14. All in One (Grimgar)

Haruhiro, Setora, Itsukushima, dan si tukang nebeng yang selalu merepotkan, Deputi Neal, bergabung kembali dengan rekan-rekan mereka yang sudah menunggu di ruang lobi elevator di luar ruangan. Yang lain sudah diberi penjelasan tentang situasi yang terjadi.

“Sial, cepat sekali mereka bergerak. Tapi ya, itu memang Forgan,” kata Ranta sambil menyeringai, lidahnya menjilat bibir. Wajahnya jelas terlihat bersemangat. “Musuh mungkin bakal melancarkan serangan besar-besaran yang waktunya disesuaikan dengan penyusupan mereka. Kalau mereka berhasil menembus benteng dan menjebol Gerbang Great Ironfist, tamat kita, apa pun yang kita lakukan di sini.”

“Tunggu dulu, kenapa kamu terlihat senang? Kamu waras nggak sih, Ranta-kun…?” tanya Kuzaku.

“Bego! Setiap krisis itu peluang emas!”

“Uh, aku sih nggak yakin. Menurutku krisis ya tetap krisis.”

Yume mengangguk setuju. “Krisis itu krisis, soalnya mereka selalu krisisin’.”

Apa pula maksudnya itu? pikir Haruhiro, tapi ia memilih untuk tidak mengatakan itu pada Yume. Yume memang selalu begitu, dan itu tidak masalah.

Sedangkan Kuzaku, meski terdengar negatif, tetap terlihat tenang. Ia punya ketahanan alami yang membuatnya cepat bangkit kembali setelah sempat ciut. Tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan darinya, kecuali kebiasaannya yang kurang memikirkan keselamatan dirinya sendiri.

Ketika tatapan Merry dan Haruhiro bertemu, ia mengembuskan napas, lalu mengangguk. Meski agak kaku, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Cantik sekali. Sangat cantik. Yah, wajah Merry memang selalu cantik, tak peduli ekspresi apa yang ia tunjukkan. Benar, Haruhiro mungkin sempat merasa sang ratu besi punya daya tarik aneh, tapi Merry berbeda. Merry istimewa. Mungkin itu hanya berlaku di mata Haruhiro, tapi kalaupun begitu, ia tak keberatan. Bahkan mungkin lebih suka begitu.

Jangan sampai lengah, Haruhiro memperingatkan dirinya sendiri. Bukan berarti ia sedang melamun, hanya saja ia terus mengingat betapa istimewanya Merry. Detik demi detik, menit demi menit. Setiap kali ia memikirkannya, selalu ada perasaan baru yang muncul untuknya.

Tidak. Aku tidak boleh begini. Nanti aku malah terjebak dalam lingkaran pikiran ini, pikir Haruhiro, menepuk pipinya sendiri agar sadar.

“Aku ingin kita mulai menetapkan beberapa tujuan,” kata Setora dengan nada datar.

Tujuan. Ya. Setora biasanya memang benar dalam hal-hal seperti ini. Haruhiro ingin sekali mengatakan kalau dia selalu benar, tapi Setora pasti akan menolaknya. Setiap orang pasti membuat kesalahan, jadi mustahil bagiku untuk selalu benar. Begitulah mungkin yang akan ia katakan.

“Itsukushima. Tuan Haruhiro,” panggil menteri kiri yang berjanggut merah itu. Ia melangkah mendekati kelompok mereka, memberi isyarat agar Haruhiro dan Itsukushima berbicara dengannya. “Aku ingin meminta bantuan kalian, tapi tolong jaga kerahasiaan apa yang akan kukatakan ini.”

Haruhiro dan Itsukushima saling bertatap, lalu mengangguk bersama.

Axbeld menurunkan suaranya, seolah berbicara dari balik janggut merahnya. “Selain Gerbang Great Ironfist dan Gerbang Walter, kerajaan kita memiliki satu pintu masuk lagi—Gerbang Duregge. Atau lebih tepatnya, pernah memilikinya. Penemu besar Duregge membuat sebuah jalur rahasia yang menghubungkan kamar tidur raja menuju sebelah timur Pegunungan Kurogane, melalui serangkaian elevator dan jalan setapak bergerak. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui rahasia ini…”

Menteri Kiri menjelaskan bahwa sebelum maupun sesudah Duregge, tak pernah ada orang yang sebanding dengannya. Sang penemu besar itu memang memiliki murid, tetapi tak satu pun mampu menyamai reputasi gurunya.

Gerbang Duregge berfungsi tanpa cela selama lima puluh tahun setelah sang penemunya wafat. Namun, setelah itu ia mulai sering rusak, hingga akhirnya benar-benar tak dapat diperbaiki lagi. Meski begitu, mereka sempat berhasil membuat perangkat itu tetap bisa dioperasikan secara manual, sehingga masih berfungsi sebagai jalur pelarian darurat bagi sang raja—setidaknya sampai satu dekade yang lalu.

“Tapi sekarang, sekadar menyeberang saja sudah sangat sulit. Nyaris tak ada lagi kegunaan praktisnya.”

Istana Besi terbagi menjadi dua bagian: tingkat bawah, tempat raja besi bersemayam, dan tingkat atas, yang terhubung dengan kota. Bila lift yang menghubungkan keduanya dihancurkan, hanya terowongan sempit yang tersisa di antara mereka. Jika terowongan itu ikut dijebol, maka tingkat bawah dapat sepenuhnya tertutup. Bahkan sekalipun musuh berhasil menembus tingkat bawah, mereka masih bisa mengunci diri di ruang audiensi dan bertahan di sana.

Bahkan dalam skenario terburuk sekalipun, mereka tetap dapat melindungi raja besi. Namun, bila benar-benar harus mengurung diri di ruang audiensi, itu tak jauh berbeda dengan dikubur hidup-hidup. Saluran ventilasi tersembunyi dengan baik, persediaan makanan dan air mengalir tersedia, sehingga mereka dapat bertahan cukup lama. Namun tanpa bantuan dari luar, pada akhirnya kelaparan akan menghabisi mereka, atau musuh akan menghancurkan cukup banyak saluran ventilasi hingga membuat mereka mati lemas.

“Dengan kata lain…” kata Itsukushima, “jika sampai pada titik itu, alih-alih membiarkan beliau berlindung di tingkat bawah Istana Besi, Anda lebih memilih agar Yang Mulia Ratu Besi melarikan diri dengan cara apa pun. Benar begitu, Menteri?”

“Tepat sekali.” Tatapan Axbeld tampak kaca, terpaku. Tidak, dia tidak mabuk, dan juga tidak sedang marah. Mungkin itu hanya menunjukkan betapa teguh pendiriannya. “Yang Mulia sendiri belum menyadarinya, namun aku akan melakukan segalanya untuk meyakinkan beliau. Tidak ada artinya jika beliau dan para pengiringnya bertahan hidup sendirian di perut Istana Besi. Jika sampai tertangkap musuh atau terbunuh, kami para dwarf akan bertarung sampai satu pun dari kami tak tersisa. Aku yakin banyak dwarf yang tak menginginkan apa pun selain mati bertarung. Namun, sebagai seorang tetua, aku tak bisa membiarkan bangsa dwarf berakhir di sini. Untuk mencegah hal itu, kelangsungan hidup Yang Mulia adalah hal yang paling utama. Selama beliau masih ada, tak peduli seberapa besar pukulan yang menimpa bangsa kami, kami akan mampu bangkit kembali.”

Semangat Axbeld begitu menyala, nyaris membakar siapa pun yang mendengarnya. Dwarf itu digerakkan oleh rasa kewajiban yang amat kuat. Alasan dan motifnya tidak sulit dipahami.

Namun demikian, bagi seorang manusia seperti Haruhiro, berhadapan dengan gairah sebesar itu tidak membuatnya terdorong untuk mengambil risiko demi membantu dwarf tersebut—malah membuatnya agak canggung. Meski begitu, dia juga tidak begitu kejam sampai tega menepis tangan seseorang yang tengah berpegang pada harapan terakhirnya.

Haruhiro hanyalah seorang pria biasa.

“Apa yang kamu ingin kami lakukan?” tanyanya.

“Aku ingin meminta kalian untuk melindungi Yang Mulia,” jawab Axbeld tanpa ragu. “Tergantung situasinya, bila memang tidak ada cara lain, aku ingin Yang Mulia dan para pemimpin elf melarikan diri. Jika itu satu-satunya pilihan yang tersisa, aku akan tetap di sini dan mengutus Rowen bersama kalian.”

“Bukankah seharusnya kebalikannya?” kata Itsukushima dengan nada blak-blakan. “Mungkin bukan wewenangku untuk mengatakan ini, tapi orang tangguh sepertinya bisa digantikan. Sedangkan dwarf sepertimu? Kau itu satu-satunya.”

