Mereka keluar dari Bahtera dan berjalan menuju reruntuhan terdekat.
Menurut Haru, tempat itu dulunya adalah kota bernama Altana, dikelilingi tembok pertahanan dan dihuni oleh banyak orang. Tapi itu cerita dari lebih dari seratus tahun yang lalu.
Seperti yang telah dibayangkan dari luar tembok, kota lama Altana kini dua pertiganya telah menjadi hutan, dan sisanya ditelan semak belukar. Tembok batu yang mengelilinginya masih mempertahankan bentuk aslinya, tetapi sebagian besar bangunan di dalamnya telah runtuh dan hampir sepenuhnya ditelan pepohonan.
Di antara hutan dan semak-semak itu, tampak jalur kecil yang padat oleh jejak langkah. Haru berjalan menyusuri jalan itu. Dari jejak yang bisa dilihat Manato, kemungkinan jalur itu terbentuk karena sering dilewati manusia. Mungkin—orang yang sama—berkali-kali melewatinya. Dan jika benar begitu, maka orang itu pasti Haru.
“Tempat ini relatif aman,” kata Haru. “Ada beberapa anjing-kelinci yang tinggal di sini, dan kadang-kadang tikus tanah muncul juga, itu saja.”
“Bisa dimakan?”
“Tikus tanah rasanya buruk. Tapi daging anjing-kelinci enak. Sayangnya mereka larinya cepat.”
“Ukuran si peby (anjing-kelinci) itu… kira-kira seberapa besar?”
“Hmm, mungkin segini.”
Haru menoleh dan merentangkan kedua tangannya—tidak selebar bahunya, tapi hampir mendekati.
“Hewan-hewan besar sudah jauh berkurang. Di Pegunungan Tenryuu di selatan masih banyak, tapi itu wilayah para naga. Jadi, lebih baik jangan nekat masuk ke sana.”
“Kenapa hewan-hewan besar bisa berkurang?”
“Karena perburuan yang berlebihan.”
“Maksudmu, diburu terus-menerus? Sama kamu?”
“Mana mungkin begitu. Bukan aku. Itu ulah para pengikut dewa.”
“Pengikut dewa? Oh… kayaknya aku pernah dengar. Katanya orang-orang Yakuza menyembah dewa juga. Mereka tokoh penting, ya? Eh, bukan manusia, ya. Di Kariza dulu ada beruang besar bermata tiga—Mitsume namanya, kalau nggak salah. Atau… emang ada, ya? Aku sendiri belum pernah lihat. Tapi katanya dia masuk ke kota dan membunuh tiga puluh orang.”
“Kedengaran kayak binatang yang berbahaya.”
“Di Kariza bahkan dibuat patungnya. Patung Mitsume. Semua orang takut padanya. Dan Yakuza sampai bikin semacam altar khusus—kamidana—untuk menyembahnya. Jadi… dewa itu kayak gitu?”
“Mungkin, sedikit mirip.”
“Tapi ya, orang-orang sering berburu di gunung sekitar Kariza, dan Mitsume nggak pernah muncul. Apa dia benar-benar ada?”
“Aku tak tahu soal Mitsume, tapi dewa memang ada disini. Ada Dewa Cahaya—Lumiaris, dan Dewa Kegelapan—Skullhell.”
“Lumiaris… dan Skullhell? Jadi ada dua?”
“Dewa dihitung dengan sebutan ‘pilar’. Dua pilar dewa.”
Akhirnya, Haru dan Manato tiba di sebuah area terbuka. Tempat itu jelas telah dibersihkan dengan sengaja. Bukan semak, bukan pula padang rumput. Tanahnya telah diratakan, dan sejumlah tanaman tampak ditanam dalam barisan yang teratur.
“Eh, itu ada pondok ya?”
Manato menunjuk ke arah tepi lahan terbuka. Di sana berdiri sebuah bangunan kecil yang bentuknya menyerupai tenda besar.
“Aku yang membangunnya. Aku menanam tanaman yang akarnya, buahnya, atau daunnya bisa dimakan. Semacam kebun sayur.”
“Nggak dimakan binatang?”
“Selama mereka nggak melahap habis semuanya, tak masalah. Toh aku sendirian.”
“Sekarang nggak sendiri lagi, kan?”
“…Benar juga.”
