Siapa yang meninggalkan ini di sini? Atau, kalau bukan siapa, lalu apa?
Sudah berapa lama gunung itu berdiri sendirian di tengah hamparan dataran tak berujung yang disebut Dataran Quickwind?
Orang-orang punya sebutan untuknya.
Gunung Nestapa.
Ada banyak teori tentang asal-usulnya. Teori yang paling banyak diterima adalah ini: Bentuk kastil tua yang sebagian besar hancur di puncaknya masih bisa terlihat dari kejauhan pada siang hari. Walau tampak seperti kastil biasa, kenyataannya tidaklah demikian. Dahulu kala, itu adalah sebuah kuil bagi para dewa lama. Pada zaman kuno, seorang raja dengan keberanian luar biasa membangun kastil di atas reruntuhan kuil itu. Ketika sang raja meninggal, kastil tersebut tetap berdiri sebagai penanda makamnya. Raja yang tak gentar itu dihormati karena perbuatan agungnya, dan sebagai tanda duka mereka, rakyat menyanyikan lagu-lagu ratapan menghadap ke makamnya.
Bahkan saat ribuan bintang bersinar di atas, kegelapan malam di Dataran Quickwind terasa begitu menyesakkan. Jika seseorang menengadah ke langit untuk melawan beban kelam yang menindih, cahaya terang di puncak Gunung Nestapa mustahil terlewatkan.
Para pengintai yang dikirim oleh Korps Prajurit Relawan melaporkan bahwa saat ini tengah berlangsung pembangunan untuk memulihkan kastil tua itu. Terutama, dinding-dinding menjulang tak jauh dari lereng curam dekat puncak telah mengalami banyak perbaikan.
Kecuali jalan sempit yang mengarah ke gerbang, seluruh area sekitar kastil dipagari dengan barikade bergaya abatis. Jika mereka maju lewat jalan sempit itu, pasukan pemanah, arbalet, dan pelempar batu akan menghujani mereka tanpa ampun. Kalau mereka memilih jalur lain, barikade harus disingkirkan lebih dulu. Itu jelas memakan waktu, dan selama waktu itulah mereka tetap akan jadi sasaran serangan jarak jauh yang sama seperti di jalan utama.
Para Prajurit Relawan memang bisa menyuruh para mage mereka memimpin serangan frontal untuk menembus rintangan dengan cepat, tapi mereka harus siap menanggung korban yang tidak sedikit.
Itulah sebabnya mereka memilih jalur “pintu belakang.”
Tentu saja, bukan berarti kastil di puncak gunung ini benar-benar punya gerbang depan dan gerbang belakang.
Informasi tentang “pintu belakang” itu berasal dari Shinohara. Klan-nya, Orion, pernah menyelidiki Gunung Nestapa, yang sudah lama menjadi sarang undead. Mereka bahkan sempat beberapa kali menyusup ke dalam kastil itu.
Meski begitu, fokus Orion sebenarnya bukan pada kastil tuanya.
Kastil itu sendiri dibangun di atas reruntuhan sebuah kuil kuno. Konon, raja yang membangunnya juga dimakamkan di sana. Namun, meskipun sudah mencari ke segala penjuru, Shinohara dan orang-orangnya tak pernah menemukan tempat yang pantas dijadikan makam seorang raja.
Apakah makamnya berada di tempat lain? Orion terus mencari, dan pada akhirnya, mereka menemukannya.
Ternyata letaknya ada di bawah tanah.
Di bawah kastil, terdapat sebuah pemakaman rahasia.
Lebih tepatnya, sebuah ruang yang mereka duga sebagai pemakaman. Tapi kalau terlalu diperdebatkan, jadi rumit, jadi untuk sementara kita akan menyebutnya saja sebagai Pemakaman.
Orion menghabiskan bertahun-tahun untuk menyelidiki dan akhirnya berhasil menemukan dua jalan masuk menuju Pemakaman. Satu terletak di dalam kastil tua, dan satu lagi di kaki Gunung Nestapa, masing-masing tersembunyi di balik pintu batu.
Orion berhasil masuk ke Pemakaman melalui keduanya. Itu, tanpa diragukan lagi, memang sebuah pemakaman. Shinohara dan Kimura hampir yakin bahwa raja telah dimakamkan di bawah kastil. Mereka mengklaim telah menemukan cukup banyak bukti untuk meyakinkan diri mereka akan hal itu.
