Keadaan mereka benar-benar memburuk.
Meskipun, sejujurnya, semuanya sudah cukup buruk sejak mereka terbangun tanpa ingatan. Jadi panik sekarang tidak akan banyak membantu.
Tetap saja, jika segalanya terus-menerus berjalan buruk seperti ini, mau tak mau, rasanya benar-benar melelahkan.
Haruhiro dan yang lainnya kini menempati posisi tersendiri di dalam kamp Pasukan Ekspedisi.
Mereka diberi sebuah tenda di area yang sama dengan Jin Mogis, sang jenderal berambut merah, beserta para stafnya, termasuk Anthony Justeen yang diperlakukan layaknya perwira staf tamu. Untuk keluar dari area itu, mereka harus mendapat izin terlebih dahulu.
Ketika Pasukan Ekspedisi bergerak, mereka juga wajib ikut bergerak bersama.
Anthony datang bersama lima bawahan yang bertugas melindungi utusan yang dikirim ke daratan utama. Secara formal, para bawahan itu memiliki kedudukan yang sama dengan Haruhiro dan kelompoknya. Singkatnya, mereka semua merupakan bagian dari resimen yang langsung berada di bawah komando Anthony.
Mereka diawasi terus-menerus, tapi kalau mereka bicara dengan suara pelan dan mendekatkan kepala, percakapan rahasia masih mungkin dilakukan.
Haruhiro memilih malam hari sebagai waktu untuk bicara.
“Jadi, soal ingatan itu… Kalian pikir gimana?” tanyanya.
“Aku rasa sebaiknya kita nggak bilang apa-apa,” ujar Merry.
“Masuk akal,” Setora mengangguk. “Pendapatku sama seperti Merry.”
“Kira-kira mereka bakal nyuruh kita ngapain, ya?” kata Kuzaku. “Pasukan Ekspedisi ke sini buat ngerebut Altana, kan?”
“…Jadi kita… harus bantu mereka?” ucap Shihoru dengan ragu.
Setora hanya mendengus, tidak yakin. “Mereka pasti mau kita menyusup ke Altana. Aku memang bukan orang sini, tapi kalian dulunya pasti cocok buat tugas begitu.”
“Nggak mungkin lah… Altana sekarang penuh goblin, ‘kan? Mana mungkin kita bisa masuk ke sana…” timpal Kuzaku.
“Kalau aku pergi sendirian, mungkin masih ada peluang,” Haruhiro merenung.
“Tapi kamu sendiri nggak ingat, kan, Haru? Sekalipun bisa masuk—”
“—nggak ada gunanya juga, ya?”
“Walaupun itu bukan yang terjadi, mereka pasti punya cara lain buat manfaatin kita. Kayak pion yang bisa dikorbankan kapan aja.”
“Setora-saaan…” rengek Kuzaku.
“Ada apa?”
“Bisakah omongannya diperhalus sedikit…?”
“Aku tidak berniat mengubah cara bicara atau sikapku. Kalianlah yang harus menyesuaikan diri.”
“Yah, aku sih nggak masalah. Aku tahan dibentak-bentak juga.”
“Kalau begitu, apa masalahnya?”
“Aku nggak sendirian di sini, tahu?”
“Aku juga nggak keberatan,” sela Merry. “Cara bicara Setora yang langsung dan tanpa menahan diri malah terasa menyegarkan.”
“…Menurutku, lebih baik begitu daripada memaniskan kenyataan…” tambah Shihoru.
“Aku juga setuju,” kata Haruhiro.
“Huh? Jadi, nggak ada masalah, dong?”
“Kamu cuma bikin keributan nggak perlu. Sekarang, sadar diri dan diamlah sebentar.”
“…Iya, maaf…”
Meski tubuhnya paling besar di antara mereka, Kuzaku seperti adik kecil bagi semua orang. Mungkin memang begitu sifat dasarnya. Meski begitu, tak ada yang tahu pasti apakah dia punya saudara atau tidak.
