Begitu mendengar laporan darurat dari Barbara, Komandan Dylan Stone segera memberikan perintah.
“Kita berangkat, para sampah!”
Tim penyerbu pun buru-buru keluar dari markas guild dread knight.
Wakil komandan Anthony, yang paling mengenal wilayah sekitar, ditunjuk memimpin barisan. Di belakangnya, para anak buahnya, kelompok Haruhiro, serta pasukan berjubah hitam pimpinan Komandan Dylan mengikuti.
Barbara berlari sejajar dengan Haruhiro. “Aku nggak nyangka Viceroy Bogg bakal keluar dari Menara Tenboro cuma demi kita! Ini kesempatan satu dari sejuta!”
Begitu mereka keluar dari guild dread knight, seekor goblin melihat mereka. Goblin itu langsung kabur sambil berteriak-teriak entah apa.
“Kita kejar?!” Anthony berteriak lantang.
“Bodoh!” Dylan membentak dari belakang. “Biarkan saja sampah kecil itu, terus maju, dasar sampah!”
Bagi Komandan Dylan, baik kawan maupun lawan sama-sama sampah. Kuzaku sempat bergumam, “Yang paling sampah di sini malah kamu,” dan jujur saja, Haruhiro setuju.
Yang pasti, tim penyerbu mengabaikan goblin itu dan terus melaju.
Menurut penuturan Barbara, tak lama setelah pasukan utama melancarkan serangan mereka, empat atau lima dari kelompok Seratus keluar dari Menara Tenboro, memimpin puluhan goblin ke arah gerbang selatan. Setelah itu, seekor goblin yang tampak seperti utusan masuk tergesa-gesa ke menara. Saat itulah Viceroy Bogg muncul, memimpin sekitar sepuluh anggota Seratus.
Para Seratus itu menyebar ke segala penjuru, sementara Viceroy Bogg sendiri tetap berada di alun-alun.
Barbara menafsirkan situasi itu sebagai tanda bahwa Viceroy Bogg tengah mengumpulkan para petarung elit sebelum ia sendiri bergerak menuju gerbang selatan.
Menara Tenboro merupakan bangunan yang cukup tinggi, namun hanya lantai satu dan dua yang memiliki ruang cukup luas, seperti aula masuk dan ruang resepsi. Di atasnya hanyalah tangga spiral, lorong-lorong sempit, dan ruangan kecil. Desainnya memang dibuat agar mudah dipertahankan bila sewaktu-waktu diserang.
Rencananya, tim penyerbu akan menerobos masuk dan membunuh Viceroy Bogg di dalam menara, tapi jika bisa menangkapnya saat berada di luar, itu jauh lebih menguntungkan. Meski begitu, menyerang di luar juga berisiko. Para goblin memiliki keunggulan jumlah yang luar biasa. Di dalam bangunan atau ruang sempit, setidaknya mereka tak akan langsung dihadapkan pada situasi ekstrem, seperti dua puluh orang melawan seribu makhluk liar itu. Tapi di luar ruangan, dalam skenario terburuk, mereka bisa dikepung dari segala arah.
Begitu melewati Kota Barat dan memasuki distrik selatan, mereka dihadang oleh sepuluh goblin.
“Kita terjang saja!” Anthony berteriak. “Para prajurit perbatasan, tunjukkan kebanggaan kalian…!”
Anthony dan lima anak buahnya langsung menyerbu garis pertahanan goblin tanpa ragu sedikit pun.
Berlebihan kah kalau dikatakan mereka menyapu bersih para goblin?
Begitu Anthony dan timnya menebaskan pedang sekali saja, empat atau lima goblin langsung roboh atau terpental jauh.
Goblin-goblin yang tak terbunuh, tapi kehilangan keseimbangan, kabur dalam sekejap.
“Wah, mereka kuat juga!” seru Kuzaku dengan nada ceria.
“Musuhnya saja yang lemah,” sahut Barbara sambil terkekeh. “Kucing Tua, aku mau memutar jalan, lihat-lihat situasi, lalu kembali lagi.”
“Siap, Sensei!”
“Respons yang bagus.”
Barbara meniupkan ciuman ke arahnya sebelum berlari meninggalkan tim. Sementara itu, kelompok penyerbu terus bergerak maju, menuju alun-alun di depan Menara Tenboro.
“Anthony-san!” Haruhiro memanggil dengan suara lantang.
“Apa?!” Anthony tak menoleh.
“Perlambat sedikit! Larinya terlalu cepat! Nafas kami sudah habis!”
“…Baik! Mengerti!”
“Jangan bilangin hal-hal nggak penting kayak gitu, dasar sampah!” Dylan menyembur dari belakang, tapi tak menambahkan apa pun lagi, jadi Haruhiro tak ambil pusing.
Apa aku sudah tenang sekarang? Sepertinya aku tidak panik. Aku bisa melihat keadaan sekitar dengan cukup baik. Atau mungkin itu cuma perasaanku saja?
Bukan cuma bisa melihat—aku memang sedang melihat. Barbara pernah bilang aku punya sudut pandang yang luas, dan tanpa kusadari, aku terus menoleh ke sana-sini, mengamati keadaan sekitar. Ini sudah jadi kebiasaan. Mungkin karena itu, Haruhiro menjadi orang pertama yang melihat satu regu goblin mendekat ke arah mereka.
Jumlahnya sekitar lima belas, semua membawa tameng bundar dan tombak. Bukan hanya perlengkapannya yang seragam, tapi cara mereka bergerak pun terkoordinasi.
Dari belakang! Haruhiro ingin berteriak.
Di atap sebuah bangunan dua lantai di pinggir jalan, ada satu goblin yang tengah menghunus pedang berwarna kemerahan.
Salah satu dari Seratus, ya?
Tanpa ragu, ia ambil keputusan.
“Shihoru…!” Haruhiro menunjuk ke arah Seratus di atap.
Shihoru langsung berhenti, lalu mengangkat kedua telapak tangannya ke arah lawan.
“…Dark!”
Sosok itu muncul, seolah-olah mendorong pintu tak kasatmata. Benang-benang hitam menyatu dan membentuk tubuh manusia. Dark mengeluarkan suara aneh, nshoooooo, lalu melesat ke arah si Seratus. Goblin itu terkejut dan mencoba menebas Dark, tapi Dark dengan lincah menghindar dan berputar ke belakangnya.