Shinohara menyebut ruangan tempat raja berbaring sebagai ruang pemakaman (A/N: ruang pemakaman beda sama Pemakaman). Luar biasanya, Orion bahkan berhasil melangkah masuk ke sana. Namun, setiap kali mereka memasuki ruang pemakaman itu, selalu ada orang yang tewas. Karena itulah, Shinohara terpaksa memerintahkan mundur.
Alasan semua ini relevan dengan operasi perebutan Gunung Nestapa adalah karena Pemakaman bisa dimasuki baik dari kaki gunung maupun dari dalam kastil.
Kita akan menyebut pintu masuk di kaki gunung sebagai pintu kaki gunung, dan pintu masuk di kastil sebagai pintu kastil. Keduanya sama-sama mengarah ke ruang pemakaman. Kebetulan, pintu kastil jauh lebih dekat dengan ruang tersebut.
Singkatnya, orang bisa masuk dari pintu kaki gunung, melewati Pemakaman, menembus ruang pemakaman, lalu keluar di dalam kastil.
Serangan terhadap Gunung Nestapa adalah operasi gabungan antara Pasukan Perbatasan dan Korps Prajurit Relawan.
Jenderal Jin Mogis dari Pasukan Perbatasan mengirim seratus prajurit terbaiknya di bawah komando Jenderal Thomas Margo. Selain itu, Haruhiro, Kuzaku, Ranta, Yume, Merry, Setora, serta dua puluh tiga anggota Orion yang dipimpin oleh Shinohara juga turut ambil bagian.
Korps Prajurit Relawan mengerahkan Tim Renji, para Tokkis, Wild Angels, Iron Knuckle, dan Berserkers—dengan jumlah keseluruhan tujuh puluh orang.
Dari pasukan itu, sebuah unit terpisah berjumlah dua puluh enam orang dibentuk: sepuluh dari Orion, termasuk Shinohara dan Kimura; kelompok Haruhiro; Tim Renji; serta para Tokkis. Mereka ditugaskan untuk menembus masuk ke dalam kastil dengan melewati kawasan Pemakaman.
Sementara itu, pasukan utama bertugas berpura-pura melakukan serangan frontal ke Gunung Nestapa. Tujuannya adalah memaksa musuh tetap dalam posisi siaga tempur, sambil menunggu sinyal dari pasukan terpisah.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan operasi ini sepenuhnya bergantung pada pasukan terpisah. Faktanya, pasukan utama sama sekali tidak akan menyerang hingga pasukan terpisah berhasil masuk ke dalam kastil dan mengirimkan sinyal. Jika mereka gagal mencapai hasil, operasi ini bahkan tidak akan dimulai.
“Grah…!” Kuzaku mengayunkan katana besarnya dengan hantaman kuat, menebas salah satu pion humanoid.
“Na ha ha…! Aku akan tunjukkan bagaimana caranya menghadapi pion-pion ini!” Dread Knight bertopeng itu tertawa menyeramkan, lalu melompat ke arah pion seperti seekor burung buas. Katana-nya berkilat jahat ketika ia berteriak, “Piooonnn!” dan menebas lehernya hingga putus. “Begitulah caranya!”
“Lebay…” gumam Kuzaku sambil terus mengayunkan katana besarnya seenteng batang kayu. Setiap ayunan lincah dari pedang itu menebas satu pion lagi.
“Hoo-hah!” Yume, entah bagaimana, malah menendang mereka. Ia mendorong salah satu pion yang mendekatinya dengan tendangan depan, lalu langsung menyambungnya dengan tendangan memutar yang membuatnya terpental. Seharusnya selesai di situ, tapi Yume melompat ke udara sambil berteriak, “Cha-cha-cha-chai!” dan melepaskan tiga tendangan beruntun, begitu cepat sampai sulit diikuti mata, menghempaskan pion itu lagi. Lalu, seakan belum cukup—“Hah-nyah!”—ia menghantamnya sekali lagi dengan telapak tangannya, membuatnya terlempar lebih jauh.