“Aku senang mendengarnya,” ucap Axbeld sambil tersenyum di balik jenggot tebalnya. “Namun, meski kalian manusia mungkin tak bisa membedakannya, jarak usia antara aku dan Rowen cukup jauh hingga dia bisa dianggap sebagai putraku. Bagiku, tak peduli berapa banyak waktu berlalu, dia tetap bocah ingusan. Karena ukuran tubuhnya yang tidak biasa, dia sering dikabarkan sebagai anak terkutuk, atau bahkan anak dari seorang orc. Dia sering menangis karenanya. Sejak kecil, setiap kali dia mengamuk, tak ada yang bisa menghentikannya. Sekarang pun dia masih cepat marah dan suka memerintah orang, tapi para prajuritnya menghormatinya. Dia perlu diberi kesempatan untuk tumbuh dewasa. Ini hanya di antara kita, tapi aku berharap suatu hari dia akan menikahi Yang Mulia. Tentu saja, keputusan itu ada di tangan beliau…”

“Oke, sudah cukup. Kami paham, Pak Tua,” kata Ranta, menepuk pundak Axbeld. “Kami bukan pria sejati kalau menolak saat kau memintanya seperti ini. Serahkan rajamu pada kami.” Dengan senyum lebar, ia memberi jempol ke arah Axbeld.

“Kau punya terima kasihku,” ucap menteri kiri itu sambil menundukkan kepala ke Ranta.

Kuzaku menggerutu, “Kenapa Ranta-kun yang memutuskan?”

“Bodoh amat kau! Begitulah emang seharusnya! Daripada Haruhiro berlama-lama dengan jawaban ragu-ragunya, lebih baik aku langsung bilang, kita akan melakukannya. Jadinya jelas, kan?”

“Dia ada benarnya,” Setora mengangguk seketika, mengejutkan Haruhiro. Baiklah, ya, dia setuju juga. Dia sudah sadar kalau dirinya memang kadang suka ragu-ragu.

“Eh, jangan abaikan aku begitu saja…” Neal menggerutu, tapi tak ada yang peduli.

Kelompok itu pun dengan cepat membahas rincian bersama menteri kiri.

Rowen, kapten pengawal kerajaan, sudah meninggalkan Istana Besi untuk memimpin pasukan dalam pertempuran di kota. Sang raja besi, para pengawalnya dari tingkat bawah Istana Besi, menteri kiri, dan kelompok Haruhiro akan pindah ke tingkat atas. Jika pertempuran berjalan baik, itu bagus. Namun, jika keadaan buruk, mereka akan segera mengawal sang raja besi ke kediaman Keluarga Bratsod. Tetua Harumerial dan elf-elf terkemuka lainnya akan bergabung jika memungkinkan. Kemudian, saat waktunya tiba, mereka akan memanggil Rowen kembali dan menyusun tim pelarian yang akan melarikan diri dari Kerajaan Ironblood melalui Gerbang Walter.

Seperti yang telah dinyatakan menteri kiri, ia akan tetap berada di Kerajaan Ironblood dan bertempur sampai akhir. Tidak ada yang bisa mematahkan tekadnya. Lagipula, ia adalah dwarf sekeras paku. Axbeld, dengan janggut merahnya, memiliki dua putra, tiga putri, dan enam cucu. Bahkan jika sang raja besi meninggalkan Pegunungan Kurogane, para dwarf dari Keluarga Bratsod akan tetap setia melayani.

Tampaknya Axbeld, yang selalu cerdik, telah merencanakan apa yang akan terjadi setelah pelarian semacam itu sejak awal.

Sebelum para dwarf menancapkan akar di Pegunungan Kurogane, mereka pernah memiliki kota tambang di gunung-gunung lain di berbagai tempat. Semua kota tambang itu kini telah diserang, dihancurkan, atau ditinggalkan. Namun, beberapa kota tambang, meski jumlahnya sedikit, masih cukup utuh sehingga bisa dihuni kembali dengan sedikit usaha.

Axbeld memusatkan perhatiannya pada sebuah bekas kota tambang sekitar seratus mil ke timur, di Gunung Spear. Ia juga menemukan kota tambang lain, dua ratus kilometer lebih jauh ke utara, di Pegunungan Kuaron. Ia telah menginvestasikan uang Keluarga Bratsod di kota tambang Gunung Spear, mengirim anggota keluarganya untuk mempersiapkannya agar dapat dihuni oleh kelompok yang berjumlah beberapa puluh hingga mungkin seratus orang dalam jangka panjang.

Pemandu mereka adalah seorang dwarf tua, Utefan, yang tahun ini merayakan ulang tahunnya yang ke-135. Ia adalah keturunan langsung Keluarga Bratsod—paman Axbeld, tepatnya—namun diasingkan saat muda karena sifatnya yang boros dan bebas. Ia memanfaatkan itu sebagai kesempatan untuk menjelajahi dunia, dan dikenal hingga Benua Merah, jika cerita-cerita yang ia ceritakan dipercaya.

Kelompok itu menaiki elevator menuju tingkat atas Istana Besi bersama Itsukushima, Neal, dan Gottheld. Istana itu dipenuhi aktivitas. Gerbang Raja Besi Agung tampak sangat sibuk, telah diubah menjadi markas garis depan.

Sebuah barikade telah dibangun di depan gerbang yang terbuka, dan para dwarf berjanggut hitam dari pengawal kerajaan bersiaga dengan senjata. Lebih banyak penembak juga berada di benteng di atas gerbang.

Arus keluar-masuk para dwarf berjanggut hitam maupun merah terus berlangsung, berkelompok lima hingga sepuluh orang, dan mereka menyebar ke jalan utama melalui Gerbang Raja Besi Agung.

Udara di Kerajaan Ironblood memang tidak pernah bersih, tetapi kini terasa lebih berasap. Apakah karena bubuk mesiu? Ada aroma logam yang khas, seperti debu mesiu. Apakah itu asap senjata? Tidak ada yang menembak di dekat Gerbang Raja Besi Agung, tetapi suara tembakan terdengar hampir tanpa henti. Gaungnya menyebar di seluruh Kerajaan Ironblood yang tanpa langit, membuat telinga mereka nyeri.

Kelompok itu mendekati barikade. Merry melancarkan mantra pendukung dengan Haruhiro, Ranta, Kuzaku, Yume, Setora, dan Itsukushima sebagai target. Mantra cahaya sang pendeta yang memperkuat atau melindungi orang dibangun berdasarkan enam titik simbol Lumiaris, heksagram, sehingga hanya bisa menargetkan enam orang.

“Bagaimana dengan aku?” Neal tampak tidak puas.

“Maaf,” Merry segera meminta maaf. Neal mengangkat bahu dan tak berkata apa-apa lagi.

Ranta bertanya kepada salah satu dwarf berjanggut hitam yang berjaga di barikade, “Kondisinya bagaimana?!”

“Bagaimana aku tahu?!” teriak dwarf berjanggut hitam itu, sambil menudingkan senjatanya ke arah Ranta, yang panik.

“Whoa, bro! Itu berbahaya! Kalau senjatanya nggak sengaja nembak gimana?!”

“Ya jelas bakalan ada manusia mati! Cuma itu saja!”

“Wah, humor dwarf parah banget!”

“Tapi apa dia benar bercanda?” Kuzaku berbisik pelan. Dwarf itu sepertinya mendengarnya, karena ia tersenyum. Mungkin ia memang bercanda, entah bagaimana caranya.

Enam dwarf berjanggut merah berlari melewati barikade, dan sekitar dua puluh lainnya berada di dekat Gerbang Raja Besi Agung, bersiap menuju luar.

“Itu Kapten Rowen!” teriak salah satu dwarf di benteng.

“Rowen!”

“Rowen!”

“Rowen!”

“Rowen!”

Semua dwarf berjanggut hitam meneriakkan namanya. Dwarf berpakaian hitam yang memimpin regu saat mereka berlari kembali ke jalan utama menuju gerbang jelas lebih besar dari yang lain. Tak ada yang bisa salah mengenalinya selain Kapten Rowen. Ia membawa sesuatu di masing-masing bahunya. Apapun itu, tampaknya bukan senjata.

“Dukung kapten!” teriak dwarf berjanggut hitam yang tadi bercanda dengan Ranta. Para dwarf berjanggut hitam di barikade menyiapkan senjata mereka. Jika ada musuh yang mengejar regu Rowen, mereka siap menembakkan tembakan penahan.

Sulit melihat di tengah asap tebal, tapi musuh sepertinya tak mengejar mereka. Rowen berputar melewati sisi barikade.

“Di mana musuh?!” tanya Haruhiro, dan Rowen menatapnya dengan pandangan mematikan. Armor dan helmnya serba hitam, jadi Haruhiro baru menyadarinya sekarang, tapi dwarf itu penuh darah. Ia membawa seorang dwarf berjanggut hitam di masing-masing bahunya.