Si Seratus berbalik, mencoba mencari keberadaan Dark. Tapi saat itu, Dark sudah masuk ke dalam tubuhnya.
“Komandan Dylan!” Haruhiro berteriak. “Ada musuh datang dari belakang kita!”
“Dasar sampah kecil!” seru Komandan Dylan sambil meludah. “Akan kubunuh mereka semua!”
“Ngh…!” Salah satu anak buah Anthony tumbang.
Itu bukan anak panah—melainkan anak panah besar, sebuah bolt. Di atap yang berbeda dari tempat si Seratus, ada lima atau enam goblin lain dengan crossbow. Mereka menembakkan rentetan, dan satu-dua bolt mengenai anak buah Anthony.
“Aku akan mengobatinya!” teriak Merry, segera berlari ke arahnya.
Sepertinya Komandan Dylan bisa menangani musuh yang menyerang dari belakang.
Si Seratus masih mengayunkan pedangnya yang merah, bergerak liar ketika Dark mempermainkannya, tapi makhluk itu tampaknya sadar tak bisa berbuat banyak. Ia melompat turun dari atap.
“Anthony! Kuzaku!” Haruhiro berteriak, tanpa sengaja menyebut Anthony tanpa gelar.
Begitu si Seratus mendarat di jalan, ia mengangkat pedangnya dan meraung. Serentak, para goblin mulai keluar dari gang-gang di sekitarnya.
Anthony dan para prajuritnya mengangkat senjata dan menerjang.
Kuzaku langsung melancarkan serangan hebat ke arah si Seratus.
Merry sibuk berusaha menolong anak buah Anthony yang terluka.
“Setora, lindungi Merry!”
“Siap!”
“Shihoru, di belakangku!”
“…Oke!”
Tim goblin pemanah di atap sedang mengisi ulang senjata mereka. Sebelum Haruhiro sempat memberi perintah, Shihoru sudah lebih dulu mengirim Dark ke arah mereka.
Satu goblin lolos dari barisan Anthony dan prajuritnya. Ia membawa tombak. Shihoru ada di belakang Haruhiro. Ia tidak bisa mundur.
Ujung tombak itu mengarah tepat ke ulu hatinya. Di detik terakhir, Haruhiro memutar tubuh, memperlihatkan sisi kiri. Jika dia hanya menghindar, tombak itu mungkin akan mengenai Shihoru. Karena itu, Haruhiro menepis gagang tombak ke arah luar dengan tangan kirinya.
Goblin itu mengenakan helm penuh dengan pelindung wajah yang hanya memiliki celah tipis. Helm itu tampak menghambat penglihatan dan pendengaran, tapi jelas kuat. Ia juga memakai zirah rantai dan pelindung dada.
Haruhiro mendekat dengan cepat.
Saat goblin itu goyah, Haruhiro menginjak keras kaki kanannya. Meskipun memakai pelindung, kaki goblin itu tak beralas. Di bagian bawah, ia hanya mengenakan celana kulit.
Haruhiro menusukkan belatinya ke paha kanan goblin, tepat di atas lutut. Goblin itu menjerit dan mendongak kesakitan.
Ia mencengkeram rahang goblin dengan tangan kiri dan memutar tubuhnya sambil mendorong makhluk itu jatuh ke tanah. Ia naik ke atas tubuh goblin, menekan rahangnya dengan kedua lutut.
Goblin itu berteriak, “Agahh!” dan meronta. Haruhiro segera membuka pelindung wajah helmnya.
Ia bisa melihat wajah goblin itu dari celah yang terbuka.
Dengan belati di tangan kanan, Haruhiro membalik pegangan, lalu menghujamkannya ke mata kiri goblin.
Tusukan dalam. Disertai putaran.
Goblin itu mengeluarkan suara, “Gagoh…!” dan langsung lemas.
Sebelum Haruhiro sempat berpikir, Sudah selesai, tubuhnya sudah meloncat menjauh dari goblin itu.
“Terus maju!” teriak Komandan Dylan.
“Tapi…!” Haruhiro balas berteriak. “Mereka tahu kita di sini! Seratus itu datang untuk menghentikan kita!”
“Kau pikir kita bisa batalkan serangannya sekarang, kau sampah?! Kita tetap lanjut, meski harus mati semua!”
Haruhiro tak bisa menahan pikiran, Kau bilang begitu, tapi pasti kau niat kabur sendiri. Kau yang paling sampah di sini.
“Aku nggak bilang batalin! Tapi kalau kita menerjang tanpa rencana—”
“Zahhhhhhhhh…!” Kuzaku menebas satu Seratus.
“—korban kita bakal—” Haruhiro kehilangan kata.
Para goblin mulai panik.
“Jangan biarkan sampah kecil itu menghentikan kalian!” Dylan membakar semangat. “Kita hanya perlu ambil kepala satu bajingan itu! Terus maju, kalian sampah, maju!”
“Sampah mana yang kau maksud, hah, sampah?!” Anthony spontan membalas sambil terus menebas. “Tim penyerbu! Ikuti aku!”
Anak buah Anthony yang sedang diobati Merry pun bangkit dan ikut mengejar.
Semuanya terjadi terlalu cepat hingga Haruhiro nyaris tak bisa mengikutinya. Tapi tidak—sebenarnya, dia sudah menyesuaikan diri tanpa sadar. Ia mengikuti arus. Meski kasar, ada benarnya juga kata-kata Komandan Dylan. Bagi tim penyerbu, kecepatan adalah segalanya.
“Shihoru! Setora! Merry! Kuzaku! Kiichi!” Haruhiro berpikir sejenak, tapi tak menemukan kata-kata yang tepat, jadi dia hanya berteriak, “Kita lanjutkan!”
“Siap!”
“Oke!”
“Iya!”
“Nyaa!”
“…Oke!”
Sekarang bukan waktunya berpikir soal tenaga. Harus lebih cepat. Sekuat tenaga. Tanpa meninggalkan siapa pun. Kalau tidak, mereka bisa terkepung. Tapi bahkan jika mereka terus maju, goblin tetap akan datang menyerbu. Komandan Dylan bilang untuk abaikan mereka, tapi pada kenyataannya, kalau tidak disingkirkan atau dipukul mundur, mereka takkan bisa bergerak maju.
Haruhiro berlari, melihat, mendengar, dan mengambil keputusan—memberi perintah ke Kuzaku dan Setora, memperingatkan Anthony, dan menendang goblin ke tanah. Parunya terasa nyeri. Tenggorokannya juga. Shihoru kelihatan kesulitan, tapi dia terus berusaha sekuat tenaga untuk tetap mengikuti.