“Kamu apaan dah, master kung-fu?!” seru dread knight bertopeng, yang sambil menebas pion ke kiri dan ke kanan malah berteriak, “Pion, pion, po-pioon, pion!” seolah itu efek suara.
Kenapa dia kelihatan sebahagia itu? Yah, mungkin karena dia Ranta. Memang begitulah Ranta.
Merry dan Setora berdiri saling membelakangi, menggunakan tongkat dan tombak mereka untuk menahan pion-pion yang mendekat.

Entah kenapa, Haruhiro merasa agak tenang melihat Merry dan Setora yang hanya menjaga satu titik. Bukan berarti itu menenangkannya, terlalu berlebihan untuk disebut begitu. Bagaimanapun, ini tetaplah pertempuran. Ya. Dia jelas tak punya waktu untuk merasa tenang.
Haruhiro bergerak ke belakang salah satu pion yang sedang mendesak Merry, lalu menangkapnya. Dengan tangan kirinya ia mencengkeram kepala makhluk itu, sementara tangan kanannya yang memegang belati dengan cepat mengoyak lehernya.
Kata “pion” rupanya berasal dari istilah untuk “prajurit kaki.” Pion-pion di Pemakaman ini seluruh tubuhnya terbungkus sesuatu yang menyerupai perban putih pucat. Karena itu, Orion sering menyebut mereka sebagai manusia mumi, atau cukup “mumi” saja. Namun, bukannya terbuat dari kain atau kasa, balutan itu terasa lebih seperti tanah liat atau keramik. Jika kepala mereka dipotong atau dihancurkan, tubuh mereka akan hancur berantakan, sama seperti yang baru saja dibunuh Haruhiro. Sepertinya para pion ini memang terbentuk dari tanah dan tulang.
“Terima kasih, Haru!” teriak Merry. Itu sedikit membuat Haruhiro lega, karena belakangan ini Merry terlalu banyak diam. Kalau saja Setora juga bisa sedikit ceria, pikirnya. Meski begitu, ia tak ingin keduanya memaksakan diri untuk terlihat riang. Ia tahu mereka tetap akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Ia mempercayai mereka. Dan bila ada hal yang tidak mampu mereka tanggung, maka Haruhiro-lah yang harus menutupinya. Bagaimanapun, dialah pemimpin mereka.
Bagian Pemakaman ini disebut ruang masuk, sebuah aula besar tepat setelah pintu masuk di kaki bukit. Tentu saja, itu nama yang diberikan Orion. Namun, apakah memang aslinya ruang masuk? Bentuk ruangannya justru lebih menyerupai sebuah teater.
Begitu memasuki aula masuk, para anggota Orion segera menyebarkan lebih dari selusin tongkat yang memancarkan cahaya kuat, membuat ruangan itu cukup terang untuk dilihat dengan jelas. Namun, cahaya itu tidak sampai menembus langit-langit, dan tidak jelas apakah dinding serta lantainya terbuat dari batu kali atau lempengan batu. Bagian tengah ruangan lebih rendah dibandingkan sisi-sisinya, sehingga membentuk lekukan yang sekilas menyerupai panggung. Apa pun itu, Haruhiro dan yang lain mulai bergerak menuju titik yang mirip panggung tersebut.
Para pion itu lemah, tetapi mereka menyerbu satu demi satu tanpa henti. Rasanya sangat melelahkan hanya untuk bisa maju sedikit saja. Tidak terlihat seolah-olah ada risiko korban dari pihak mereka, tetapi andai Haruhiro dan kelompoknya datang sendirian, mereka mungkin sudah dipukul mundur.
“Pelan tapi pasti! Jangan terburu-buru!” seru Shinohara, sambil menghantamkan perisai perak kusamnya ke salah satu pion. Pedangnya pendek namun lebar, dengan ujung bilah yang terpotong serong. Bentuknya memang agak aneh, tapi ketajamannya luar biasa. Bilah itu membelah pion-pion seolah-olah mereka terbuat dari kertas.
Orion memang klan terkenal. Shinohara bukan satu-satunya petarung ulung di sana. Ada seorang pria bernama Matsuyagi—atau entah apa tepatnya—yang bertarung bak orang gila dengan gada di kedua tangannya. Pemandangan itu benar-benar menakjubkan. Selain itu, mereka juga memiliki dua mage, seorang hunter, dan seorang thief. Jelas sekali, komposisi mereka sangat seimbang.