“Mereka butuh penyembuhan!” seru Merry, hendak berlari, tapi Rowen menggelengkan kepala. Ia menurunkan dua dwarf itu, meletakkan mereka di tanah.

“Tidak perlu. Mereka sudah mati.”

Bukan hanya Rowen. Dwarf berjanggut hitam lain yang kembali bersamanya juga membawa jenazah rekan-rekan mereka. Bukan hanya penjaga kerajaan, tetapi juga dwarf berjanggut merah. Semua telah ditembak musuh. Haruhiro menyaksikan mereka meletakkan delapan mayat di depannya.

“Seluruh kota kacau. Kita tidak bisa menghubungi Gerbang Great Ironfist,” kata Rowen sambil menghembuskan napas panjang dengan kuat. Matanya merah. “Prioritas pertama kita adalah mengamankan jalur komunikasi dengan Gerbang Great Ironfist. Apakah musuh hanya punya satu titik masuk, atau beberapa? Seberapa besar pasukan yang telah memasuki kota? Masih banyak yang harus dilakukan! Kalau kalian ingin selamat, sebaiknya bantu kami!”

“Tak perlu bilang begitu juga…”

Sejujurnya, pikiran Haruhiro sudah penuh memikirkan bagaimana membawa sang raja besi keluar melalui Gerbang Walter. Kerajaan Ironblood jelas tak akan mampu bertahan. Kapten penjaga kerajaan telah bergegas mengambil komando, dan kini ia kembali setelah banyak tentaranya tewas. Lebih baik menutup kerugian sejak awal. Atau tepatnya, Haruhiro sudah menyerah pada kota itu.

Di saat yang sama, ia bisa memahami perasaan Rowen. Kota tambang ini adalah rumah dwarf—tanah leluhur mereka. Tak mudah bagi mereka menerima kenyataan bahwa mereka mungkin tidak bisa mempertahankannya dan harus melepaskannya begitu saja.

“Kau cuma perlu tahu apa yang terjadi di Gerbang Great Ironfist, kan?”

Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Haruhiro, Ranta bergegas menahannya.

“Whoa, Haruhiro, kau tidak boleh—”

“Aku akan pergi ke sana sendirian. Lebih mudah begitu. Kita butuh seseorang untuk memastikan apakah Gerbang Great Ironfist sudah ditembus atau belum.”

“Kau bicara masuk akal,” kata Neal, mengangguk bijak. “Oke. Haruhiro dan aku akan mengambil jalur terpisah untuk memeriksa Gerbang Great Ironfist. Kita ingin memastikan semuanya. Aku titipkan ini padamu, demi keamanan.”

Neal mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Setora. Itu adalah surat dari Jin Mogis. Dia berencana kabur, pikir Haruhiro. Itulah cara Neal menjalani hidupnya. Haruhiro tak bisa menyalahkannya, dan memang bukan urusannya.

“Kalau kau tidak kembali, kami tidak akan menunggu,” kata Setora pada Neal, nada suaranya dingin.

Neal menyeringai dan mengangkat bahu. “Nggak berharap kalian menunggu juga.”

“Orang ini…” Kuzaku menghela napas.

“Haru-kun!” Yume menampilkan tinju terkatup, seolah berkata, Lakukan yang terbaik. Merry menatap matanya dan mengangguk.

“Pastikan kalian kembali hidup-hidup,” kata Rowen, meraih bahu Haruhiro dan Neal. Mungkin dia pikir hanya menempelkan tangannya dengan ringan, tapi rasanya cukup sakit. Tangan dan jarinya luar biasa tebal dan kuat.

“Kami akan kembali segera,” kata Haruhiro, melepaskan genggaman Rowen dan berbalik pergi. Ia berlari mengitari sisi barikade, kemudian menuruni jalan utama. Neal masih mengikutinya.

Semakin jauh mereka dari Gerbang Raja Besi Agung, asap semakin tebal, dan suara tembakan semakin nyaring. Ia bisa mendengar teriakan para dwarf. Haruhiro melompat melewati mayat seorang dwarf. Bukan salah satu pengawal kerajaan atau Red Beard. Itu seorang pria, hanya mengenakan celana dari pinggang ke bawah. Mungkin ia sedang bekerja di pandai besi saat serangan datang, lalu mengambil senjata untuk mempertahankan kota, kemudian tertembak? Atau mungkin ia mencoba melarikan diri, sampai sejauh ini sebelum akhirnya roboh karena lukanya.

Ada banyak lagi yang serupa berserakan di sekitar, bukan hanya dwarf berjenggot. Ada juga tubuh wanita dwarf, yang tubuhnya kokoh seperti gadis manusia muda yang tangguh. Dari sekilas, rasanya bukan setengah-setengah, tapi mungkin sepertiga dari korban adalah perempuan.

Mereka akan segera sampai di persimpangan besar empat arah pertama. Neal masih belum berpisah dari Haruhiro.

Terdengar tembakan hebat di jalan sebelah kanan, dan asap peluru menerpa dari arah itu seperti hembusan angin mendadak. Tercampur dengan teriakan dan ratapan kesakitan.

“Musuh sudah menembus sejauh ini?!” kata Neal, tapi bukan pada Haruhiro. Mungkin ia tak sengaja mengucapkannya.

Haruhiro menengok ke jalan kecil. Ia menenangkan kesadarannya. Stealth.

Tembakan di jalan sebelah kanan segera berhenti.

Mereka ada di sana. Musuh. Kulitnya cokelat kekuningan, punggungnya membungkuk, dan tubuh bagian atas mereka terlalu berotot.

Hethrang.

Mereka membawa senjata api. Sepuluh orang? Dua puluh? Tidak, lebih banyak. Beberapa membawa tombak halberd, dan baju zirah mereka bervariasi. Ada yang mengenakan rantai besi, ada yang baju perunggu. Haruhiro melihat beberapa hethrang setengah telanjang, hanya memakai helm. Mereka berkumpul di tengah persimpangan, tampak mencoba membentuk formasi.

Satu hethrang menonjol. Pakaiannya serupa dengan Jumbo atau Godo Agaja. Ia memutar senjatanya dan berbicara dengan suara dalam dan serak.

Itu Wabo, pikir Haruhiro. Ia pasti pemimpin hethrang itu. Semua hethrang meneriakkan namanya.

“Wabo!”

“Wabo!”

“Wabo!”

“Wabo!”

Kerajaan Ironblood menggunakan hethrang sebagai tenaga budak. Mereka pasti membenci dwarf dan sang raja besi dengan sangat. Satuan hethrang yang melarikan diri itu maju di jalan utama, tampak siap menyerang Istana Besi.

Neal mencoba menyelinap di antara dua bangunan yang menghadap jalan utama. Haruhiro mendekatinya dan meraih lengan bajunya.

“Apa-apaan ini? Lepaskan.” Neal menggerakkan bibirnya, menatap tajam ke arah Haruhiro.

Haruhiro menoleh ke kelompok pelarian hethrang itu, lalu kembali menatap Istana Besi. “Kembali dan beri tahu yang lain tentang mereka. Aku akan memeriksa Gerbang Great Ironfist.”

“Kenapa aku harus melakukannya?”

“Lakukan saja.”

Haruhiro menarik lengan baju Neal dengan kuat. Si pengintai itu ternyata cukup patuh. Akhirnya, Neal menoleh kembali ke arah Istana Besi, meski dengan enggan.

Barisan hethrang yang melarikan diri itu telah membengkak menjadi sekitar seratus. Sepertinya tidak ada lagi yang datang. Wabo menembakkan senjatanya ke atas.

“Kami! Bukan hethrang! Dwarf tanah liat!”

Hethrang-hethrang itu berteriak serentak, “Kami! Dwarf tanah liat!”

Bagi Haruhiro, terdengar seolah mereka mengatakan bahwa mereka bukan hethrang, melainkan dwarf tanah liat.

“Majuuuuu!”

Kelompok pelarian hethrang itu bergerak maju atas perintah Wabo. Mereka semua pada dasarnya berlari. Momentum mereka luar biasa.

Mungkin mereka tidak bisa menembus Gerbang Raja Besi Agung. Namun, kedua belah pihak sama-sama membawa senjata api. Pertarungan ini pasti akan sangat sengit, bukan?

Haruhiro merasa tidak tenang. Ia khawatir akan teman-temannya. Tapi saat ini, bahkan jika ia kembali, tidak banyak yang bisa ia lakukan.

Haruhiro berbelok ke kanan di persimpangan. Tembakan senjata terus bergemuruh dari suatu tempat di kota. Sesekali Haruhiro melihat dwarf laki-laki dan perempuan berlarian bingung, membawa kapak atau pedang. Banyak dari mereka yang sudah tertembak. Musuh menyingkirkan para dwarf itu dari jarak jauh. Ia melihat beberapa roboh, tertembak di dada, punggung, atau kepala, sementara beberapa tembakan meleset. Bahkan ketika mereka sesaat selamat, jika mereka berdiri mencari musuh yang menembak mereka, tembakan lain akan datang.

