Entah bagaimana, semua ini terasa aneh… atau mungkin lebih tepatnya, sebuah rangkaian kejadian yang tak masuk akal.
Saat ini, Haru dan Riyo tengah bersiap untuk duel di depan Bahtera.
Meski begitu, Haru hanya memperbaiki posisi topengnya.
Sementara Riyo—yang tadi mengenakan mantel tebal dan syal—melepaskan keduanya, entah karena gerakannya jadi terbatas atau karena merasa kepanasan. Ia juga melepas kacamatanya, dan kini mengenakan baju terusan yang sangat ketat, terbuat dari kulit atau bahan lain sejenisnya. Kedua tangannya terlindungi sarung tangan tebal yang mencakup sampai ke siku. Sepatu bot yang ia kenakan pun tampak keras di beberapa bagian.
Riyo mengikat rambutnya yang panjang dan lurus dengan seutas tali, lalu memutar lehernya perlahan.
Jika alasan Riyo ingin menantang Haru adalah karena Haru telah membunuh buyutnya, Manato bisa saja memahami hal itu. Tapi, katanya bukan karena itu.
“Manato.”
Yori memanggil dari sisi.
“Iya, kenapa?”
Manato menoleh. Yori duduk bersila di sampingnya, sejajar, langsung di atas tanah. Ia memang sudah melepas sarung tangan dan syalnya, tapi masih mengenakan mantel, meski bagian depannya sudah terbuka.
“Benar kamu sudah tidak apa-apa?”
“Apa maksudmu?”
“Luka.”
“Luka siapa?”
“Ya lukamu, siapa lagi.”
“Ah…”
Manato mengangkat kedua tangan ke atas kepala, menyatukannya, lalu meregangkan tubuh. Ia menggoyang-goyangkan tubuh ke kiri dan kanan, tapi tak merasakan sakit apa pun.
“Kayaknya udah sembuh, soalnya nggak sakit sama sekali.”
“Boleh aku lihat?”
“Tentu.”
Manato memutar tubuhnya, memperlihatkan punggungnya yang seharusnya terluka ke arah Yori.
“…Bajunya robek dan kotor kena darah, tapi lukanya sendiri—bahkan bekasnya pun—nggak kelihatan. Ini tubuhmu tuh, kenapa bisa begitu?”
“Yah… aku juga nggak tahu. Dari dulu memang begini. Eh, ngomong-ngomong, Yori, gigimu kalau copot, bisa tumbuh lagi nggak?”
“Kalau gigi susunya copot, nanti akan tumbuh gigi permanen, sih.”
“Gigi permanen? Gigi orang dewasa?”
“Iya.”
“Dulu, gigiku yang udah permanen pernah copot, terus tumbuh lagi. Katanya, memang ada orang yang kayak gitu. Jarang sih, tapi ada.”
“Katanya, zaman dulu para priest yang percaya pada Lumiaris bisa menggunakan sihir penyembuh…”
“Ini bukan karena sihir, kan? Kurasa bukan. Entahlah. Aku juga nggak melakukan apa-apa secara khusus.”
“Kalau dibiarkan bisa sembuh sendiri ya? Iri banget.”
“Tapi kalau kepalanya pecah, mungkin bakal mati, ya. Mati… mungkin? Soalnya aku belum pernah ngalamin kepala pecah. Apa sebaiknya dicoba sekali?”
“Kalau kamu pecahin kepala terus mati, gimana? Jangan coba-coba deh.”
“Benar juga, ya.”
Manato tertawa kecil, dan entah kenapa Yori ikut tersenyum tipis setelahnya.
Padahal dirinya sendiri yang tertawa duluan, tapi anehnya, meski Riyo hendak bertarung satu lawan satu dengan Haru, Yori tampak sama sekali tidak khawatir. Bahkan bisa dibilang terlihat santai.
“Menurutmu, siapa yang bakal menang, Haru atau Riyo?”
“Entahlah.”
Yori menjawab cepat tanpa berpikir panjang.
“Soalnya Haruhiro punya pengalaman lebih dari seratus tahun, kan? Dan kayaknya dia juga bukan tipe yang melemah karena usia. Dia pasti sangat kuat. Riyo juga nggak lemah, tapi ya… kita lihat saja.”