Diawasi rasanya memang menyebalkan. Tapi setidaknya Pasukan Ekspedisi memiliki persediaan yang cukup, jadi kelompok Haruhiro tak kekurangan ransum dan air. Mereka juga punya korps logistik dan orang-orang yang mampu memperbaiki senjata serta pakaian. Mogis menyebut mereka kelompok acak-acakan, tapi dalam hal ini, mereka cukup terorganisasi sebagai pasukan militer.
Begitu fajar menyingsing, Pasukan Ekspedisi mulai bersiap untuk bergerak.
Menurut Anthony, atasan mereka, saat ini posisi Pasukan Ekspedisi berada sekitar empat puluh kilometer sebelah barat Altana. Dalam tiga hari ke depan, mereka akan bergerak mendekat dan melancarkan operasi untuk merebut kembali kota itu.
“Empat puluh kilometer dalam tiga hari…”
“Kita bergerak bersama pasukan, ingat,” jelas Anthony. “Dan kita harus melintasi pegunungan.”
“Pegunungan? Maksudmu Pegunungan Tenryu?” tanya Haruhiro.
“Itu bagian dari jajaran pegunungan yang menjulur ke utara dari Tenryu. Ada risiko dimangsa naga, tapi itu konsekuensi yang tak bisa dihindari. Kalau kita memilih memutar lewat Dataran Quickwind, pasukan sebesar ini kemungkinan besar akan terdeteksi musuh.”
Sejujurnya, Haruhiro tak punya firasat baik tentang semua ini.
Secara teknis, Pasukan Ekspedisi memanglah pasukan, tapi bahkan orang awam seperti dirinya bisa melihat bahwa kelompok ini hanyalah kumpulan yang disusun tergesa-gesa.
Pertama, ada masalah semangat tempur yang rendah dari para prajurit. Jenderal Mogis memang sudah memberi perintah untuk bersiap bergerak, jadi seharusnya mereka langsung membereskan tenda dan perlengkapan. Tapi kenyataannya, sebagian dari mereka masih tidur, sementara yang lain malah santai-santai makan dan minum. Bahkan ada satu prajurit yang dihajar habis-habisan oleh atasannya karena melepas perlengkapan dan hanya mengenakan pakaian dalam. Yang lain lagi jatuh dari pohon saat mencoba memanjat, dan akhirnya terluka.
Pasukan Ekspedisi ini begitu tak disiplin sampai-sampai Haruhiro merasa sedikit terkejut. Dan yang seperti ini bukanlah minoritas—sebagian besar pasukan justru seperti itu. Para perwira yang berlagak penting dan berjalan-jalan seolah mereka tokoh utama pun tak jauh berbeda. Karena itulah, selama tak ada yang melakukan sesuatu yang benar-benar keterlaluan—seperti berlari telanjang sambil berteriak-teriak—mereka nyaris tak pernah ditegur.
Sepertinya Jenderal Mogis sudah menyerah menghadapi mereka, karena setelah memberi perintah, ia tidak mengatakan apa-apa untuk waktu yang cukup lama. Tapi mungkin akhirnya kesabarannya habis juga. Ia berjalan menghampiri salah satu prajurit dan tiba-tiba menendang pantatnya.
“Kita bergerak. Cepat bersiap.”
Lalu, apakah itu membuat para prajurit langsung bereaksi? Tentu saja tidak. Beberapa mulai membongkar tenda mereka, meskipun dengan enggan. Tapi lebih dari setengahnya masih duduk-duduk murung, menendang-nendang batang pohon, atau mencabuti rumput.
“Whoa…” Kuzaku sempat tersenyum, tapi tak jadi. “Menurutmu ini wajar?”
Jelas nggak lah.
Saat pertama kali melihat kelompok ini, kesan pertama Haruhiro adalah bahwa mereka terdiri dari banyak pemuda. Meski begitu, mereka semua mengenakan baju zirah dan membawa pedang atau tombak. Ia sempat berpikir, walaupun mungkin belum banyak pengalaman, setidaknya mereka semua adalah prajurit profesional.