Haru berjalan memutar, melewati sisi luar kebun menuju ke pondok. Manato mengikutinya dari belakang, hati-hati agar tidak menginjak tanaman di kebun.
Di dekat pondok, ada kursi dan meja kayu yang diletakkan di luar. Beberapa tong dan tempayan berjajar di sekitar, dan sekop, beliung, serta berbagai perkakas lainnya bersandar pada dinding pondok.
Haru memberi isyarat agar Manato duduk di kursi, sementara ia sendiri menarik kursi di sisi meja dan duduk.
Suara burung dan serangga tak berhenti terdengar, namun suasananya tetap terasa hening. Mungkin karena tempat ini dikelilingi tembok pelindung. Rasanya sangat berbeda dibanding hutan-hutan di Jepang.
“Haru, kamu selalu sendirian?”
“Sudah lama sekali sejak terakhir aku bertemu orang lain. Terakhir kali ada orang yang datang dari Jepang ke Grimgar… kalau tak salah, empat puluh delapan tahun lalu.”
“Dan setelah itu, nggak ada lagi?”
“Ada beberapa tahun kami sempat menjalin hubungan.”
“Apakah orang itu sendirian juga?”
“Ada dua.”
“Mereka sekarang di mana?”
Saat Manato bertanya, Haru menggeleng pelan.
“…Di Grimgar, para paladin yang mengabdi pada Lumiaris dan para budak pengikut Skullhell terus berseteru memperebutkan kekuasaan. Ada juga kelompok lain… setidaknya, dulu begitu. Tapi aku sudah lama tak berhubungan dengan siapa pun.”
“Yang kamu sebut, paladin… dan budak itu, mereka manusia?”
“Ada yang dulunya manusia.”
“Berarti sekarang bukan?”
“Di Grimgar, ada banyak ras selain manusia.”
“Ras?”
“Ada yang cerdas seperti manusia—bahkan beberapa di antaranya sangat mirip dengan manusia. Tapi ada juga yang berbeda jauh. Contoh ras adalah para elf, dwarf, manusia bertanduk, orang-orang Piratz, centaur, goblin, kobold. Anggap saja mereka seperti manusia dalam berbagai bentuk. Berbagai ras yang berbeda. Manusia seperti Manato hanyalah salah satu dari sekian banyak jenis.”
“Kalau begitu… semuanya itu disebut ‘manusia’, ya?”
“Kurang lebih begitu.”
“Kalau ‘manusia’ bersumpah setia… atau mengikuti Lumeris, Skullhell, atau semacamnya… apakah mereka jadi bukan manusia lagi?”
“Benar. Setidaknya sejauh yang kutahu, para paladin dan para budak dewa itu… sudah tidak bisa disebut manusia lagi. Mereka telah menjadi sesuatu yang lain.”
“Mereka berubah, ya? Maksudku, penampilannya?”
“…Bisa dibilang begitu.”
Haru menundukkan kepala dan menghela napas panjang.
“Andai hanya penampilan yang berubah… Tapi bahkan bagian dalamnya juga ikut berubah. Segalanya. Grimgar pun telah berubah. Tidak, telah diubah…”
Ia tampak benar-benar terpuruk.
Telah berubah. Telah diubah.
“…Huh?”
Manato memiringkan kepalanya sedikit. Mungkin hanya perasaannya, tapi… nada bicara Haru barusan terdengar seolah—dialah yang telah mengubahnya.
Lalu saat itulah…
Suara kepakan sayap dan gesekan daun terdengar serentak.
Burung-burung.
Dalam jumlah luar biasa banyak, mereka serempak terbang dari hutan.
Dan itu bukan satu kali. Dimulai dari arah yang berlawanan dengan Pegunungan Tenryuu, lalu disusul oleh gelombang lain dari arah berbeda. Bukan hanya seolah menanggapi… mereka memang merespons sesuatu. Burung-burung yang mendeteksi sesuatu yang tidak wajar terbang dari pohon tempat mereka bertengger, dan burung-burung lainnya ikut menyusul. Itu hal yang biasa terjadi di dalam hutan.
“Haru.”
Manato berdiri dari kursinya.
“Ya.”
Haru pun menjauh dari meja.
“…Kita terlalu lengah. Kupikir mereka takkan pernah mendekat ke tempat ini.”
“Mereka?”