“Kalau kamu, Yori… kamu bisa menang lawan Haru?”
“Kalau nggak dicoba, nggak tahu.”
“Kenapa sih Riyo mau bertarung sama Haru?”
“Kalau kamu perhatikan, nanti juga ngerti sendiri.”
Yori menarik lutut kanannya, lalu memeluknya dengan kedua lengan, pandangannya tertuju ke arah Riyo.
“Riyo itu, nggak seperti aku yang bisa mengakali banyak hal. Waktu kecil dia selalu nurut sama aku, tapi sekarang dia bukan anak-anak lagi. Dan dia juga harus menyelesaikan segalanya dengan caranya sendiri. Dia keras kepala. Aku juga keras kepala sih. Mungkin darah dari buyut kami. Buyut lelaki kami juga katanya orangnya keras kepala banget, sih…”
“Untuk berjaga-jaga,” ucap Haru tiba-tiba.
Ia mencabut dua bilah belatinya. Di tangan kanan, belati panjang yang bisa memanjang; di tangan kiri, belati biasa yang tidak bisa berubah ukuran.
“Aku tidak pernah belajar bela diri atau seni pertarungan apa pun. Yang kupelajari hanya satu hal—cara melukai dan membunuh makhluk hidup.”
“Aku belajar Odrad dari Guru Emi=Bubul.”
Riyo menyatukan kedua tangan di depan dadanya. Lebih tepatnya, ia mempertemukan ujung-ujung telunjuknya, lalu ujung-ujung jari tengahnya. Telapak tangannya tidak saling bersentuhan. Ia berdiri dengan kaki agak terbuka. Sekilas lututnya tampak lurus, tapi sebenarnya sedikit ditekuk.
“Odrad berarti ‘yang melawan’. Konon, teknik ini diciptakan oleh seorang pembebas budak dari Benua Merah bernama Odrad. Tapi tak ada bukti nyata kalau orang seperti itu benar-benar pernah hidup. Ada yang mengatakan kalau nama Odrad hanyalah tokoh fiksi yang dibentuk dari berbagai kisah tentang pembebas budak yang dikisahkan oleh bard dan pendongeng keliling. Odrad menggunakan senjata seperti braka dan jabi, sejenis pedang lempar, lalu ada kudus, sarung tangan berlapis baja, dan haduma, sepatu bot lapis baja. Untuk duel ini, aku tidak akan menggunakan braka maupun jabi. Tapi kudus dan haduma sudah kupakai.”
“…Terima kasih sudah menjelaskannya dengan begitu rinci.”
“Dengan senang hati. Sudah waktunya kita mulai, Haru-san.”
“Kau benar-benar serius, ya?”
“Tentu saja. Aku sangat serius.”
“Baiklah. Kalau begitu, kita bisa mulai kapan saja.”
Begitu Haru mengatakan itu, tubuh tinggi Riyo tampak miring perlahan. Dia sudah mulai berlari. Dan seperti yang diduga, bukan dalam garis lurus. Gerakannya membentuk lengkungan saat ia mendekati Haru.
Haru mengayunkan belatinya. Riyo menangkisnya—entah dengan sarung tangan yang disebut kudus tadi, atau mungkin dia hanya menghindar. Keduanya begitu dekat, nyaris bertabrakan. Namun di detik berikutnya, mereka sudah saling menjauh.
Gerakan Riyo tak pernah berhenti mengalir. Seolah tak pernah diam walau sedetik. Kadang cepat, kadang melambat, terus berubah. Manato bergumam pelan, “Kayak… nyu-nyu nyu-nya nyu-nyu… gitu ya…”
“Riyo maksudmu?”
“Iya.”
“Haruhiro tuh, lebih kayak… syut, syusyu-syut, papap, papap, syut, syusyu… semacam itu.”
“Wah, iya! Bener banget!”
“Riyo itu susah banget dilawan.”
“Kau pernah bertarung dengannya, Yori?”
