri selama hampir dua hari penuh. Baru setelah itu mereka bisa bertemu dengan sang walikota—atau setidaknya dengan wakilnya, yang juga seorang yakuza. Di sana, mereka menyatakan keinginan untuk tinggal di Tsunomiya. Dan ternyata, mereka diizinkan.

Setelah melewati proses yang disebut pendaftaran warga, mereka menerima pekerjaan dan sebuah tempat tinggal yang disebut tako-beya, langsung dari yakuza sang walikota.

Tako-beya adalah nama lain dari kamar di kompleks perumahan milik kota—semacam rumah susun. Jauh lebih luas dibanding tenda, tentu saja, tapi langit-langitnya rendah. Untuk Manato, itu tak masalah. Tapi Ayah dan Ibu tak bisa berdiri tegak sepenuhnya tanpa kepala mereka membentur atap.

Tentang pekerjaan, Manato pernah bertanya, tapi ia tak diberi penjelasan mendetail.

Setiap pagi, begitu matahari terbit, Ayah dan Ibu keluar dari tako-beya, dan baru pulang saat malam tiba. Sepertinya mereka bekerja di salah satu bangunan raksasa yang mengepulkan asap hitam tebal seperti monster. Bangunan itu disebut pabrik, kalau tidak salah.

Di pabrik itu, ada seorang yakuza yang disebut mandor. Ayah dan Ibu hanya melakukan apa pun yang diperintahkan olehnya—tanpa bertanya, tanpa melawan. Kegiatan itu disebut kerja. Dan kerja itulah, rupanya, yang jadi pekerjaan mereka.

Katanya, ada satu kali waktu istirahat, dan mereka diberi makan. “Itu masih bisa dikonsumsi kok,” begitu komentar Ayah, singkat.

Setelah kerja selesai, mereka akan menerima kupon kertas.

Bukan sembarang potongan kertas—tapi kupon bernilai. Uang.

Uang itu bisa ditukar dengan barang di Tsunomiya dan wilayah sekitarnya. Dengan uang itulah, Ayah dan Ibu membeli makanan untuk dibawa pulang ke tako-beya. Pasar Tsunomiya menjual bermacam-macam: bukan cuma daging, sayur, dan buah-buahan, tapi juga sup kental penuh rasa, hidangan mi, bubur, semacam dango, makanan kering, gorengan, sate panggang, dan entah apa lagi.

Menyalakan lampu minyak sebelum tidur dan menyantap makan malam bersama… itu jadi hal paling menyenangkan dalam hari-hari mereka.

Tapi Ayah dan Ibu tak pernah makan banyak.

Mereka hanya mencicipi sedikit, lalu menyerahkan sisanya pada Manato. Saat mereka pergi ke pabrik, Manato biasa menghabiskan waktu berkeliling kota sambil berhati-hati agar tidak menarik perhatian para yakuza. Jika menemukan sesuatu yang tampak bisa dimakan, ia akan langsung menyantapnya. Meski begitu, ia hampir selalu lapar. Mungkin karena itu, Ayah dan Ibu jadi menahan diri saat makan.

Tapi bukan hanya itu alasannya.

Sejak masih hidup sebagai pemburu, Ayah dan Ibu sudah kadang terlihat pincang. Ayah kehilangan hampir seluruh kekuatan genggam di tangan kirinya. Ibu sering mengeluhkan lengan—terutama kedua siku dan pergelangan tangan kanannya—juga lutut kirinya.

Kadang, jika salah satu dari mereka kehilangan gigi, mereka akan menertawakannya bersama, seolah itu lelucon. Tapi kalau dipikir-pikir… jika gigi terus berkurang, mereka tak akan bisa mengunyah makanan dengan benar. Sejak tinggal di tako-beya, tubuh mereka terlihat makin kurus. Meski sebenarnya… bahkan sebelum itu pun, mereka sudah terlihat kurus.

Selain berburu dengan jebakan, pemburu juga harus mengejar buruannya. Dan dalam hal itu, Ayah dan Ibu sering kesulitan. Kadang Manato yang berlari sekuat tenaga, menggiring mangsa ke arah tempat Ayah dan Ibu menunggu. Pernah juga hewan buruan tiba-tiba berbalik menyerang, dan situasinya nyaris menjadi bencana. Ayah berhasil menyelamatkannya. Manato merasa senang—bahkan, ia menganggapnya seru. Tapi Ayah dan Ibu saat itu benar-benar ketakutan.

Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup sebagai pemburu dan tinggal di kota Tsunomiya.

Cepat atau lambat, mereka berdua akan mati. Mungkin tak akan lama lagi.

Manato menyadari itu, tapi tak pernah mengucapkannya. Karena Ayah dan Ibu sendiri pun tak pernah berkata mereka akan mati. Mungkin, bagi mereka, mati adalah hal yang sudah sepatutnya diterima. Semua orang, semua makhluk hidup, pada akhirnya akan mati. Itu wajar. Tapi karena ada Manato, mungkin mereka merasa serba salah.

Manato juga suatu saat akan mati—itu pasti. Tapi sampai saat itu tiba, bagaimana seharusnya ia hidup? Hidup sendiri sebagai pemburu bukan perkara mudah. Bahkan pemburu pun setidaknya harus berdua. Kalau bisa bertiga. Dengan empat atau lima orang, pekerjaan akan jauh lebih ringan.

Kalau di kota, mungkin aku bisa hidup sendirian.

Mungkin itulah alasan Ayah dan Ibu memilih tinggal di kota Tsunomiya. Mungkin itu semua demi dirinya.

Suatu hari, Ibu pulang membawa selembar kertas bernama “koran”. Ia duduk dan membacakan isi tulisan yang tercetak di sana. Rupanya, Ibu bisa membaca. Ayah tampak bangga bukan main. Ia sendiri hanya bisa membaca angka dan beberapa huruf saja—kalau tulisan tersusun dalam kalimat, ia menyerah. Tapi baginya, Ibu adalah orang yang pintar. Wajah tuanya yang keriput dan ompong sampai berkerut-kerut karena senyum yang tak kunjung reda.

Beberapa waktu kemudian, Ibu pulang membawa sesuatu yang disebut “buku”—setumpuk kertas yang anehnya tidak tercerai-berai. Setiap lembarnya penuh sesak oleh huruf-huruf kecil. Kata Ibu, itu adalah buku yang dulu pernah ia baca. Sudah lama ia ingin membacanya kembali.

Buku itu dibeli dari uang yang Ayah kumpulkan sedikit demi sedikit.

Ibu menangis saat menerimanya.

Katanya, saat menangis begitu, ia jadi tak bisa membaca. Matanya buram, dan air matanya bisa merusak bukunya. Ia tertawa sambil mengeluh, “Padahal ingin membaca… dan bisa membaca… tapi jadi tak bisa membaca.”

Manato dan Ayah ikut tertawa bersama. Tawa yang hangat, ringan, dan sesaat saja mengusir rasa getir yang membayangi.

Suatu hari, Ibu mulai mengajari Manato membaca.

Sejak itu, selama Ayah dan Ibu pergi bekerja, Manato lebih sering tinggal di dalam tako-beya. Ia menghabiskan waktu dengan melihat-lihat koran dan buku milik Ibu. Perutnya selalu lapar, tapi setiap kali ia berhasil menghafal huruf baru, Ibu akan terlihat senang. Dan jika Ibu senang, Ayah pun akan ikut bahagia.

Ayah dan Ibu akan mati suatu hari nanti. Itu pasti. Maka selagi mereka masih hidup, Manato ingin membuat mereka bahagia—meskipun hanya sedikit.

Lalu, pada suatu pagi, Ayah tak sanggup bangun dari tempat tidur.

Ibu juga tampak kesakitan, tapi tetap memaksakan diri pergi ke pabrik. Ia pulang membawa semangkuk sup hangat. Tapi Ayah hanya tertawa, “Mana bisa aku makan begini.” Lalu menoleh ke Manato dan berkata, “Kamu saja yang makan, ya, gantikan Ayah.”

Saat Manato menyeruput sup itu, Ayah bertanya, “Enak?”

“Enak. Enak banget,” jawab Manato.

Ayah tersenyum lebar. “Begitu, ya? Enak ya? Syukurlah.”

Dan Manato, dari lubuk hatinya yang paling dalam, benar-benar merasa sup itu enak… dan bersyukur. Ibu pun ikut tersenyum.

“Bagus, ya,” katanya lembut. “Bagus, bagus.”

Mereka bertiga pun tertawa bersama. Tertawa sepuas-puasnya. Karena Ayah akan mati sebentar lagi, jadi lebih baik mereka tertawa selagi bisa.