“Sekitar empat kilometer ke barat laut dari Altana, ada sekelompok budak Skullhell yang bermukim. Mungkin ini ulah mereka. Kita harus pergi.”
“Bagaimana dengan kebunnya? Apa tidak apa-apa?”
“Lupakan saja. Kalau perlu, kita bisa—”
Haru belum selesai bicara ketika tangannya menyusup ke balik jubah dan menarik keluar sebilah belati, lalu menggenggamnya dengan posisi terbalik. Manato pun mengambil busurnya dan hendak menarik anak panah dari tabung, namun Haru menghentikannya.
“Mereka kebal terhadap panah… Aku benar-benar ceroboh. Bukan sekadar tumpul—aku benar-benar tidak menyadarinya.”
Apa yang tidak disadari Haru, Manato sudah bisa menebaknya.
Arah di depan mereka adalah arah pertama burung-burung tadi terbang. Tapi yang datang bukan dari sana—melainkan dari sisi kiri mereka, dari dalam hutan. Seseorang—atau sesuatu—berlari menuju kebun.
“Bukan…”
Haru berbisik.
“Bukan budak… Apa? Seorang paladin—”
Itu manusia. Atau dulunya manusia. Haru bilang mereka tak bisa lagi disebut manusia, baik dari penampilan maupun dari dalam.
Dan memang, makhluk itu tampak sangat aneh.
Ia punya kepala, sepasang lengan, sepasang kaki—berbentuk seperti manusia. Tapi seluruh tubuhnya tertutup sesuatu yang mengilap dan licin, seolah-olah dilapisi lempengan logam yang sangat halus dan padat. Terlalu mulus untuk disebut baju zirah. Dan matanya—dua mata yang bersinar terang.
Makhluk itu menggenggam sesuatu yang panjang dengan kedua tangan. Tombak, tampaknya. Dengan sebuah bendera terpasang padanya. Simbol yang tergambar di kain itu bukan persegi, bukan segitiga, dan bukan lingkaran. Manato tak tahu harus menyebutnya apa, tapi bentuknya punya enam tonjolan.
“Seorang priest… Kalau begitu—ikuti aku, Manato.”
Haru langsung berlari. Manato tidak sempat berpikir. Sebelum akalnya menyusul, tubuhnya sudah lebih dulu bergerak mengejar.
Haru menembus hutan ke arah Pegunungan Tenryuu. Tapi di sana pun—ada sesuatu. Mata. Sepasang mata bercahaya yang mengarah ke mereka. Tapi ini berbeda. Yang satu ini hanya kepalanya yang ditutupi benda mengilap seperti logam. Tidak seperti yang pertama, yang membawa tombak dengan bendera. Yang ini mengenakan pakaian—pakaian longgar seperti jubah dari kain putih yang dililitkan. Di tangannya ada sebuah tongkat. Atau, lebih tepatnya, sebatang kayu dengan bola di ujungnya. Dan jika dipukul dengan itu… pasti sangat menyakitkan.
“Haru!?”
“Itu komandan paladin.”
Begitu ia berkata, sosok Haru yang ada di depan tiba-tiba lenyap dari pandangan Manato. Ia terkejut, tapi bisa menangkap gerakan Haru—yang merunduk cepat dan mengitari pohon di kanan depan mereka. Gerakannya tajam dan senyap, seperti seekor kucing gunung.
Manato belum pernah berhadapan langsung dengan kucing gunung yang terkenal lincah dan mematikan itu—kalau pun pernah, mungkin ia sudah dimangsa. Yang pernah ia lihat hanya kucing gunung berukuran sedang, tapi itu pun luar biasa gesit. Sekejap ada di tanah, sekejap berikutnya sudah di atas pohon, menatap dari atas.
Dulu Manato mengira manusia mana pun tak mungkin bisa bergerak seperti itu. Tapi rupanya tidak mustahil. Haru benar-benar seperti kucing gunung.
Sadar-sadar, ia telah bergerak ke belakang sang komandan paladin.
“Gila!”
Manato membelalak dan berteriak. Tanpa sadar ia berhenti di tempat.
Dari belakang, Haru mengulurkan tangan kirinya dan menutup pandangan lawannya, menggenggam sisi kanan kepala sang komandan. Di saat bersamaan, tangan kanannya—yang memegang belati secara terbalik—menggores leher lawan dalam satu gerakan cepat. Leher dan kepala terpisah seakan tak ada perlawanan.