“Ke alun-alun!” teriak Anthony.
Jalan di depan mereka melengkung, lalu terbuka lebar.
Bagaimana dengan Barbara-sensei? pikir Haruhiro tiba-tiba. Kenapa dia belum juga kembali? Bukankah dia bilang akan pergi duluan untuk melihat situasi?
Tidak. Bukan sekadar itu.
Dia tidak hanya akan melihat-lihat—dia akan memeriksa situasi, lalu kembali.
Tim penyerbu akhirnya memasuki alun-alun.
Dulu tempat ini hanyalah hamparan luas berbatu. Tapi sekarang tidak lagi. Di sana berdiri benda-benda besar dan menyeramkan, terbuat dari kayu, batu, kulit, kain, logam, tulang—atau entah apa—dan dicat dengan warna hitam keabu-abuan yang aneh. Apakah itu menara? Gubuk? Atau mungkin panggung? Apa pun itu, semuanya tersebar di mana-mana. Namun, di bagian tengah, dekat Menara Tenboro, ada satu area yang sengaja dibiarkan kosong. Tempat itu masih difungsikan sebagai alun-alun—atau mungkin jalan.
Bahkan dari kejauhan, Haruhiro bisa melihat sekelompok goblin sedang bergerak di jalan itu. Mereka tampaknya menuju ke Menara Tenboro.
Jumlah mereka… Hmm, sulit diperkirakan dengan semua benda besar yang menghalangi pandangan. Mungkin tidak sampai seratus, tapi setidaknya tiga puluh sampai empat puluh. Sekitar empat puluh dari mereka berbaris dengan tombak teracung, membuat mereka mudah dikenali dan jumlahnya mudah ditebak dari kejauhan.
Sepertinya ada sesuatu di ujung tombak-tombak itu.
“Itu mereka?!” Anthony berteriak, menebas goblin yang melompat dari balik bayangan salah satu bangunan aneh itu.
“Sampah-sampah ini! Di sinilah kalian binasa!” Komandan Dylan meraung. Yang sebenarnya ingin dia katakan mungkin adalah bahwa apa yang mereka lihat adalah pasukan Viceroy Bogg, dan tim penyerbu harus memusnahkan mereka apa pun yang terjadi.
Mereka memang goblin, tapi bukan tak mungkin ada beberapa Seratus di antara mereka. Viceroy Bogg sendiri hampir pasti seorang veteran. Ditambah lagi, tim penyerbu kalah jumlah. Ini tidak akan mudah—bahkan sangat sulit. Mereka harus melakukan serangan mendadak, memenggal kepala Viceroy Bogg di tengah kekacauan, dan melakukannya secepat mungkin. Tidak ada cara lain.
Anthony tidak langsung menuju ke arah Viceroy Bogg. Dia justru mengambil rute yang membawa mereka mendekati Menara Tenboro. Salah satu anak buah Anthony menabrak bangunan besar dan jatuh terguling, tapi tak ada yang membantunya. Haruhiro juga tak menghiraukannya. Dia terus berlari. Toh orang itu pasti akan menyusul sendiri nantinya.
Sekarang mereka sudah cukup dekat dengan pasukan tombak Viceroy Bogg.
Apa sebenarnya yang ada di tombak-tombak itu? Kenapa dia terus memikirkannya?
Dia belum bisa melihatnya dengan jelas, jadi belum bisa memastikan. Tapi sejak awal, dia punya firasat tertentu. Meski begitu, dia tidak benar-benar memikirkannya dalam-dalam.
Bukan karena dia sengaja menghindari pikiran itu, melainkan karena dia tak punya waktu untuk memikirkan apa pun.
Lebih dari itu—dia memang tidak ingin memikirkannya.
Namun kini, ketika jaraknya sudah sedekat ini, dia tak bisa lagi memalingkan mata dari kenyataan bahwa di ujung tombak-tombak yang berlumuran darah itu terdapat potongan tubuh binatang—anggota tubuh yang terpisah. Tidak di semua tombak. Dari sekitar tiga puluh sampai empat puluh tombak, paling banyak hanya sepuluh yang membawa potongan seperti itu.
Apa mungkin para goblin sengaja berburu hewan liar di saat seperti ini hanya untuk menancapkan potongannya di tombak mereka? Rasanya tidak mungkin. Lalu… mungkinkah itu potongan dari sesama goblin? Bisa saja sang viceroy memerintahkan agar goblin yang membangkang dihukum mati, tapi… sepertinya bukan itu.
Itu manusia, bukan…?
Dengan kata lain, sejak awal Haruhiro sudah menduga bahwa yang mereka tancapkan di tombak adalah tubuh manusia yang dimutilasi.
Tapi tidak ada manusia di Altana.
Atau, hampir tidak ada. Tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Toh sekarang Haruhiro dan tim penyerbu juga sedang menuju ke arah Viceroy Bogg.
Kalau begitu, jika bukan salah satu dari mereka… maka kemungkinannya jadi sangat terbatas.
Barbara tadi bilang, “Aku akan periksa situasi, lalu kembali.”
Dan dia masih belum juga kembali.
Pasukan tombak Viceroy Bogg berhenti. Apa mereka sudah menyadari kehadiran tim penyerbu?
Di balik bangunan besar di depan Anthony, jalan itulah tempat pasukan tombak Viceroy Bogg berada.
Tim penyerbu memutari bangunan besar itu dan menerobos masuk ke jalan.
Haruhiro juga melompat keluar, lalu menunduk rendah. Anthony dan anak buahnya sudah mulai bertempur dengan pasukan tombak. Para goblin tidak menusuk dengan tombak mereka. Mereka justru mengayunkannya ke bawah, mencoba menghantam Anthony dan pasukannya. Para pria itu menangkis dengan pedang dan helm mereka, sambil terus berusaha menekan maju.
Salah satu potongan tubuh yang ditancapkan di tombak terlepas dan melayang di udara.
Itu… lengan manusia. Lengan kanan. Ada lengan kiri juga. Kaki juga. Kanan. Kiri. Ada tubuh utama yang dipotong-potong, dengan isi perut yang tumpah. Dan kepalanya jatuh di dekat kaki Haruhiro, lalu menggelinding.
Itu berambut panjang. Seorang perempuan.