Tapi kemungkinan itu salah besar.
Ia berharap penilaiannya keliru, tapi sebagian besar dari mereka tampaknya jauh lebih tidak terlatih dibanding dirinya dan kelompoknya.
Dilihat dari postur dan cara bergerak mereka, kebanyakan lebih terlihat seperti amatiran. Membayangkan mereka menghadapi musuh dengan gagah berani, mengangkat senjata dalam pertempuran hidup dan mati—itu terasa mustahil bagi Haruhiro.
Waktu sudah melewati tengah hari saat Pasukan Ekspedisi akhirnya cukup terorganisir untuk bisa mulai bergerak. Tapi begitu tiba saatnya, para prajurit malah mengeluh lapar dan menuntut makan. Jenderal Mogis adalah orang yang sabar. Ia tidak membentak, hanya memutuskan bahwa mereka akan berangkat setelah makan siang. Tapi akhirnya, sampai matahari terbenam pun, Pasukan Ekspedisi hanya berhasil menempuh lima kilometer.
Hari kedua, mereka mulai bergerak sejak pagi-pagi sekali, dan tetap saja hanya bisa menempuh dua belas kilometer. Kalau melihat ritmenya, mereka mungkin baru bisa menyeberangi pegunungan lusa—bukan besok.
Malam itu, Anthony mengumpulkan Haruhiro dan yang lainnya.
“Kalian pasti frustrasi sekali, ya?”
“Yah…” Haruhiro menghindari menjawab langsung.
“Aku sendiri juga tidak tahu apa-apa soal situasi di daratan utama. Aku anak perbatasan.” Entah itu sindiran pada dirinya sendiri, atau menghina orang dari daratan utama—senyum Anthony bisa diartikan ke mana saja. “Tapi mereka selalu bilang daratan utama itu hebat. Katanya seperti surga, tidak seperti daerah liar tempat kita tinggal.”
“Kamu pernah ke sana, kan, Anthony…-san?” tanya Kuzaku.
Anthony menunduk, wajahnya muram, lalu mengangguk.
“Saat kami keluar dari Jalan Aorta Naga Bumi, kami sampai di sebuah benteng bernama Spezia… dan langsung ditahan di sana.”
Awalnya Anthony mengira itu karena mereka mendiskriminasi orang perbatasan. Tapi ternyata bukan itu alasannya. Jumlah orang daratan utama yang berinteraksi dengan Anthony dan kelompoknya dibatasi, dan mereka tidak membicarakan apa pun tentang daratan utama—bahkan ketika ditanya sekalipun.
“Waktu aku bergabung dalam Pasukan Ekspedisi ini dan kembali melewati Jalan Aorta Naga Bumi, Jenderal Mogis akhirnya memberitahuku yang sebenarnya,” kata Anthony sambil menghela napas. “Kami ditahan di Spezia karena mereka tidak ingin orang-orang perbatasan tahu keadaan sebenarnya di daratan utama. Karena… itu bukanlah surga.”
Sudah sekitar 130 tahun sejak manusia dari Kerajaan Arabakia melarikan diri ke selatan Pegunungan Tenryu.
Sejak itu, mereka menjajah wilayah selatan dan perlahan memperluas wilayah kekuasaan. Sekitar 100 tahun yang lalu, mereka kembali ke perbatasan dan mendirikan Altana.
Orang-orang Arabakia yang lahir di perbatasan—seperti Anthony, yang lahir di Altana—selalu diberi gambaran seperti ini:
Bahwa di wilayah selatan ada ratusan kota besar dengan penduduk melimpah.
Bahwa ladang membentang sejauh mata memandang, dan ternak merumput di perbukitan maupun kaki gunung dalam jumlah yang tak terhitung.
Bahwa tambang-tambang emas, perak, dan besi tersebar di mana-mana, dan karena itu, kerajaan memiliki pasukan dalam jumlah puluhan ribu, bahkan rakyat biasa pun mengenakan perhiasan yang luar biasa indahnya.