Apakah benar semudah itu memisahkan kepala dari tubuh? Pasti ada tekniknya. Cara memberi tekanan, sudut, waktu… Semuanya harus tepat. Mungkin yang paling krusial adalah bagaimana Haru menarik kepala itu mendekat—atau malah memutarnya sedikit—dengan tangan kirinya sebelum menebasnya.
Penggunaan belatinya pun berbeda. Bukan sekadar mengiris lurus. Haru memutar pergelangan tangannya, membentuk gerakan seperti angka delapan yang halus dan cepat.
Tanpa jeda, Haru menendang tubuh sang komandan hingga roboh. Manato sempat mengira kepala itu akan dibiarkan begitu saja, tapi ternyata tidak. Haru melempar kepala itu sedikit ke udara dan menangkapnya kembali dengan tangan kiri. Telapak tangannya menempel pas di atas ubun-ubun.
Mata sang komandan masih menyala.
Saat itulah Manato menyadari sesuatu: ada mulut—atau sesuatu yang menyerupai mulut—pada wajah itu. Terletak di tempat yang seharusnya, namun bentuknya seperti celah horizontal yang sobek ke samping. Celah itu terbuka.
“Cahaya… Lumiaris! Cahaya… berikan cahaya…!”
Itu bicara.
Suaranya teredam, sulit dipahami, tapi itu jelas suara. Kepala itu berbicara.
Meski hanya kepala.
“Yang melayani para dewa… tidak akan mati semudah ini,” ujar Haru pelan.
Ia membalik kepala itu, memperlihatkan bagian leher yang terpotong, lalu menusukkan belatinya ke dalam luka terbuka itu.
“Ahh… aahhh… cahaya… aku melihatnya… cahaya Lumiaris… cahaya…”
Apa yang dilakukan Haru?
Ia mengacak bagian dalam kepala itu dengan belatinya. Bukan sekadar menusuk. Mungkin di dalamnya memang ada sesuatu—organ penting, bagian inti. Dan dengan merusaknya, bahkan makhluk yang seharusnya tak bisa mati hanya karena dipenggal, benar-benar mati.
Seperti otak atau jantung pada hewan biasa—sesuatu yang jadi pusat keberlangsungan hidup.
Sang komandan terdiam. Matanya berhenti bersinar.
Tanpa berkata-kata, Haru melempar kepala itu ke tanah dan kembali merendahkan tubuhnya, bergerak ke kiri secepat bayangan. Seperti kucing gunung lagi.
Ada yang lain lagi. Bukan priest, bukan pula komandan. Tapi… kelihatannya manusia?
Kulitnya cokelat kelabu, tubuhnya kurus tinggi, dan telinganya runcing. Pakaian yang dikenakannya mirip dengan komandan tadi. Di tangan kanannya tergenggam pedang, dan di tangan kiri, semacam benda lebar berbentuk datar—perisai.
Matanya pun bersinar, tapi kepalanya tak ditutupi bahan mengilap seperti dua yang sebelumnya. Sinarnya mengingatkan Manato pada tatapan binatang buas di malam hari—saat mata mereka memantulkan cahaya dalam gelap.
Bukan pantulan. Mata itu memang menyala.
Haru membunuh si Telinga Runcing dengan cara yang sedikit berbeda dari komandan paladin. Sama-sama menyerangnya dari belakang, tapi Haru menusukkan belatinya dari arah bawah secara diagonal, tepat ke pangkal leher. Ia menahan kepala si Telinga Runcing dengan satu tangan, lalu mendorong belatinya lebih dalam. Dalam sekejap, cahaya menghilang dari mata makhluk itu. Tubuhnya lunglai dan ambruk ke tanah.
“Manato, kenapa diam saja? Ayo, ikut!”
Haru melambai dengan tangan kirinya, memberi isyarat. Manato pun kembali berlari, meskipun dalam hati ia sempat bertanya-tanya, apa semua ini benar-benar baik-baik saja?
Sambil mengikuti Haru dari belakang, Manato menjaga kewaspadaannya, bukan hanya ke kiri dan kanan, tapi juga ke arah belakang. Mereka sedang diburu. Dan bukan hanya dari satu arah. Musuh tersebar di mana-mana. Daerah ini dipenuhi pepohonan lebat dan reruntuhan bangunan yang membuat jarak pandang jadi buruk. Meski begitu, sesekali Manato masih bisa menangkap bayangan sosok-sosok yang bergerak. Suara langkah kaki. Seruan-seruan yang bersahutan.