Malam itu, mereka mematikan lampu minyak dan berbaring seperti biasa—Ayah di tengah, Ibu dan Manato memeluknya dari kedua sisi.

Tiba-tiba, terdengar teriakan.

Seorang yakuza mendobrak masuk ke dalam tako-beya sambil memaki.

“Heh, enak banget lu bisa seenaknya bolos kerja. Lu pikir ini main-main? Lu pikir bisa bebas begitu aja? Enggak bakal bisa, goblok!”

Ia membawa alat yang bisa memancarkan cahaya. Dengan cahaya itu, ia menyapu isi kamar, lalu menghampiri dan menginjak Ayah yang terbaring di bawah selimut.

“Heh, punya anak toh? Ya udah, suruh aja anak ini kerja. Kalau si bapak udah gak bisa kerja, ya anaknya dong yang gantiin! Apa segitu aja gak bisa mikir? Dasar tolol. Goblok!”

Manato hendak menyerang balik, tapi Ibu langsung memeluk dan menahannya erat-erat.

Ayah tidak bergerak sedikit pun. Ia tidak berteriak, tidak mengeluh, bahkan tidak mengerang. Tidak juga menolak.

“Dengar, ya. Besok dia harus kerja. Lu ngerti, kan, kalau gak dateng, bakal gimana jadinya.”

Yakuza itu tidak menendangi Ayah atau memukulinya. Ia hanya berdiri di atas tubuh Ayah, menekannya melalui selimut—seolah itu saja sudah cukup untuk menunjukkan siapa yang berkuasa.

“Dan satu lagi. Anak ini juga harus didaftarkan sebagai warga. Kelihatannya sehat, kan? Ya udah, suruh kerja. Anak-anak juga bisa kerja. Sial bener, warga ilegal makin hari makin banyak, bikin repot aja. Jangan bikin tambah repot, ya. Dengar, tolol?”

Setelah yakuza itu pergi dan suasana kembali tenang, Ayah malah tertawa.

“Tadi tuh yakuza, kepalanya kebentur langit-langit terus.”

“Iya, iya,” Ibu ikut tertawa. “Padahal dia pasti tahu atap tako-beya itu rendah, tapi masih juga nabrak. Yang goblok ya dia sendiri.”

Manato pun ikut tertawa. Entah kenapa, tawa mereka terasa ringan. Seolah mereka berhasil menertawakan dunia… walau hanya sebentar.

Saat Manato dan Ibu kembali memeluk Ayah dari kedua sisi, Ayah berkata pelan, “Tak apa. Istirahat sehari ini sudah cukup. Besok Ayah bisa kerja lagi. Gak masalah.”

Tapi keesokan harinya, Ayah tetap tak bisa bangun. Dan Ibu kini hanya bisa merangkak. Ia tetap bersikeras hendak pergi ke pabrik, namun kali ini, Manato sungguh-sungguh melarangnya.

“Yah, toh dalam keadaan begini pun, Ibu juga gak bisa kerja,” ujarnya sambil tersenyum lelah.

Manato mulai berpikir… mungkin memang sebaiknya ia ikut mengantri di depan gerbang besi Hachimayā Kōen dan mendaftarkan diri sebagai warga.

Ia mencoba bertanya, tapi Ayah hanya mengerang pelan, “Uuh….”

Ibu pun tak bisa menjawab dengan jelas—hanya menggeleng pelan dan berbisik,“Tidak usah… tidak usah…”

Malam harinya, yakuza yang sama kembali muncul.

Tapi kali ini, ia tidak menendang Ayah atau Ibu. Ia hanya menarik Manato keluar dari tako-beya.

Koridor tempat pintu-pintu tako-beya berjajar sangat sempit—nyaris tak cukup untuk dua orang berselisih jalan. Tapi langit-langitnya lebih tinggi dari dalam kamar, cukup agar kepala si yakuza tidak terbentur lagi.

“Hei, Nak.”

Yakuza itu merangkul pundak Manato dan berbisik dekat sekali. Bau mulutnya begitu tajam, membuat hidung Manato seakan mau kabur.

“Dengar baik-baik, ya. Gue gak bilang buat nyakitin lu. Tapi lu harus daftar jadi warga dan ambil kerjaan. Lu masih muda, masih kuat. Bisa kerja lama. Tapi orang tua lu udah gak bisa. Kalau mereka mati, kamar ini bakal langsung dikasih ke warga lain. Lu pikirin baik-baik, kenapa mereka bawa lu ke Tsunomiya. Ngerti, kan?”

“Mulutmu bau.”

Tak tahan, Manato akhirnya mengatakannya.

Yakuza itu langsung menghajarnya dengan satu pukulan keras.

“Dasar bocah sialan. Gue yang bertugas di daerah sini, jadi gue bakal datang lagi buat ngecek. Kalau bapak-ibumu mati, gue harus lapor ke kantor kota. Nanti ada bagian khusus yang bakal urus mayatnya. Sementara lu, daftarlah jadi warga. Kerja untuk wali kota. Hidup yang bener. Pasti itu juga yang orang tuamu mau. Mereka pasti mikir, itu yang terbaik buat lu. Kalau nggak, mereka nggak akan bawa lu ke Tsunomiya. Ya, kan?”

Keesokan paginya, saat Manato terbangun, tubuh Ayah sudah dingin.

Sepertinya Ibu sudah tahu lebih dulu, tapi memilih diam. Ia menatap Manato yang baru bangun dan berkata sambil tersenyum tipis, “Kamu tidur nyenyak, jadi Ibu nggak mau membangunkanmu.”

Malamnya, yakuza kembali mengetuk pintu tako-beya. Tapi ia tidak masuk.

Saat Manato membuka pintu sedikit, ia bertanya, “Udah mati?”

“Belum,” jawab Manato.

“Begitu, ya,” ujar yakuza itu singkat, lalu pergi begitu saja.

Keesokan harinya, Ibu masih bernapas, tapi matanya tertutup. Manato mencoba memanggil, tapi tak ada jawaban. Di dalam tako-beya, lalat beterbangan dalam jumlah mengerikan. Dipukul berkali-kali pun tetap tak ada habisnya.

Malamnya, yakuza kembali mengetuk pintu. Manato membuka sedikit dan berkata, “Belum.”

Yakuza itu tampaknya berdiri agak lama di koridor. Ia menendang pintu beberapa kali, tapi akhirnya pergi tanpa melakukan apa-apa lagi.

Hari itu, Manato tidak tidur.

Dan ketika langit masih gelap, napas Ibu pun berhenti sepenuhnya.

Barulah Manato menyadari, Ibu meninggal sambil menggenggam tangan Ayah.

Manato duduk diam di tengah kerumunan lalat, tidak mengusirnya, tidak menyingkirkannya.

Ia hanya berpikir.

Mungkin seperti yang dikatakan yakuza itu, aku memang harus mendaftar jadi warga.

Ayah dan Ibu sudah mati. Pasti akan segera ketahuan. Aku tak bisa tinggal di sini lagi. Aku harus jadi warga Tsunomiya. Aku bakal kerja di pabrik setiap hari, untuk wali kota. Istirahat sekali sehari. Makan dari jatah makan. Dapat uang. Dengan uang itu beli makanan. Mungkin sesekali beli koran, beli buku, belajar baca dan tulis…

Manato menyeret tubuh Ayah keluar dari tako-beya.

Lalu, dengan cara yang sama, ia juga mengangkat dan membawa tubuh Ibu ke luar.

Itu bukan pekerjaan mudah, tapi karena tubuh keduanya telah mengecil jauh sebelum ajal menjemput, Manato masih bisa mengatasinya seorang diri.

Setelah itu, ia menyandarkan jenazah Ayah dan Ibu berdampingan di depan kompleks permukiman kota, lalu menyatukan tangan mereka.

Ia sempat ragu sejenak, namun akhirnya memutuskan untuk meletakkan koran dan buku milik Ibu di atas dadanya.

“Kalau begitu, aku pergi dulu ya… Ayah, Ibu.”

Setelah tersenyum pada keduanya, Manato meninggalkan kompleks permukiman. Ia melangkah ke arah utara.

Di dalam ransel lama yang dulu ia gunakan saat masih menjadi pemburu, tersimpan pisau miliknya, palu, batu api, beberapa paku, lem dalam kaleng, dan peralatan minimum lainnya. Ia yakin, dengan itu, ia bisa bertahan hidup.

Dan kalau pun tidak bisa… ya, tinggal mati saja.

Sebelum matahari terbit, ia berniat keluar dari kota Tsunomiya. Namun jalannya telah diblokir pagar, dan dijaga ketat oleh para yakuza.

