“Ini pusat kendali Bahtera,” kata Haru.
Akhirnya, Manato mengerti bagaimana Haru bisa membuka pintu-pintu di sepanjang lorong. Ternyata tidak rumit sama sekali. Cukup menekan sebuah tombol kecil yang nyaris tak terlihat di samping pintu. Lalu pintunya terbuka. Sesederhana itu.
Pintu itu meluncur mulus ke kanan dan menghilang ke dalam dinding. Yori dan Riyo memandangi gerakan itu dengan penuh rasa ingin tahu. Bagi Manato sendiri, dia pernah melihat mesin bertenaga listrik seperti ini saat masih di Jepang, jadi meskipun tampak canggih, hal seperti ini bukan sesuatu yang mustahil baginya. Tapi bagi dua orang itu, benda semacam ini jelas sangat asing.
Ruangan yang disebut Haru sebagai “pusat kendali” itu terasa lebih mirip Jepang daripada Grimgar. Di Tsunomiya, di Mebashi, di Kariza juga, ada wilayah-wilayah tertentu yang hanya bisa dimasuki oleh para yakuza yang menguasai daerah tersebut. Di sana berdiri bangunan-bangunan mewah berdesakan, dan kendaraan bermotor—yang jauh berbeda dari mobil keitora biasa—lalu-lalang. Kalau sampai ketahuan yakuza, bisa-bisa dibunuh. Tapi tetap saja, meski tahu risikonya, Manato pernah menyelinap ke sana beberapa kali, hanya untuk melihat-lihat. Tentu dia tak pernah masuk ke dalam bangunan, tapi ada yang seluruhnya terbuat dari kaca sehingga bagian dalamnya terlihat, atau ada jendela yang bisa diintip dari luar—setidaknya memberinya sedikit gambaran.
“Yah, tapi… tetap saja berbeda, ya,” gumamnya pelan.
Ruangan ini tidak sebesar gudang. Pencahayaannya pun samar, hanya cukup untuk melihat sekitar. Langit-langitnya tidak tinggi. Meja—atau mungkin semacam meja kerja—tersusun rapi, dengan kursi-kursi di sekitarnya. Ada perbedaan ketinggian di ruangan itu. Bagian depan, tempat mereka masuk, adalah yang paling tinggi, lalu semakin ke dalam, lantainya menurun. Ada tangga, juga jalan landai seperti lereng.
Haru mulai menuruni tangga.
Yori dan Riyo tampak ragu-ragu.
Manato memutuskan mengikuti Haru dari belakang.
“Hei, Haru. Apa sebenarnya pusat kendali ini?”
“Tempat ini mengatur seluruh fungsi Bahtera… Meskipun, yang aku pahami sendiri hanya sebagian kecil saja,” jawab Haru tenang.
“Fungsi, ya? Aku benar-benar nggak paham maksudmu!”
“Satu hal yang pasti—Bahtera ini bukan bagian dari Grimgar. Bahtera datang dari dunia lain. Entah jatuh atau memang mendarat di sini. Kemungkinan besar, penumpang awal Bahtera bukanlah orang-orang seperti kita.”
“Ah, jadi memang kapal, ya? Makanya disebut Bahtera. Tapi bentuknya nggak mirip kapal sama sekali.”
“Tampilan luar bisa disamarkan. Bukan cuma luar, bagian dalam juga bisa diubah.”
“Awalnya lorong itu juga tangga spiral, kan?”
“Dan bukan hanya Bahtera. Topeng ini juga begitu—”
Haru kembali mengenakan topeng itu. Padahal sepertinya tak ada lagi kebutuhan untuk menyembunyikan wajahnya. Tapi ia tampak sudah terbiasa memakainya. Mungkin, justru melepasnya sekarang akan membuatnya merasa tidak nyaman.
“Di Grimgar, ada banyak hal yang berasal dari dunia lain. Mungkin tempat ini memang menarik hal-hal seperti itu.”
“Dunia lain… maksudmu, Jepang? Apakah Jepang juga termasuk dunia lain?”
“Kurasa begitu.”
Begitu menuruni seluruh anak tangga, Haru berhenti di depan sebuah meja panjang. Ini bukan meja biasa. Ada tonjolan-tonjolan aneh dan pola seperti simbol atau diagram yang terukir di permukaannya.
Yori dan Riyo pun menyusul turun.