“Cahaya!”
“Berikan kami cahaya!”
“Cahaya!”
“Bersinarlah!”
“Lumiaris!”
“Cahaya! Wahai Lumiaris!”
“Lindungi kami dengan berkat-Mu!”
Beberapa kata bisa dimengerti Manato. Tapi ada pula yang terdengar asing.
“Diedenda!”
“Arfinke!”
“Rolbarol!”
Meski tak memahami semuanya, Manato yakin maksud mereka sama—dari nada dan tekanan suara yang terdengar serupa.
Jumlah mereka… luar biasa banyak.
Bukan lima atau enam orang. Para pengejar itu jumlahnya lebih dari sepuluh. Mungkin puluhan.
Manato pernah dikejar kawanan anjing liar, bahkan pernah diburu oleh gerombolan yakuza. Ia cukup terbiasa dikejar-kejar. Tapi tetap saja, rasa cemas itu ada—bisakah kami lolos? Bukankah kemungkinan besar kami akan tertangkap? Secara logika, seharusnya mereka sudah tertangkap dari tadi.
Namun anehnya, sejak berhasil menyingkirkan komandan paladin dan si Telinga Runcing, mereka berdua belum tertangkap juga. Nyaris disusul beberapa kali, tapi tetap saja selamat. Apa mereka memang sedang sangat beruntung? Atau ini cuma soal keberuntungan?
Manato sendiri tak melakukan apa-apa. Ia hanya terus mengikuti Haru. Yang memilih rute pelarian adalah Haru. Jadi kemungkinan besar, Haru-lah yang pandai mencari jalan keluar.
“Hebat juga kau, bisa tetap menempel terus.”
Haru menoleh sejenak dan bicara sambil tetap berlari.
“Kau luar biasa, Manato.”
“Eh… tidak juga. Haru malah lebih hebat. Nafasmu saja tak terengah.”
“…Sama sepertimu.”
“Yah, mulai agak berat juga sih. Tapi… belum sampai berat banget. Masih bisa lanjut,” katanya sambil mengatur napas.
“Terima kasih.”
“Yang harusnya bilang terima kasih itu aku, tahu?”
Di depan sana, bayangan tembok pelindung mulai terlihat. Ada bagian yang menurun, seperti lembah kecil. Haru sepertinya berniat keluar dari sana.
“Haru! Ke kanan!”
Begitu Manato berseru, Haru hanya menjawab singkat, “Iya.” Sepertinya dia juga sudah sadar. Masih cukup jauh, tapi di bagian kanan atas tembok, tampak siluet seseorang—bukan, bukan orang. Sosok itu membawa tombak panjang dengan bendera terpasang. Seorang priest. Mereka sudah didahului.
Tanpa ragu, Haru berlari menuruni cekungan tembok dan keluar dari wilayah Altana. Manato pun menyusul.
Saat menoleh ke kanan, Manato melihat si priest baru saja melompat turun dari tembok. Bukan cuma dia. Ada satu sosok lain—komandan paladin, dengan kepala yang tertutup benda mengilap, matanya bersinar samar. Beberapa makhluk lain juga berdiri di atas tembok, seolah hendak menyusul si priest.
Entah kenapa, Haru tiba-tiba memperlambat langkahnya. Akibatnya, Manato jadi bisa menyusulnya.
“Dengarkan aku, Manato,” kata Haru tanpa menoleh.
“Ya, aku dengar.”
“Pergilah ke arah Bahtera. Kau takkan bisa masuk sendirian, jadi cari tempat untuk bersembunyi. Tunggu aku di dekat sana.”
“Eh…? Terus, kamu sendiri?”
“Aku akan mengurus mereka.”
“Sendirian?”
“Aku tidak masalah.”
“Tidak…”
“Aku sudah hidup di tempat ini lebih dari seratus tahun. Tapi kalau harus melindungimu sambil bertarung, aku mungkin tidak bisa menjamin.”
“Lebih dari seratus—seratus tahun?!”
“Pergi sekarang.”
