8. Mata yang Berkarat (Grimgar)

Perkemahan mereka di bawah bayang-bayang bebatuan semakin lengkap dari hari ke hari. Setelah mencoba hidup di sana, Haruhiro menyadari bahwa daerah sekitarnya menyimpan lebih banyak sumber daya dibandingkan lembah yang dulu mereka tinggali. Tumbuhan tumbuh lebih beragam, bukan hanya yang bisa dimakan, tetapi juga banyak sulur dan tanaman merambat yang kuat.

Beberapa tanaman rambat yang mereka temukan bisa digunakan sebagai tali—itu sudah jelas—tapi Setora bereksperimen dan menemukan bahwa beberapa jenisnya cukup kuat untuk dijadikan tali busur juga. Memang akan sulit bagi Setora membuat anak panah dengan ujung logam, tapi bahkan sebatang kayu runcing pun memiliki daya tembus yang tak bisa diremehkan. Kehadiran busur membuat perburuan jadi jauh lebih efisien.

Mereka juga telah mendapatkan paku di Pos Lonesome Field. Ditambah dengan tanaman rambat yang melimpah, hal itu memperluas jenis-jenis bangunan yang bisa mereka buat.

Hewan liar pun banyak. Meskipun mereka hanya pernah melihat kuda-naga satu kali, mereka sering menjumpai kawanan peby, makhluk mirip anjing namun bertubuh seperti kelinci, serta ganaro, yang bentuknya seperti sapi liar. Semakin dekat ke Pegunungan Tenryu, mereka bahkan menemukan monyet-monyet dengan wajah mirip rubah. Dari lolongan yang terdengar dari kejauhan, bekas cakaran di pohon-pohon, serta kotoran yang sesekali mereka temui, jelas bahwa ada serigala dan beruang di sekitar. Jika pemangsa sebesar itu bisa berkembang biak di sini, berarti jumlah mangsanya pun melimpah.

Jarak mereka dari Riverside Iron Fortress dan para kobold yang mendudukinya setidaknya sepuluh—mungkin lima belas—kilometer. Apakah itu cukup dekat untuk menganggap mereka ancaman? Atau cukup jauh untuk merasa aman?

Sama seperti lembah di kaki gunung, mereka tetap harus waspada terhadap naga-naga yang tinggal di Pegunungan Tenryu.

Pada hari ketiga sejak tinggal di bawah bayang-bayang bebatuan, mereka mencoba berjalan sekitar lima atau enam kilometer ke arah barat, menuju Sungai Jet.

Ketika mereka tanpa sengaja melihat ke arah hulu, tampak makhluk besar berenang dengan kepala mencuat di atas air. Bentuknya menyerupai naga. Mereka semua panik dan segera pergi dari sana. Itu kejadian yang tak bisa dihindari.

Di hari keempat, mereka menemukan jejak-jejak menarik sekitar satu kilometer sebelah timur perkemahan. Ada banyak jejak kaki, dan bekas seperti sesuatu yang pernah duduk di tanah. Dilihat dari bentuknya, jejak itu bukan milik hewan berkaki empat, melainkan makhluk berkaki dua.

Malam itu, Haruhiro, Setora, dan Kiichi berjaga di dekat tungku yang dirancang sedemikian rupa agar cahaya apinya tak terlihat dari luar, ketika tiba-tiba Kiichi menoleh ke arah tenggara dan telinganya berdiri tegak.

Setora hendak mengatakan sesuatu. Haruhiro mengangkat tangan, memberi isyarat agar ia diam, dan Setora langsung menutup mulutnya.

Ada suara.

Haruhiro pun mendengarnya, meskipun ia tak tahu suara macam apa itu.

Bukan suara binatang—setidaknya, itu yang bisa ia rasakan. Ia memang tak punya bukti. Hanya firasat.

Haruhiro memberi isyarat pada Setora dan Kiichi.

“Tunggu di sini. Biar aku yang cek.”

Setora mengangguk. Kiichi mungkin akan menuruti perintahnya.

Tanpa bersuara, Haruhiro menjauh dari tungku.

Ia tak merasa terganggu dengan perasaan seperti menyelam dalam kegelapan. Bahkan, bisa dibilang, ia merasa nyaman di dalamnya.

Udara malam terasa lebih cocok untuknya dibanding siang hari. Ia bahkan merasa bisa menyentuh sesuatu melalui udara malam itu—merasakan kehangatannya.