Haruhiro menatapnya. Mencoba melihat wajahnya. Dia tidak bisa menahan diri.
“Haruhiro?!” Kuzaku mendorongnya jatuh ke tanah.
Kenapa dia melakukan itu? Haruhiro tidak sempat memikirkannya. Di atas batu-batu jalan, tepat di depan tempat Haruhiro jatuh, dia berada di sana.
Mata kanannya tertutup. Mata kirinya sedikit terbuka. Bibirnya sedikit menganga. Pipi kanannya menempel ke batu. Karena itu, seluruh wajahnya tertarik ke satu sisi. Wajah itu penuh luka. Penuh darah.
Itu bukan lagi orang yang tadi berkata, “Respon yang bagus,” lalu melemparkan ciuman padanya.
Atau… mungkin justru iya.
Tapi itu bukan dia.
Benda ini sudah lama berhenti menjadi makhluk hidup, jadi meski dulunya bagian dari Barbara, kini ia bukan Barbara lagi.
Meski begitu, Haruhiro tetap dilanda perasaan getir bahwa dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Tapi di sisi lain, dia tahu betul bahwa dia tidak punya waktu untuk larut dalam emosi itu.
Kalau Barbara masih hidup, dia pasti sudah berkata, “Hei, kamu ngapain, Kucing Tua?” sambil menegurnya.
Tapi, guru Haruhiro tak akan pernah memarahinya lagi.
Andai saja ia tak kehilangan ingatannya, mungkin ia akan merasa lebih dekat lagi dengannya. Andai saja ia punya lebih banyak kenangan bersama sang guru, ini pasti akan jauh lebih menyakitkan, dan ia mungkin tak sanggup menahannya.
Haruhiro bangkit berdiri. Ia berusaha untuk tidak menatap Barbara.
“Zahhhhhhhhhhhhh…!” Dalam sekejap, katana besar milik Kuzaku menyapu lima atau enam goblin dari tim tombak sekaligus.
Salah satu dari mereka membawa tombak merah—seorang Seratus. Setora menghindari sabetan tombaknya yang turun dari atas, lalu menginjak batangnya dan merebutnya, kemudian memukul sang Seratus dengan gagangnya. Begitu formasi tim tombak mulai kacau, Anthony langsung menembus barisan mereka.
“Dark…!”
Shihoru mengirim Dark meluncur menabrak tim tombak. Dengan suara shoooooooooo, Dark melesat di antara para goblin, membuat barisan mereka kocar-kacir. Merry menempel ketat di samping Shihoru. Haruhiro juga bersiap untuk menyerbu tim tombak. Tapi kenapa hanya mereka yang ada di sini?
Barbara adalah guru Haruhiro. Tak mungkin ia lengah. Mungkin saat sedang mengamati situasi, ia terdeteksi, ditangkap, dan dibunuh. Goblin yang mereka lawan kali ini memang sehebat itu.
Apakah mereka terlalu meremehkan musuh?
Goblin lebih kecil dari manusia. Dari sudut pandang manusia, mereka pun terlihat menjijikkan. Rasanya mustahil makhluk seperti itu bisa lebih unggul dari manusia. Bahkan setara pun tidak. Mereka pasti lebih rendah. Bisakah ia berkata kalau ia tak pernah berpikir seperti itu?
Haruhiro menoleh, lalu tercengang.
Di belakang para prajurit berjubah hitam yang dipimpin oleh Komandan Dylan, menyebar secara diagonal di kedua sisi belakang, begitu banyak goblin mulai keluar dari bayang-bayang benda-benda besar dan menyerbu ke arah mereka saat ini juga. Beberapa membawa senjata berwarna merah. Komandan Dylan dan pasukannya sama sekali belum menyadari ini dan terus maju. Komandan Dylan—tidak, seluruh tim penyerbu—akan disergap. Mereka telah terjebak.
Tim tombak hanyalah pengalih perhatian. Umpan untuk memancing tim penyerbu keluar.
“Komandan—”
Haruhiro tak sempat meneriakkan nama pria itu. Sebelum sempat bicara, seekor goblin berzirah merah menerjang dari belakang dan mencengkeram rambut Komandan Dylan dengan tangan kirinya. Di tangan kanannya, ia memegang sesuatu yang lebih mirip pisau besar daripada belati.
Komandan Dylan bahkan tak sempat melawan. Ia tak punya waktu. Dengan gerakan cepat dan mengalir yang terlihat sangat terlatih, goblin itu memisahkan kepala Dylan dari tubuhnya. Goblin itu pasti sudah melakukan hal seperti ini berkali-kali. Mungkin puluhan kali. Bisa jadi, dialah yang membunuh Barbara.
Goblin berzirah merah itu menginjak leher yang tinggal batangnya, lalu memutar kepala yang terpenggal itu.
“Ahh! Gyahh! Hahhhhhhhh…!”
Komandan Dylan adalah dewa kematian itu sendiri. Begitulah Neal si pengintai pernah menyebutnya.
Tak peduli berapa banyak anak buahnya yang gugur, dia selalu selamat. Dia orang yang mengerikan, tapi bagi para prajuritnya, ada kepercayaan yang aneh sekaligus menenangkan—“Apa pun yang terjadi, Komandan akan tetap hidup.”
Tapi setelah menyaksikan tumpuan terakhir mereka menghilang begitu saja, tak ada satu pun yang bisa tetap berdiri.
Tak seorang pun dari para prajurit berjubah hitam yang masih bertahan dengan layak. Tiga, mungkin empat dari mereka masih hidup, tapi para goblin menghajar mereka tanpa ampun.
Haruhiro pun merasa lemas. Pandangannya kabur, tak fokus.
Tidak, aku tidak boleh menyerah sebelum semuanya benar-benar berakhir, ia mencoba meyakinkan dirinya. Tapi ini bukanlah situasi yang bisa diatasi dengan tekad semata. Seperti melempar seseorang dari ketinggian seratus meter, lalu memintanya untuk bertahan hidup. Itu mustahil. Kau tak bisa melakukan apa yang memang tak bisa dilakukan.
Ada kalanya tak ada yang bisa dilakukan. Yang bisa dilakukan hanyalah menerimanya.
Andai Haruhiro sendirian, mungkin ia bisa. Tapi masalahnya, ia punya teman. Meski ia bisa menerima kematian dirinya sendiri sebagai sesuatu yang tak terelakkan, ia tak ingin melihat teman-temannya berakhir seperti Barbara. Tak adakah yang bisa ia lakukan?