Haru menunjukkan arah Bahtera dengan gerakan dagu, lalu membalikkan badan.
Namun Manato juga berbalik arah… dan menarik pedangnya dari sarungnya.
“…Manato!?”
Haru terkejut.
“Aku cuma mau bantu sedikit!”
Senyum kecil muncul di wajah Haru. Dia tertawa pelan.
“Kalau situasi memburuk, aku akan kabur. Tenang saja!”
“Tenang gimana maksudmu…”
“Mereka datang banyak. Lihat tuh, dari lubang di dinding yang kita lewati tadi, juga—”
Priest yang melompat dari tembok, satu komandan paladin, dan empat… lima orang lain dengan mata bercahaya. Dan bukan hanya dari arah itu saja—dari arah tempat Haru dan Manato kabur tadi, satu lagi komandan paladin muncul, menyusul oleh pasukan bermata cahaya lainnya yang terus berdatangan satu per satu.
“Haru, orang-orang yang matanya bercahaya itu…”
“Mereka paladin,” jawab Haru cepat.
Ia memindahkan posisi belatinya ke tangan kiri, lalu menarik satu lagi senjata dari balik mantelnya. Bentuknya sedikit berbeda, tapi itu juga belati. Sekarang Haru menggenggam sepasang belati, satu di tiap tangan.
Tanpa menunggu, ia langsung berlari menerjang ke arah priest. Priest, komandan, dan lima orang paladin lainnya langsung membentuk formasi, mengerubunginya. Tujuh lawan satu. Tidak seimbang, bahkan bisa dibilang nekat.
Manato ingin membantu, tapi kalau dia tidak menangani para pengejar yang keluar dari celah tembok, Haru justru akan makin terdesak.
Manato langsung menyerbu komandan paladin yang muncul dari balik tembok. Kepala makhluk itu dilapisi benda mengilap, dan dari kepalanya tumbuh dua tanduk. Haru pernah bilang, Grimgar dipenuhi beragam ras. Mungkin memang ada juga manusia bertanduk.
Komandan bertanduk dua itu menggenggam tongkat tumpul pendek di tangan kanannya—panjangnya kira-kira seukuran lengan. Tangan kirinya memegang benda bundar. Kemungkinan besar, itu perisai. Bentuknya bulat. Tapi dari ukurannya, benda itu bisa digunakan untuk menghantam juga.
“Rorubaroru…!” raungnya pelan.
Komandan itu maju sambil mengangkat perisai bundarnya ke depan, mendekat cepat.
Kalau Manato nekat menyerang dengan pedang, dia yakin lawannya akan menahan atau menangkis serangannya dengan perisai itu—lalu langsung membalas dengan pukulan tongkat di waktu yang sama.
Tidak ada alasan untuk mengikuti aturan permainan lawan.
Manato memiringkan tubuh, menghindar sehalus mungkin dari perisai itu, lalu menjatuhkan dirinya ke kanan depan, ke arah diagonal. Tubuhnya berguling ke tanah dan langsung bangkit kembali. Komandan bertanduk dua berhenti, lalu menoleh ke arahnya. Bukan ke Haru, tapi ke Manato. Tepat seperti yang Manato harapkan.
Ia pun berlari ke arah celah di tembok. Dua, tidak—tiga paladin bermata cahaya mengejarnya, sambil berteriak tentang cahaya. Cahaya ini, cahaya itu. Suaranya ramai, mengganggu.
Ada sesuatu tentang situasi seperti ini yang anehnya membuat tenang.
Takut? Ya, tetap takut. Tapi begitu ketakutan memuncak… rasanya justru jadi tidak takut. Atau mungkin lebih tepatnya: tidak sempat takut.
Rasanya mirip dengan saat berdiri di tempat tinggi. “Wah, tinggi juga,” pikirnya. “Bahaya.” Dada seperti terhimpit. Bulu kuduk meremang. Ada dorongan untuk mundur… tapi ada hasrat yang lebih besar untuk melompat.
Orang tuanya selalu khawatir dengan sisi dirinya yang ini. Seorang pemburu seharusnya berhati-hati. Seorang pemburu yang tak mengenal takut akan mengejar mangsa yang tak bisa dia kendalikan—dan akhirnya celaka.
Pemburu itu harus cukup pengecut. Mungkin, bagi orang tuanya, Manato memang bukan anak yang cocok jadi pemburu.