“Mwe heh!”
Meski begitu, hanya dengan keberadaannya, priest berkacamata itu sudah cukup untuk merusak keseimbangan suasana.
“Mwa hah!”
Kimura memang harus selalu aneh. Sekarang, karena Haruhiro sendiri yang membuat Merry bertarung, dia sebenarnya tidak dalam posisi untuk bilang kalau Kimura seharusnya tidak ikut maju. Tapi tetap saja, Kimura tidak perlu seaktif itu di garis depan. Lagi pula, Orion punya cukup banyak petarung lain.
Gaya bertarungnya pun aneh. Ia melindungi diri dengan perisai kecil berbentuk bundar sambil maju dekat dengan pion, lalu mengayunkan gadanya. Namun entah kenapa, ia menolak memakai ayunan menyamping, diagonal, atau dari atas seperti yang Haruhiro harapkan. Kimura selalu mengayun dari bawah. Setiap serangan adalah ayunan ke atas. Dan targetnya selalu sama.
“Kehfwah!”
Selangkangan.
Kimura mengayunkan gadanya ke selangkangan pion.
“Swa hah!”
Saat ia menghantam pion di selangkangan, mereka bukan sekadar hancur berantakan, tapi meledak. Kimura tampak sangat menikmati sensasinya.
“Nufoh! Tovahhh!”
Wow, suara-suara yang dia keluarkan juga aneh banget.
Kedengarannya hampir seperti Kimura mendapat kepuasan seksual dari menghancurkan pion. Priest macam apa yang bertingkah begitu? Tapi ya, karena kehilangan ingatannya sebagai prajurit relawan, bisa jadi bayangan Haruhiro tentang bagaimana seorang priest seharusnya bertingkah memang keliru. Tidak bisa dia pungkiri kemungkinan itu.
“Sekarang, saatnya jurus pamungkas-ku!”
Seorang pria lain yang mengenakan seragam priest yang sama seperti Kimura berlari ke depan dan melakukan salto ke depan.
“Somersault Bomb!”
Dengan momentum itu, ia mengayunkan palu perangnya dengan kedua tangan dan menghantamkan ke arah sebuah pion, sekaligus menghancurkan lantai di bawahnya. Pion dan lantai sama-sama hancur berkeping-keping.
“Ooooorahhh…!”
Ia kemudian berputar, mengangkat senjatanya, lalu mengayunkannya lagi dalam satu gerakan cepat. Terlalu cepat. Menakutkan.
Itu Tada. Tada-san. Orangnya benar-benar gila. Setiap kali Tada-san menghantam pion, terdengar ledakan menggelegar. Sungguh, suara macam apa itu? Ini sudah di luar persoalan pantas atau tidaknya seorang priest bertarung seperti itu. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana?
“Inilah seranganku!”
Di samping Tada, Kikkawa terlihat lebih ringan. Ia melesat ke sana kemari, memenggal kepala pion satu demi satu. Kikkawa memang berisik dan seolah haus perhatian, tapi gerakannya efisien, tanpa gerakan sia-sia.
“Menarilah seperti macan tutul!”
Kalau soal Tokimune… agak susah menilai apakah gerakannya efisien atau tidak. Dia memang lincah, tapi kenapa setiap kali menebas pion ia harus memutar-mutar pedangnya begitu? Terlihat tidak berguna, tapi mungkin ia melakukannya untuk menjaga ritme? Meskipun… apa benar ritme itu perlu?
“Dan menyengat seperti paus!”
Melihat cara Tokimune melompat ke tengah kumpulan pion, menancapkan perisainya ke tanah lalu bertumpu dengan kedua tangan di atasnya untuk melakukan handstand, kemudian berputar sambil menendang pion-pion itu jauh, mungkin memang ada alasan kenapa dia butuh menjaga ritme. Meski begitu, Haruhiro sendiri tidak tahu-menahu. Serius. Ia benar-benar tidak tahu. Tapi, terlepas dari itu, Haruhiro cukup yakin peribahasa yang benar adalah “Menari seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah.”
Seluruh anggota Tokkis bisa dibilang gila, tapi yang paling gila di antara mereka bukan Tokimune, bukan juga Tada.
Bukan. Yang paling gila adalah dia.