Bahwa jauh di selatan wilayah selatan, ada suku-suku barbar yang belum tunduk pada kerajaan. Tapi mereka hanyalah bangsa liar. Orang daratan utama menyebut mereka monyet, dan menyebut perang melawan mereka sebagai “perburuan.” Jarang ada tentara yang mati dalam “perburuan.” Kaum barbar itu bahkan saling bertarung satu sama lain, dan kerajaan kadang turun tangan untuk mendamaikan mereka. Raja adalah seorang ayah yang penuh kasih.
Bahwa daratan utama telah mengalami kemajuan pesat. Rakyat hidup makmur, dan seni hiburan seperti musik dan teater berkembang. Cahaya dari dewa Lumiaris memenuhi tanah itu.
Mata uang yang digunakan di Altana dicetak di daratan utama. Tapi nilainya sangat berbeda. Barang yang seharga satu koin emas di perbatasan bisa dibeli dengan sepuluh koin perak di daratan utama.
Dengan kata lain, tak ada kemiskinan di sana. Bahkan kalau kau kehilangan segalanya karena berjudi, ada lembaga-lembaga yang membantu kaum miskin. Mereka akan memberimu makanan, air, dan tempat tinggal.
“Itu semua cuma kebohongan besar,” kata Anthony sambil menunjuk ke arah para prajurit Pasukan Ekspedisi yang terbaring dalam gelap, atau berpesta minuman. “Kalau daratan utama itu surga, kenapa bajingan macam mereka bisa ada di sana?”
Menurut Jenderal Mogis, Pasukan Ekspedisi terdiri dari anak-anak kedua dan ketiga petani, para preman jalanan, dan pembelot yang berhasil ditangkap kembali.
Di daratan utama, hanya ada satu kota yang benar-benar pantas disebut sebagai kota: ibu kota.
Raja, keluarga kerajaan, para bangsawan terdekat, serta seribu lebih bangsawan dan antara satu sampai sepuluh ribu orang yang mendukung kelas-kelas istimewa itu tinggal di New Rhodekia—ibu kota Kerajaan Arabakia.
Ada tak terhitung banyaknya desa pertanian, tapi pajak yang dibebankan sangat tinggi, dan kehidupan penduduknya amat sulit.
Perang dengan “monyet” di selatan berlangsung luar biasa sengit. Para biadab itulah alasan mengapa mereka belum bisa membangun kota-kota besar. Penduduk dari daratan utama terus-menerus diserang kaum barbar, dan hidup dalam ketakutan akan penjarahan.
Kerajaan Arabakia telah berperang dengan para biadab itu selama lebih dari satu abad. Bukan hanya gagal memusnahkan mereka, bahkan menjejakkan kaki ke wilayah benteng-benteng mereka di selatan pun belum pernah. Kaum barbar itu terbagi dalam banyak suku, jadi kerajaan mencoba memanfaatkan satu suku untuk melawan suku lain. Lewat negosiasi licik seperti itulah mereka masih bisa mempertahankan wilayah mereka sejauh ini.
Di desa-desa pertanian, anak tertua yang mewarisi lahan. Anak kedua dan seterusnya harus hidup sebagai petani penggarap, atau meninggalkan desa.
Para pemuda dari desa-desa itu berbondong-bondong menuju New Rhodekia tanpa cara untuk menghidupi diri. Tapi hanya segelintir yang berhasil mendapatkan pekerjaan. Pada akhirnya, pilihan yang tersedia bagi mereka hanya dua: bergabung dengan kelompok kriminal, atau mendaftarkan diri ke militer.
Medan perang di selatan begitu keras, hingga desersi terjadi hampir setiap saat.
Ada pasukan anjing pemburu yang ditugaskan mengejar para desertir.
The Black Hounds.
Itulah nama unit operasi khusus yang ditugaskan menangkap, “mendidik ulang”, mengembalikan, atau bahkan mengeksekusi para pelarian.