Waktu masuk ke Tsunomiya dulu, seingat Manato, para yakuza memang berjaga. Tapi waktu itu tidak ada pagar seperti ini. Rupanya pagar itu bisa dibuka dan ditutup. Tampaknya, setiap malam pagar akan ditutup agar tidak ada yang keluar atau masuk sembarangan.

Bagaimana kalau ia meminta izin? Apakah para yakuza itu akan membiarkannya lewat? Tidak, sepertinya tidak mungkin. Kecuali jika ia membayar. Tapi Manato tak punya uang sepeser pun.

Tak ada pilihan lain. Ia duduk di pinggir jalan, menunggu hingga pagar dibuka.

Tak lama kemudian, seorang yakuza mendekat.

“Heh, bocah. Ngapain lu nongkrong di situ, hah? Mau keluar dari Tsunomiya, ya? Hah?! Bocah sialan, lu pasti habis ngelakuin sesuatu, ya? Ayo, ikut gue. Cepetan, dasar brengsek.”

Karena hampir tertangkap, Manato melarikan diri.

Begitu ia lari, para yakuza langsung mengejarnya. Jumlah mereka semakin bertambah. Manato bahkan sempat melihat yakuza yang pernah datang ke tako-beya—yang mulutnya bau luar biasa itu—ikut bergabung dalam pengejaran.

Ia sempat dikepung dan dipukuli habis-habisan oleh beberapa yakuza, tapi di tengah kekacauan, ia berhasil menemukan celah dan kabur.

Rasanya seluruh jalan penuh dengan yakuza. Tak punya pilihan lain, Manato menyelinap masuk ke sebuah selokan kotor. Di bawah jembatan kecil yang melintasi sungai itu, ada sebuah lubang—kecil sekali, bahkan Manato harus menunduk untuk bisa masuk.

Tapi lubang itu ternyata terus memanjang ke dalam. Gelap gulita. Baunya lebih menyengat dari napas para yakuza. Sesuatu bergerak-gerak di dalam kegelapan. Entah apa.

“Dasar tolol!”

Sebuah suara melengking tiba-tiba berteriak dari balik gelap. Suara tinggi—marah.

“…Apa?”

Manato terpaku. Ia tidak mengerti.

Lalu suara itu kembali terdengar, “Dia bukan salah satu dari kita!”

“Cepat, habisi dia!”

Sesuatu menerjang dan menghantamnya. Dalam sekejap, tubuh Manato terikat dan didorong masuk ke air kotor. Air itu dangkal—bahkan tak setinggi lutut—tapi karena ditekan dari atas, air berlumpur itu masuk ke mulut dan hidungnya. Ia tak bisa bernapas. Panik, Manato meronta dengan sekuat tenaga.

Lalu semuanya gelap.

Ketika terbangun, tubuhnya—juga rambut dan pakaiannya—masih lembap, tapi ia sudah tak lagi berada di dalam air. Ia berbaring di atas tanah yang keras, dengan tangan dan kaki terikat.

Tempat itu tidak sepenuhnya gelap. Ada api. Api unggun. Ia mengenali nyalanya—dulu, sewaktu masih jadi pemburu, ia, Ayah, dan Ibu sering duduk mengelilingi api seperti ini.

Tapi ini bukan di luar ruangan. Sepertinya mereka berada di dalam suatu tempat tertutup.

Manato dikelilingi oleh sekelompok orang. Mereka semua berdiri, menatapnya dari atas.

“Kalau bukan karena kamu masih bocah, udah kami bunuh dari tadi.”

“Kalian siapa?” tanya Manato. “Yakuza?”

“Bukan lah. Mana mungkin kami yakuza. Tapi kamu juga bukan, kan?”

“Aku dikejar yakuza, habis dipukuli.”

“Mau kabur karena apa?”

“Enggak kabur juga. Cuma mau keluar dari Tsunomiya.”

“Kenapa kamu ingin keluar dari Tsunomiya?” tanya seseorang.

“Ayah dan Ibu sudah meninggal. Aku tidak bisa tinggal di tako-beya lagi, dan aku tidak mau terdaftar sebagai warga atau bekerja di sana,” jawab Manato.

“Kami juga begitu. Semua orang, ayah, ibu, atau siapa pun yang kerja di pabrik, sudah mati,” kata yang lain.

“Kalau begitu, sama saja,” balas Manato.

Di situ ada tujuh orang. Jika Manato dihitung, berarti delapan orang. Mereka berbeda ukuran tubuh, ada laki-laki dan perempuan, tapi pada dasarnya punya nasib serupa: semua sudah tidak punya orang tua.

Di antara mereka, ada semacam kode. Jika seseorang berkata “Usuraboke!” (dasar tolol), maka jawabannya harus “Kanariya!” (kanari). Siapa yang tidak bisa membalas dengan benar, bukan bagian dari kelompok.

“Kanariya” rupanya adalah nama burung, walau tak ada yang benar-benar tahu burung apa itu. Mereka sepakat menggunakan nama itu setelah berdiskusi.

Kelompok Kanariya ini tinggal di lubang-lubang di samping selokan, dalam tutup saluran pembuangan, di sela-sela bangunan yang hanya bisa dilewati dengan susah payah, dan di gedung-gedung yang hampir runtuh yang dilarang dimasuki oleh yakuza.

Karena jika menetap di satu tempat, mereka akan ditemukan yakuza dan, paling buruk, dibunuh, mereka terus berpindah-pindah tempat tinggal.

Makanan biasanya mereka dapatkan dari pasar. Karena tidak punya uang, mereka mencuri makanan yang dipajang di lapak-lapak. Tapi kalau ketahuan, yakuza akan dipanggil dan mereka dikejar. Jadi harus sangat berhati-hati.

Sasaran mereka adalah makanan sisa, yang tidak laku, atau yang hampir membusuk. Makanan-makanan itu dibuang ke ember-ember khusus di belakang pasar, dianggap sampah.

Ternyata, sampah-sampah itu masih ada gunanya, jadi setiap dua hari sekali, yakuza dari kantor pemerintahan datang mengumpulkannya.

Sebelum yakuza datang, Kanariya dan teman-temannya sudah terlebih dahulu mengambil sampah yang masih bisa dimakan.

Persaingan untuk mendapatkan sampah itu sangat sengit.

Di Tsunomiya, banyak orang yang hidup seperti Kanariya dan kelompoknya. Bukan hanya anak-anak, ada juga kelompok kecil orang dewasa.

Semua menginginkan sampah yang bisa dimakan, jadi seringkali terjadi perebutan dan bentrokan.

Tapi jika keributan sampai berlebihan, yakuza akan datang dengan cepat. Maka mereka harus membatasi diri.

Meski begitu, kalau lawan menyerang dengan serius, terpaksa mereka harus melawan balik.

Suatu ketika, seorang Kanariya mengalami luka parah sampai tak bisa bergerak, lalu meninggal.

Setelah itu, jumlah Kanariya tinggal tujuh, termasuk Manato.

Ketika lebih dari seratus yakuza melancarkan “operasi pembersihan,” banyak para pencari makanan sisa yang terbunuh. Salah satu Kanariya bahkan tertangkap oleh yakuza, dipukuli habis-habisan hingga tubuhnya hancur berantakan, lalu jasadnya dipajang di tengah-tengah kota sebagai peringatan.

Setelah kejadian itu, jumlah Kanariya tinggal enam orang. Mereka pun memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Tsunomiya.

Meskipun masuk ke Tsunomiya tidak begitu sulit, keluar dari sana sangat berbeda. Yakuza ada di mana-mana, ada pagar pembatas, membuat perjalanan keluar menjadi sangat sulit.

Selain Kanariya, ada juga kelompok lain yang ingin keluar dari Tsunomiya. Ada rencana untuk bekerja sama dengan mereka. Namun sayangnya, di antara mereka ada pengkhianat yang melaporkan rencana itu ke yakuza.

Akhirnya, kelompok itu bersama si pengkhianat dibantai habis.

Pada akhirnya, ketika siang hari dan banyak orang masuk ke Tsunomiya, keenam Kanariya menyerbu keluar sekaligus. Mereka dikejar yakuza dengan ganas, tapi entah bagaimana berhasil lolos.

Manato berpikir, dengan enam orang, mereka pasti bisa bertahan.

Ayah dan ibu Manato yang kondisinya sudah buruk saja, bertiga mereka masih bisa hidup sebagai pemburu.

Kanariya yang ada sekarang ada enam orang, dan semuanya masih muda. Tidak ada yang tahu pasti berapa umur mereka, tapi mungkin sekitar sepuluh tahun.

Junza (Juntsa), salah satu anggota Kanariya yang paling tahu banyak, bahkan bisa membaca dan menulis cukup baik. Dia bilang, manusia yang hidup sampai umur tiga puluh tahun termasuk yang berumur panjang.