Ia mencari ke mana-mana, tapi tidak menemukan apa-apa.

Kesimpulannya: tidak ada hewan besar di sekitar.

Tapi, meski saat ini tidak ada, bukan berarti tak pernah ada.

Bisa saja ada sesuatu yang mendekat untuk mengintai mereka, namun tanpa sengaja atau karena alasan tertentu membuat suara. Lalu, menyadari kesalahan, makhluk itu kabur sambil berpikir, Waduh!

Jejak kaki itu juga masih ada. Apapun yang sedang terjadi, mereka harus makin waspada. Jika perlu, mereka mungkin harus meninggalkan perkemahan di bawah bayangan batu itu. Rasanya berat, tapi kalau memang harus, mereka tak boleh ragu.

Saat mereka membicarakannya di waktu sarapan, suara itu datang lagi—kali ini lebih jelas. Bukan hanya suara gemerisik, tapi suara manusia.

“Prajurit relawan?”

“…Huh?” Kuzaku langsung mengambil katana besar di kakinya. “S-Siapa di sana?!”

“Kau pikir kami akan menjawab jujur?” Setora mengambil busur dan menoleh ke arah Haruhiro.

Haruhiro menarik napas dalam.

Prajurit relawan?

Suara itu menanyakan apakah mereka adalah prajurit relawan.

Merry tetap diam dan menatap ke arah datangnya suara—dari tenggara.

Apa yang harus mereka pikirkan? Ataukah, daripada berpikir, lebih baik langsung bergerak?

Kami lengah. Sudah ada tanda-tandanya. Harusnya kami bisa mengantisipasi hal ini, pikir Haruhiro, tapi… apakah itu benar? Penyesalan memang selalu datang belakangan. Ia bukan dewa yang maha tahu. Bukan pula jenius. Ia hanyalah manusia biasa yang biasa-biasa saja. Bahkan jika ia bisa menduga kemungkinan ini, ia tak mungkin tahu semua detailnya. Menyesali hal yang mustahil ia kendalikan sejak awal pun tak ada gunanya.

“Kalau kalian prajurit relawan, tolong, jawab,” kata suara itu lagi.

“…Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kuzaku sambil berjongkok, menatap Haruhiro.

Sebelum Haruhiro sempat menjawab, suara itu kembali mendesak.

“Kecurigaanmu bisa dimaklumi, tapi kami bukan orang-orang mencurigakan. Jika kalian adalah prajurit relawan, kita bisa bekerja sama.”

Kening Setora mengerut.

“‘Kami’…?”

“…Dia tidak sendirian,” bisik Shihoru.

Merry menoleh pada Haruhiro.

“Mungkin mereka sisa pasukan perbatasan.”

“Aku akan mendekat ke arahmu,” kata Haruhiro pada pemilik suara itu. Lalu dengan cepat ia menatap satu per satu rekannya. “Kalian tetap di sini. Hati-hati.”

Kuzaku membalas singkat, “Oke,” tapi Setora melemparkan tatapan yang lebih menunjukkan kelelahan atas keputusannya daripada ketidaksetujuan. Shihoru pun tampak cemas.

“Tunggu,” Merry meraih lengan Haruhiro. “Biar aku ikut.”

“Tidak, tapi—”

“Apa kamu lupa? Kamu kehilangan ingatan. Bisa nggak kamu ambil keputusan dalam sepersekian detik?”

“Dia ada benarnya.” Setora mengangguk. “Kalian pergi berdua saja. Berkorban diri itu mulia, tapi kalau terlalu jauh, jadinya cuma menyusahkan dan lebih banyak merugikan.”

Haruhiro hampir saja minta maaf, tapi menahan diri dan hanya berkata, “…Kamu benar.”

Merry pun ikut melangkah bersamanya menuju arah suara itu.

Seorang pria muncul dari balik pepohonan, sekitar tiga puluh meter di depan mereka.

“Di sini,” katanya.

Haruhiro dan Merry saling menatap.

Orang macam apa dia? Menurut Haruhiro, penampilan pria itu tidak jauh beda dari mereka, meski jelas lebih tua. Mungkin lebih dari tiga puluh tahun. Ia berjanggut, mengenakan pakaian kulit, sepatu bot, dan jubah hijau tua.