“Setelah sepuluh tahun membantai kaum biadab di seluruh selatan, Jenderal Mogis ditunjuk menjadi komandan Black Hounds,” kata Anthony sambil melirik ke arah tenda jenderal. “…Aku nggak tahu apa yang dia lakukan sampai akhirnya malah memimpin Pasukan Ekspedisi. Tapi, melihat kualitas pasukan yang dia bawa, rasanya ini bukan promosi.”
Menurut Anthony, Pasukan Ekspedisi terdiri dari seribu orang, termasuk korps logistik yang menyokong mereka dari belakang.
Namun, kecuali beberapa lusin orang seperti Neal sang pengintai—yang merupakan anak didik Jenderal Mogis sejak di Black Hounds—tidak ada satu pun prajurit yang bisa dibilang layak. Bahkan yang pernah bertugas di militer dulunya adalah para desertir dari selatan. Mereka mengumpulkan para pengecut yang kabur demi nyawa sendiri, lalu mengirim mereka ke perbatasan.
Setora menghela napas.
“Ini bakal jadi sakit kepala besar.”
“Kalau melihat rekam jejak militernya, aku rasa jenderal itu cukup mumpuni,” gumam Anthony. “Pasti dia punya rencana.”
Sepertinya masing-masing orang punya niat dan situasi sendiri-sendiri, dan Haruhiro serta kelompoknya ikut terseret di tengah pusaran itu. Ia lebih suka tak terlibat, tapi sudah terlambat.
Jenderal itu telah mengancam Haruhiro secara terang-terangan. Jika mereka tidak bekerja sama, mereka akan dibunuh.
Sebanyak apa pun jumlah pasukan yang tak termotivasi, mereka bukan ancaman berarti. Tapi puluhan anak buah setia sang jenderal kemungkinan besar adalah veteran tangguh seperti Neal. Untuk saat ini, mereka tak punya pilihan selain menuruti perintah.
“Dia sempat bilang soal rencana menghancurkan Jalur Aorta Naga Bumi kalau Pasukan Ekspedisi gagal merebut Altana, kan?” tanya Haruhiro.
Anthony mengangguk.
“Dia memang bilang begitu. Mungkin dia sengaja bocorkan ke kita karena kita bukan orang daratan. Kabarnya ada agen-agen rahasia raja yang menyamar di antara pasukan.”
Agen-agen itu bertugas mengamati tindakan Pasukan Ekspedisi, dan kembali ke daratan utama untuk melapor kepada raja jika situasi menuntutnya.
Bagi Raja Arabakia dan para bangsawan, surga bukanlah di selatan, tapi di wilayah perbatasan ini. Kalau bisa, mereka ingin kembali dan merebutnya lagi. Bahkan sekarang, lebih dari seratus tahun sejak mereka diusir oleh Aliansi Para Raja, mereka belum menyerah pada mimpi itu.
Namun mimpi tetaplah mimpi.
Kerajaan sudah kewalahan hanya dengan menghadapi kaum barbar yang mengamuk. Bahkan saat Altana jatuh, satu-satunya yang bisa mereka kirim hanyalah gerombolan semrawut seperti Pasukan Ekspedisi ini.
“Kalau musuh berhasil menemukan dan menguasai Jalur Aorta Naga Bumi, habislah Kerajaan Arabakia kita,” kata Anthony dengan nada sinis. “Kupikir mereka bersiap untuk meruntuhkannya sebagai pilihan terakhir.”
Jika Pasukan Ekspedisi dikalahkan habis-habisan, para agen raja akan diam-diam mundur dan kembali ke daratan.
Setelah menerima laporan mereka, bila sang raja memutuskan untuk menyerah, maka mimpi kerajaan pun tamat. Tapi setidaknya, mereka bisa menghindari invasi dari Aliansi Para Raja.
Kuzaku menoleh ke sekeliling.
“Jadi maksudmu… ada mata-mata?”
“Aku memang lahir di perbatasan, tapi sejak kecil aku diajarkan untuk bangga menjadi bagian dari Kerajaan Arabakia,” ucap Anthony dengan getir. “…Untuk sekarang, aku cuma ingin merebut kembali Altana. Itu kampung halamanku. Kawan-kawan yang gugur tak akan bisa beristirahat tenang kalau begini terus.”