“Bukan sama Riyo langsung sih. Tapi aku pernah beberapa kali lawan pengguna Odrad. Mereka tuh… bukannya kuat, tapi lebih ke… bikin merinding. Soalnya gaya bertarungnya unik banget. Bukan cuma pukulan, tapi juga lemparan. Semua tekniknya itu dirancang buat nyerang terus, kayak orang yang siap mati demi ngebunuh sepuluh orang. Tanpa senjata, cuma tangan kosong. Tapi kalau udah pakai kudus sama haduma gitu, dia jadi kayak mesin pembunuh sepuluh orang tanpa perlu mati.”
Dan memang, Riyo terus menyerang tanpa henti. Haru hanya bisa mundur, menyamping, hampir tak pernah maju selangkah pun.
“Tapi—”
Yori mengerutkan kening, bibirnya menekuk tak senang.
“Kayaknya Haruhiro belum serius. Katanya teknik itu untuk melukai dan membunuh makhluk hidup? Kalau itu yang dimaksud… jujur, aku agak kecewa.”
Manato tanpa sadar terkekeh kecil, merasa Yori terdengar seperti sedang marah.
“…Apa?”
Yori melotot padanya.
“Yah, soalnya, kalau Haru membunuh Riyo, Yori pasti nggak mau, kan?”
“Bukan nggak mau sih…”
“Bukan?”
“Yah, dia adik perempuanku, jadi…”
“Kau pikir Haru bakal membunuh Riyo?”
“…nggak juga.”
“Kalau begitu, berarti Haru nggak akan bertarung sepenuh hati, kan?”
“Tapi Haruhiro menerima tantangan duel itu.”
“Kenapa, ya? Soalnya Yori dan Riyo itu cicit dari salah satu rekan yang penting buat Haru, kan? Haru bukan tipe orang yang tega membunuh orang seperti itu. Eh, tapi… bukannya Haru pernah membunuh Ranta, salah satu temannya juga? Aneh, ya.”
“Mungkin ada alasannya. Mungkin dia nggak punya pilihan lain waktu itu.”
“Yah, bisa jadi. Eh? Yori tahu sesuatu?”
“Nggak tahu. Itu kan kejadian seratus tahun yang lalu.”
“Haru pasti nggak mau membunuh siapa pun, deh. Tapi kalau harus membunuh orang yang dia nggak mau bunuh… gimana rasanya, ya?”
“…Aku nggak mau ngebayangin.”
“Pasti berat banget, ya… Haru.”
Dari sudut pandang Manato pun, seperti yang Yori bilang, Haru memang tidak bertarung sepenuh hati. Meski terus diserang oleh Riyo, dan sesekali membalas dengan tusukan dari belatinya yang bisa memanjang, tidak ada tajamnya niat membunuh. Tidak ada tekad dalam gerakannya, tidak ada aura “aku akan menghabisimu” dari dirinya.
Haru sudah pernah membunuh orang yang tidak ingin ia bunuh, dan kini pun ia sedang bertarung melawan Riyo — seseorang yang sebenarnya juga tak ingin ia lawan.
“Haaah…”
Manato menghela napas tanpa sadar. Yori sempat melirik ke arahnya.
“Kenapa?”
“Nggak tahu juga.”
Entah kenapa, Manato merasa tidak nyaman duduk bersila, dan akhirnya ia mengganti posisi ke jongkok.
“Semangat, Haru.”
“…Semangat?”
Yori menatapnya dengan bingung—mungkin tidak suka, mungkin juga heran. Manato sendiri juga tidak tahu kenapa ia berkata seperti itu. Aneh rasanya, sampai-sampai ia terkekeh kecil.
“Entah, hanya terasa begitu saja.”
“Jangan bercanda.”
Tiba-tiba, Haru membuang belati yang bisa memanjang itu. Bukan cuma itu—bahkan belati satunya pun ia lepaskan.
Riyo berhenti. Untuk pertama kalinya sejak duel dimulai. Tapi ia tidak berhenti mendadak. Gerakannya justru melambat, lalu ia mengambil posisi rendah dengan tenang.
“Jadi… kamu memutuskan untuk tidak bertarung?”