Kalau begitu, paling tidak mereka masih punya sekitar sepuluh tahun untuk bertahan hidup.

Mungkin setelah sepuluh tahun, mereka akan mulai mengalami seperti ayah dan ibu Manato: gigi mulai copot, kulit mengeriput, tangan dan kaki tak bisa digerakkan dengan baik.

Saat mereka sudah tak bisa makan dengan layak, kematian pun akan menghampiri.

Ada seorang perempuan bernama Amu yang rambutnya seperti sarang burung, dan dia sangat khawatir soal gigi depannya yang copot karena dipukul oleh seorang yakuza.

“Yakuza itu umur panjang, lho. Wali kota Tsunomiya usianya sudah tiga puluh lima tahun. Hidup selama tiga puluh lima tahun. Keren, kan?” katanya.

Amu rupanya ingin berpacaran dengan yakuza lain, tapi dia pikir tidak mungkin karena gigi depannya yang copot sering dijadikan bahan ejekan. Suatu kali, saat kesal, dia melempar batu dan mengenai yakuza itu, sehingga membuatnya marah dan menendangnya.

Manato merasa heran kenapa gigi depan Amu yang copot tidak tumbuh kembali. Saat dia bertanya mengapa gigi itu tidak tumbuh lagi, Junza menjelaskan bahwa gigi dewasa yang tumbuh setelah gigi anak tanggal, tidak akan tumbuh lagi jika copot.

Memang, ayah dan ibu Manato juga begitu; begitu giginya copot, tidak pernah tumbuh lagi. Namun Manato sendiri pernah mengalami beberapa gigi copot karena luka, dan giginya tumbuh lagi dengan cepat.

Ketika dia menceritakan hal itu, semua terkejut, kecuali Junza yang tampak biasa saja.

“Aku pernah dengar ada orang seperti itu. Kayaknya kamu termasuk yang begitu, Manato,” kata Junza.

“Maksudnya gimana?” tanya Manato.

“Orang yang langka.”

Setelah meninggalkan Tsunomiya, Neika, yang hanya bisa melihat dengan mata kiri, sering berkata ini seperti menjadi kebiasaannya: “Nihon itu luas banget, jadi kalau mau, kita pergi jauh saja.”

Awalnya Manato tidak mengerti apa maksud ‘Nihon’ itu. Tapi menurut Neika, ‘Nihon’ itu dunia tempat mereka berada sekarang.

Junza pernah melihat peta tua ‘Nihon’ secara keseluruhan. ‘Nihon’ adalah daratan luas yang membentang ke utara dan selatan, dengan pulau-pulau terpisah yang juga termasuk ‘Nihon’.

Apakah mereka benar-benar pergi jauh atau tidak, yang jelas mereka harus menjauh dari Tsunomiya sebisa mungkin.

Manato sudah muak dengan kehidupan di kota. Kalau mau bertahan hidup di alam bebas, hanya ada satu cara: hidup sebagai pemburu.

Manato mulai mengajarkan cara hidup pemburu kepada Kanariya. Junza cepat belajar, cepat menangkap apa yang diajarkan, dan kemampuan serta keahliannya meningkat pesat.

Tubuh Junza juga besar dan kuat. Dia yang paling tinggi dan mungkin sedikit lebih tua dari yang lain.

“Tentu saja aku yang paling cepat mati,” katanya suatu saat dengan senyum sinis.

“Kalian jangan mati sebelum aku, ya.”

Saat keenamnya hidup berpindah-pindah sambil meniru cara hidup pemburu, salah satu Kanariya jatuh demam dan tak bisa bergerak. Apa pun yang diberikan untuk dimakan, selalu dimuntahkan, dan tubuhnya makin lama makin kurus kering. Manato merasa tanda kematiannya sudah dekat, dan keesokan harinya, memang Kanariya itu berhenti bernapas.

Kelima yang masih hidup berkumpul untuk membahas apa yang harus dilakukan terhadap tubuh Kanariya yang sudah meninggal itu. Bagaimanapun, mayat itu segera akan membusuk. Jika dibiarkan begitu saja, hewan dan serangga akan memakannya hingga hanya tulang yang tersisa. Manato berpikir tak masalah membiarkannya begitu, dan Neika yang menutup mata kanannya yang buta dengan kain setuju.

Namun tiga lainnya punya pendapat berbeda.

Amu, dengan rambutnya yang seperti sarang burung dan gigi depannya yang copot, merasa kasihan.

“Kalau dibiarkan begitu saja, dan kita pergi meninggalkannya sendirian, rasanya kok nggak enak ya. Kan sebenarnya dia ingin ikut pergi bersama kita, tapi sudah mati, jadi nggak bisa, dan kita juga nggak mungkin bawa dia. Dia akan membusuk. Tapi kalau dibiarkan begitu saja, rasanya kasihan.”

Junza lalu mengusulkan untuk mengadakan perpisahan.

“Dia sudah mati, jadi apapun yang kita katakan, dia tak akan dengar. Seperti Amu bilang, kita juga nggak bisa bawa dia. Aku nggak tahu apa yang benar, tapi kalau nggak melakukan apa-apa rasanya nggak enak.”

Mereka menidurkan mayat Kanariya itu di tanah dan duduk mengelilinginya. Saat mereka berbicara tentang yang sudah meninggal, burung gagak mulai berkumpul.

“Mereka mau makan dia, kayaknya,” kata Manato, berusaha tertawa.

Tapi rasanya sulit untuk tertawa. Melihat Kanariya yang sudah mati dimakan gagak di depan mata terasa sangat tidak enak.

Semua setuju, lalu muncul ide untuk menggali lubang dan mengubur mayat Kanariya itu. Itu ide yang bagus, mari kita lakukan itu.

Kelima orang itu menggali tanah, meletakkan mayat Kanariya di dasar lubang, lalu menimbunnya kembali. Setelah selesai, mereka merasa itu sudah hal yang tepat. Ya, begitulah seharusnya.

Kelima Kanariya terus hidup berpindah-pindah sambil menjalani kehidupan ala pemburu. Selain Manato, mereka sebenarnya bukan pemburu sejak awal, jadi banyak keluhan tentang panas, dingin, lelah, dan ngantuk. Bahkan Junza, yang paling tua di antara mereka, kadang terlihat kesulitan.

Saat musim panas, meski sudah telanjang, tetap saja kepanasan sampai susah tidur. Malam yang begitu dingin sampai susah memejamkan mata bukan hal yang langka. Saat musim hujan yang terus-menerus, walau sempat cerah sebentar, langit tiba-tiba berubah gelap penuh awan hitam, lalu turun hujan deras. Jika hujan terus-menerus, sungai meluap dan banyak tempat tergenang air, membuat jalanan menjadi berlumpur dan susah dilalui. Junza pernah bilang, ada beberapa kota yang tenggelam akibat hujan deras.

Di tempat yang terkontaminasi racun, bentuk pohon dan tanah tampak aneh, burung dan serangga pun tak tampak. Biasanya mudah dikenali, tapi saat hujan deras, susah membedakannya. Kalau tanpa sengaja masuk ke sana, racun bisa menyebabkan penyakit parah, bahkan kematian.

Selain itu, di dalam hutan ada binatang buas yang benar-benar harus dihindari. Bahkan jika tiba-tiba bertemu, bisa berakhir dengan kematian. Jumlahnya cukup banyak dan berbahaya.

Terutama beruang besar, babi hutan raksasa, dan monyet besar. Bahkan jika lebih dari sepuluh pemburu berkumpul, mereka sulit diburu. Monyet besar hidup berkelompok; jika satu dibunuh, seluruh kelompok jadi musuh. Manato mendengar dari cerita ayah dan ibunya, kelompok monyet besar kadang menyerang pemukiman dan memakan manusia.

Ada juga macan tutul besar yang sangat menakutkan. Kadang, sekelompok pemburu yang hidup bersama tiba-tiba kehilangan satu orang. Diduga macan tutul besar itu yang melakukannya. Macan itu diam-diam mendekati para pemburu yang sedang berkemah, lalu menculik dan memakannya satu per satu. Setelah satu dimakan, beberapa hari kemudian satu lagi menghilang. Hingga akhirnya tak tersisa siapa pun. Macan tutul memang dikenal berburu dengan cara seperti itu.

Manato, yang bisa dibilang pemburu sejak lahir, menganggap semua itu hal yang biasa. Jika sudah ketahuan oleh musuh yang tak bisa dilawan, ya sudah tak ada yang bisa dilakukan. Sekuat apa pun berjaga, kalau waktunya datang, tetap akan terjadi. Tak ada gunanya terus-menerus merasa takut. Tapi Kanariya yang lain, pasti tetap merasa khawatir.

Terutama saat malam hari, ketakutan itu makin besar.