Tapi, meskipun menakutkan, jika memang tidak terasa menakutkan, ya, mau bagaimana lagi? Waktu Manato pernah bercerita soal ini, Juntza, Amu, dan Neika semua mengerutkan kening. Mungkin memang ada yang sedikit aneh dalam diri Manato. Dia tidak benar-benar membenci rasa takut. Malah… bisa jadi dia cukup menyukainya.
Saat ketakutan, dia malah bisa tertawa. Padahal jelas-jelas sedang takut, tapi rasa takut itu berubah jadi sesuatu yang tidak menakutkan lagi. Bukan berarti ketakutannya hilang. Masih takut. Tapi menyenangkan.
Ya. Menyenangkan.
Semakin menakutkan, rasanya malah semakin menyenangkan.
Bukan berarti Manato bertindak tanpa berpikir hanya karena itu menyenangkan. Ada tiga paladin di depannya. Dia perhatikan gerak-gerik mereka satu per satu, membayangkan kemungkinan serangan yang akan mereka lancarkan. Kalau yang ini menyerang begini, aku akan melakukan itu. Kalau yang sana bergerak duluan, aku harus lakukan hal lain. Semuanya dipikirkan. Tapi keputusan harus dibuat dalam sekejap. Yang penting adalah satu hal:
Menghindar.
Bukan kabur. Kalau dia berbalik dan lari membelakangi mereka, dia akan langsung disusul dan diserang dari belakang. Jadi, dia akan menghindar. Terus menghindar. Menghindar sekuat mungkin.
Tiga paladin itu memiliki senjata dan gaya yang berbeda-beda. Yang satu, perempuan berambut panjang, memegang tongkat pendek ujung bulat. Yang lain, bertubuh besar dengan kulit kehijauan, membawa pedang dan perisai lebar seperti papan. Dan yang terakhir, seorang bertelinga runcing, memegang tongkat panjang.
Jangkauan serangan mereka tidak sama. Postur tubuh mereka juga berbeda. Dan sekarang, komandan bertanduk dua tadi ikut masuk ke dalam barisan. Jadi empat lawan satu.
Empat lawan satu. Lucu juga. Benar-benar empat lawan satu.
“Aafin’ke…!”
Paladin bertelinga runcing itu mengayunkan tongkat panjangnya ke arah Manato—dari kanan. Sudut serangnya lebar dan cepat. Kalau Manato terus berlari seperti ini, dia akan terkena pukulan. Bahaya.
Namun, Manato tidak melambat. Tidak juga bergerak ke kanan atau ke kiri. Tetap maju. Tetap lurus.
Dan tepat sebelum pukulan itu mengenainya, Manato merunduk, kepala tetap menghadap ke depan.
Tubuhnya menekuk hingga lutut hampir menyentuh dada. Tongkat itu melintas di atasnya. Tidak mengenai kepala.
Hanya menyapu rambutnya sedikit.
Tanpa berhenti, Manato terus maju dan menghantam tubuh paladin itu. Bukan tabrakan. Dia membawa pedang. Dan dia menancapkannya—tepat ke perut lawan.
Pedangnya menembus dengan cara yang membuat Manato sendiri terkejut.
Huh? Bisa setajam ini? Serius?
Dalam sekejap, bilahnya sudah masuk hampir sampai ke gagang. Sedalam itu.
Apa ini bisa dicabut lagi?
“…!”
Dengan tangan kanannya, Manato menarik gagang pedang sekuat tenaga sambil mendorong dada paladin itu dengan tangan kirinya. Lawan terjengkang ke belakang. Pedangnya ternyata bisa tercabut dengan mudah.
Paladin itu masih memegang tongkatnya. Manato langsung mengayunkan pedangnya ke pergelangan tangan kanan lawan—dan memotongnya.
Dia hanya berpikir akan mencoba memotong. Tapi ternyata… berhasil. Semudah itu. Secepat itu.
Pedangnya benar-benar luar biasa. Seperti bisa memotong apa saja dengan mudah.
“Aafinke, Lumia Rishel…!”
Meskipun sudah ditusuk di perut dan tangan kanannya tertebas, paladin bertelinga runcing itu masih berusaha bangkit. Apa harus ditebas lehernya agar benar-benar tumbang? Tapi itu tak sempat. Pasukan suci bertubuh besar dengan kulit hijau dan membawa pedang serta perisai kini menyerbu ke arahnya.