Anehnya, kini ia bisa melihat dengan sangat jelas. Ini berbeda dari hanya sekadar memutar kepala atau melirik ke sana kemari. Seolah-olah ia keluar dari tubuhnya sendiri. Mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa ia melihat dari langit, tapi pandangannya seperti dari sudut pandang atas.
Ia mungkin tak bisa melihat secara rinci gerakan para goblin, timnya, atau pasukan Anthony, tapi ia bisa merasakan mereka. Mereka semua bergerak masing-masing, dalam kekacauan yang menyatu, dan Haruhiro bisa merasakan keberadaan mereka dengan samar.
Haruhiro tenggelam di tengah semuanya.
Entah mengapa, saat ini juga, para goblin—bahkan teman-temannya—tidak memperhatikannya. Haruhiro memang ada di sana, tapi seolah-olah ia tidak ada sama sekali.
Di medan perang berdarah, brutal, dan kacau ini, Haruhiro adalah satu-satunya sosok yang kehadirannya setipis mayat. Dan karena itu, tak ada satu pun yang menyadarinya.
Apa Barbara-sensei juga seperti ini? pikir Haruhiro.
Mungkin karena waktu itu mereka berada di hutan, ia merasa Sensei seperti tanaman. Tapi bukan, itu karena ia tidak bisa merasakan keberadaannya—makanya pikirannya menganggap Barbara seperti tanaman.
Jadi ini maksudmu, Barbara-sensei?
Ini yang ingin Sensei tunjukkan padaku waktu itu. Tak kusangka, ini adalah hadiah terakhir darinya.
Goblin berzirah merah itu jelas lebih lengkap perlengkapannya dibanding yang lain, dan ukuran tubuhnya pun jauh lebih besar. Itu pasti Viceroy Bogg.
Bogg melemparkan kepala Komandan Dylan ke udara dan mengeluarkan pekikan aneh, semacam, “Gugai, gugai, gaigaih!” Ia menyarungkan pisaunya, lalu mencabut pedang dari punggungnya. Seperti yang bisa diduga, bilah pedang itu pun merah.
Para prajurit berjubah hitam semuanya telah tewas. Para goblin yang dipimpin Bogg mulai menyerbu ke arah sisa pasukan penyerbu yang masih bertempur melawan tim tombak.
Bahkan ketika satu dua goblin berlari melewati Haruhiro, ia tetap diam. Ia merundukkan bahu, membungkukkan punggung sedikit, dan menekuk lutut.
Tak ada yang menyadari Haruhiro. Yang penting sekarang adalah tujuan-nya. Ia harus menentukan tujuan yang tepat.
Bogg berlari lurus ke arahnya. Dengan kecepatan seperti itu, dia bisa saja langsung menabraknya. Namun Haruhiro tetap berdiri di tempat. Bunuh Bogg. Itu tujuannya.
Ketika jarak mereka tinggal sekitar lima puluh sentimeter—begitu dekat hingga Bogg bisa menyentuhnya jika mengulurkan tangan—barulah dia menyadari ada sesuatu di hadapannya.
“…!” Bogg menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, lalu mengayunkan pedang merahnya dengan kedua tangan.
Haruhiro melangkah maju.
Pedang merah itu mengayun secara diagonal.
Haruhiro mencondongkan tubuh ke kiri sambil tetap maju.
Sebuah luka terbuka dari sisi kiri dahinya hingga ke bawah mata kanan. Luka yang dalam. Tapi dia tidak peduli.
Haruhiro melewati Bogg.
Saat melewatinya, belatinya yang digenggam terbalik menancap ke belakang, mengarah ke musuh.
Mungkin ada maksud di balik memperlihatkan wajahnya. Bogg tidak memakai helm. Namun belati Haruhiro tak menusuk bagian belakang kepala Bogg.
Bogg memutar tubuhnya pada detik terakhir. Ia menghindar.
Tidak, lebih tepatnya—dia berusaha menghindar. Tapi tak sepenuhnya berhasil.
Haruhiro merasakan ujung belatinya mengenai sesuatu yang keras. Pisau itu hanya menggores tengkorak Bogg, meninggalkan guratan. Tidak cukup untuk menjatuhkannya.
Padahal Haruhiro pikir ia bisa melakukannya. Tapi merasa frustrasi tak akan membantu. Keadaan sudah terjadi—dan harus dihadapi. Tujuannya belum tercapai. Masih ada langkah berikutnya.
Haruhiro berbalik.
Mata Bogg membelalak. Dia menatap Haruhiro dengan penuh amarah sambil menekan bagian belakang kepalanya dengan tangan kiri.
“Nugg, gaaahh…!”
Dia tampak murka—tapi lebih dari itu, Bogg kebingungan. Baginya, Haruhiro seolah-olah muncul begitu saja entah dari mana, tepat di hadapannya, dan nyaris menghabisinya. Akan lebih aneh jika dia tidak terkejut.
Para goblin lain yang hendak menyerang tim penyerbu juga tampak kaget.
Namun Haruhiro kini dikepung oleh para goblin Bogg. Jika ia membuat satu kesalahan dalam menangani situasi ini, tamatlah sudah. Ia memang merasa frustrasi, bahkan sedikit putus asa. Kenapa seranganku tadi tidak cukup untuk mengakhiri semuanya? Ia gelisah, takut. Tapi ia harus menekan semua itu dan tidak kehilangan inisiatif.
“Kuzaaaaku! Anthonyyy! Viceroy Bogg di sini…!”
Haruhiro berteriak sambil mencabut belatinya yang satu lagi, lalu mengayunkannya ke arah Bogg.
Bogg mundur. Saat melakukannya, ia menangkis serangan Haruhiro dengan pedangnya. Haruhiro menggunakan dua belati dan jarak mereka terlalu dekat. Dalam keadaan kebingungan, yang bisa Bogg lakukan hanyalah menangkis belati dengan garda pedangnya. Selama pertarungan jarak dekat ini terus berlangsung, goblin lain tak bisa ikut campur.
Haruhiro tahu ia tak bisa memaksakan kemenangan. Tentu saja ia ingin menembus pertahanan Bogg dan mengakhirinya dalam duel ini. Tapi keinginan yang terlalu kuat seringkali membuat seseorang kehilangan ritme, jadi tegang, dan terburu-buru.