Malam hari—atau lebih tepatnya, hutan di malam hari—adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Rasanya selalu seperti sedang diburu oleh binatang buas yang berbahaya, sehingga sulit untuk tidur nyenyak.

Kanariya mulai mencari reruntuhan bangunan yang sudah ditinggalkan. Biasanya, di reruntuhan yang tak lagi dihuni itu ada alasan kuat mengapa tempat tersebut tidak bisa ditinggali. Bangunannya rapuh, bisa runtuh kapan saja dan menimbun orang hidup-hidup. Atau entah kenapa, ketika berada di sana tubuh menjadi tidak enak, makhluk hidup pun enggan mendekat. Ada juga reruntuhan yang dihuni oleh kawanan monyet besar, atau stasiun yang menjadi sarang beruang besar. Reruntuhan yang benar-benar bebas dari binatang buas dan manusia sangat jarang, tapi bukan tidak ada sama sekali. Di tempat seperti itu, mereka tidur dan bertahan hidup sebagai pemburu.

Namun, reruntuhan adalah tempat yang rawan. Begitu ada reruntuhan, baik manusia maupun binatang buas pasti mencoba masuk. Mereka mencari sesuatu yang berguna atau mencoba menempati tempat itu jika memungkinkan. Bangunan yang masih kokoh harus sangat diwaspadai. Pemburu seperti mereka masih bisa bertahan, tapi ada juga yang seperti sisa-sisa yakuza yang menjadikan manusia sebagai target, bukan binatang.

Di selatan kota besar Mebashi, ada reruntuhan besar. Di sana, Kanariya bertemu dengan seorang mantan yakuza yang hampir mati.

Yakuza sisa itu ditinggalkan oleh kawannya dan tergeletak di bawah gedung. Tubuhnya kurus kering, kedua kakinya membusuk, dan ia hanya bisa menghisap air berlumpur di genangan. Ia diperkirakan tidak akan bertahan lebih dari sepuluh hari. Kebetulan Manato membawa banyak daging rusa dan membagi dua potong untuknya. Ia sangat berterima kasih.

“Sudah banyak hal buruk yang kubuat, tapi di saat-saat terakhir ini aku diberi daging rusa. Ini hal baik terakhir dalam hidupku. Jadi, aku tak akan menyesal mati kapan saja. Terima kasih, nak.”

Yakuza sisa itu dulu tergabung dalam organisasi yakuza bernama Gonnodo yang menguasai kota besar Nagano. Namun, karena suatu kesalahan fatal, ia dipecat dan tidak bisa lagi tinggal di Nagano. Bersama yakuza sisa lainnya, ia kemudian menyerang pemukiman, karavan, dan menculik penduduk kota kecil untuk dimakan.

“Dengar. Entah ini adalah ucapan terima kasih atau bukan, tapi aku kasih tahu sesuatu yang bagus. Di antara Mebashi dan Nagano ada tempat namanya Kariza. Kariza cukup dikenal, jadi mungkin kalian sudah tahu. Tapi bagian dalam Kariza, jauh di dalam sana, masih ada beberapa rumah megah yang tersisa. Aku pernah berencana tinggal di sana suatu hari nanti. Ketemu wanita baik, punya rumah sendiri, dan mau mati di situ—”

Kanariya memutuskan untuk menuju Kariza. Mereka segera tahu kalau Kariza ada di sepanjang jalan menuju barat dari Mebashi. Saat mereka membantu seorang sopir truk kecil yang terjebak di lumpur, sopir itu memberitahu mereka. Truk-truk kecil itu biasa bolak-balik antara Mebashi dan Nagano mengangkut barang. Sopirnya mengingatkan mereka supaya hati-hati karena ada perampok di jalan.

Perampok itu bukan sekadar sisa yakuza, tapi benar-benar yakuza yang meneror orang yang lewat, merampas semua barang mereka. Jika membayar uang atau memberikan barang berharga di kota terdekat, mereka bisa dimaafkan. Tapi Kanariya tidak punya uang. Apa pun yang mereka bawa memang penting untuk bertahan hidup, jadi tidak bisa sembarangan diberikan. Perampok itu membawa banyak senjata dan jumlahnya banyak. Melawan mereka mustahil, jadi satu-satunya pilihan adalah menghindar.

Kanariya berusaha menjauh dari jalan utama dan masuk ke dalam hutan. Musim hujan sedang deras, dan salah satu dari mereka jatuh sakit, demam tinggi. Batuk-batuk dan menggigil terus-menerus. Dia bilang supaya tinggalkan dia saja, tapi tentu saja itu tidak mungkin. Manato dan Junza gantian menggendongnya berjalan. Tubuhnya lebih kecil dan lebih ringan dibandingkan Amu dan Neika, jadi Manato bilang itu tidak masalah. Dia cuma tertawa sambil batuk, “Nggak mungkin begitu lah.”

Kanariya kecil itu memang sering tertawa. Mungkin dia yang paling sering tertawa dibandingkan yang lain, bahkan lebih sering dari Manato sendiri. Badannya kecil, pundaknya sempit, dadanya datar, tapi jari-jarinya panjang dan sangat cekatan.

Saat digendong Manato, Kanariya kecil itu berbisik tentang cerita-cerita dari Tsunomiya—tentang masa mereka di sana dan setelah meninggalkannya. Ceritanya penuh dengan kesulitan dan hal terburuk, tapi selalu berakhir dengan dia tersenyum dan bilang, “Tapi tetap menyenangkan, tahu.” Manato membalas, “Iya, memang menyenangkan,” sambil ikut tersenyum. Kanariya kecil itu pun tertawa lebih lepas sampai akhirnya batuk dan tak berhenti. Dia protes sambil tertawa, “Jangan buat aku tertawa terus dong,” tapi tetap saja dia terus tertawa dan kemudian kembali batuk.

Kanariya kecil tak mampu bertahan sampai ke Kariza. Hujan terus-menerus mengguyur, dan mereka kesulitan mencari tempat untuk menguburnya. Mereka menggali tanah yang longgar di pangkal pohon, lalu meletakkan Kanariya kecil itu di dalamnya. Bersama-sama, mereka menimbun tubuhnya dengan lumpur. Kini, tersisa hanya empat Kanariya: Junza, Amu, Neika, dan Manato.

Di Kariza ada sebuah kota, dipenuhi oleh banyak yakuza. Namun, yakuza-yakuza itu tidak akur satu sama lain. Mereka tergabung dalam kelompok-kelompok berbeda—ada kelompok A, kelompok B—yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan. Kota itu cukup besar dan menjadi pusat berkumpulnya berbagai barang. Di jalan-jalannya tak hanya terlihat truk kecil yang biasa mereka temui di kota lain, tapi juga gerobak sapi dan gerobak kuda yang lalu lalang.

Kanariya mulai meragukan kebenaran cerita yakuza sisa yang pernah mereka temui.

Kariza bukanlah kota yang terlalu luas, tapi pasar di sana sangat besar. Jumlah penduduknya sangat banyak, dan hampir semuanya adalah yakuza.

Yakuza sisa itu pernah bilang bahwa jauh di dalam Kariza, masih ada beberapa rumah utuh yang tersisa. Namun, mereka tak tahu persis di mana ‘jauh di dalam’ itu sebenarnya.

Di bagian selatan Kariza terdapat sebuah istana besar yang dikenal sebagai ‘goten,’ tempat tinggal bos yakuza bernama Shigatake. Sedangkan di utara, ada markas bersenjata milik kelompok yakuza bernama Bunge-gumi, yang sangat berbahaya sehingga orang tidak berani mendekat.

Meski begitu, Kanariya tidak menyerah. Mereka kadang mampir ke Kariza untuk mengambil persediaan, lalu kembali menjalani hidup sebagai pemburu sambil terus mencari rumah-rumah di bagian dalam kota. Beberapa kali mereka bertikai dengan yakuza Kariza, tapi setiap kali, mereka berhasil melarikan diri ke dalam hutan dan selamat.

Di sekitar Kariza, ada seekor beruang yang disebut “Tiga Mata,” yang ditakuti oleh para penduduk. Seperti namanya, Tiga Mata memiliki tiga mata dan berdiri lebih tinggi dari tiga orang dewasa ketika berdiri tegak. Ia memiliki bulu berwarna hitam dan putih belang-belang dan bahkan pernah memasuki bagian pusat Kariza dan menyerang penduduknya. Dikatakan bahwa tiga puluh orang tewas selama insiden tersebut.

Untuk binatang seperti itu, seharusnya ada jejak yang mencolok seperti jejak kaki, bekas cakaran, tempat tidur, atau kotoran, tetapi tidak ada yang ditemukan. Jadi Manato tidak khawatir, tetapi Kanariya lainnya sangat takut. Orang-orang Kariza bahkan lebih takut pada Tiga Mata.