“…Aku tidak mengenalnya,” gumam Merry ragu. “Seingatku, tidak ada tentara perbatasan yang berpakaian seperti itu. Tapi dia juga tidak terlihat seperti prajurit relawan…”

Pria itu mendekat.

“Aku dari Pasukan Ekspedisi Kerajaan Arabakia.”

“Pasukan Ekspedisi?” Haruhiro mengerutkan alis. “…Merry, kamu pernah dengar?”

Merry menggeleng.

“Tapi kalau dia bukan dari pasukan perbatasan…”

Haruhiro maju setapak, menjaga Merry tetap di belakangnya.

Pria itu berhenti sekitar sepuluh meter dari mereka.

Ia tidak tampak bersih. Kulitnya kotor, penuh debu dan noda. Meski begitu, Haruhiro juga sudah terbiasa hidup di alam bebas, jadi dia tak bisa banyak bicara soal kebersihan.

Bagian putih matanya menguning, urat-urat merah menyebar di sudutnya. Tangan tanpa sarungnya sangat kotor, meski kukunya pendek dan rapi.

Dan saat berjalan, nyaris tak ada suara yang ditimbulkannya.

“Kami datang dari daratan utama,” ujar pria itu, lalu menyeringai. “Kalau kalian memang prajurit relawan, berarti kami bala bantuan. Kukira kalian akan menyambut kami.”

“Menyambut…” Haruhiro bergumam, lalu membalas dengan senyum tipis.

Sejujurnya, ia sedang menyembunyikan kebingungannya. Ia butuh waktu untuk mencerna semua ini.

“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Merry pada pria itu.

“…Di tempat seperti ini?”

Pria itu mengangkat bahu. Tampaknya, ia memang tak ingin atau tak bisa menjawab.

Ia tampak tangguh. Tapi bisakah mereka mempercayainya? Haruhiro belum bisa memutuskan.

“Aku pengintai. Bisa dibilang, posisiku paling bawah.” Ia tersenyum, seolah berkata, Kau pasti paham, kan? “Aku tak punya wewenang. Kalau kalian bersedia, tugasku cuma membimbing kalian kembali ke kamp. Komandan, atau orang kepercayaannya, akan menyampaikan informasi yang perlu kalian ketahui.”

Kamp. Komandan. Informasi. Haruhiro mengulang dalam hati sambil merenung.

“Kamu yang mengawasi kami semalam, ya?”

“Jadi kalian sadar.” Pria itu menjilat bibir bawahnya. “Kau sama sepertiku. Pengintai… Atau di perbatasan, mereka menyebutmu thief, ya?”

Pria itu berbicara cukup sopan, tapi gestur dan ekspresinya kasar.

Bahkan sekarang pun, pria itu masih menilai Haruhiro dan Merry. Pikirannya pasti begini: Kalau aku harus membunuh mereka, gimana caranya yang paling cepat?

Dan sebenarnya, Haruhiro pun berpikir hal serupa.

Pria ini tampak kompeten. Tapi dia bukan lawan yang mustahil untuk dikalahkan. Dengan Merry di sisinya, mereka dua lawan satu. Meski begitu, itu bukan alasan utama. Pria ini jelas meremehkan Haruhiro. Dan di situlah celahnya.

Meski demikian, bisa jadi pria ini punya alasan untuk bersikap sesantai itu.

“Dan kalau kami—” Haruhiro memulai.

“Dan kalau kalian,” pria itu memotong, “adalah orang-orang tak bermoral yang tak akan menyambut kami, maka dengan sangat menyesal, aku tak punya pilihan selain menyingkirkan kalian. Jika kau bukan orang bodoh, pasti paham bahwa ini bukan ancaman kosong. Aku mengatakan itu karena aku mampu melakukannya.”

“Apa maksudnya…?” bisik Merry.

Sederhananya, itu berarti pria ini—atau lebih tepatnya, Pasukan Ekspedisi itu—berada satu atau dua tingkat di atas kelompok Haruhiro.

Haruhiro melirik ke belakang pria itu. Baru sekarang ia sadar—karena sebelumnya fokusnya hanya tertuju pada pria ini. Dan pria itu memang sengaja melakukannya.

Ada sejumlah pria bersenjata tersebar di hutan. Mereka tidak berdiri terbuka, tapi lebih dari satu terlihat setengah bersembunyi di balik pohon atau semak.

Sekilas saja, Haruhiro sudah menghitung ada sekitar sepuluh orang.

Ia mengangkat kedua tangannya.