Dia seharusnya seorang mage. Tapi yang dia gunakan adalah pedang.
Ya, benar. Pedang.
Dan bukan cuma satu—dia menggunakan dua sekaligus.
Oke, memang sejak awal dia sudah membawanya. Dua bilah pedang tergantung di pinggangnya. Jadi, tidak seharusnya mengejutkan kalau dia benar-benar menggunakannya. Namun tetap saja, ketika Haruhiro melihat cara bertarungnya, rasanya bikin melongo. Itu benar-benar pemandangan yang luar biasa.
Kalau ada orang yang pantas disebut sedang “menari” di sini, maka itu bukan Tokimune, tapi dia.
Keterampilan Mimori dengan pedang adalah… apa ya istilahnya? Memukau. Ayunan pedangnya tidak pernah lambat, tapi juga tidak terburu-buru. Dengan sekali tebasan besar, dia membelah pion menjadi dua. Begitu pedang kanannya selesai berayun, dia tidak menariknya kembali, melainkan langsung melanjutkan dengan ayunan besar pedang kirinya. Seharusnya gerakan seperti itu membuatnya kehilangan keseimbangan, tapi Mimori memiliki pusat tubuh yang begitu kuat. Bahkan ketika tubuhnya miring atau ia berputar dengan tenaga penuh, keseimbangannya tidak pernah goyah.
Mimori tidak pernah berhenti. Tidak pernah melambat. Ia hanya terus bergerak, mengalir dari satu ayunan ke ayunan berikutnya. Dan itu sama sekali tidak terlihat dipaksakan. Seolah ia hanya terus mengayun, dan hasilnya seperti itu. Rasanya seperti dia sudah mencapai suatu titik kesempurnaan. Mungkin itu terdengar berlebihan, tapi sungguh, gaya bertarung Mimori terasa berada di tingkat yang berbeda. Benar-benar menakjubkan.
Namun, meskipun memiliki keterampilan luar biasa dengan pedangnya, Mimori tetaplah seorang mage—dan ia bertarung dengan cara yang hanya bisa dilakukan seorang mage.
Sambil menebas pion-pion yang menghadang, ujung pedangnya sesekali membentuk simbol-simbol elemen, sementara ia melantunkan mantra.
“Delm, hel, en, balk, zel, arve!”
Saat Haruhiro melihat Tada menghancurkan pion dengan palunya, ia sempat berhalusinasi mendengar suara ledakan. Tapi itu hanya bayangan semata. Suara memekakkan telinga yang kini mengguncang perutnya—itulah suara ledakan yang sesungguhnya.
Karena tepat lima atau enam meter di depan Mimori, ke arah pedang yang ia tunjukkan, benar-benar terjadi ledakan dahsyat.
Mantra Arve bernama Blast mungkin hanya berhasil meniupkan tiga, empat, paling banyak lima pion sekaligus. Namun, dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar jumlah korban yang terhempas.
“Kalian lihat itu…!”
Anna-san dijaga dengan sangat hati-hati oleh Kikkawa dan Tokimune. Tidak ada satu pun yang bisa melukainya. Sementara itu, Anna-san sendiri… yah, sebenarnya ia tidak melakukan banyak hal. Bukan berarti sama sekali tidak berguna—ia sibuk membusungkan dada.
“Itu baru kekuatan kami! Rasakan itu! Aku taruhan kalian ketakutan sekarang, dasar pecundang tak berguna…!”
Nada suaranya penuh percaya diri. Terlalu percaya diri, bahkan—dan ia jelas senang menunjukkannya.
Tugas seorang priest memang untuk bertindak bila ada sesuatu yang menimpa rekan-rekannya. Dalam artian itu, mungkin Anna-san sudah melakukan yang benar. Tokkis memang punya cara unik mereka sendiri, dan karena sejauh ini belum ada satu pun yang gugur, Haruhiro harus mengakui cara mereka tampaknya berhasil.
Bahkan, ia merasa sikap Anna-san cukup menyegarkan. Sebagai seorang priest, ia harus menunggu sampai benar-benar dibutuhkan. Tapi kenyataan itu tidak membuatnya murung atau minta maaf hanya karena berada di garis belakang. Justru sebaliknya—ia boleh saja berisik, penuh percaya diri, dan bangga dengan dirinya. Itu sama sekali tidak salah.