“Aku tidak bisa membunuhmu. Kau adalah darah dari Yume dan Ranta,” jawab Haru, suaranya tenang namun penuh beban.
“Tapi Haru-san… kamu membunuh buyutku.”
“Benar.” Haru mengangguk pelan. “Meski aku berkata seperti itu, kalau keadaan memaksaku… aku harus melakukannya.”
“Keadaan seperti apa yang akan membuat Haru-san terpaksa membunuhnya?”
“Ranta sendiri yang memintanya. Sebelum dirinya benar-benar dikuasai oleh Skullhell. Kalau aku kehilangan kendali, katanya, bunuh aku. Dia tahu. Dia tahu bahwa begitu Skullhell yang disegel itu terlepas, dirinya tak akan lagi menjadi dirinya. Dia akan kehilangan segalanya. Bahkan hak untuk mati sebagai manusia. Mungkin… mungkin dia sudah melihat sejauh itu.”
“Jadi satu-satunya cara agar buyut saya bisa mati sebagai manusia… adalah dengan dibunuh oleh Haru-san?”
“Mungkin ada cara lain. Tapi waktu itu, aku tidak bisa memikirkan apapun. Tepat sebelum aku menghabisinya… aku sempat meminta maaf. Dan dia, seperti biasanya, tetaplah dia sampai akhir. Dengan cengiran kecil, dia membalas, ‘Itu seharusnya kalimatku, bodoh.’ Lalu tertawa—hanya sedikit. Tapi cukup. Seratus tahun pun berlalu, aku takkan pernah lupa tawa itu.”
“Haru-san tidak akan mati.”
“Aku rasa aku bukan makhluk abadi, tapi… mati bukan hal yang mudah untukku.”
“Aku akan terus mengingatnya.”
“Aku juga. Sepertinya aku tidak akan bisa melupakan.”
“Apakah… kamu menyesalinya?”
“Tidak.”
Haru menggeleng tegas, tanpa ragu sedikit pun.
“Kalau aku menyesal, berarti keputusan yang diambilnya salah. Padahal dia telah memilih dengan sadar. Keputusan itu… adalah miliknya. Karena itu, aku tidak menyesal. Bahkan jika aku kembali ke saat itu… aku akan tetap melakukan hal yang sama. Aku akan tetap membunuhnya.”
“Haru-san…”
Riyo mulai membuka pengait pada sarung tangannya. Sarung tangan kiri terlepas dan jatuh ke tanah, disusul yang kanan. Namun tangan di baliknya bukan tangan kosong. Keduanya dibalut kain tipis—bukan pelindung keras seperti sarung tangan milik kudus, melainkan hanya pelindung lembut yang tak akan bisa dijadikan senjata.
“Lawanlah aku.”
Sementara Haru masih belum menjawab, Riyo juga melepaskan sepatunya. Sama seperti tangannya, kakinya pun dibungkus kain tipis.
Haru membuka topengnya dan meletakkannya perlahan di tanah. Wajah yang terlihat masih seputih sebelumnya, dengan pola pembuluh darah biru yang menjalar seperti jaring. Tapi… ada sesuatu yang berbeda. Manato yang melihatnya merasa ada perubahan, meski samar. Saat pertama kali melihat wajah Haru, rasanya seperti melihat wajah mayat atau boneka. Tapi sekarang, meski tetap pucat dan tanpa banyak nyawa… Haru tak lagi tampak seperti orang mati.
Setelah topeng, Haru juga melepas mantel dan menjatuhkannya ke tanah.
“Kalau tak keberatan, aku ingin sparing denganmu.”
“Mulai dari sini, aku akan bertarung dengan segenap tenaga.”
Tubuh Riyo sedikit condong ke depan. Dan sebelum siapa pun bisa berkata apa-apa, ia sudah melesat. Mulai dari sini akan serius—berarti, sejauh ini dia belum menggunakan seluruh kemampuannya?
Suara keras yang menggelegar terdengar, dan Haru terhempas.
“Ugh—”
Tubuh Haru berputar-putar di udara. Di tengah putaran itu, ia dipukul jatuh. Riyo yang tadi menerbangkannya kini melesat menyusul dan mendaratkan tendangan memutar dari belakang ke tubuh Haru yang masih di udara.