Beberapa dwarf melarikan diri ke dalam bangunan. Begitu mereka masuk, pasukan Gumow berjaket hijau, orc, atau undead segera mengejar mereka. Pengawal kerajaan dan para dwarf berjanggut merah tampaknya kesulitan melacak musuh. Jika musuh menembak, mereka membalas. Tapi saat itu, musuh sudah menyebar.

Haruhiro melihat seorang dwarf berjanggut hitam roboh dihujani panah dan bolt. Musuh memiliki pemanah biasa dan yang memiliki busur silang. Tampaknya pertempuran jarak dekat juga terjadi. Seorang orc, kepalanya terbelah separuh, seluruh tubuhnya parah terluka, merayap perlahan, siap untuk menghembuskan napas terakhirnya.

Di depan terowongan besar menuju Gerbang Great Ironfist, terdapat barikade juga. Mayat-mayat dwarf dan orc berserakan di sekitarnya, tetapi tidak ada tanda-tanda pertempuran aktif di sana.

Haruhiro tetap menggunakan Stealth saat merayap menuju barikade.

Seseorang mengintip dari atas.

Seorang elf. Perempuan? Haruhiro sempat berpikir elf itu berkulit cerah. Tapi dia salah. Kulitnya gelap—cokelat muda atau keemasan.

“Huh?” Haruhiro terkejut. Ia ketahuan. Entah bagaimana, elf itu menyadarinya. Haruhiro berpikir Stealth-nya bekerja sempurna, jadi tak pernah terpikir ada yang bisa menemukannya. Elf itu menatap matanya langsung.

“Seorang manusia?!” teriak elf itu, langsung menyiapkan panah. Tentu saja Haruhiro ketakutan setengah mati, tapi ia tetap tenang. Selama ia bisa melihat pemanah itu, mungkin ia bisa menghindari panahnya. Namun ada yang aneh. Pemanah elf itu cepat menyiapkan busurnya, tapi tidak tampak bersemangat menembak. Sepertinya ia tidak benar-benar ingin melepaskan panah. Begitulah kesan yang didapat Haruhiro.

Ternyata ia benar.

“Jangan bergerak,” suara terdengar tepat di sampingnya, dari arah kiri.

Haruhiro menahan napas, hanya menggerakkan matanya untuk melihat ke arah suara itu.

Sejak kapan dia ada di sini? Aku sama sekali tidak merasakannya.

Seorang elf lain mengarahkan pisaunya ke Haruhiro. Ujung bilahnya menyentuh tenggorokannya—hanya sedikit, tapi cukup untuk melukai kulit.

Kulit elf ini lebih gelap daripada pemanah wanita tadi. Abu-abu. Mungkinkah dia salah satu elf abu-abu? Haruhiro bingung. Elf abu-abu, berbeda dari elf Hutan Bayangan yang berpihak pada manusia dan dwarf, dulunya berada di pihak No-Life King. Mereka musuh.

“Siapa kau?” tanya elf abu-abu itu.

Haruhiro tak bisa menahan diri untuk berpikir, Aku juga bisa menanyakan hal yang sama padamu.

“Kalau aku bilang aku dari Korps Prajurit Relawan… tidak, dari Pasukan Perbatasan… apa kau mengerti?”

Jika mau, elf itu bisa saja memotong tenggorokannya dalam sekejap. Haruhiro tak bisa terlalu berani. Tapi yah, dia bukan orang yang berani sejak awal.

“Uh, aku rasa kita sepertinya berada di pihak yang sama. Mungkin. Kapten Rowen mengirimku untuk memeriksa keadaan di Gerbang Great Ironfist. Dan, uh, namaku Haruhiro.”

“Tiebach,” teriak pemanah wanita itu ke arah elf abu-abu, sepertinya itu namanya. “Kau tak perlu membunuhnya. Kedengarannya dia di pihak kita, atau kurang lebih begitu.”

“Ya, Nona Rumeia,” kata Tiebach sambil menarik pisaunya. Mata kuningnya tak pernah lepas dari Haruhiro, meski begitu.

“Kemarilah, Haruhiro,” elf wanita yang dipanggil Tiebach sebagai Rumeia itu memberi isyarat kepada Haruhiro.

Haruhiro menuruti arahannya, berjalan mengitari sisi lain barikade. Tiebach ikut melakukan hal yang sama. Ia tetap berada dekat di belakang Haruhiro, jelas menunjukkan bahwa ia siap membunuh thief itu kapan saja. Mungkin ia bahkan tak berusaha menyembunyikan fakta itu. Tiebach membawa busur dan kantong anak panah di punggungnya, juga pedang tipis di pinggang, selain pisau di tangannya. Ia tampak sangat terampil. Haruhiro kemungkinan tidak akan memiliki kesempatan jika harus bertarung langsung.

Di sisi lain barikade, hanya ada sepuluh dwarf berjanggut merah dan sekitar lima belas pemanah elf.

“Aku Rumeia dari Arularolon,” kata Rumeia dengan senyum yang mengejutkan ramah, sambil mengulurkan tangan kanannya. Telinganya panjang dan runcing, dan ia salah satu dari beberapa pemanah elf di sini. Ia seorang elf, tapi tidak terlalu terlihat seperti elf pada umumnya. Selain itu, pakaian yang dikenakannya—hanya selembar kain tipis menutupi dadanya dan satu lagi melingkari pinggulnya—terlihat tidak sopan.

“Nona Rumeia adalah salah satu dari Lima Busur—kepala Keluarga Arularolon,” bisik Tiebach.

Haruhiro menjabat tangan Rumeia. Ia menggenggam tangan Haruhiro dengan mantap sebelum melepaskannya dan menepuk lengannya dengan telapak tangan secara bersahabat.

“Aku sebenarnya semacam kapten unit pemanah elf ini. Tapi, Tiebach yang mengurusi segalanya. Tiebach luar biasa, kau tahu? Ia lebih hebat menarik busur daripada aku, dan benar-benar jago menembak. Tidak banyak pemanah—bahkan elf sekalipun—yang bisa mengenai lebah yang sedang terbang.”

“Yah, aku bukan elf murni,” kata Tiebach sambil menghela napas. Rumeia mengedipkan matanya.

“Mungkin itu justru hal yang terbaik, kau tahu? Tapi bagiku, tidak masalah juga. Seorang pemanah itu yang penting mahir dengan busurnya, dan selain itu, semua orang sudah menerima dirimu apa adanya, Tie. Atau mungkin aku harus bilang, kau yang membuat mereka menerimamu.”

“Bisakah kau berhenti, Nona Rumeia?”

“Tak usah malu-malu begitu.”

“Bukan itu masalahnya…” Tiebach menatap Haruhiro dengan mata yang menoleh ke atas.

“Oh, aku mengerti.” Rumeia tersenyum. “Kita tak punya banyak waktu untuk bercakap-cakap santai. Apa yang kau bilang tadi? Rowen mengirimmu untuk memeriksa? Keadaannya cukup parah di sana, ya?”

“Yah, iya, tapi…”

Kurangnya keseriusanmu dan sikap santaimu itu juga cukup parah. Haruhiro ingin mengatakan itu, tapi menahan diri. Jika dia tidak fokus pada tugas, dia bakal terbawa ritmenya.

“Bagaimana situasinya di Gerbang Great Ironfist?”

“Benteng Halberd sudah jatuh.”

Itu terdengar seperti perkembangan serius, tapi Rumeia terdengar acuh tak acuh.

“Kita masih punya dua benteng tersisa. Benteng Kapak selalu yang paling tangguh, dan itu tak akan mudah direbut. Tapi untuk Benteng Pedang Hebat, aku tidak tahu. Kalau mereka merebutnya, aku bilang kita bakal dalam masalah besar. Kami elf juga menempatkan pendekar pedang dan shaman di Benteng Pedang Hebat, jadi untuk benteng itu, aku tak bisa hanya bilang itu bukan masalah kita, tahu?”

Kau ngomongnya seperti ini bukan masalahmu. Haruhiro menahan dorongan untuk melempar komentar lucu soal itu.

“Sepertinya musuh memang melancarkan serangan total, seperti yang kita duga,” komentar Tiebach.

“Oh, iya, memang begitu. Ya, betul sekali,” kata Rumeia, menatap ke arah terowongan besar. Matanya sedikit menyipit. Telinga panjang Tiebach juga bergerak-gerak.

“Tie,” kata Rumeia, memanggil Tiebach.

“Iya,” jawabnya singkat.

Rumeia menepuk lengan atas Haruhiro dengan ringan, lalu berlari. Itu pasti artinya, Ikuti aku. Haruhiro ragu, tapi melihat situasi, sepertinya itu satu-satunya pilihan.