“Jadi, bagian dalam menara itu seperti ini, ya…”
Yori tampak waspada. Tatapannya tajam, matanya terus bergerak, mengamati segala arah seolah ia siap menghadapi apa pun. Riyo, yang selalu menuruti Yori, tetap tanpa ekspresi. Manato tak bisa membaca pikirannya. Tak tahu apa yang ia rasakan atau pikirkan.
Meski sempat kalah setelah dibuat pingsan oleh Haru, Riyo segera siuman. Dilihat dari kondisinya sekarang, ia tampaknya tidak mengalami luka serius. Haru telah dipatahkan lehernya dan dihancurkan wajahnya—secara teknis—namun tetap berhasil menahan diri agar Riyo tak mengalami cedera parah. Pada akhirnya, Haru memang memilih cara menang yang seperti itu.
Tak aneh kalau mereka bingung, pikir Manato.
Haru melepas sarung tangan kanannya. Sama seperti wajahnya yang pucat luar biasa, kulit tangannya pun putih menyilaukan. Ia meletakkan telapak itu di atas pola yang tergambar di meja.
“Kontrol. Meminta otentikasi.”
Begitu Haru mengucapkannya, berbagai titik cahaya menyala di sekeliling mereka, membuat Manato terkesiap.
“Uwah…”
Yori tidak bersuara, tapi tubuhnya menegang refleks. Riyo menatap lebar-lebar—matanya terbuka penuh, nyaris tak berkedip.
Pola tempat Haru meletakkan tangan kini memancarkan cahaya kebiruan.
『Otentikasi diterima. Sistem kontrol diaktifkan.』
“…Siapa itu?”
Manato menoleh, mencari sumber suara. Itu bukan suara Haru, bukan pula Yori atau Riyo.
Di depan Haru—meski tak terlalu dekat—terlihat deretan huruf putih yang melayang di udara. Manato bisa membaca dan menulis sedikit, tapi huruf-huruf ini sama sekali asing baginya. Melihat ekspresi terdiam dan sorot curiga dari Yori dan Riyo, tampaknya mereka pun tak bisa membacanya.
“Ubah penyamaran Kode: Ruang Cadangan A dan Kode: Ruang Cadangan B.”
Suara Haru menyusul, tenang dan terukur. Suara yang tadi menjawab lagi:
『Perubahan penyamaran diterima.』
“Hm… Ukuran: Tipe Tiga. Gaya: Modern. Jenis: Ruang tinggal satu kamar. Ruang Cadangan A pakai ranjang tunggal, dan Ruang Cadangan B ranjang kembar.”
『Diterima. Laksanakan penyamaran?』
“Ya, lanjutkan.”
『Diterima. Penyamaran selesai dalam seratus delapan puluh detik.』
“Tak perlu hitung mundur.”
『Diterima. Perhitungan dibatalkan.』
“…Haru?”
Manato menarik ujung mantel Haru, menggenggamnya ringan.
“Dari tadi kamu bicara sama siapa, sih?”
“Control,” jawab Haru, sambil melepaskan tangannya.
Begitu tangannya terangkat, cahaya berbentuk pola geometris pun menghilang.
“Lebih tepatnya… bukan ‘siapa-siapa’. Itu adalah salah satu fungsi dari sistem pengendali Bahtera—kapal ini bisa dijalankan dengan berbicara seperti tadi.”
“…Itu,” gumam Yori sambil mengernyit, wajahnya terlihat kesal dan waspada.
“Kalau Company tahu soal ini, bisa jadi masalah besar. Mereka bakal datang habis-habisan buat merebutnya. Barang-barang aneh yang mereka nggak ngerti, justru itu makanan favorit mereka.”
“Aku nggak tahu apa itu Company, tapi merebut Bahtera sepertinya nggak akan semudah itu. Untuk mengaktifkan Control, dibutuhkan semacam proses otentikasi.”
“Dan cuma Haruhiro yang bisa ngelakuin otentikasi itu?”
“Ya. Pada dasarnya begitu.”
“Maaf, mungkin ini ikut campur, tapi… Haruhiro, kamu terlalu banyak bicara. Gimana kalau Yori ternyata orang dalamnya Company?”
“Itu mungkin terdengar nggak logis, tapi aku tidak akan mencurigai keturunan Yume dan Ranta.”