Haru jatuh dengan punggung terlebih dahulu, nyaris tegak lurus dengan tanah. Namun bahkan sebelum ia sempat menyentuh tanah—atau lebih tepatnya, bahkan di momen itu—Riyo kembali menyerangnya. Riyo memutar tubuhnya secara diagonal, lalu kedua tangannya berayun dan menghantam Haru seiring putaran itu. Haru tidak sepenuhnya tak berdaya; tampaknya ia sempat menggulung tubuhnya, mengambil posisi bertahan.
Tubuh Haru terlempar ke atas. Dan di saat ia melayang, lagi-lagi, kedua lengan Riyo menghantamnya keras.
Kalau itu terjadi pada Manato, entah dia akan mati atau tidak, tapi setidaknya pasti akan pingsan. Jadi bagaimana Haru bisa bertahan dari semua itu? Padahal Manato sendiri tak sempat berkedip, namun tetap saja tak bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi.
Haru mendekap tubuh Riyo. Tidak—lebih tepatnya, saat Haru hendak mendekap, Riyo segera melemparkannya. Biasanya, melempar seseorang akan menciptakan jarak. Tapi tidak jika lawannya adalah Riyo. Ia langsung menyusul tubuh Haru yang baru saja ia lempar, seolah tak memberinya celah. Apa yang hendak ia lakukan selanjutnya? Tak bisa dipastikan. Tapi yang jelas, Haru menangkis serangan Riyo—lengan kanan dan kaki kiri—secara beruntun, atau hampir bersamaan, dengan kedua tangannya.
Dengan satu lengan dan satu kaki ditepis, Riyo justru memanfaatkan momentum itu, dan berputar ke belakang dalam gerakan salto dengan sumbu miring.
Riyo bergerak membentuk lingkaran, dengan Haru di tengah. Kepalanya bergoyang naik-turun pelan, tubuhnya tak henti bergerak. Bukan hanya kakinya yang tak diam, bahkan lengannya, jari-jari, hingga pergelangan tangannya pun terus bergerak.
Sementara itu, Haru berdiri diam. Tubuhnya sedikit membungkuk, lututnya agak ditekuk. Dari sudut bibir kirinya, darah menetes.
“Odrad sebenarnya adalah seni bela diri tangan kosong,” kata Yori. Suaranya tenang, tapi tubuhnya menunjukkan ketegangan samar.
“Dengan tidak menggunakan kudus atau haduma, kekuatan tubuh bisa dikeluarkan sepenuhnya. Hanya saja, tubuh si pengguna sering kali tak sanggup menahan beban itu dan hancur sendiri.”
“Yori khawatir pada Riyo?” tanya Manato.
Yori mengembuskan napas lewat hidung, pendek dan ringan.
“Itu pilihannya sendiri. Kalau dia terus berlatih Rokusshi, mungkin dia tidak akan sejauh aku, tapi tetap bisa melangkah cukup jauh.”
“Rokusshi… itu yang kau pakai, ya?”
“Riyo memang tidak punya bakat dalam mengendalikan Qi luar. Kalau tidak bisa menguasai Qi dalam dan Qi luar sekaligus, mustahil untuk menyempurnakan enam api. Karena itu, dia akhirnya berguru pada sesuatu yang entah apa—entah ‘Emi’ atau ‘Buburu’ atau siapa pun itu—makhluk tak jelas, dan malah belajar Odrad atau apalah itu.”
“Begitu ya. Jadi Riyo pikir, kalau dia tetap mengandalkan Enam Api, dia tidak akan bisa sekuat Yori.”
“Memangnya kenapa harus jadi seperti Yori? Itu kesalahan pertama—berani-beraninya dia, padahal dia Riyo.”
“Tapi kalau dia tidak sekuat Yori, berarti dia harus dilindungi Yori terus, kan?”
“Meski aku tak mau melindunginya, aku tetap akan melindunginya.”
Yori menarik lutut kanannya yang tertekuk ke arah dada. Wajahnya tampak cemberut. Atau lebih tepatnya, jengkel.
“Karena dia adikku.”