Haruhiro pun mengejar Rumeia. Suara langkah mereka bergema keras di terowongan besar, yang dilengkapi api penjaga di beberapa titik. Bukan hanya langkah mereka, terdengar juga teriakan para dwarf, bahkan suara wanita yang tinggi.

Tak lama kemudian, krisis yang sedang terjadi menjadi jelas. Gerbang Great Ironfist berada di ujung terowongan, dan kerumunan besar dwarf berkumpul tepat di depannya. Sebagian berjongkok ketakutan, sebagian lain terjatuh. Bau keringat dan darah memenuhi udara.

“Apa yang terjadi?!” teriak Rumeia.

“Benteng Kapak telah jatuh!” sahut seorang dwarf dengan marah. “Kita harus merebutnya kembali segera, atau kita akan dalam masalah!”

“Astaga.” Rumeia berhenti. Menghela napas, ia menepuk kepalanya berulang kali dengan tangan kiri. “Yang itu, ya? Tebakanku meleset. Mereka yang pertama jatuh, ya? Yah, itu buruk.”

“Perkuat pertahanan di depan gerbang!”

Apakah itu komandan garis depan? Seseorang sedang membentak memberi perintah. Teriakan terdengar di mana-mana. Semangat para dwarf belum patah. Melihat sikap mereka, Haruhiro memperkirakan mereka mungkin bisa bertempur dalam pertempuran yang kalah tanpa kehilangan semangat. Namun, meski hati mereka tetap teguh, mereka tetap bisa mati jika tertembak. Semangat yang tak terkalahkan hanya bisa menutupi sebagian saja.

“Tembak!” bentak komandan garis depan. Deretan tembakan terdengar. Pasti datang dari dwarf yang menahan Gerbang Great Ironfist. Artinya, musuh memang menyerang. Apakah itu pembacaan situasi yang tepat?

“Tembak! Tembak!”

Tembakan terdengar satu demi satu, hampir tanpa henti. Suaranya memekakkan telinga.

Rumeia menarik Haruhiro mendekat untuk berbisik di telinganya. “Kurasa kita tidak akan bisa menahan mereka! Cepat beri tahu Rowen-san!”

“Bagaimana denganmu, Rumeia-san?!”

“Uh, aku nggak tahu, tapi aku tidak bisa meninggalkan mereka, jadi aku harus melakukan yang bisa kulakukan!”

Para elf itu mengungsi ke Kerajaan Ironblood setelah kehilangan Arnotu di Hutan Bayangan. Mereka diterima oleh para dwarf, yang sebenarnya tidak terlalu akur dengan mereka. Mereka pasti merasa berhutang budi, dan tidak bisa lari begitu saja hanya karena arus pertempuran sedang berbalik.

“Ada pesan untuk Tiebach-san?!”

“Aku rasa dia akan datang sendiri ke sini, jadi tidak ada!”

“Siap! Jaga diri!”

“Kamu juga! Sampai kita bertemu lagi!” Rumeia tersenyum dan melambaikan tangan.

Haruhiro mulai berlari menelusuri terowongan besar, kembali ke arah mereka datang. Sepanjang jalan, ia melewati Tiebach dan para pemanah elf. Mereka bahkan tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Haruhiro memutuskan untuk tidak mengganggu mereka dengan memanggil.

Saat keluar dari terowongan besar, para penembak dwarf melihat Haruhiro dan berteriak, “Bagaimana keadaannya?!”

Apa yang seharusnya ia katakan? Mengabaikannya? Atau berbohong? Atau mencoba meringankan situasinya? Haruhiro tak bisa melakukan salah satu dari itu.

“Benteng Kapak telah jatuh! Musuh menyerang Gerbang Great Ironfist!”

Seorang dwarf menghantamkan senjatanya ke barikade sambil menjerit putus asa. Haruhiro agak ingin meminta maaf padanya. Namun jelas, itu tidak akan membantu sama sekali.

Haruhiro mengelilingi barikade dan menuju kota. Ia hampir berlari penuh, tapi itu tidak akan membantunya. Jangan terburu-buru, katanya pada dirinya sendiri. Dengan menenggelamkan kesadarannya, ia kembali masuk ke mode Stealth.

Ia bertemu musuh begitu membelok di tikungan pertama. Namun karena Haruhiro dalam mode Stealth, merayap di tepi jalan, mereka tampaknya tak menyadarinya. Ada undead, orc, dan elf abu-abu juga. Seorang undead yang berdiri di depan, seluruh tubuhnya dibungkus kulit atau kain hitam, tidak hanya memiliki sepasang lengan. Ia memiliki dua pasang. Ia adalah undead berlengan empat.

Haruhiro teringat ada seorang “double (empat lengan)” yang sangat terampil di Forgan. Siapa namanya lagi? Oh, iya.

Arnold.

Undead memang sulit dibedakan satu sama lain, dan sudah cukup lama sejak pertemuan mereka terakhir. Haruhiro tidak mengingatnya dengan jelas, tapi double arm yang memegang empat katana itu terasa familiar baginya. Apakah itu benar-benar Arnold?

Double arm yang tampak seperti Arnold memimpin satu unit sekitar tiga puluh musuh. Di bagian belakang formasi mereka ada satu orc yang lebih besar dari yang lain. Tubuhnya berotot. Kimono biru tua dengan bunga perak. Dan katana besar yang dibawanya di atas bahu dengan mudah. Tidak ada keraguan lagi. Itu Godo Agaja.

Arnold dan Godo Agaja. Jumbo, Takasagi, dan pengendali goblin Onsa sepertinya tidak ada di sini, tapi ini pasti unit elit dari Forgan. Ada satu hethrang bersama mereka juga, tepat di belakang Arnold. Apakah dia pemandu mereka?

Ke mana unit Arnold akan pergi? Haruhiro tidak perlu berpikir lama untuk itu.

Gerbang Great Ironfist.

Mereka akan menyerang gerbang dari belakang. Itu yang menjadi tujuan Arnold dan timnya.

Ada barikade di depan terowongan besar menuju Gerbang Great Ironfist, dengan para penembak dwarf menahannya. Tapi lebih dari selusin orang Arnold membawa senjata api, jadi siapa tahu apakah mereka bisa mempertahankannya.

Rasanya agak tidak pasti. Haruhiro merasa mereka tidak bisa.

Jika Arnold dan unitnya berhasil melewati barikade, mempertahankan Gerbang Great Ironfist akan menjadi sangat sulit. Dalam skenario terburuk, pasukan dwarf mungkin bisa ambruk total dalam sekejap. Jika pasukan musuh berhasil menyerbu sekaligus, kekacauan yang terjadi akan membuat evakuasi raja besi menjadi mustahil.

Tentu saja, itu hanyalah kemungkinan terburuk. Mungkin para penembak dwarf masih bisa bertahan. Jika mereka bisa memanggil bala bantuan, Rumeia dan para pemanah elf mungkin datang membantu. Mungkin saat itu mereka bisa bertahan setidaknya untuk sementara waktu.

Unit Arnold satu per satu berbelok di tikungan, menuju barikade. Musuh belum menyadari keberadaan Haruhiro. Dia kemungkinan bisa menunggu mereka lewat begitu saja. Apakah itu aman? Dia perlu kembali ke Istana Besi dan memberitahu Kapten Rowen serta rekan-rekannya tentang situasi ini. Seseorang yang lain, bukan Haruhiro, akan memutuskan langkah selanjutnya berdasarkan informasi itu.

Tapi bagaimana jika Haruhiro harus mengambil keputusan sekarang juga?

Unit Arnold kemungkinan besar akan menghancurkan para penembak dwarf. Itu berarti Gerbang Great Ironfist akan diserang dari dalam dan luar. Betapapun gagahnya perlawanan mereka, para dwarf dan elf Rumeia akan jatuh satu per satu. Tidak ada dwarf yang akan menyerah. Elf pun kemungkinan besar sama. Itu adalah keputusan mereka sendiri. Haruhiro tidak bisa berbuat apa-apa. Itu bukan masalahnya.

Godo Agaja hendak berbelok di tikungan. Haruhiro bersembunyi di pinggir jalan, menahan napas sambil memperhatikan orc raksasa itu berlalu.

“Sialan…” gumamnya.

Godo Agaja berhenti.

Haruhiro menyesal, tapi sudah terlambat. Jujur saja, apa pun yang dia lakukan, pasti akan menimbulkan penyesalan. Entah dia membiarkan Arnold dan pasukannya pergi, atau tidak.

Godo Agaja berbalik dan langsung melihat Haruhiro.

“Agajjahh!”

Itu bahasa Orc. Apa yang dia katakan? Haruhiro sama sekali tidak tahu, tapi Godo Agaja langsung menyerangnya dengan katana raksasanya. Orc itu begitu lincah untuk ukuran tubuhnya. Saatnya bagi thief ini membuang semua anggapan tentang keterbatasan tubuh besar itu.