Lagipula, Bogg itu keras kepala. Tubuhnya kuat, dan dia cukup terampil dengan pedangnya. Tidak mudah mendaratkan serangan mematikan dalam duel yang seimbang. Tujuannya memang membunuh Bogg, tapi untuk itu, ia harus mengambil beberapa langkah terlebih dahulu.
Sudah lebih dari sepuluh kali Bogg menepis belati Haruhiro dengan garda pedangnya. Ke belati di tangan kiri Haruhiro—yang menyala api. Dan di saat itulah, Haruhiro mengayunkan belati di tangan kanannya.
Bogg masih memegang pedangnya dengan dua tangan. Tapi belati Haruhiro menghantam tangan kirinya, mengirisnya, memutuskan jari-jari. Dua jari—kelingking dan jari manis—terpotong sepenuhnya.
Bogg menjerit, “Datts—!” atau sesuatu yang mirip, lalu melepaskan pegangan pedangnya dari tangan yang terluka.
Kini ia hanya menggenggam pedang dengan satu tangan. Tenaganya pasti berkurang. Haruhiro selangkah lebih dekat menuju tujuannya. Tapi ia tak bermaksud menyelesaikan semuanya dalam satu serangan. Entah itu hal baik atau buruk, Haruhiro tak tahu. Yang jelas, ia tak bisa menebak langkah Bogg berikutnya.
Bogg menggunakan tangan kirinya—yang sudah kehilangan dua jari—untuk mencabut pisau kecil, lalu melemparkannya.
“…!”
Refleks Haruhiro membuat tubuhnya berputar. Jika tidak, pisau itu pasti telah menancap di wajahnya. Ia tak punya pilihan lain. Tapi tetap saja—goblin itu berhasil menipunya.
Begitu melemparkan pisau, Bogg langsung berbalik.
“Ngyagah…!”
…Dan memberi perintah untuk mundur?
Bogg lari. Begitu cepat. Dalam sekejap, dia sudah menghilang di balik salah satu benda besar di area itu.
Haruhiro langsung mengejarnya. Ia bahkan tak sempat berseru, “Kau pikir bisa lari dariku?”
Menyadari pandangannya terbatas, Haruhiro menggeleng dan menggerakkan matanya, memindai sekitar. Para goblin mundur tanpa ragu. Ia belum melihat Anthony dan anak buahnya, tapi bisa mendengar teriakan tempur dari Kuzaku. Suaranya cukup dekat. Tapi Bogg masih belum terlihat. Namun Haruhiro punya firasat ke mana arah larinya. Hampir pasti—ke Menara Tenboro.
Dan benar saja—dari belakang, Haruhiro melihat Bogg. Ia sedang berlari menuju Menara Tenboro. Tanpa ragu. Tanpa mengambil jalan memutar. Wajar saja. Ini adalah alun-alun tepat di depan Menara Tenboro. Bogg keluar ke jalan. Menara itu sudah berada tepat di hadapannya.
Di depan gerbang utama, mereka telah mendirikan barikade. Ada sesuatu seperti abatis—apa memang begitu istilahnya? Potongan kayu dan logam yang diruncingkan mengarah keluar, diikat dengan tali dan kawat, diperkuat dengan perisai, pelat besi, kulit binatang, dan lainnya. Tampak seperti tumpukan barang yang kacau, tapi jika dijaga dan digunakan dengan benar, itu bisa menjadi keuntungan defensif yang signifikan.
Bogg berjarak sekitar lima belas meter dari barikade itu. Haruhiro sekitar delapan belas. Selisih tiga meter yang terasa sekaligus jauh dan dekat, kecil dan besar.
Bogg menoleh ke belakang—pada Haruhiro, tentu saja. Dia tak tampak terkejut melihat Haruhiro sedekat itu. Seolah hanya ingin memastikan, sambil sekaligus menyusun rencana.
Tujuan Haruhiro adalah membunuh Bogg. Tapi bagaimana dengan Bogg? Apa dia hanya ingin melarikan diri ke Menara Tenboro? Rasanya bukan hanya itu, bukan?
“Haruhiro!” teriak Kuzaku dari belakangnya.
Tanpa perlu menoleh, Haruhiro tahu bahwa bukan hanya Kuzaku—beberapa rekannya ikut menyusulnya.
Bogg berteriak, “Higyahhah!”—apakah itu semacam perintah?
Beberapa goblin menyembulkan wajah mereka dari balik abatis. Mereka bersembunyi di sana, masing-masing memegang sesuatu.
Tepat di depan abatis, Bogg merendahkan tubuhnya, seolah meluncur di atas batu-batu jalanan.
Yang digenggam para goblin di balik abatis itu adalah ketapel silang—crossbow. Jumlah mereka lebih dari sepuluh.
“Tiaraaaap…!” seru Haruhiro sembari menjatuhkan tubuhnya sendiri.
Anak-anak panah ditembakkan dari abatis. Haruhiro tetap tiarap, wajahnya menghadap ke belakang. Kuzaku ada di sana, berdiri paling depan. Setora, Kiichi, Merry, dan Shihoru juga. Termasuk Anthony dan orang-orangnya. Mereka semua sudah tahu anak-anak panah itu akan datang. Setora sudah berjongkok. Merry dan Shihoru berdiri terpaku, mata mereka terbelalak. “Ohh!” Anthony menggeram, entah karena kagum atau cemas.
Kuzaku membuka kedua lengannya lebar-lebar. Pedang besarnya masih tergenggam di tangan kanan. Kakinya dibuka selebar bahu, dadanya dibusungkan. Seolah sedang menghalangi jalan—tidak, memang itulah yang dia lakukan. Kuzaku jelas-jelas berusaha agar tak satu pun anak panah melewati dirinya. Karena di belakangnya ada rekan-rekannya. Tidak peduli berapa banyak anak panah yang terbang, dia ingin menahannya semua dengan tubuhnya sendiri. Untuk melindungi mereka.
Aku ini besar, kan? Badanku sering bikin repot, tapi kadang berguna juga di saat-saat seperti ini, tahu?—adalah hal yang seakan-akan Kuzaku akan katakan sambil tertawa.
Sial… kau ini ya, pikir Haruhiro.
Anak-anak panah menancap satu demi satu di dada dan perut Kuzaku. Jumlahnya terasa berlebihan. Lima, enam… bahkan lebih banyak lagi menembus pelindung tubuhnya.