Manato terkekeh pelan. Tapi sebelum tawa itu sempat benar-benar selesai, punggungnya dipukul Yori. Tidak pelan. Manato terbatuk. Tapi justru karena itu, ia malah tertawa lagi. Kali ini, Yori tidak memukulnya.
Riyo menyerang Haru.
Ada sesuatu yang berbeda dari serangannya kali ini.
Haru menepis lengan kanan panjang Riyo dengan tangan kirinya. Di saat yang sama, ia menyodorkan kaki kiri dan—bukannya menendang, lebih seperti menahan lutut kanan Riyo dengan telapak kakinya.
Riyo terhenti. Bukan karena kemauannya sendiri. Haru telah menahan gerakannya.
Haru memanfaatkan lutut Riyo sebagai pijakan dan melompat.
Sebuah serangan lutut.
Ia membidik wajah Riyo dengan lutut kanannya.
Tapi tubuh Riyo sangat lentur. Terlalu lentur, malah. Manato terkejut melihat tulang punggung Riyo bisa membengkok seperti itu. Dengan melengkungkan tubuhnya ke belakang, Riyo berhasil menghindari serangan lutut Haru.
Setelah itu, Manato tak bisa mengikuti jalannya pertarungan dengan baik. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa begitu?
Haru mencoba membekap Riyo dari belakang—namun Riyo dengan licin meloloskan diri dari pelukannya, dan justru balik membekap Haru. Tak lama kemudian, mereka berdua terjatuh ke tanah dalam posisi masih saling bergumul.
“Haruhiro sudah bisa membaca gerakan Riyo.”
Yori berbisik lirih. Nada suaranya getir.
“Odrad itu, sepintas terlihat aneh, tidak konvensional, bahkan jauh dari kata monoton. Tapi sebenarnya punya pola. Kalau dibandingkan gurunya, Emi=Buburu, Riyo masih jauh lebih mudah ditebak. Mungkin dengan pengalaman, dia akan menyusul. Tapi saat ini, Emi=Buburu jauh lebih kuat.”
“Kalau Haru gimana?”
“Haru bukan soal kuat atau lemah.”
“Terus, soal apa?”
“Dia itu… monster.”
Apa maksudnya?
Riyo dan Haru tak kunjung bangkit. Mereka terus berguling di atas tanah, saling berusaha menahan, mencengkeram lengan, kaki, atau bahkan leher satu sama lain.
Tiba-tiba, Riyo melompat berdiri.
Haru menyusul bangkit, meski sedikit terlambat.
Riyo meraih wajah Haru dengan kedua tangannya, menjepitnya di antara telapak. Tapi bukan hanya menjepit—dia memelintirnya juga. Manato menggigil. Takut. Sampai-sampai hanya bisa tertawa. Jika itu mengenai dirinya, hasilnya pasti mengerikan. Tulang leher akan patah. Kepala bisa meledak.
Leher Haru pun terpuntir ke arah yang aneh. Meski kepalanya tidak benar-benar pecah—tentu saja tidak sejauh itu—wajahnya berubah kacau. Kulitnya terkelupas, darah memercik ke mana-mana.
“Ada apa?”
Dengan kondisi seperti itu, Haru masih bisa bersuara.
Riyo sempat terhenti sesaat, mungkin karena ragu. Tapi segera setelah itu, ia kembali bergerak, hendak menghajar Haru lagi. Kali ini, ia mencoba menyarangkan tendangan berputar dari kaki kiri. Atau mungkin, ia berniat menjepit dengan kombinasi tendangan kiri dan pukulan kanan.
Namun, Haru melilitkan kedua lengan dan kakinya ke kaki kiri Riyo. Tampaknya dia berniat menghancurkan sendi lutut atau pergelangan kaki Riyo. Tak ingin kalah, Riyo menghantamkan kaki kirinya—yang tengah digenggam Haru—ke tanah.
Tapi Haru tetap tak melepaskan cengkeramannya.
“Itu saja… kekuatan penuhmulah?”
“—!”