Haruhiro mulai berlari. Katana raksasa Godo Agaja menancap ke tanah di tempat dia berdiri beberapa saat lalu. Suaranya gila. Seolah lantai batu yang diukir itu meledak. Dia harus kabur.

Godo Agaja mengejarnya. Apakah unit Arnold akan menembaknya? Seharusnya tidak, karena ada orc raksasa di jalurnya. Itu saja yang bisa disimpulkan Haruhiro saat ini; berpikir lebih jauh tidak mungkin.

Dia cepat.

Lebih cepat dari yang kubayangkan.

Tidak, sangat cepat.

Kaki Godo Agaja luar biasa kuat.

Haruhiro berbelok di setiap tikungan yang bisa dia temui. Setiap kali dia belok kanan atau kiri, dia sedikit menjauh. Tapi di jalur lurus, masalah besar muncul. Dia tidak bisa menjauh di situ. Jarak antara mereka justru semakin dekat.

Godo Agaja tidak membuang napas untuk bicara. Cara dia mengayunkan katana raksasanya secukupnya saja, tidak lebih dari yang diperlukan, juga membuat khawatir. Orc itu tahu persis jangkauannya. Jika dia mengayunkan katana dan meleset, itu akan menunda kesempatan berikutnya untuk menyerang. Makanya dia mengawasi dengan cermat setiap celah. Dia bermaksud mengakhiri ini dengan ayunan berikutnya, dijamin.

Mungkin Haruhiro terlalu meremehkan situasi ini.

Biarkan orc mengejarnya sebentar, lalu kabur di saat yang tepat. Itu saja yang dipikirkan Haruhiro. Padahal dia seharusnya berpikir lebih keras. Dia harus mengakui itu pada dirinya sendiri. Jika dia benar-benar mengenal Kerajaan Ironblood sebaik telapak tangannya, mungkin dia bisa menemukan sesuatu yang masih bisa dia lakukan. Tapi saat ini dia hanya punya gambaran kasar tentang wilayah itu. Musuh mungkin sama tak kenalnya, tapi Godo Agaja bukan satu-satunya yang mengejarnya.

“Cowahrd, nawyousrunyaway!”

Haruhiro mendengar suara di sebelah kirinya. Bukan suara Godo Agaja. Kemungkinan besar itu undead.

Sebagian besar bengkel dwarf yang menghadap jalan dan juga berfungsi sebagai rumah adalah deretan rumah susun. Seorang undead melesat di atas atap-atapnya. Double arm dengan empat katana—Arnold. Dia berlari sejajar dengan Haruhiro.

Haruhiro berharap bisa membiarkan matanya terpejam dan pingsan saja. Tapi tentu saja, dia tidak bisa. Dia tahu itu.

Tapi ini benar-benar putus asa.

Aku bakal mati, kan?

Apa yang harus kulakukan dalam situasi ini?

Sayangnya, meski dia mengerahkan seluruh akal, tidak ada ide yang muncul. Dia sudah tidak punya ketenangan untuk berpikir. Namun mungkin, atau mungkin juga tidak, dia memiliki bayangan samar bahwa yang harus dia lakukan adalah sesuatu yang paling tak terduga agar bisa mengejutkan pengejarnya.

Haruhiro tiba-tiba berhenti, lalu melakukan salto mundur. Jelas mengarah ke Godo Agaja.

Dia tidak akan terluka oleh tebasan. Mungkin. Tapi dia bisa saja terseret atau ditendang. Mendapat tendangan dari orc itu bukan sesuatu yang bisa dia anggap remeh. Itu berbahaya. Tapi di sini tidak ada pilihan yang benar-benar aman. Apa pun yang dilakukan, selalu ada risiko. Ini perjudian. Dia bukan tipe yang suka berjudi, tapi sekarang pilihannya nyaris tidak ada.

“Duowah?!” seru Godo Agaja, terkejut. Haruhiro tidak ditendang. Orc itu, mungkin secara naluriah, melompat melewati Haruhiro saat dia tiba-tiba salto dan berguling ke arahnya.

Haruhiro tidak bisa mengatakan ini “sesuai rencana.”

Dia hanya beruntung. Itu saja, sebenarnya.

Haruhiro kembali berdiri, belok kanan, dan berlari. Di arah itu ada orc, undead, elf abu-abu, dan hethrang dari unit Arnold, semuanya tampak sama terkejutnya seperti Godo Agaja. Mereka tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, dan bingung dibuatnya. Meski begitu, menyerbu akan bunuh diri. Itu tidak akan dia lakukan. Tentu saja, dia tidak akan melakukan hal sebodoh itu.

Dwarf lebih pendek dari manusia, jadi langit-langit dan atap bangunan mereka umumnya rendah, mungkin bahkan lebih rendah lagi di kota tambang seperti ini. Atap rumah bengkel di sebelah kiri Haruhiro terutama sangat rendah, mungkin hanya sekitar dua meter. Haruhiro melompat dan memegang tepi salah satunya, cepat-cepat menarik tubuhnya ke atas. Ada pipa-pipa yang menonjol dari atap di beberapa tempat, berfungsi semacam cerobong. Mereka berliku-liku ke sana-sini, merayap di atas atap, tersambung ke cerobong lain, atau bercabang ke arah berbeda sebelum akhirnya menuju langit-langit kota tambang.

Haruhiro menenun di antara jaringan pipa yang rumit itu saat berlari. Dia melompat dari atap ke atap, berlari secepat mungkin.

Lima atau enam pengejar—campuran orc, undead, dan elf abu-abu—memanjat ke atas atap mengejarnya. Godo Agaja mencoba melakukan hal yang sama, tapi dengan tinggi badannya, kepalanya akan menggores langit-langit terowongan tambang, jadi dia menyerah. Tapi itu tidak menghentikannya untuk mengejar Haruhiro di jalanan. Kepala Godo Agaja lebih tinggi dari atap, jadi Haruhiro bisa dengan mudah melihat posisinya. Orc itu tidak akan menyerah begitu saja. Tapi Haruhiro merasa sekarang dia bisa menemukan cara untuk menyingkirkan Godo Agaja, sekaligus para pengejar yang sudah naik ke atas atap.

Masalahnya Arnold. Si double arm itu berbahaya.

Arnold berada di belakang Haruhiro, di sebelah kiri. Tapi hanya sedikit di belakang. Mereka hampir sejajar leher. Hanya sekitar tiga meter yang memisahkan mereka. Itu terasa seperti tidak ada jarak sama sekali.

Arnold menyelipkan dua dari empat katana miliknya. Dia masih bertarung dengan dual wielding. Siapa yang tahu kapan dia akan menyerang. Haruhiro berlari dengan sekuat tenaga, tapi Arnold terlihat masih menyimpan tenaga cadangan.

Dia akan menyerang.

Sebentar lagi. Aku yakin.

Sialan, aku terjebak.

Kalau Arnold menyerang lebih dulu, Haruhiro mungkin tak bisa menghindar.

“Ngh!” Haruhiro menggeram saat ia menghunus belati biasa dan belati api, lalu melompat dari atap.

Arnold mengejar tanpa kehilangan ritme. Haruhiro mendarat, dan sepertinya dia memantulkan katana Arnold dengan belati api di tangan kanannya dan belati lain di tangan kiri. Atau setidaknya begitu yang ia kira. Sebenarnya, Haruhiro tidak benar-benar melihat bagaimana Arnold mengayunkan senjatanya, atau dari posisi mana. Dia berlari melewati Arnold, melarikan diri.

“KYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYY,” Arnold mengeluarkan suara aneh, tetap mengejar. Haruhiro ingin masuk ke salah satu bengkel yang menghadap jalan, tapi dia tidak tahu bagaimana desainnya. Jika tidak ada pintu belakang, dia akan seperti tikus terperangkap.

Dia tak bisa tidak menyalahkan dirinya sendiri. Sudah terlalu jelas ini akan terjadi, jadi kenapa dia tidak membiarkan mereka lewat saja? Apakah dia bodoh? Ya, pasti begitu, ia harus menyimpulkan. Tapi bukan hanya bodoh, ia terus saja semakin bodoh.

Haruhiro saat itu hanya berlari-lari, membelok tanpa arah pasti. Dia tidak menuju ke mana pun. Dia hanya melakukan apa pun yang terasa seperti akan berhasil. Saat dia kembali naik ke atap lagi, itu semata-mata karena instingnya mengatakan, “Kalau aku tidak naik ke atap sekarang, aku bakal tersabet.” Pipa-pipa cerobong menjalar di depannya seperti jaring laba-laba, dan tampaknya tidak ada celah untuk dilewati. Bahwa dia berhasil memaksa diri menembus celah itu tanpa tersangkut benar-benar kebetulan semata.