Haruhiro tidak terlalu paham soal raja, bangsawan, atau orang-orang daratan utama, tapi dia tidak sepenuhnya tak bisa memahami perasaan Anthony.
Namun, benarkah mereka bisa merebut Altana kembali?
Keesokan harinya, mereka maju lima kilometer ke arah timur, dan Pasukan Ekspedisi bersiap menyeberangi pegunungan.
Meski begitu, tak ada hal khusus yang harus dilakukan. Mereka hanya akan beristirahat lebih awal karena pegunungan di depan mereka tampak seperti bisa menjadi sarang naga.
Apakah Jenderal Jin Mogis sungguh berniat merebut Altana kembali?
Keesokan harinya, Pasukan Ekspedisi mulai mendaki pegunungan.
Para prajurit menunjukkan rasa takut, atau menyembunyikannya dengan bersenda gurau, atau mengeluh soal betapa beratnya pendakian. Para pengawal di sekitar Jenderal Mogis tampak diam. Mungkin mereka memang anggota Black Hounds, atau prajurit sejati yang bukan bekas desertir.
Berapa banyak dari mereka yang benar-benar bisa bertarung?
Ia mencoba menghitung. Tapi selain Anthony, lima orang anak buahnya, dan kelompok Haruhiro sendiri, mungkin hanya ada lima puluh orang yang bisa diandalkan—paling banyak.
Saat ia mendaki sambil murung, Neal sang pengintai menghampirinya.
“Pernah ketemu naga sebelumnya?”
Haruhiro menatap Merry.
Menurut ceritanya, mereka pernah diserang oleh seekor naga yang sangat menakutkan dan menyemburkan api, serta bertarung melawan naga kecil yang disebut wyvern. Haruhiro sendiri—katanya—bahkan pernah menunggangi seekor naga di tempat bernama Kepulauan Zamrud.
Tentu saja, ia tidak mengingat apa pun dari semua itu.
Saat Haruhiro masih memikirkan bagaimana harus menanggapi, Kuzaku menjawab lebih dulu, “Yah, beberapa kali.”
“Naga-naga di Pegunungan Tenryu?” tanya Neal.
“Bukan,” jawab Kuzaku sambil mengangkat bahu. “Tapi naga ya naga, kan?”
“Jangan bilang kau pernah membunuh satu.”
“Bukan membunuh, tapi mengendarainya.”
“…Apa?”
“Tapi bukan aku. Itu Haruhiro.” entah kenapa, Kuzaku terdengar bangga.
Neal menatap Haruhiro.
“Kau?”
“Dia memang kelihatannya biasa aja, tapi pemimpin kami hebat, lho.” Kali ini, nada Kuzaku terdengar sungguh-sungguh bangga.
Aku nggak sehebat itu, dan maksudmu ‘kelihatannya biasa aja’ itu apa, sih? Lagi pula, kau juga bahkan nggak ingat kejadian itu.
Banyak sekali hal yang bisa ia cela dari ucapan Kuzaku, sampai-sampai Haruhiro tak tahu harus mulai dari mana. Tapi karena mereka sedang menyembunyikan kenyataan bahwa mereka kehilangan ingatan, ia memilih menahan diri.
“Aku sempat merasa kau tenang banget, dan ternyata ini alasannya, ya?” Neal tersenyum masam. “Kalau nanti muncul naga, urus sendiri, ya. Aku cuma pernah lihat dari jauh. Jujur aja, aku takut setengah mati.”
“Kau nggak kelihatan takut,” komentar Haruhiro.
“Aku cuma sok keren di depan para wanita,” jawab Neal santai.
Tiba-tiba, Setora berhenti melangkah.
Ia menoleh ke arah selatan, menyipitkan mata.
Wajah Neal langsung menegang.
“Eh, apa? Jangan bilang…”
Setora menyeringai.
“Bercanda.”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)