Kau terlalu keren, sialan…

Satu anak panah menancap di sisi kanan dada Anthony. “Gah!” erangnya, tubuhnya terhuyung sebelum akhirnya jatuh berlutut.
Kuzaku masih berdiri—meski tak sepenuhnya tegak—dan tak bergerak. Dia batuk darah sekali dan dua kali. Matanya berkedip pelan. Tak ingin memuntahkan lebih banyak darah, ia rapatkan bibirnya, tapi tiap kali batuk, darah menyembur keluar dari hidungnya.
Apa sekarang? pikir Haruhiro. Apa yang harus kuprioritaskan? Aku tahu harus mengejar tujuan. Tapi… apa itu benar-benar yang paling penting?
“Kuzaku…!” dan “Kuzaku-kun…!” Setora dan Shihoru berseru bersamaan, memanggil nama rekan mereka. Merry langsung berlari mendekat.
Haruhiro meloncat berdiri, lalu berbalik.
Tidak. Kuzaku. Ahh. Tidak. Ini tidak benar. Tidak seharusnya begini. Maaf, Barbara-sensei, aku tak sanggup lagi. Kuzaku… Kuzaku tak akan mampu bertahan lama. Luka seperti itu… Tak mungkin dia masih bisa berdiri. Gila kalau bisa.
Kuzaku terhuyung ke belakang. Merry menyambut tubuhnya, tapi dia berat. Haruhiro melihat Merry hampir tumbang bersamanya. Ia harus ke sana. Harus menopang Kuzaku bersama Merry.
“Serangan lagi…!” seru Setora tajam.
Haruhiro menoleh ke arah abatis. Para goblin kembali memunculkan wajah mereka.
Di seberangnya, Bogg telah naik ke semacam panggung. Ia mulai mengatur perintah dari sana.
Para goblin mengangkat kembali crossbow mereka. Sudah diisi ulang? Atau mereka memang membawa cadangan yang sudah siap?
“Merry!” Haruhiro memanggilnya sambil buru-buru menyeret tubuh Kuzaku ke sisi jalan. Di tengah hujan anak panah, Haruhiro dan Merry menyeret Kuzaku ke balik bayang-bayang salah satu benda besar.
“…Haruhiro,” desah Kuzaku.
Tubuhnya lemas. Pedang besarnya entah jatuh di mana—ia sudah tidak memegangnya. Tiga anak panah menancap di dadanya, satu di bahu kanan, satu lagi di lengan kiri, dan dua tertancap dalam di perutnya. Matanya terbuka dan tertutup, seolah berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadaran yang mulai menghilang. Dengan suara lemah, ia mengulang, “…Haruhiro.”
“A-Apa? Apa, Kuzaku…?” Haruhiro mendekatkan wajahnya. Apa ini…?
Aku merasa pernah mengalami ini.
Kuzaku menggenggam lengan kiri Haruhiro dengan kekuatan mengejutkan.
“Aku… minta… ma-… af…”
“Huh? Apa? M-Maaf? Kenapa? Apa maksudmu…?”
Aku merasa ini pernah terjadi.
Wajah Kuzaku pucat. Bukan putih. Bukan biru. Tapi kelabu, seolah darah telah mengering dari wajahnya.
Bukan dengan Kuzaku.
Seseorang yang lain…
“…Manato,” bisik Haruhiro.
Benar.
Kuzaku akan mati seperti Manato. Aku tak bisa membiarkannya.
“Tidak boleh, Kuzaku!”
“Aku… ma-…”
Apa itu alasan dia minta maaf? ‘Sepertinya aku akan mati. Maaf karena aku mati’, begitu?
“Jangan bodoh!”
“Minggir!” Merry menarik Haruhiro dari sisi Kuzaku.
Merry menempelkan tangan kanannya ke tubuh Kuzaku. Tangan kirinya meraba anak-anak panah yang tertancap. “Dia masih bisa diselamatkan!” serunya. “Cabut semuanya! Sebisa dan secepat mungkin! Seluruhnya! Tak ada gunanya menyembuhkan dengan sihir kalau panahnya masih di dalam! Haru! Setora! Shihoru, bantu juga!”
Haruhiro baru sadar Setora, Shihoru, dan Kiichi ternyata sudah ada di samping mereka. Bagaimana dengan Anthony dan anak buahnya? Sesaat hal itu melintas di benaknya, tapi Kuzaku lebih penting. Merry bilang Kuzaku masih bisa diselamatkan. Dengan sihir. Ya, tentu. Merry bisa menyembuhkan dengan sihir. Tapi luka tak akan tertutup jika panah masih tertancap. Akan ada banyak darah keluar saat mereka mencabut semuanya. Itu berbahaya, tapi tak ada pilihan lain. Harus dilakukan. Mereka harus cabut semua panah sekaligus, lalu Merry langsung gunakan sihirnya tanpa jeda. Itu satu-satunya cara.
Ada tujuh orang di sini. Haruhiro ingin Merry fokus menyiapkan sihirnya. Haruhiro cabut dua, Setora dua, Shihoru dua, dan Kiichi satu. Kiichi juga harus ikut membantu. Kuzaku sudah tak merespons. Matanya tertutup, hanya sedikit bergerak. Tak jelas berapa lama lagi dia bisa bertahan. Tak ada waktu. Tak ada cara lain. Tapi… apa si nyaa bisa?
“Tenang saja!” Setora menenangkannya.
Merry menempelkan jari-jarinya ke dahinya, sementara yang lain bersiap pada panah masing-masing.
“Wahai Cahaya, limpahkanlah perlindungan suci Lumiaris kepadamu,” Merry mulai melafalkan doanya.
“Siap—tarik sekarang!” seru Haruhiro.
Haruhiro, Setora, Shihoru, dan Kiichi menarik semua panah dari tubuh Kuzaku secara serempak.
Merry mengarahkan kedua tangannya ke arah Kuzaku.
“Sacrament…!”
Karena menatap cahaya yang begitu menyilaukan, Haruhiro sempat kehilangan penglihatan sesaat.
“Aw, yeah!” ia mendengar suara Kuzaku.
Ini bukan waktu untuk bilang ‘Aw, yeah,’ bung… pikir Haruhiro.
Ia mengusap matanya. Kuzaku sudah berdiri.
“Aku hidup lagi! Makasih, semuanya!”
“…Hidup lagi?” Merry terdengar jengkel. “Kamu bahkan belum sempat mati.”
“Yah, jangan terlalu dipikirin detailnya!” ujar Kuzaku dengan senyum lebar.