Arnold pasti memutuskan bahwa dia tidak bisa menembus celah itu, sehingga mengambil jalur memutar sebentar. Itu memberi Haruhiro sedikit jarak, tapi ya, itu murni keberuntungan. Apakah tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan sekarang, setelah punya ruang sedikit untuk bergerak? Bukan berarti dia tidak memikirkannya. Tapi itu mustahil. Satu-satunya pilihan hanyalah lari untuk menyelamatkan nyawanya. Tidak ada yang lain.

Maksudku, aku bahkan tidak tahu di mana aku berada.

Setidaknya, dia berusaha menuju ke Istana Besi. Apakah itu ide yang bagus, atau buruk? Mungkin tidak terlalu bagus. Lagipula, dia akan membawa musuh—Arnold, Godo Agaja, dan anak buah mereka—menuju Istana Besi.

Pikiran, Mungkin aku harus membiarkannya saja menebasku, sempat terlintas di kepalanya.

Tidak, kenapa aku harus melakukan itu?

Kalau aku tersabet, aku mati.

Aku tidak mau mati. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa mati. Aku tidak bisa mati tanpa teman-temanku di sekitarku. Aku ingin melihat Merry. Aku tidak ingin membuatnya sedih. Tapi ini bukan hanya tentang Merry. Aku punya begitu banyak alasan kenapa aku tidak boleh mati.

Meski begitu, mengagumkan bahwa dia belum kehabisan napas. Tunggu, apa benar dia belum kehabisan nafas? Serius? Apakah Haruhiro benar-benar masih bernapas? Mungkin dia sudah berhenti bernafas, sebenarnya.

Dia tidak bisa melihat dengan jelas karena keringatnya. Kalau dia berkeringat, apakah itu berarti dia masih hidup?

Pasti. Ya, tentu saja. Tubuhnya masih bergerak. Bagaimana tubuh Haruhiro bisa bergerak? Itu sudah menjadi misteri saat ini.

Haruhiro telah mencapai batas kemampuannya berlari sambil menghindari pipa cerobong. Dia berguling dan turun dari atap seolah-olah jatuh. Saat mendarat di lantai batu ukir, lutut dan pergelangan kakinya sepertinya gagal meredam benturan, sehingga tubuhnya terjatuh ke depan. Haruhiro tidak bisa menahan dirinya. Dia mencoba, tapi gagal. Saat dia jatuh, dia menyadari Arnold semakin mendekat. Dia tidak benar-benar melihat double arm itu, melainkan lebih merasakannya. Namun, dia tahu, itu ada di tepi persepsinya.

Aku bakal tersabet, pikirnya.

Haruhiro ingin memanfaatkan momentum untuk berguling dan bangkit kembali agar bisa lari. Tapi, apakah dia akan bisa berlari? Dia tidak yakin.

“Hahhhhhhhh!”

Seharusnya dia tersabet.

Namun, meski begitu, Haruhiro mendengar suara Ranta.

Ranta?

Kenapa Ranta?

“Huh?”

Haruhiro ingin segera bangkit, tapi dia masih terbaring di tempat dia jatuh. Dia ingin menarik napas dulu. Atau mungkin dia perlu menghembuskan napas? Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara bernapas. Mungkin sistem pernapasannya rusak.

Tentu saja, itu sakit.

Sakit itu sudah dirasakan sepanjang waktu, tapi entah kenapa, sekarang rasa sakitnya terasa sedikit berkurang.

Dia mengantuk. Tidak, ini sesuatu yang lain. Mungkin dia kehilangan kesadaran? Sebenarnya, dia tak keberatan pingsan. Hampir saja dia merasa ingin melakukannya.

“Rueahhh! Keyahhh! Surahhh! Fiyahhh! Tsohhh!”

Tapi Ranta terlalu ribut.

Apa maksud teriakan itu?

Apakah dia sedang bertarung?

Ya.

Ranta sedang bertukar serangan dengan Arnold.

Kenapa Ranta melakukan itu?

Haruhiro tidak tahu.

Apakah dia berhalusinasi?

Meski ingin memeriksa, dia tidak bisa. Pandangannya buram. Apa yang terjadi?

“Ahhh!”

Haruhiro mengusap pipinya dengan kedua tangan.

Aku tidak bisa bernapas? Mana mungkin begitu. Tarik napas, lalu hembuskan. Hembuskan, lalu tarik napas. Lalu hembuskan lagi. Ulangi terus. Aku bisa. Hanya saja sakit, itu saja.

Saat menahan rasa sakit, bernapas mulai terasa lebih mudah. Dia menarik kembali kesadarannya yang hampir menghilang. Haruhiro memaksa dirinya duduk.

Ranta.

Ranta melompat-lompat di sekitar Arnold. Dia menggunakan gaya khas para dread knight, atau setidaknya gaya Ranta sendiri, bergerak seperti makhluk hutan kecil, atau mungkin belalang, berusaha menyerang dari belakang Arnold. Arnold menggunakan empat katananya untuk menahan Ranta dan mencegahnya. Namun, Ranta akan menghindar di detik terakhir atau menepis katananya menggunakan pedangnya sendiri, dengan gigih membidik punggung double arm itu. Itu sebabnya tampak seperti Ranta melompat-lompat di dekat Arnold.

Pasangan lengan ekstra dari double arm bukan sekadar hiasan. Satu-satunya tempat yang tidak bisa dijangkau katananya Arnold adalah area sempit di belakangnya. Ranta tahu itu, dan hanya menargetkan titik lemah itu.

Arnold pasti menyadari kelemahannya juga. Saat ini, fokusnya sepenuhnya untuk menangkis serangan Ranta.

“Ranta…”

Bunuh dia.

Yang bisa dilakukan Haruhiro sekarang hanyalah menyemangati Ranta. Tubuhnya masih belum bergerak dengan baik, jadi jika dia sembrono mencoba terlibat, dia malah bisa menghalangi Ranta.

Ranta fokus. Gerakannya menuju punggung Arnold semakin cepat dan tajam. Lebih tepatnya, setiap kali Ranta menyerbu, langkahnya lebih panjang dan membawanya semakin dalam.

Arnold, di sisi lain, hampir tidak bergerak. Tidak, dia memang tidak bisa bergerak. Ranta perlahan menutup jaring di sekelilingnya. Yang bisa dilakukan Arnold hanyalah berputar dan menebas. Ranta sudah menekan double arm itu ke sudut. Begitulah yang terlihat.

Tapi mereka baru mulai.

Haruhiro sudah melihat Arnold bertarung. Double arm itu justru semakin kuat ketika terpojok.

“Hati-hati, Ranta!”

Ranta tak membutuhkan Haruhiro untuk mengingatkannya. Tapi thief itu tak bisa menahan diri.

Ranta menyerbu seperti kilatan cahaya. Arnold bergerak, pasti dengan sengaja, untuk berdiri tepat di depannya. Dia menangkis katana dread knight itu dengan dua pedangnya, lalu membalas dengan dua lainnya. Itu adalah gerakan yang hanya bisa dilakukan oleh double arm.

“Personal Skill!” Katana Ranta melengkung ke atas dari bawah kanan. “Flying Lightning God!”

Tidak, itu bukan tebasan.

Sesaat, katana Ranta seolah menghilang. Hal berikutnya yang disadari Haruhiro, dread knight itu memegang senjatanya dengan dua tangan. Untuk tusukan?

Itu posisi untuk menusuk.

“Hk!”

Arnold mencoba mundur. Bilah Ranta menusuk ke arahnya, digerakkan oleh kedua tangan dread knight itu. Dan bukan hanya sekali. Arnold berputar, menangkis dengan katananya, dan melakukan apa pun yang bisa untuk menghindari hujan serangan Ranta. Double arm itu berhasil menghindari pukulan langsung, tapi kulit hitam, atau kain, atau apa pun yang membungkus Arnold, mulai robek karena potongan-potongan teriris. Luka hitam tergurat di kulit abu-abu di bawahnya.

Ranta terus menekannya mundur.

Tolong, terus tekan. Haruhiro akan berbohong jika mengatakan dia tidak menginginkannya. Dia berharap begitu, tapi dia tak berpikir Ranta sudah menang. Musuh mereka tidak lemah seperti itu.

“Whuh?!”

Katana Ranta terpental. Seolah Arnold tiba-tiba berubah menjadi pusaran angin saat melompat sambil berputar.

Apakah Ranta melihatnya datang? Dia langsung melakukan salto mundur secara diagonal ke belakang. Lalu diikuti dengan serangkaian langkah cepat, menjauhi Arnold.

“AAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH,” teriak Arnold, menunduk ke belakang. Empat lengannya dan empat katananya terulur, sejauh mungkin—terlalu jauh bahkan. Itu membuat Haruhiro merinding.

“Kau akhirnya serius juga, ya?!”

Ranta tertawa. Luar biasa dia masih bisa tertawa, meski mungkin hanya untuk menipu musuh bahwa dia tenang. Pria itu memiliki nyali luar biasa. Haruhiro tidak ingin mencontohnya. Dia tak akan bisa menirunya, sekalipun mencoba.