Haru mulai mengenakan kembali sarung tangannya.
“Terutama kalian berdua—kau dan Riyo—kalian mengenal Yume secara langsung. Bagaimana harus kujelaskan ya… aku merasakan jejak Yume dalam diri kalian. Seolah-olah kalian mewarisi sesuatu—mungkin sesuatu yang sangat penting—darinya.”
“…Mengungkit buyutku itu curang banget.”
“Maaf. Aku memang curang. Tapi justru karena itulah aku bisa tetap hidup sampai sekarang.”
Haru menjauh dari meja.
“Ayo ikut. Aku sudah menyiapkan kamar untuk kalian.”
†
Mereka kembali ke lorong, dan Haru membuka pintu lain—berbeda dari ruangan Control sebelumnya. Ruangan yang terbuka itu… bagaimana mengatakannya, terlihat seperti kamar biasa. Sedikit mengingatkan pada rumah yang pernah mereka temukan di dalam reruntuhan Kariza.
Luasnya cukup, dan langit-langitnya tidak terlalu tinggi—jika melompat, mungkin bisa disentuh. Ada dua tempat tidur, sebuah lemari, meja, dan dua kursi. Selain pintu masuk, ruangan itu juga memiliki pintu-pintu lain.
Menurut Haru, di balik pintu itu terdapat ruang ganti untuk melepas dan mengenakan pakaian, ruang mandi, dan bahkan toilet.
“Kalau kalian memutuskan untuk tinggal di sini, kalian berdua—Yori dan Riyo—bisa memakai kamar ini. Kalau ada yang kurang, bilang saja. Asalkan bukan barang yang terlalu khusus, sepertinya aku bisa mengusahakannya.”
Hal itu dikatakan oleh Haru, sembari memandangi Yori dan Riyo.
“Atau jangan-jangan… kalian lebih suka kamar terpisah?”
“Umm…”
Yori menyilangkan tangan dan menggumam pelan, terlihat sedikit ragu.
Riyo menjawab tanpa ragu sedikit pun.
“Kami ingin tetap bersama.”
Sebenarnya, Haru telah menyiapkan satu kamar lagi. Ukurannya sama seperti kamar untuk Yori dan Riyo, hanya saja kamar itu hanya memiliki satu tempat tidur. Itu adalah kamar milik Manato.
“Kamar untuk sendiri? Wah… mungkin ini pertama kalinya.”
“Persediaan makanan ada di kamarku. Aku sih tidak masalah, tapi kalian masih muda, pasti butuh makan lebih banyak. Tergantung berapa lama kalian akan tinggal, kita harus pikirkan cara untuk mengisi stok. Kebun di Altana juga… belum tahu apakah masih bisa dipakai atau tidak…”
Manato lalu diajari oleh Haru cara menggunakan kamar mandi. Bukan mandi air dingin, melainkan air hangat. Cukup memutar keran, air hangat mengalir deras—sedikit terlalu panas, bahkan. Ia pernah mendengar bahwa di Jepang pun ada tempat-tempat dengan fasilitas seperti ini, tapi ia tak pernah menyangka akan bisa menggunakannya sendiri.
“Shower ini… enak banget…”
Ia mandi cukup lama, mungkin berlebihan. Setelahnya, ia mengeringkan tubuhnya dengan kain lembut yang disediakan di ruang ganti. Di sana, ada cermin besar yang memantulkan tubuh bagian atas. Ia memutar badannya, mencoba melihat punggungnya. Yang tersisa hanya bekas luka yang menonjol. Tapi luka itu pun kemungkinan besar akan lenyap sepenuhnya besok.
“…Rambutku, panjang juga ya sekarang…”
Berkeliling dalam keadaan telanjang bulat hanya dengan handuk tergantung di leher rasanya agak aneh. Jadi Manato pun duduk di atas tempat tidur. Pakaian yang tadi dipakainya kini tergulung sembarangan di sudut ruangan. Sayangnya, meski Haru sudah bersusah payah mencarikannya, bagian punggungnya robek karena pertempuran tadi.
“Apa masih bisa diperbaiki ya…? Oh. Masih ada noda darah juga. Bisa dicuci nggak ya? Kalau tubuhku bisa sembuh sendiri, andai saja bajuku juga begitu… Tapi baju mah nggak mungkin ya. Hmm…”
Ia menunduk, berpikir.