Di kota Kariza, ada sebuah monumen yang didirikan untuk tiga puluh orang yang tewas oleh Tiga Mata, dan bahkan ada patung Tiga Mata. Suatu kali, seorang mabuk buang air kecil di patung Tiga Mata dan ditangkap oleh Yakuza dan dibunuh. Dia tidak tahu apakah itu benar, tetapi juga ada tempat ibadah kecil yang didedikasikan untuk Tiga Mata di mansion Shigatake dan pangkalan bersenjata Bunge-gumi, di mana Yakuza berpenampilan tangguh berdoa setiap hari agar Tiga Mata tidak kembali ke Kariza.

Pada akhirnya, jauh, jauh di utara pegunungan, jauh lebih jauh dari pangkalan bersenjata Bunge-gumi, mereka menemukannya. Ada sisa-sisa dua rumah terletak sedikit jauh dari jalan tua, dan lebih jauh lagi, dua rumah yang runtuh. Lebih jauh dari itu, hanya ada satu bangunan dua lantai yang kokoh tersisa.

Kawasan itu penuh dengan hutan, dan penglihatan sangat buruk. Kamu bahkan tidak bisa mengatakan bahwa ada sebuah bangunan di sana sampai kamu sangat dekat. Baik pintu maupun jendela terkunci, jadi Kanariya memecahkan kaca jendela untuk masuk. Debu telah menumpuk, dan laba-laba telah menganyam jaring mereka, tetapi berbagai benda ditinggalkan dengan kondisi seperti saat seseorang tinggal di sana. Sisa-sisa Yakuza tampaknya mengetahuinya. Meskipun begitu, itu tidak disentuh. Pasti tidak ada yang lain yang tahu tentang tempat ini. Itu rumah milik Kanariya.

Mari kita tinggal di sini bersama-sama mulai sekarang. Mari kita jadikan ini rumah kita. 

Juntza, Amu, Neika, dan Manato tidak repot-repot mengatakan hal-hal seperti itu. Itu sudah jelas. Mungkin ada Tiga Mata di pegunungan ini, tetapi memang kenapa? Mereka telah mendapatkan tempat mereka sendiri, sebuah rumah dengan tiang, balok, atap, dinding, dan bahkan perapian yang utuh. Semua orang, seperti Kanariya lainnya, seperti orang tua Kanariya, seperti sisa-sisa Yakuza, orang-orang yang tinggal di kota, Yakuza, dan binatang, suatu hari akan mati. Sampai saat itu, mereka akan tinggal di rumah ini. Dan ketika mereka mati, mereka akan dikubur dekat rumah ini.

Di rumah Kanariya, ada dua kamar dengan dua tempat tidur masing-masing. Juntza memutuskan untuk tidur di kursi panjang di ruang dengan perapian di lantai pertama. Manato tidur di kamar tidur di lantai pertama, sementara Amu dan Neika memutuskan untuk tidur di kamar tidur di lantai kedua.

Pada malam pertama mereka berbaring di tempat tidur dan menutup mata, Manato teringat ayah dan ibunya. Apa yang akan terjadi jika kita telah menemukan rumah ini saat mereka berburu bersama? Dia memikirkan itu. Pasti, keduanya akan sangat gembira. Mereka akan tertawa, tertawa, tidur, bangun, dan tertawa lagi.


“—Awaken.”

Sepertinya ia mendengar suara seseorang, dan perlahan membuka mata.

Gelap.

Masih malam, ya?

Tapi tidak sepenuhnya gelap.

Lantai itu—entah bagaimana—memancarkan cahaya samar. Itu bukan tanah. Lebih seperti lantai. Batu? Beton? Mungkin semacam beton. Di atas lantai itu, sesuatu tampak berpendar. Apa yang sebenarnya bersinar?

“…Huh?”

Apa dia tidur di tempat seperti ini? Rasanya aneh. Di mana ini?

“Kau sudah bangun.”

Seseorang berbicara. Baru setelah itu ia sadar—ada seseorang berdiri tak jauh darinya, menatap ke arahnya dari atas.

“…Siapa—Junza? Amu? Neika? Bukan…?”

Sambil mengangkat tubuh bagian atas, ia menyipitkan mata mencoba melihat lebih jelas. Meskipun lantai di bawah memancarkan cahaya tipis, ruangan itu tetap cukup gelap. Tampaknya ini bukan luar ruangan, dan ruangan itu cukup luas—dan ada orang lain di dalamnya. Hanya sebatas itu yang bisa ia simpulkan.

“Aku—sayangnya bukan Junza. Juga bukan Amu, atau Neika.”

Manusia, sepertinya. Setidaknya, dia bisa bicara.

“…Ya, kupikir begitu.”

“Mereka temanmu?”

“Siapa?”

“Junza. Amu. Neika. Mereka temanmu?”

“Teman, sih… bukan juga? Entahlah. Mungkin lebih cocok disebut… rekan?”

“Begitu, ya.”

“Kamu… tahu mereka di mana? Junza dan yang lain? Harusnya… mereka ada di dekat sini.”

“Maaf, aku tidak tahu.”

“Aku mengerti…”

Kepalanya masih agak kabur. Menyebut nama Junza, Amu, dan Neika mungkin bukan keputusan bijak. Orang ini—siapapun dia—jelas bukan seseorang yang ia kenal. Dan terhadap orang asing, sebaiknya tetap waspada. Siapa tahu dia orang Kariza, atau lebih buruk, seorang yakuza dari sana.

Ia memang mengenal beberapa orang di Kariza. Sebagian dari mereka tahu namanya. Beberapa yakuza bahkan sempat mengincarnya. Kalau bisa, ia tidak ingin tertangkap.

Apakah Junza dan yang lain baik-baik saja?

Lalu dirinya sendiri, bagaimana?

Ia bahkan tidak tahu ini di mana, dan seseorang asing berdiri tak jauh dari tempatnya berbaring.

Bagaimana bisa dia ada di sini? Ia sama sekali tak punya petunjuk. Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Terakhir yang ia ingat, ia sedang bersama Junza, Amu, dan Neika, seperti biasa…

Mungkin… ia sedang berada di rumah. Rumah mereka sendiri.

Rumah itu terletak jauh di bagian terdalam Kariza—tempat yang tak banyak orang datangi—dan akhirnya mereka temukan setelah pencarian panjang. Tiangnya kokoh, balok-baloknya kuat, bangunannya dua lantai. Atap dan dindingnya utuh, bahkan kaca jendelanya masih belum pecah. Seharusnya… ia berada di sana.

Junza ada. Amu juga. Neika pun ada.

Mereka sedang makan sesuatu, sambil berbincang—setidaknya begitu yang terlintas dalam ingatan. Ia tidak benar-benar yakin. Lalu setelah itu, mereka keluar rumah—mungkin begitu?

Yang jelas, ini bukan rumah itu. Berarti… ia memang telah keluar.

Sendirian?

“Kau bisa berdiri?”

Orang asing itu bertanya. Siapa sebenarnya dia?

“…Kurasa. Atau, entahlah. Tapi mungkin aku bisa berdiri.”

“Tak ada gunanya berlama-lama di sini. Mari kita keluar.”

“Keluar?”

Tanpa sadar, ia bertanya, “Aku boleh keluar?”

Orang itu akan membiarkannya pergi? Jadi ia tidak sedang dikurung? Benarkah begitu?

“Kalau kau ingin tetap di sini, silakan. Tapi aku akan pergi. Terserah padamu.”

“Kalau aku… pergi… maksudmu…?”

Ia coba berdiri. Sementara itu, orang asing itu sudah bergerak menjauh. Suara langkahnya sangat tenang. Hampir tak terdengar. Apakah dia bertubuh ringan? Atau hanya sangat berhati-hati?

Ia mengejar. Orang itu tampak menunggu di dekat dinding.

“Kita bisa keluar dari sini.”

“…Apa maksudmu?”

“Tinggal lewat saja.”

Lalu orang asing itu… masuk ke dalam dinding.

Dan menghilang.

Lenyap begitu saja.

“Apa…?”

Dengan tergesa ia menempelkan telapak tangan ke tempat orang itu masuk—namun tidak ada yang menyentuh balik.

Tangannya menembus. Seolah-olah tidak ada dinding di sana.

“Apa ini…?”

Benarkah ini dinding? Bahkan dalam kegelapan pun, ia tahu sesuatu berdiri menghalangi di sana. Itu pasti dinding. Tapi kalau diperhatikan lebih seksama, bagian itu berbeda.

Seperti tidak ada apa-apa. Seperti ada sebuah lubang persegi di dinding, dan di baliknya hanya ada malam yang pekat—kegelapan total yang membentang luas.