“O Darkness, O Lord of Vice, Demon Call!”

Bahkan Ranta, seberani apa pun dia, pasti merasa terintimidasi oleh jurus Arnold itu. Sesuatu seperti awan berwarna ungu-kehitaman muncul dan membentuk pusaran. Maelstrom itu dengan cepat mengeras menjadi iblis Zodie.

Berkat semua vice yang telah dikumpulkan Ranta, penampilan iblis itu kini berbeda dari dulu, meski tetap ada kemiripan. Zodie mengenakan baju zirah yang tampak terbuat dari tulang ungu gelap yang digabungkan, dan memegang sabit berpegangan panjang dengan kedua tangan. Haruhiro terkejut. Zodiac-kun dulunya terlihat agak lucu, tapi sekarang iblis itu benar-benar berbeda. Jika Dewa Kegelapan Skullhell memimpin pasukannya ke medan perang, para prajuritnya kemungkinan akan terlihat seperti Zodie.

“Tebas dia, Zodie!” Ranta mengirim iblisnya menyerang musuh.

“Eh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh heh!” Zodie, si iblis, melesat ke arah Arnold, sabit diangkat ke belakang, siap untuk menebas.

Sekarang dua melawan satu. Saat situasi sulit, para dread knight selalu punya trik seperti ini.

“KOOOOOOOOOOOHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH.”

Arnold melepaskan seluruh kekuatannya sebagai double arm, seolah berkata, “Terus apa?” Dia seperti anak panah yang dilepaskan dari busur yang ditarik sekuat tenaga. Empat katananya melibas Zodie dari empat arah berbeda. Tapi bagi Haruhiro, itu tidak tampak seperti itu. Tidak, baginya seolah-olah keempat bilah itu menjadi satu gelombang dahsyat yang menelan iblis itu.

Zodie terkena keempat bilah sekaligus. Namun iblis itu tidak langsung lenyap. Zodie seperti boneka latihan kayu. Mereka tak bergerak, dan seberapa pun banyak pedang yang ditusukkan, memotongnya menjadi dua tidaklah mudah.

Arnold kemungkinan memiliki kekuatan untuk melakukannya. Zodie akan segera dicincang. Lagi pula, itu cuma iblis. Ia tidak memiliki kemampuan untuk melawan seseorang yang berpengalaman seperti Arnold.

“Eh… Heh heh…”

“NNNNNNG?!”

Namun Arnold tidak melakukan itu kepada Zodie. Sebaliknya, dia membeku, pedangnya tetap di tempat.

“Personal Skill!”

Itu Ranta.

Apa yang dilakukannya sejak mengirim iblisnya? Haruhiro terlalu sibuk dengan Zodie hingga tidak menyadarinya. Namun, itulah sebenarnya yang menjadi tujuan Ranta.

Ia menggunakan Demon Call, menjadikan pertarungan ini dua lawan satu. Langkah berikutnya adalah mengeksekusi serangkaian serangan kombinasi dengan Zodie untuk mengalahkan musuh yang kuat.

Tidak.

Itu bukan rencana Ranta sama sekali.

“Licik Nan Jahat! Tebasan All-in-One!”

Ranta menghantam punggung Zodie. Tapi jelas itu belum semuanya. Katana miliknya—katana itu menembus Zodie. Ia menancapkannya. Katana Ranta menembus iblis itu hingga ke Arnold di sisi lain. Ranta memegang gagangnya setinggi pinggang, menusuk ke atas secara diagonal. Ujung bilahnya berada tepat di bawah rahang Arnold.

“Tapi itu sebenarnya bukan tebasan, kan?” Haruhiro tak bisa menahan diri untuk berkomentar.

“Berisik!”

Dengan itu, Ranta menarik katana-nya, dan bilah itu lenyap secepat kilat, bergerak lebih cepat dari mata Haruhiro bisa mengikuti.

Zodie hancur berkeping-keping.

Ranta melesat melewati sisi Arnold, jatuh berlutut.

Ia telah memenggal undead itu—atau memang begitu?

Sepertinya iya.

Kepala Arnold yang terputus jatuh, berputar pelan saat terjatuh.

Tubuhnya yang kini tanpa kepala tidak jatuh. Bahkan, terlihat seperti bisa berbalik dan terus menyerang.

Pemandangan itu aneh, menjijikkan, dan mengerikan. Berbagai perasaan dan pikiran membuat Haruhiro sedikit bingung. Tampaknya Ranta telah menyelamatkannya. Tapi Arnold bukan sekadar musuh biasa bagi Ranta, bukan? Lagipula, dia undead. Apakah itu cukup untuk membunuhnya?

Haruhiro melihat kepala Arnold yang terputus membuka dan menutup mulutnya. Itu tak bersuara, tapi bergerak.

“Itulah yang terjadi dengan undead…” kata Ranta saat ia berdiri.

Ia berjalan menuju tubuh Arnold yang masih berdiri. Dengan tangan kirinya, yang tidak memegang katana, Ranta mendorong tubuh itu. Bukan dengan keras, hanya dorongan ringan. Tubuh Arnold akhirnya roboh.

“Selama kepalanya masih utuh, mereka bisa pulih.”

Ranta menaruh sisi datar bilah katana-nya di bahu kanan dan memiringkan kepalanya.

Kepala Arnold yang terputus menatap Ranta.

“Ranta…”

Haruhiro mencoba memanggilnya. Tapi apa yang seharusnya ia katakan? Sejujurnya, ia sama sekali tidak tahu. Atau lebih tepatnya, ia harus menyerahkan semuanya pada Ranta. Apapun yang dipilih oleh dread knight, Haruhiro tak punya hak untuk menilai benar atau salah.

“Ini perang. Aku yakin kau mengerti, kan, Arnold?”

Ranta menyipitkan mata kirinya, sementara sudut bibir kanannya terangkat membentuk ekspresi yang bahkan Haruhiro pun tak akan bisa tirukan.

“Tebasan Friendly Fire. Jurus pamungkas yang diam-diam sudah lama kukembangkan untuk melawan si pak tua Takasagi. Kau kupakai sebagai bahan latihan. Sepertinya kali ini aku yang menang.”

Kepala Arnold yang terpenggal membuka mulutnya. Rahangnya bergerak. Apa dia sedang berusaha tersenyum?

“Selamat tinggal.”

Ranta membalik genggaman katana menjadi terbalik, lalu menusukkannya tepat ke dahi Arnold.

Seperti apa rasanya mati bagi seorang undead? Haruhiro tak tahu. Tapi bila memang ada kehidupan dalam diri undead, maka kehidupan itu baru saja dipadamkan. Ranta sendiri yang membuat Arnold kembali menjadi benda tak bernyawa.

Ranta melepaskan topeng yang sejak tadi tergantung di belakang kepalanya, lalu meletakkannya di atas wajah Arnold.

“Kau… baik-baik saja dengan ini?”

Pertanyaan yang terlalu samar, pikir Haruhiro sesaat setelah mengucapkannya.

“Iya.” Ranta mengangguk. Lalu, seakan baru teringat sesuatu, ia buru-buru menoleh ke belakang. Haruhiro ikut menatap ke arah yang sama. Dari sana terdengar gemuruh keras, hampir menenggelamkan suara tembakan yang bergema di seluruh kota—dan gemuruh itu sedang mengarah tepat pada mereka.

“Godo Agaja?!” Ranta mencengkeram lengan Haruhiro. “Cepat kabur! Aku mungkin badass, tapi orang itu terlalu berbahaya! Aku bahkan nggak bisa membayangkan bagaimana cara membunuhnya!”

“Tunggu, memangnya apa yang kau lakukan di sini?!” tanya Haruhiro sambil berlari. Ranta melesat begitu cepat, nyaris meninggalkan Haruhiro tertinggal jauh di belakang.

“Yang lain sudah meninggalkan Istana Besi! Kau terlalu lamban dan tidak kembali! Jadi aku mencarimu! Kau sebaiknya berterima kasih!”

“Di mana semua orang?!”

“Mereka sudah lebih dulu pergi ke mansion Bratsod!”

“Jadi mereka baik-baik saja?!”

“Kau sendiri yang nggak baik-baik saja, bego!”

“Iya, iya, tapi…!”

Haruhiro menahan diri untuk tidak berdebat dan mulai menggerakkan kakinya sekuat tenaga. Staminanya belum pulih, jadi ia tahu sebentar lagi pasti akan kehabisan napas. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti Ranta. Ini akan jadi neraka. Ia bahkan enggan membayangkan apa yang menantinya. Tapi mau tak mau, ia harus.

Merry. Dia pasti cemas padaku. Aku harus cepat menenangkannya.

Bagaimanapun, ia akan bisa bertemu lagi dengan rekan-rekannya. Saat ini, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam motivasi itu dan terus berlari.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x