Tapi yang benar-benar mengejutkan adalah Tim Renji.
Warrior berambut cepak dengan lentera yang tergantung di sabuknya, Ron, bersama si priest mungil, Chibi-chan, sedang melindungi mage berkacamata hitam tebal, Adachi, sementara mereka perlahan menumbangkan para pion. Sementara itu, Renji bertarung habis-habisan, seolah-olah dia bisa menumbangkan semua musuh sendirian—meski kenyataannya itu mustahil. Cara dia terus menjaga jarak dari rekan-rekannya dan dengan santai menebas pion mana pun yang terlalu dekat dengan mereka terlihat begitu mudah, seakan-akan dia hanya sedang bersantai.
Tidak, sebenarnya dia sedang bertarung dengan serius, meraih lebih banyak hasil daripada kebanyakan orang. Tapi, bukankah tampaknya dia melakukannya sambil berjalan dalam tidur? Begitulah sepele dia membuat semua itu terlihat. Mungkin itulah hal paling menakjubkan darinya. Bahkan membuat Haruhiro agak kehilangan keseimbangan.
“Huh…?!”
Tiba-tiba, Haruhiro merasakan sesuatu. Apa itu? Saat ini dia hanya bisa menyebutnya sebagai “sesuatu,” namun tak lama kemudian dia tahu apa itu sebenarnya.
Sesuatu itu melayang masuk. Mengarah ke panggung dari sebelah kiri—atau, lebih tepatnya, dari depan agak kiri, ya?
“Kuzaku!” Setora berteriak memberi peringatan, mendahului Haruhiro.
“Huh?!” Refleks, Kuzaku menebas benda yang datang dengan katana besarnya, mengubah jalurnya. Benda itu lumayan besar. Cukup membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan, berarti bobotnya pasti cukup berat. Apa-apaan itu?
“Ada lagi yang datang!” Haruhiro berteriak.
Apakah itu bola? Tidak, itu adalah ‘peluru’. Peluru sebesar kepalan tangan, ya? Gila, besar sekali.
“Menghindar!” Shinohara berteriak sambil melindungi dirinya dengan perisai.
“Meong!” Yume melengkungkan tubuhnya ke belakang, dan peluru yang ia hindari menghantam serta menghancurkan sebuah pion. “Mereka nembak buta!”
“Maksudmu nembak membabi buta! Gwah!” Ranta melakukan gerakan aneh, meliuk ke kiri dan ke kanan, menghindari dua atau tiga peluru. Tembakan yang meleset darinya menghancurkan pion lain.
“Haunt!” Shinohara berteriak, menunjuk dengan pedangnya ke arah datangnya tembakan. “Prioritaskan habisi mereka lebih dulu…!”
Ia sudah menjelaskan tentang haunt sebelumnya. Tidak seperti pion, haunt hanya berbentuk humanoid dari pinggang ke atas. Mereka tetap diam di tempat, kedua tangan menempel ke tanah, lalu meluncurkan peluru dari wajah mereka. Haunt ibarat menara otomatis yang tak bergerak.
Dengan Kuzaku, Yume, Ranta, Merry, dan Setora ada di sana, kelompok masih bisa berfungsi dengan baik tanpa dirinya. Haruhiro pun berlari menuju arah di mana ia perkirakan haunt berada.
“Dasar bodoh!” Ranta menyusulnya dan meninggalkannya di belakang. “Biar aku yang urus ini!”
Ia benar-benar cepat menyebalkan. Sudah terlambat untuk memanggilnya kembali. Haruhiro pun berhenti. Biar saja Ranta yang menghadapi haunt. Dia bukan satu-satunya yang akan menyerang ke sana, tapi dengan kecepatan seperti itu, sudah pasti dia yang pertama sampai.
Atau mungkin tidak.
“Huh…?!” Ranta berseru kaget.
Haruhiro melihat sosok lain yang berlari mendahului Ranta.
“Renji!” Haruhiro terperangah.
Kapan dia sampai di sana?
Renji rupanya meninggalkan kelompoknya sendiri dan pergi memburu haunt sendirian.
“Murgh…!” Kacamata Kimura berkilat.