Ia menggertakkan gigi, lalu nekat melangkah masuk.

Dan ia berhasil menembusnya.

“…Uwah.”

Ternyata tempat dibaliknya adalah tangga. Tangga spiral yang berputar ke bawah, lengkap dengan pegangan tangan. Tapi, tempat yang baru saja ia lewati barusan—tidak ada pagarnya. Aneh. Tempat ini tidak gelap, tapi juga tidak bisa dibilang terang.

Beberapa anak tangga di bawah, ada orang asing itu.

Dan ia kembali menyadari satu hal.

Ia benar-benar tidak mengenal orang ini.

Orang itu mengenakan mantel berkerudung gelap. Wajahnya tak terlihat.

Tertutup oleh topeng.

“Kau datang juga, ya.”

Orang itu mengenakan topeng.

“Ayo turun.”

“…Eh, um—”

“Ada apa?”

“Tempat ini… di mana?”

“Dulu, katanya disebut ‘Kujiku.’”

“Kujiku? Kayak… tonggak atau batang kayu itu?”

“Kita sedang berada di dalam bahtera.”

“Bahtera? Maksudmu… kapal?”

“Ayo turun.”

Pria bertopeng itu mulai menuruni tangga spiral. Tidak ada pilihan lain selain mengikutinya.

“Hei, tunggu dulu.”

“Ada apa?”

“Maaf ya, aku nanya terus… tapi, kau ini siapa sebenarnya?”

“Siapa aku, ya… Hm…”

Pria bertopeng itu tidak langsung menjawab. Hening pun menyelimuti mereka sementara mereka terus menuruni tangga spiral.

“Aku Manato,”

Akhirnya, karena tak tahan, ia memperkenalkan diri duluan.

Langkah pria bertopeng itu terhenti.

“…Manato?”

Reaksinya aneh. Saat Manato mengangguk, pria itu berbalik menatapnya.

“Itu… namamu? Manato…?”

“Ya, benar. Tapi teman-temanku biasanya memanggilku Mat, atau Mana. Tapi namaku Manato. Ayah dan ibuku memanggilku begitu.”

“Ayahmu… Kedua orang tuamu…?”

“Mereka sudah meninggal. Sudah lama. Teman-temanku juga, semuanya yatim piatu.”

“Berapa umurmu?”

“Berapa umurmu? Oh, maksudmu… usia? Umm… yah, aku sendiri nggak yakin, tapi dua belas, mungkin? Atau empat belas? Mungkin tiga belas.”

“Muda juga. Lebih muda dari yang kukira.”

“Itu pun cuma kira-kira, sih. Sejak orang tuaku meninggal… tiga tahun? Atau empat? Sekitar segitulah. Tapi aku nggak benar-benar menghitung, jadi…”

“…Manato.”

“Ya?”

“Dulu… aku pernah kenal seseorang—”

Pria itu menghela napas dari balik topengnya.

“—sudah lama sekali, tapi… kebetulan, ada teman… seorang rekan. Namanya sama sepertimu.”

“Oh ya? Kebetulan, ya.”

“Dalam bahasa lama, itu disebut ‘kiguu.’”

“‘Kiguu’?”

“Pertemuan yang tak terduga. Sebuah kebetulan yang aneh, bisa dibilang.”

“Kiguu, ya… baru denger. Oh, ngomong-ngomong, kau sendiri siapa?”

“Namaku?”

Pria bertopeng itu menggenggam pegangan tangga. Ia memakai sarung tangan. Topengnya tampak rapat, mungkin memiliki lubang di bagian mata atau mulut, tapi sulit dikenali sekilas. Sepertinya dibuat agar tak ada bagian tubuh yang terbuka. Tak ada kulit yang terlihat sama sekali.

“Haru,” katanya, sambil melepas tangannya dari pegangan.

“Begitulah seseorang memanggilku dulu.”

“Haru…”

Manato mengulanginya pelan.

Haru. Nama yang mengingatkan pada musim semi. Musim saat dingin mulai mereda dan hujan menggantikan salju.

Atau mungkin bukan itu artinya. Mungkin maksudnya seperti ‘menempelkan’ sesuatu. Menempel, merekatkanharu.

“Kalau begitu, boleh kupanggil kau Haru?”

“Tentu. Dan aku akan memanggilmu Manato. Tidak masalah, kan?”

“Masalah?”

Orang ini memang aneh cara bicaranya. Manato tak bisa menahan senyum.

“Enggak. Nggak masalah sama sekali. Soalnya, aku memang Manato.”

“Begitu, ya. Ayo turun, Manato. Kau ingin tahu, kan… tempat apa ini sebenarnya?”

Pria bertopeng yang kini bernama Haru mulai menuruni tangga lagi.

Tempat apa ini?

Barusan dia menyebut ini bahtera. Tapi apa itu bahtera, sebenarnya?

Manato mengikuti punggung Haru dari belakang. Masih ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—tak terhitung banyaknya.

Tapi untuk alasan yang tak ia mengerti, ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Akhir dari tangga spiral itu akhirnya terlihat. Tak ada apa-apa di depannya.

Tanpa berkata apa pun, Haru melangkah ke ujung tangga spiral yang kosong itu. Itu sama persis dengan dinding tempat ia terbangun tadi. Dari sanalah mereka masuk. Atau mungkin, keluar?

Manato pun keluar dari tempat yang sama.

Di luar.

Kali ini, benar-benar di luar. Mereka berada di ruang terbuka.

Apakah ini sesaat setelah matahari terbenam? Atau justru sebelum matahari terbit? Sebagian besar langit tertutup awan. Matahari tak terlihat. Namun, di kejauhan—di sebelah kanan arah pandang mereka—langit tampak sedikit lebih terang. Mungkin matahari baru saja tenggelam di sana… atau sedang bersiap untuk terbit.

Tempat ini berada di atas sebuah bukit.

Manato menoleh ke belakang. Ada sebuah bangunan. Bangunan yang tinggi. Lebih menyerupai menara daripada gedung. Bagian atasnya sudah runtuh, dan sulur-sulur tanaman merambat melingkar di sekelilingnya.

“…Huh? Di mana ini…?”

Tak jauh dari bukit itu, ada reruntuhan. Manato sudah biasa melihat reruntuhan—itu bukan hal asing baginya. Tapi reruntuhan ini terasa jauh lebih tua dari apa pun yang pernah ia lihat.

Biasanya reruntuhan menyisakan gedung atau stasiun. Atap dan dindingnya mungkin masih berdiri, tapi tetap berbahaya—siapa pun tahu bisa runtuh kapan saja, dan karena itulah tak ada orang waras yang tinggal di sana. Kadang, ada juga jalan bawah tanah. Beberapa orang memilih tinggal di tempat semacam itu meski berisiko. Manato dan teman-temannya pun pernah tidur di gedung dengan tangga yang tak bisa dipakai, atau lorong bawah tanah yang bau dan lembap. Di dalam hutan, binatang buas berkeliaran. Dan tempat tinggal yang terlihat layak, justru lebih sering jadi sasaran serangan.

“Tempat ini bukan dunia yang kau kenal,” kata Haru pelan.

Ia turun sedikit dari bukit, lalu berdiri di depan sebuah batu besar berwarna putih pucat. Banyak batu serupa tersebar di bukit itu.

“Dunia ini disebut Grimgar.”

“…Dunia… lain. Grim…gar…”

Manato mengulang pelan kata-kata Haru.

Ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

Grimgar.

Dunia yang berbeda.

“Apa maksudmu…? Eh? Bagaimana… aku bisa sampai ke sini? Aku nggak ingat pernah datang ke tempat seperti ini. Dunia yang berbeda… maksudmu… ini bukan Jepang?”

“Jepang itu sebuah negara. Aku juga pernah tinggal disana dulu, meski tak banyak yang bisa kuingat. Tapi aku tahu tentang Jepang, jadi aku tak sepenuhnya asing.”

“Kau juga… orang Jepang?”

“Sepertinya begitu. Aku datang ke dunia ini—ke Grimgar—dari Jepang.”

“Jadi… maksudmu—bagaimana bisa…?”

“Aku juga tidak tahu. Ada cukup banyak orang yang datang ke Grimgar seperti dirimu—tidak sampai segunung, tapi lumayan. Semuanya bilang hal yang sama: mereka tidak ingat. Kenangan sebelum tiba masih jelas, tapi entah apa yang terjadi—apakah ada sesuatu yang menimpa mereka, atau mereka berbuat sesuatu—pokoknya tak seorang pun mengingat momen tepat sebelum ke Grimgar. Tidak ada satu pun.”

“Tunggu sebentar….”

Manato berjongkok, mengacak‐acak rambutnya.