“Yori dan Riyo tadi kuat banget. Haru juga. Keren ya, jadi kuat. Aku… mau jadi kuat juga, gak ya? Mungkin. Soalnya kalau ada orang kayak Junza, bakal lebih praktis kalau aku bisa jaga diri sendiri. Lagipula, Yori, Riyo, Haru—mereka semua kuat. Enak, ya. Tapi… daripada lemah, mending kuat, kan? Kalau kuat… aku nggak bakal nyusahin yang lain. Mungkin…”
Manato lalu merebahkan diri di atas tempat tidur. Selimutnya terasa lembut, dan bagian bawahnya menopang tubuhnya dengan pas. Jauh lebih nyaman dari yang pernah ia bayangkan.
“Gila… nyaman banget ini.”
Manato menghela napas, lalu tanpa sadar tertawa kecil.
“Apa sih namanya… yang kayak gini? Surga? Nirwana, ya? Junza yang pernah bilang. Katanya, kalau manusia mati, kebanyakan masuk neraka, tapi ada juga yang bisa masuk surga… atau nirwana, gitu. Neraka tuh tempat yang parah banget, tapi surga nggak seburuk itu… Tapi kenapa dulu kita ngomongin itu, ya…? Oh iya, waktu Junza luka. Dia kesakitan banget, sampai susah tidur katanya… Terus Amu nempel terus sama dia, mijitin ini-itu. Padahal Junza kesakitan banget, tapi dia malah bilang, ‘Nggak apa-apa. Rasanya kayak di surga.’ Aku waktu itu nanya, maksudnya apa, kok bilang begitu… Trus mulai deh ngomongin soal neraka dan surga…”
Ia membenamkan tubuhnya lebih dalam ke tempat tidur.
“…Iya ya… waktu itu Junza juga sempat bilang, ‘Aku pengin punya anak sama Amu.’ Hah, aku sampe ngakak dengernya. Junza malah kayak sedikit sewot. Entah kenapa, makin dia sewot, aku makin pengin ketawa… Terus dia bilang, ‘Kalau kamu, Manato, lebih milih Amu atau Neika?’ …Yah, aku sendiri nggak tahu. Nggak pernah kepikiran soal itu… Punya anak, ya…? Tapi kalau punya anak, orang tuanya pasti mati duluan, kan…? Meninggal di depan anak sendiri itu… hmm… rasanya… nggak enak, ya. Ayah sama Ibu sih… mereka meninggal bareng. Itu mungkin masih mending… Tapi kalau mereka lihat aku sekarang… mereka pasti kaget banget… Di Grimrgar, ya…”
Tanpa sadar, Manato telah tertidur.
“…Huh?”
Begitu membuka mata, lampu ruangan sudah diredupkan. Di atas tubuhnya, ada selimut tersampir rapi. Ia tak merasa memasangnya sendiri dalam keadaan mengantuk, dan bahkan tak tahu dari mana selimut itu berasal. Kain yang tadi melingkari lehernya sekarang tergeletak kusut di sudut ruangan.
Saat ia bangun dan duduk, ia baru menyadari ada piring, garpu, dan pisau tertata rapi di atas meja. Di piring itu, tampak makanan yang tersaji. Aromanya samar-samar tercium, tapi cukup jelas—ini pasti makanan.
Manato menyingkirkan selimut dan turun dari tempat tidur. Di sandaran kursi, terlipat rapi pakaian one-piece oranye dan hitam miliknya—yang tadi ia lepas sebelum mandi dan gulung sembarangan di sudut ruangan.
Ia meraih dan membuka pakaian itu.
“Ah! Bagian yang sobek… sudah dijahit. Dan noda darahnya juga… kelihatan sudah dibersihin, ya? Nggak mungkin bisa sembuh sendiri. Berarti… ada yang jahitin. Tapi siapa…?”
Itu memang terasa aneh, tapi perutnya mengingatkan bahwa ada hal yang lebih mendesak saat ini—makanan. Piringnya cukup besar, dan isinya beragam: daging asap dan acar, kacang yang dimasak, serta buah kering berwarna ungu dan merah, mungkin sejenis anggur atau beri.
“Whoa… pas banget, aku tidur dan bangun dalam keadaan lapar. Dapat makanan tanpa perlu usaha apa pun… ini sih surga.”
Ia meletakkan pakaian ke samping begitu saja, lalu duduk di kursi.