“Tentu saja kami menyambut kalian.”

Mereka hanya berlima, ditambah Kiichi. Orang-orang ini mengaku sebagai pasukan militer, jadi kemungkinan jumlah mereka jauh lebih dari sepuluh atau dua puluh. Skala mereka jelas berbeda.

“Maksudku, kami sudah menyambut kalian sejak awal. Apa kesannya tidak begitu?”

“Oh, aku bisa melihatnya,” jawab pria itu sambil menyunggingkan senyum mengejek. “Tapi semalam aku datang sendirian, tahu? Aku yakin, kalau kami kembali dengan kekuatan penuh, kalian pasti akan menyambut kami. Kalau ada pesta, makin ramai, makin seru, kan?”

Haruhiro sebenarnya lebih suka malam yang tenang daripada keramaian yang riuh, tapi sekarang bukan saatnya memperkeruh suasana.

“Benar juga,” ujarnya.

“Namaku Neal.” Pria itu melangkah lebar-lebar dan mengulurkan tangan kanannya. “Kau?”

Haruhiro menyambut jabatan tangannya dan memperkenalkan diri.

“Aku Haruhiro.”

Neal menariknya mendekat, lalu berbisik di telinganya.

“Wanita yang bersamamu itu—dia cukup seksi.”

Darah Haruhiro langsung naik ke kepala.

Neal tampaknya bisa membaca reaksinya, lalu menepuk bahunya sambil tersenyum.

“Itu pujian, kok.”

Haruhiro dan Merry kembali ke tempat perkemahan di balik batu bersama Neal. Setelah menjelaskan situasinya kepada Kuzaku, Setora, dan Shihoru, mereka memutuskan untuk membongkar kemah dan ikut ke perkemahan Pasukan Ekspedisi.

Perkemahan Pasukan Ekspedisi terletak lebih dari lima kilometer dari batu itu, di dalam hutan arah barat daya. Letaknya cukup dekat dengan Pegunungan Tenryu, tapi menurut Neal, mereka belum pernah diserang naga.

Ada sekitar lima puluh tenda berdiri di sana, dan para prajurit bersenjata tampak sedang beristirahat atau merawat perlengkapan mereka. Kelompok-kelompok prajurit duduk melingkar, tapi sepertinya bukan sekadar mengobrol. Beberapa dari mereka melempar dadu kayu, atau memainkan semacam permainan dengan banyak stik pendek. Apa mereka sedang berjudi?

Begitu para prajurit menyadari kehadiran Haruhiro dan rombongan, mereka mulai menatap, berbisik-bisik, lalu tertawa dengan nada mengejek.

Kebanyakan dari mereka masih muda, ada yang sedikit lebih tua, ada juga yang tampaknya lebih muda dari kelompok Haruhiro. Tapi tak sedikit pula prajurit paruh baya, bahkan yang sudah separuh ubanan.

Terus terang, mereka memberi kesan yang buruk.

Haruhiro tak tahu pasti, tapi pasti ada aturan dan tata tertib dalam sebuah pasukan militer. Namun orang-orang ini tampak sembrono. Meski ia sendiri sudah terbiasa hidup liar, tetap saja mereka lebih mirip gerombolan barbar.

Di bawah tatapan terang-terangan dari para prajurit itu, Setora tampak tetap tenang. Tapi Merry dan Shihoru sama-sama menunjukkan wajah tak nyaman, bahkan muak.

“Mereka datang dari jauh untuk mengabdi pada militer, dan… yah, semua orang sedang tegang,” ujar Neal dengan senyum menyeringai. “Mungkin sedikit terlalu menggoda bagi para nona di sini, tapi tolong maklumi, ya? Mereka nggak berniat jahat, kok.”

“Menggoda, ya?” suara Kuzaku terdengar kesal. “Kau yakin bukan berniat jahat? Aku susah percaya itu.”

Neal berdeham, lalu tertawa kecil, tapi tak memberikan jawaban.

Mereka melintasi perkemahan yang tak dibagi dalam zona tertentu, hingga akhirnya sampai di area di mana beberapa tenda besar berdiri berdekatan. Di sekitar meja dan kursi di sana, ada orang-orang yang sedang duduk atau berdiri. Mereka tampaknya bukan prajurit biasa.

Neal melangkah ke depan, berlutut, dan menundukkan kepala.

“Jenderal. Saya sudah membawa mereka.”