Riyo mulai terpancing emosi. Bahkan Manato bisa melihatnya—ia sudah kehilangan ketenangannya. Riyo meloncat, tubuhnya berputar serong, dan menjejakkan kaki ke tanah, menggunakan Haru yang masih menempel di kakinya sebagai tumpuan. Namun Haru tetap lengket, seakan telah menyatu dengan kaki Riyo.
Riyo pun mengangkat kaki kirinya tinggi-tinggi dan menghantamkannya ke bawah—bukan sekadar tendangan tumit, tapi lebih seperti menjatuhkan Haru dengan segenap tenaga.
Haru membentur tanah keras—dua kali berturut-turut.
Sebelum Riyo bisa melakukannya untuk ketiga kalinya, Haru bereaksi. Kemungkinan ia memukul bagian perut Riyo—di sekitar ulu hati. Tapi bukan dengan tinju keras, melainkan lebih seperti tepukan ringan, tonk, dengan telapak tangan.
Namun hanya satu sentuhan itu cukup membuat gerakan Riyo terganggu sesaat.
Dalam celah itu, Haru memanjat tubuh Riyo dengan lincah, menyesuaikan posisi. Kini giliran Riyo yang terdorong jatuh ke tanah, tubuhnya ditindih.
“Oh…”
Manato tanpa sadar berdiri dari duduknya.
Riyo telentang. Haru berada di atas perutnya, menindih, kedua tangan bersilang dan menekan leher Riyo—seolah hendak mencekiknya.
Yori mengembuskan napas.
“…Pertarungan seperti itu… siapa yang bisa gerak kayak gitu selain dia?”
Sebetulnya Riyo mungkin ingin melepaskan diri dari Haru, tapi ia tak mampu memberi perlawanan yang berarti. Haru bergerak dengan keahlian yang nyaris sempurna. Dalam sekejap, ia berhasil membuat Riyo kehilangan kesadaran.
“Maafkan aku… Yume… Ranta…”
Haru segera melepaskan diri dari Riyo, lalu berkata dalam suara terputus-putus. Kepalanya miring ke kanan dan sedikit ke belakang—wajahnya tampak mengenaskan. Meski begitu, Haru tetap berdiri tegak. Atau mungkin, terlalu tegak.
Tidak, mungkin tak bisa disebut “tenang.” Tapi di saat yang sama, bukankah memang seharusnya disebut “tenang”?
“Keturunan kalian… kuat sekali… memang pantas…”
Suaranya terdengar terputus-putus, kemungkinan besar karena lehernya patah, membuatnya sulit bicara. Mungkin merasa terganggu, Haru mengangkat kedua tangan, menopang kepalanya, lalu memutar wajahnya menghadap ke depan. Ia menahan posisi itu sebentar—dan sepertinya, itu cukup.
Setelah merasa kondisinya membaik, Haru melepas tangannya dan berbalik menghadap Manato dan Yori. Saat itu, lehernya sudah tidak miring lagi, dan ada perubahan di wajahnya.
Masih berlumuran darah, tapi otot-otot, pembuluh darah, dan kulitnya mulai beregenerasi, muncul kembali satu per satu dalam gelembung-gelembung kecil yang mendidih pelan.
Manato memang memiliki kemampuan regenerasi yang cukup cepat, tapi tidak secepat itu. Dan lebih penting lagi—bukan dengan cara seperti itu.
“Yori. Apa kau juga ingin bertarung denganku?”
“Jangan samakan aku dengan Riyo.”
Yori menunduk. Bahunya turun.
“…Jika itu nenek buyutku, beliau tidak akan menyalahkanmu. Aku pun tidak membencimu. Tolong ceritakan lebih banyak tentang kakek buyutku. Haruhiro… aku ingin mendengarnya langsung darimu.”
“Tentu.”
Haru menjawab sambil mengangguk pelan.
“Aku juga ingin menceritakannya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku membicarakan dia…”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] 3 – Kau Pernah TerbangBab 4 – Pedang dan TinjuBab 5 – Apa yang Telah Kita Lupakan?Bab 6 – Sesuatu yang Bukan ManusiaBab 7 – Dalam KetidaktahuanBab 8 – Lagu SuciBab 9 – Hancurkan SegalanyaBab 10 […]