“Hmm~”
Ia segera bangkit dari kursi dan memungut pakaian terusan itu. Seseorang pasti telah memperbaikinya. Rasanya tidak pantas memperlakukan sesuatu seperti ini secara sembarangan. Ia sempat berpikir untuk memakainya, tapi keinginan untuk makan lebih mendesak. Manato dengan cermat melipat terusan itu, lalu—setelah sedikit ragu—meletakkannya dengan hati-hati di lantai. Setelah itu ia kembali duduk dan mengambil garpu.
“Serius? Dagingnya diiris tipis… jadi lebih gampang dimakan.”
Manato mulai dari potongan daging asap yang tipis itu, lalu menyantap semua yang ada di atas piring satu per satu, mengunyahnya dengan sungguh-sungguh sebelum menelannya.
“Enak… enak banget… serius, enak… mmm—”
Tenggorokannya hampir tersedak. Baru saat itu ia menyadari keberadaan botol mirip kendi di dekat piring, berisi cairan yang sepertinya air. Tadi ia terlalu fokus pada makanan, sampai tak sempat memperhatikannya. Manato membuka tutup botol itu dan langsung meneguk cairan di dalamnya.
“Air… ahh… air, benar… Baru sadar aku juga kehausan. Terima kasih…”
Semua itu berlangsung dalam sekejap. Makanan dan air habis tak bersisa di perut Manato. Bahkan cuka dari acar yang menempel di piring pun ia jilat sampai bersih.
“…Wah. Sebenarnya aku masih bisa makan lebih banyak, tapi… sudah cukup puas.”
Manato menengadah, memejamkan mata.
“Hidup macam apa ini… enak sekali…”
Senyum merekah di wajahnya. Bukan tawa lepas, tapi tawa kecil yang keluar begitu saja.
Piyo piyo… piyo piyo…
“Hm?”
Manato membuka matanya dan menatap sekeliling ruangan.
Piyo piyo… piyo piyo…
“Apa itu?”
Piyo piyo… piyo piyo…
“…Suara? Tapi, bukan, ya.”
Piyo piyo… piyo piyo…
“Hmm?”
Ia bangkit dari kursi dan mencoba mendengarkan lebih seksama, mencari arah datangnya suara itu.
Piyo piyo… piyo piyo… piyo piyo… piyo piyo… piyo piyo… piyo piyo…
“Hmmm…”
Sepertinya suara itu berasal dari suatu tempat di langit-langit, tapi ia tidak bisa memastikan.
Piyo piyo… piyo piyo… piyo piyo… piyo piyo…
Lalu, suara aneh itu mulai bercampur dengan suara lain. Kali ini, terdengar seperti suara sesuatu yang mengetuk atau memukul—mungkin dinding atau lantai.
“Dari arah pintu, mungkin…?”
Manato mendekati pintu masuk. Ia menempelkan telinganya ke daun pintu, dan memang—ada suara. Samar, tapi jelas, suara ketukan don don disertai getaran halus terasa dari sisi lainnya.
Pintu ruangan ini, tidak seperti pintu-pintu di lorong, tampak tak jauh berbeda dari pintu rumah di Jepang. Dilengkapi dengan gagang dan knop; dibuka dan ditutup dengan gagang, dikunci dengan knop. Setelah membuka kuncinya, Manato memutar gagang dan membuka pintu.
“Oh.”
Di balik pintu itu adalah lorong. Yori sedang berdiri di sana. Di belakangnya, Riyo juga ada.
“Kamu… ngetuk pintu tadi?”
Manato memiringkan kepalanya sedikit bingung.
“…Iya, kan? Tadi juga ada suara aneh…”
Yori membuka mulutnya sedikit, alisnya mengerut. Riyo juga membelalakkan matanya. Tapi keduanya tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Manato jadi bertanya-tanya—sebenarnya mereka berdua sedang melihat ke arah mana? Bukan ke wajahnya. Lebih ke bawah…
“Ah…”
Refleks, Manato mencoba menutupi bagian itu dengan kedua tangan. Tapi tak cukup tertutup. Ia pun buru-buru membalikkan badan.
“…Aku masih telanjang, ya. Padahal Amu dan Neika sudah berkali-kali marah karena aku sembarangan nunjukin begitu ke perempuan. Maaf, aku benar-benar lupa.”