Tepat di depan Ranta, Renji tiba-tiba berhenti mendadak.
“Apa…?!”
Itu nyamuk? Tidak, mungkin bukan. Hanya saja mirip kawanan nyamuk. Kawanan besar, turun menyerbu Renji.
“Guheh…! Tak kusangka ada phantom yang menyambut kita di ruang masuk!” Kimura tak bisa menyembunyikan kegirangannya. Atau mungkin memang tidak berusaha? Bisa jadi begitu. Ini Kimura yang dibicarakan.
“Tch…!” Renji mengayunkan pedang besarnya, mencoba menghalau phantom yang menyerupai kawanan itu. Hembusan ayunan pedangnya mampu mencerai-beraikan mereka, tapi rasanya seperti menyibakkan tirai dengan tangan. Phantom itu tersusun dari banyak sekali makhluk kecil mirip serangga, membuatnya sulit untuk ditebas tuntas. Meski bisa dihamburkan, kawanan itu segera kembali lagi.
“Itu tidak akaaan berhasil…!”
Oke, Kimura. Kau boleh saja bersemangat, tapi jangan sampai terdengar sebahagia itu.
“Phantooom itu! Hampiiir kebal! Terhadaaap serangaan fisiiik! Jadi haaarus dipakaaiii! Siiihir! Atau… Whah?!”
“Oof…?!” Ranta terengah. Ia sempat melambat—karena meski bisa menyusul Renji, ia tak tahu harus berbuat apa terhadap phantom itu—tapi kemudian seseorang mendorongnya ke samping. Sosok kecil. Itu…
“Cahaya…!”
Chibi-chan… priest dari Tim Renji. Apa yang dia lakukan?
“Lumiaris…!”
Sambil berguling ke depan dan melafalkan mantra singkat, Chibi-chan maju ke depan Renji, mengangkat kedua telapak tangannya ke arah phantom.
“Bukankah itu mantra terlalu singkaaat?!” Kimura berteriak.
Mantra. Itu barusan mantra? Cahaya. Lumiaris. Biasanya kan, “O Cahaya, semoga perlindungan suci Lumiaris menaungimu,” begitu, bukan?
“Judgment!”
Serius…?
Tanpa berlebihan, Haruhiro merasa matanya akan buta. Kelopak matanya menutup rapat, seolah demi menyelamatkan diri dari bahaya. Tapi meski sudah menutup mata, cahaya putih yang menyilaukan itu masih menembus kelopaknya, membakar retina. Lalu suara itu—menusuk telinga, lebih keras dari apa pun yang pernah ia alami. Padahal jarak Chibi-chan darinya lumayan jauh ketika melontarkan mantranya, tapi Haruhiro tetap merasa seolah ada angin kencang yang menghantam tubuhnya.
“Siiihir cahaaaya pamuuungkaaaas….!” Kimura berteriak penuh semangat.
Lu ganggu banget, sumpah.
Haruhiro membuka matanya. Pandangannya masih buram. Namun, entah itu memang jurus pamungkas atau apalah namanya, mantra Chibi-chan berhasil meniup habis phantom itu.
“Hah…!” Renji mengayunkan pedang besarnya ke arah haunt.
Mungkin memang benar tadi dia hanya santai-santai. Bukan bercanda. Itu satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik Haruhiro.
Sekarang berbeda.
Ia tidak sekadar cepat—tapi kualitas gerakannya juga berubah.
Itu berada di tingkat yang lain.
Apakah Renji sedang melangkah masuk setiap kali ia mengayunkan pedang besarnya? Rasanya seperti sesuatu yang sama sekali berbeda. Pedang besar itu bermata tunggal dengan bilah tebal, sisi belakangnya bergerigi, dan panjangnya luar biasa, sehingga jelas beratnya tak main-main. Seharusnya tak ada manusia yang bisa menggunakannya dengan cara seperti itu.
Rasanya seakan-akan Renji menambatkan rantai pada gagangnya, lalu memutarnya seperti senjata berantai. Bahkan itu pun belum cukup untuk menggambarkannya. Bayangkan menambahkan dua, tiga pedang rantai lagi, semuanya berputar sekaligus—barulah mungkin bisa mendekati gerakan Renji. Atau mungkin tidak? Ya, tidak juga. Apa pun itu, Haruhiro tahu satu hal: ia tak akan bisa memahami cara Renji menggunakan pedang besarnya dalam waktu dekat.