“Bagus.”

Pria yang dipanggil Jenderal itu tidak terlihat kucel seperti Neal atau para prajurit lainnya; ia memelihara janggut dengan rapi. Usianya tampak sekitar empat puluhan, dengan rambut merah dan mata tajam. Armor-nya mengilap, dan di atasnya ia mengenakan mantel bulu hitam. Ia juga bertubuh tinggi, meski masih lebih pendek dari Kuzaku.

“Jadi kalian ini para prajurit relawan yang masih selamat, ya?”

Suaranya berat, dalam, dan mengintimidasi.

Sejenak Haruhiro ragu. Haruskah ia bersikap manis? Atau tetap biasa saja?

“Um, iya.”

“Apa maksudmu ‘Um’ itu?”

“Iya.” Haruhiro segera memperbaiki jawabannya.

Ia mulai berkeringat dingin dan mengerutkan wajah. Pria ini cukup menakutkan.

Jenderal itu menoleh pada pria lain yang berdiri tak jauh darinya, bukan duduk seperti yang lain.

“Kau kenal mereka, Anthony?” tanya sang jenderal.

Pria bernama Anthony itu menggeleng pelan.

“Tidak, Jenderal. Saya tidak punya kenalan pribadi di antara para prajurit relawan. Tapi saya tahu beberapa nama.”

Jenderal itu menatap Haruhiro dengan mata sewarna karat.

“Siapa namamu?”

“Haruhiro.”

Lebih baik tidak membantah pria ini. Ia memang terkesan menyeramkan. Tapi Haruhiro juga tidak ingin terlihat terlalu tunduk. Entah dari mana datangnya keinginan itu, ia sendiri pun tak tahu.

“Yang lain adalah Kuzaku, Shihoru, Merry, dan Setora. Juga, nama nyaa itu Kiichi.”

“Aku tidak mengenal mereka,” kata Anthony sambil mengangkat bahu. “Kurasa mereka bukan seperti Soma, Akira, atau Renji, yang bahkan dihormati pasukan reguler.”

“Soma… Renji…” Merry berbisik.

Kedua nama itu pernah disebut dalam cerita-cerita yang Merry bagikan pada mereka.

“Renji bergabung di waktu yang sama dengan kami,” kata Haruhiro, lalu berhenti sejenak. “Kami… adalah anggota dari guild-nya Soma, Day Breakers.”

Itu bukan kebohongan, sejauh yang ia tahu. Hanya saja, ia tak mengingat detail-detail di baliknya.

“Day Breakers?” sang jenderal menoleh pada Anthony.

Anthony mengangguk.

“Guild itu semacam satuan kecil, mirip dengan peleton dalam struktur militer. Soma mengumpulkan para sukarelawan berbakat untuk membentuk Day Breakers. Beberapa dari mereka, seperti Akira, Rock, dan Io, bahkan terkenal di antara kami di Pasukan Perbatasan.”

“Kamu dari Pasukan Perbatasan?” tanya Haruhiro.

Anthony kembali mengangguk. “Benar. Graham Rasentra, komandan Pasukan Perbatasan di Altana, mengirim utusan ke daratan utama untuk meminta bantuan. Aku dan anak buahku ditugaskan mengawal utusan itu.”

“Kami tidak tahu banyak soal perbatasan,” kata sang jenderal sambil memandang sekelilingnya. “Anthony adalah pemandu berharga. Karena itu, meski ia baru saja tiba, kami membawanya serta bersama Pasukan Ekspedisi.”

“Aku lahir di perbatasan,” kata Anthony dengan nada patuh. “Aku tak berniat hidup nyaman di daratan utama. Aku memang berniat kembali ke sini, cepat atau lambat.”

Haruhiro sebenarnya tidak begitu peduli dengan situasi mereka, tapi setidaknya ia mulai menangkap gambaran besarnya.

Kerajaan Arabakia dulunya berjaya di utara Pegunungan Tenryu, di wilayah yang sekarang disebut perbatasan. Namun, setelah dikalahkan oleh Aliansi Para Raja yang dipimpin No-Life King, mereka melarikan diri ke selatan Pegunungan Tenryu. Wilayah yang kini disebut daratan utama dulunya pun pernah menjadi perbatasan.

Pangkalan terbesar Kerajaan Arabakia di perbatasan, Altana, mendadak diserang.