“Kalau pantatnya kelihatan, itu enggak masalah?”
Yori bertanya begitu, dan saat hendak menjawab, Manato tanpa sadar sedikit menoleh ke depan.
“Ah—”
Segera dia balik badan lagi, membelakangi Yori dan Riyo.
“…Pantat juga enggak boleh, ya? Tapi kayaknya itu lebih baik daripada bagian depan, kan? Maksudku, yang kayak begini cuma ada di depan, bukan di belakang.”
“Pokoknya, pakai baju dulu.”
“Oke.”
Manato hendak mengambil pakaian, tapi Yori menahannya.
“Pintunya! Tutup dulu.”
“Oh, iya.”
Namun saat hendak menutup pintu, dia tanpa sengaja kembali menghadap ke arah Yori dan Riyo. Yori menutupi matanya dengan sebelah tangan dan menghela napas berat.
“…Duh!”
“Maaf.”
Setelah meminta maaf, entah kenapa dia malah tertawa sendiri. Setelah menutup pintu dan memakai baju, Manato kembali membuka pintu dan menghadapi mereka.
“Kamu tidur nyenyak?”
Yori terlihat tenang seperti biasa. Riyo, seperti biasanya juga, wajahnya sulit ditebak—dia memang tipe yang hampir tak pernah menunjukkan ekspresi.
“Aku malah ketiduran tanpa sadar. Eh? Tapi kok kamu tahu? Apa kamu masuk ke kamar waktu aku tidur?”
“Itu mungkin Haruhiro. Yori dan Riyo nggak ikut. Soalnya… yah, ini kamar cowok. Sebenarnya bukan ‘yah’ sih. Memang benar-benar kamar cowok.”
“Yori dan Riyo ‘kan cewek. Jadi, maksudnya… ada aturan-aturan gitu, ya? Kayak, jangan sering-sering telanjang di depan lawan jenis?”
“…Secara umum, iya. Bukan ‘jangan sering-sering’, tapi… selama belum punya hubungan khusus, sebaiknya nggak memperlihatkan tubuh.”
“Hubungan khusus? Eh! Aku udah telanjang di depan Yori dan Riyo! Berarti… sekarang aku punya hubungan khusus sama kalian? Gitu?”
“Bukan begitu maksudnya…”
“Oh, jadi bukan. Hmm. Ribet, ya. Tapi, misalnya aku punya hubungan khusus sama Yori, berarti boleh saling memperlihatkan tubuh, gitu?”
“…Mungkin, ya?”
“Terus, ngapain saling memperlihatkan?”
“Ngapain… maksudmu?”
“Maksudnya, kita saling nunjukin tubuh buat apa?”
“Itu… bukan soal saling nunjukin, sih… kayaknya…”
“Cowok punya ‘itu’ di bawah, cewek nggak, kan? Terus, cewek punya dada yang menonjol. Itu buat nyusuin anak setelah melahirkan, ‘kan? Binatang juga gitu. Jadi, karena cowok dan cewek beda, mereka saling nunjukin? Kayak, ‘eh, bagian kita beda nih’, gitu?”
“…Jangan tanya aku soal itu, tanya Riyo aja.”
“Yori juga nggak ngerti, ya? Kalau gitu, Riyo?”
“Aku…”
Riyo baru membuka mulut, tapi langsung terdiam. Mulutnya masih terbuka, wajahnya—bukan hanya wajah, seluruh tubuhnya—tiba-tiba kaku. Manato memiringkan kepala.
“Hmm? Kenapa?”
“Jangan tanya hal aneh ke Riyo!”
Tiba-tiba Yori membentak.
“Kamu udah tidur nyenyak dan kelihatan segar, ‘kan? Ayo pergi!”
“Pergi? Maksudmu… ke mana?”
“Ke luar!”
Yori meraih lengannya dan menariknya paksa.“Nggak ada gunanya diam di sini terus. Kita udah sampai di Grimgar, tahu. Kita harus lihat langsung semuanya dengan mata kepala sendiri!”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] Pedang dan TinjuBab 5 – Apa yang Telah Kita Lupakan?Bab 6 – Sesuatu yang Bukan ManusiaBab 7 – Dalam KetidaktahuanBab 8 – Lagu SuciBab 9 – Hancurkan SegalanyaBab 10 – Dalam Menjadi DirikuBab 11 […]