“Sisakan untukku!”
Ranta berteriak sesuatu. Tapi Renji tidak berniat mendengarkannya. Sulit membayangkan ada orang yang bisa menghentikannya sekarang.
“Dia benar-benar luar biasa, ya?”
Secara kebetulan, Haruhiro melihat Shinohara ketika pemimpin Orion itu berbisik demikian. Ia sudah memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengamati Shinohara. Berkat itu, ia bisa menangkap ini.
Wajah Shinohara datar tanpa ekspresi.
Itu bukanlah raut wajah seseorang yang sedang memuji orang lain. Kapan tepatnya seseorang bisa kehilangan semua ekspresi seperti itu? Haruhiro tidak bisa menemukan jawabannya.
Namun itu hanya berlangsung sekejap. Tak lama kemudian, Shinohara kembali tersenyum. Senyumnya yang biasa. Senyum ramah seorang pria baik. Seolah mengatakan, Aku bisa menoleransi apa pun.
“Hmph…” Tada memanggul palu perangnya dan menatap sekeliling.
Tokimune memutar sedikit pedang panjangnya lalu menebas satu pion. “Apa kita sudah lumayan membersihkan mereka semua?” gumamnya.
Renji sudah memburu habis semua haunt. Ranta menginjak-injak tanah dengan kesal.
“Oooookk!”
“Apa kau monyet?” gumam Kuzaku.
Dari kelihatannya, tidak ada pion yang tersisa, setidaknya di area yang diterangi batang cahaya.
“Duhuh…!” Kacamata Kimura kembali berkilat. Tapi—astaga—cara dia tertawa… Haruhiro tidak pernah bisa terbiasa. Setiap kali mendengarnya, ia merasa kesal. Dan sepertinya setiap kali terdengar berbeda pula. Karena itulah, rasa kesalnya selalu terasa baru. Dia sama sekali tidak butuh variasi seperti itu dalam hidupnya.
“Sepertinya untuk sementara mereka sudah beres. Gu fuh fuh…”
“Ayo cepat lanjut.” Shinohara menyarungkan pedangnya dan melangkah lebih dalam ke ruang masuk. “Kalau kita hanya diam di sini, pasti bakal muncul lebih banyak lagi.”
Apa itu cuma bayangan Haruhiro saja? Sisa-sisa pion dan haunt yang berserakan di ruang masuk tampak seperti bergerak-gerak. Namun, melihat tanahnya tidak benar-benar bergeser, mungkin itu hanya ilusi belaka.
Untuk saat ini, setidaknya.
Orion dan Tokkis mulai bergerak. Renji sudah lebih dulu masuk lebih dalam bersama Chibi-chan, Ron, dan Adachi.
Haruhiro memberi isyarat dengan matanya pada Kuzaku, Yume, Merry, dan Setora, lalu mengikuti jejak tim Renji.
Ranta menyesuaikan topengnya, kemudian menyusul mereka.
“…Tempat ini bikin merinding.”
Haruhiro sepenuhnya setuju, tapi karena kesal harus sependapat dengan dread knight bertopeng itu, ia memilih diam dan terus berjalan.
Selama waktu yang mereka habiskan menjelajahi Pemakaman, Orion sudah menumbangkan jumlah musuh yang tak sedikit. Meski begitu, setiap kali mereka masuk ke Pemakaman, musuh-musuh baru selalu muncul.
Shinohara dan timnya bahkan pernah melihat sisa-sisa musuh yang sudah dihancurkan berkumpul kembali, lalu membentuk tubuh baru.
Pemakaman tidak akan pernah kehabisan musuh. Selama masih ada bahan untuk menciptakan yang baru, mereka akan terus terlahir lagi. Itu berarti, sebanyak apa pun yang mereka kalahkan, musuh tetap akan selalu ada.
Jelas sekali, ini bukanlah fenomena alami.
Pasti ada sebuah kekuatan yang bekerja di sini, yang terus-menerus memuntahkan mereka keluar. Pemilik kemampuan itu ada di suatu tempat di Pemakaman.
Sepertinya, bahkan kini setelah mati pun, raja kuno itu belum juga tidur.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)