“Jadi selain Haru… ada orang lain? Orang Jepang juga, yang mengalami hal serupa?”

“Mungkin lebih tepatnya: pernah ada.”

“Sekarang… sudah tidak ada?”

“Sudah lama sekali….”

“Lama, seberapa?”

“Siapa pun yang menyeberang dari Jepang ke Grimgar akan dipindahkan ke ruangan tempat Bahtera berada. Bahtera memang punya semacam mekanisme—atau sebaiknya kusebut perangkat—untuk itu. Pada zamanku dulu, setiap beberapa tahun selalu ada beberapa orang… kadang bahkan lebih dari sepuluh sekaligus. Tapi lama‑kelamaan frekuensinya menurun, jumlahnya semakin sedikit.”

“Artinya… sudah lama sekali tak ada yang datang?”

“Benar.”

“Berapa lama?”

“Lebih dari empat puluh tahun—”

Haru menarik napas pendek.

“Kalau dihitung, mungkin hampir lima puluh tahun sejak yang terakhir.”

“Lima puluh tahun? Itu… lama sekali, kan? Manusia mana bertahan selama itu? Ayah dan Ibu saja, waktu meninggal… kurasa belum genap tiga puluh. Haru, bukankah umurmu terlalu panjang…?”

“Orang tuamu wafat terlalu muda. Tapi aku… ya, kau benar, Manato. Aku memang hidup terlalu lama.”

“Lima puluh tahun… Jadi, saat orang Jepang terakhir datang ke Grimgar—lima puluh tahun lalu—kau masih anak‑anak?”

“Tidak.”

“Kalau begitu… berapa tahun kau hidup? Di Jepang, hidup sampai tiga puluh sudah tergolong panjang, tahu? Pada akhirnya semua mati juga, jadi tak banyak yang serius menghitung umur.”

“Aku juga sudah berhenti menghitung, Manato. Keadaanku berbeda dengan kalian—sangat berbeda, rupanya. Dalam empat puluh sekian tahun… apa yang sebenarnya terjadi di Jepang? Benarkah baru empat puluh tahun lebih? Rasanya… jauh lebih…”

Haru menundukkan wajah—tersembunyi di balik topeng—dan bergumam seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Seperti apa wajah Haru di balik topeng itu?

Orang tua Manato, sebelum meninggal, tubuh mereka sudah kurus kering, gigi rontok, dan wajah penuh keriput.

Pernah ada yang bilang kalau Wali Kota Tsunomiya usianya sudah lewat tiga puluh lima. Manato belum pernah melihatnya secara langsung.

Langit di kejauhan tampak lebih terang dari sebelumnya.

Sepertinya ini bukan waktu setelah matahari terbenam, melainkan sebentar lagi matahari akan terbit.

Manato menemukan bulan bundar berwarna putih bersih menggantung di langit. Bulan yang biasa terlihat di langit Jepang, kalau ia ingat dengan benar, biasanya lebih kecil, sedikit tertutup bayangan. Tapi… kapan terakhir kali ia benar-benar melihat bulan?

Junza, Amu, dan Neika… bagaimana keadaan mereka sekarang? Apakah ketiganya masih di rumah Kariza? Apakah mereka selamat?

Kenapa semua ini bisa terjadi?

Manato berdiri, menarik napas dalam-dalam. Ia mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk meregangkan badan, lalu memiringkan tubuh ke kiri dan kanan. Rambutnya terasa semakin panjang. Sudah lama tidak dipotong, rupanya. Ia jadi teringat komentar Neika, “Sudah waktunya potong rambut, ya?” Manato tersenyum kecil. Rambutnya memang mulai mengganggu. Mungkin memang sudah waktunya.

“…Apa yang sedang kau lakukan?”

Haru bertanya.

“Apa, ya.”

Manato membuka kuda-kuda dan menekuk punggungnya ke belakang, lalu menunduk ke depan. Ia mengulangi gerakan itu.

“Menggerakkan tubuh. Selama tubuh masih bisa digerakkan, aku nggak akan langsung mati.”

“…Yah, kurasa memang begitu.”

“Kau juga, Haru. Walau umurmu panjang, gerakanmu luwes. Keliatan masih fit. Mungkin itu sebabnya kau bisa hidup selama ini.”

“Entahlah… mungkin saja.”

“Ngomong-ngomong, ada makanan nggak? Lihat deh, ada hutan. Oh—dan ada gunung! Tinggi banget!”

Saat Manato menunjuk barisan pegunungan tinggi menjulang seperti dinding raksasa, Haru berkata, “Itu Pegunungan Tenryuu.”

“Tenryuu?”

“Gunung tempat tinggal para naga. Bahkan para pelayan dewa pun tak bisa masuk ke sana.”

“Naga? Maksudmu… binatang? Bisa dimakan?”

“…Memakan naga itu sulit. Lebih mungkin kau yang dimakan.”

“Wah. Begitu, ya. Tapi, di hutan pasti ada binatang, kan?”

“Ada… yah…”

“Selama bukan jenis yang terlalu berbahaya, kita bisa tangkap dan bunuh, terus dimasak—direbus atau dibakar. Selain itu pasti ada jamur, sayur liar, buah-buahan juga. Hutan tetap hutan, gunung tetap gunung. Tapi kurasa beda ya, dengan yang ada di Jepang.”

“Kalau hanya untuk mengisi perut, aku bisa siapkan sesuatu.”

“Serius? Syukurlah. Kalau begitu, kita masih bisa bertahan.”

“…Kau tidak merasa terpuruk, ya?”

“Terpuruk?”

Manato tertawa.

“Kenapa harus? Aku masih hidup, kan?”

Ia menekuk dan meluruskan lututnya, memutar leher ke kiri dan kanan. Ia melompat ringan, lalu melompat setinggi mungkin. Tak ada rasa sakit. Tak ada yang terasa aneh.

“Aku memang khawatir soal teman-temanku, tapi kurasa mereka masih hidup. Dan kalau mereka hidup, mungkin suatu saat aku bisa bertemu lagi dengan mereka. Meskipun bisa jadi tidak. Tapi kalau aku benar-benar ingin bertemu, ya tinggal cari. Atau… mungkin nggak bisa, ya? Nggak mungkin, kah?”

Haru menggeleng pelan.

“…Maaf, aku tidak yakin dengan itu. Tapi sejauh yang aku tahu… tak ada satu pun yang pernah kembali ke Jepang.”

“Begitu, ya.”

Manato menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya sampai penuh.

Lalu ia menghembuskannya dengan keras.

“Yah… siapa tahu, Grimgar—begitu tadi kau bilang namanya?—ternyata tempat yang lebih nyaman. Akan lebih baik kalau teman-temanku ada juga. Tapi aku pun nggak tahu kenapa bisa ada di sini, jadi mau bagaimana lagi?”

“…Kau cukup positif, ya.”

Sepertinya Haru tersenyum kecil di balik topengnya.

“Boleh aku tanya satu hal, Manato?”

“Tentu.”

“Waktu kau terakhir berada di Jepang, tahun berapakah itu—kalau menurut kalender masehi? Kalau kau tidak tahu maksud pertanyaanku, tidak apa-apa.”

“Kalender masehi…”

Manato menyentuh pelipisnya dengan dua jari.

Kalender masehi.

Tahun berapa?

Saat ia masih tinggal bersama orang tuanya di kamar sempit di kota Tsunomiya, rasanya… pernah mendengar atau melihat sesuatu tentang itu.

“Kalender masehi… tahun dua ribu seratus, mungkin? Dua ribu seratus sekian… aku nggak yakin tepatnya. Seingatku, Ibu pernah bilang begitu… atau mungkin aku baca di koran? Tapi itu juga udah lama banget, sih.”

“Dua ribu seratus, ya…”

Haru meletakkan tangannya di bagian bawah topengnya, seolah menutupi mulut.

“Aku mengerti. Sepertinya, waktu berjalan sama panjangnya—baik di Grimgar maupun di Jepang. Dalam empat puluh tahun lebih ini… Jepang sudah banyak berubah, rupanya—”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…]  Bab 1 – Kalau Kau Mau Tertawa, Tertawalah SajaBab 2 – Masa Lalu yang Tak AdaBab 3 – Kau Pernah TerbangBab 4 – Pedang dan TinjuBab 5 – Apa yang Telah Kita Lupakan?Bab 6 – Sesuatu yang Bukan ManusiaBab 7 – Dalam KetidaktahuanBab 8 – Lagu SuciBab 9 – Hancurkan SegalanyaBab 10 – Dalam Menjadi DirikuBab 11 – Kini SaatnyaBab 12 – Tangisan di Tengah JalanCatatan Penulis […]

Scroll to Top
1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x