Jenderal Graham entah-siapa-namanya dari Pasukan Perbatasan merasa tidak sanggup mempertahankannya, dan meminta bala bantuan ke daratan utama.

Dan pada akhirnya, bantuan itu datang.

Atau… nyaris datang.

“Sepertinya Altana sekarang hanya dipenuhi goblin,” kata Haruhiro sambil menundukkan pandangan. Lebih baik menyampaikan fakta ini tanpa emosi. “Ada orc di Deadhead Watching Keep, kobold di Riverside Iron Fortress, dan tak ada siapa-siapa di Pos Lonesome Field.”

“Kami sudah tahu itu,” sang jenderal menyela, melambaikan tangan.

Haruhiro tak langsung paham apa sebenarnya yang ia harapkan darinya.

Anthony memutuskan untuk membantunya.

“Jenderal ingin berbicara langsung denganmu.”

Jelas, tak mungkin mereka punya urusan pribadi. Maksudnya adalah sang jenderal ingin berbicara secara rahasia. Dan Anthony sedang menyampaikannya secara halus.

Haruhiro menoleh pada rekan-rekannya sejenak, lalu melangkah mendekati sang jenderal.

Jenderal itu berbalik dan mulai berjalan. Itu jelas berarti: Ikuti aku.

“Kerajaan Arabakia kita sudah tidak memiliki pijakan lagi di perbatasan ini,” kata sang jenderal dengan suara rendah sambil berjalan santai. “Jika sang raja dan para bangsawan kepercayaannya di daratan utama memutuskan bahwa situasinya terlalu sulit untuk dipulihkan, maka kalian… dan kami… akan berada dalam posisi yang cukup sulit.”

Haruhiro tidak bisa memahami sepenuhnya maksud dari semua ini, terutama jika sang jenderal terus berbicara berputar-putar seperti itu. Ia bahkan tak memiliki ingatan.

Haruskah ia merahasiakannya? Atau lebih baik jujur dan mengungkapkannya? Ia belum sempat mendiskusikannya dengan yang lain. Keputusan itu harus segera diambil, tapi untuk sekarang, mungkin lebih baik diam dulu.

Atau… ia sendiri pun tidak yakin apa yang lebih baik. Keadaannya terlalu rumit dan sensitif. Untuk sementara, diam adalah pilihan paling aman.

“Umm, jadi maksudnya…”

“Raja dan para bangsawannya hampir pasti akan mencoba memutus hubungan antara daratan utama dan perbatasan untuk selamanya.”

“Memutus…?”

“Ya. Membuat kedua wilayah itu tidak lagi bisa saling terhubung.”

“…Itu aku mengerti.”

Apa ya? Ia merasa pernah mendengar sesuatu soal ini dari Merry.

Oh, iya.

Di Pegunungan Tenryu—atau mungkin di bawahnya—ada jalan rahasia, semacam… Jalan Naga apa lah itu. Dahulu, orang-orang Arabakia menggunakan jalan itu untuk melarikan diri ke selatan Pegunungan Tenryu. Tapi mereka juga menggunakannya untuk mengirim pasukan ke perbatasan dan membangun Altana.

Bahkan sampai sekarang, arus manusia dan barang masih mengalir antara Altana dan daratan utama lewat jalan itu.

Atau, ya… dulunya begitu.

Apapun namanya, jika orang tahu di mana jalan itu berada, maka perjalanan antara daratan utama dan perbatasan masih mungkin dilakukan.

Pasukan Ekspedisi ini kemungkinan besar juga melewati jalan itu.

Sang jenderal berhenti berjalan, jadi Haruhiro ikut berhenti.

Tak ada tenda di sekitar mereka. Tak ada prajurit juga.

“Jika kami tidak bisa mengamankan pangkalan sebesar Altana, sang raja pasti akan menghancurkan Jalan Aorta Naga Bumi.”

Ohhh. Jadi nama resmi jalan itu Jalan Aorta Naga Bumi.

“…Menghancurkannya?” gumam Haruhiro.

Sang jenderal berbalik, membungkuk sedikit agar wajahnya lebih dekat ke Haruhiro.

“Kami ini pasukan campuran, seperti yang bisa kau lihat. Kami butuh semua bantuan yang bisa kami dapatkan. Kau akan bekerja sama, prajurit relawan. Jangan bilang tidak. Kami harus menjaga informasi tetap aman. Kalau kau menolak, maka aku tak punya pilihan selain membunuhmu.”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x