Haruhiro mengusap matanya sekali lagi.
“Dasar kau ini, benar-benar…”
“Huh? Haruhiro, apa kau menangis…?” ucap Kuzaku—mengatakan hal yang seharusnya tak diucapkan.
“Gak lah!” Haruhiro membalas cepat, menyembulkan wajahnya dari balik benda raksasa itu dan menatap ke arah rintangan kayu berduri. Bogg berdiri di atas platform, mengayun-ayunkan pedang merahnya dan menjerit tak keruan. Para goblin di barikade kayu tampaknya sedang sibuk—mungkin tengah memuat ulang busur silang mereka.
Anthony berlindung di balik benda besar di seberang jalan. Hanya Anthony. Dua anak buahnya terkapar di jalan. Anthony sendiri tertancap satu anak panah di dada kanannya, dan sepertinya tak bisa bergerak dengan baik. Menyuruh Merry menyembuhkan Anthony dengan sihir sayangnya harus ditunda dulu.
“Kuzaku, terobos lurus ke depan! Yang lain, dukung dia!”
“Siap!” jawab Kuzaku penuh semangat, menjilat bibirnya. “Tahu nggak? Kalau kau tahu semua luka yang nggak bikin mati langsung bisa disembuhin, jadi berani banget rasanya!”
“Dasar tolol!” Setora menghantam belakang kepala Kuzaku.
“Aku bisa kena serangan jantung!” Shihoru ikut bersuara—jarang-jarang ia mengomel seperti itu.
“Heh,” Kuzaku tertawa canggung, menundukkan kepala. “…Maaf.”
“Aku tidak akan membiarkanmu melewati batas itu!” ucap Merry tegas.
Lalu ia menatap Haruhiro.
Senyuman anggun itu—Haruhiro mengingatnya.
Ada saat-saat di mana Merry terlihat terlalu indah, seolah-olah bukan dari dunia ini.
“Kami mengandalkanmu!” ucap Haruhiro, lalu melesat maju.
Ia tidak perlu melihat. Kuzaku pasti akan melompat ke tengah jalan, mengambil kembali katana besarnya, lalu menyerbu barikade. Teman-temannya akan mengikuti. Shihoru akan melancarkan Dark, Merry akan melindungi Shihoru, sementara Setora dan Kiichi akan mendukung Kuzaku.
Haruhiro berlari sendirian, menyelinap di antara benda-benda raksasa, menuju Menara Tenboro.
“Ooorahhhh! Sini kalian!” teriak Kuzaku di tengah jalan, memancing perhatian musuh.
Kelihatannya goblin-goblin di barikade belum selesai memuat ulang busur silang mereka. Kalau sudah, mereka pasti sudah menembak sedari tadi.
Kuzaku dan yang lain memainkan peran mereka dengan baik. Mereka mengalihkan perhatian musuh.
Haruhiro mendekati barikade di depan Menara Tenboro dari samping.
Tenggelam.
Tenggelamkan—keberadaanku dan diriku.
Tidak, bukan tenggelam.
Larut.
Larutkan diriku dengan lembut.
Bogg menendang goblin lain dari atas platform. Ia menghardik dan memaki-maki pasukannya, seolah berkata, “Cepat, dasar lamban!”
Para goblin akhirnya menyerah memuat ulang busur silang mereka, lalu melemparkannya. Mereka mengambil tombak panjang sebagai gantinya. Tombak-tombak itu mereka tusukkan melewati celah barikade, kemungkinan untuk menghalau Kuzaku. Namun Kuzaku, seperti ingin menunjukkan bahwa usaha mereka sia-sia, berteriak, “Zeahhh! Hah!” sambil menebas tombak-tombak itu dengan katana besarnya.
Tampaknya Bogg sudah kehilangan kepercayaan pada para goblin penjaga barikade, karena ia melompat turun dari platform dan berlari menuju pintu masuk utama Menara Tenboro yang tak berpintu. Ia sama sekali tak menyadari—
Bahwa Haruhiro sudah menyelinap persis di belakangnya.

Dengan senyap, Haruhiro melompati barikade dan langsung menjepit tubuh Bogg dari belakang. Itu adalah saat pertama Bogg menyadari keberadaan Haruhiro. Tanpa membuang waktu, Haruhiro menyayat tenggorokan Bogg dengan belatinya. Dari jarak sedekat itu, tak mungkin ia meleset. Mungkin Bogg ingin mengucapkan hinaan terakhir sebelum mati, tapi batang tenggorokannya telah terbelah. Goblin itu takkan bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Haruhiro menjatuhkan Bogg ke tanah, merengkuh kepala goblin itu dengan tangan kirinya. Dengan belati di tangan kanan, ia segera memutus semua jaringan leher, menyisakan tulang belakang, yang lalu ia patahkan dengan paksa.
Kalau ia bilang dirinya tidak emosional, itu jelas bohong. Tapi ia berusaha menahan diri. Sejujurnya, ia ingin mencincang tubuh Bogg sekarang juga, menendangnya sampai hancur jadi bubur darah. Namun Barbara-sensei pasti hanya akan tertawa dan berkata, “Dengar, buat apa semua itu, Kucing Tua? Bukan itu yang seharusnya kamu lakukan, kan?”
Haruhiro bukan tipe yang mudah terguncang. Barbara-sensei pernah bilang, ia bukan tipe yang “bisa kalau mencoba,” tapi “mencoba sampai bisa.” Kalau itu benar—dan Haruhiro percaya memang benar—maka sebagai murid yang rendah hati, ia ingin menjadi seperti itu.
Kalau ia bisa menjadi thief yang tak pernah meleset, hidup dengan caranya sendiri—seperti kucing tua—mungkin dengan begitu, ia bisa membalas sedikit dari semua yang telah Barbara berikan padanya.
Haruhiro berdiri tegak, kepala Bogg yang terpenggal tergenggam di tangan kirinya.
Kami menang, pikirnya.
Tapi ia tidak mengucapkannya.
Untuk seseorang sepertinya, dengan mata sayu seperti kucing tua, kata-kata itu tak pernah terasa cocok.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] Makna yang Tersembunyi12. Trik Lotre adalah Tidak Bermain13. Tak Seorang pun Benar-Benar Sendiri14. Jalan Menuju Kucing Tua15. Di Antara Hasrat dan Keputusasaan16. Yang LainCatatan PenutupBonus Cerita […]