Manato buru-buru mengayunkan pedangnya. Ia berhasil menangkis serangan, tapi tubuhnya nyaris terpental karena benturannya.
“Kuat banget, ya…”
“Iglansha…!”
Ksatria kulit hijau itu langsung meluncurkan serangan berikutnya tanpa jeda. Manato tidak ingin bertukar pukulan, tapi tampaknya kali ini ia tak bisa menghindar sepenuhnya. Ia terpaksa menangkis setiap tebasan sekuat tenaga.
Padahal lawannya hanya memegang pedang dengan satu tangan. Sementara Manato menggenggam dengan dua tangan, tetap saja kalah dalam adu kekuatan. Ukuran tubuh lawannya jauh lebih besar. Pedangnya pun, meski tak panjang, tampak tebal dan berat. Sulit dipercaya dia bisa mengayunkannya semudah itu hanya dengan satu tangan.
“Cahaya, bantu aku…!”
Dan seolah itu belum cukup, kini si perempuan paladin ikut menyerang. Ini benar-benar gawat.
“—Wah!”
Refleks, Manato melompat menyamping dan menjatuhkan diri ke tanah. Kalau tidak, dia pasti sudah dihantam tongkat bulat milik perempuan itu.
Saat mencoba berguling dan bangkit lagi, ksatria bertelinga runcing kembali melompat menyerang.
“Aafinke…!”
“Tunggu dulu—!”
Manato menendang ksatria itu. Untungnya, tubuhnya terdorong ke arah si perempuan paladin hingga mereka saling berbenturan.
“Diedenda…!”
Tapi, ksatria kulit hijau itu langsung melompat juga. Seperti ingin menginjak Manato hidup-hidup.
“Duh—enggak bisa begini terus—!”
Tak bisa membiarkan dirinya dilindas, Manato buru-buru bangkit dan merangkak menjauh. Tapi di depannya, komandan bertanduk dua sudah berdiri, menantinya.
“Rolbarol! Lumia Rishel…!”
“Sial—”
Ini gawat. Beneran gawat.
Manato bahkan mulai kehilangan pemahaman tentang apa yang sedang ia hindari. Semuanya terasa seperti bayangan yang menyerbu dari segala arah. Tidak ada waktu untuk berpikir. Yang bisa ia lakukan hanyalah terus menghindar dari segala sesuatu yang mengarah padanya—semua yang mencoba menghancurkannya, menebasnya, menjatuhkannya ke tanah dan mengoyaknya habis-habisan.
“—Guh…!?”
Pedangnya nyaris terlepas dari genggamannya. Ia berusaha mempertahankannya, tapi justru tubuhnya terseret ke arah kiri bersama kedua lengannya. Serangan pedang dari ksatria kulit hijau tak berhasil ia tangkis sepenuhnya.
Sesaat kemudian, dug! Sebuah hantaman keras menghantamnya. Tendangan, atau entah apa. Napasnya tersengal, tubuhnya terpental.
Belum sempat bangkit, yang terlintas dalam benak Manato adalah: Aku akan kalah. Ini gawat. Harus bangun.
Napasnya tidak lancar.
Tubuhnya… masih bisa bergerak.
Setidaknya, masih bisa digerakkan.
Manato berusaha menjauh dari paladin bertanduk dua. Juga dari ksatria berkulit hijau, dari ksatria perempuan, dari ksatria bertelinga runcing. Ia hanya ingin menjauh. Sedikit pun tak apa. Yang penting, menjauh.
Sebuah dinding.
Ada dinding pertahanan.
Dekat.
Sangat dekat.
“…Heheh.”
Manato tertawa.
Atau, setidaknya mencoba tertawa.
Tumpukan batu pada dinding itu memiliki cukup banyak celah untuk jari dan kaki bertumpu, sehingga mudah dipanjat. Ia baru menyadari setelah mulai memanjat bahwa membelakangi para paladin mungkin bukan keputusan yang baik. Tapi… apa boleh buat. Daripada menoleh untuk memastikan, lebih baik langsung memanjat saja. Lagipula, ia sudah sampai di atas.
Manato berjongkok di atas dinding pertahanan. Saat menoleh dan menunduk, ia melihat pemimpin paladin dan para ksatria lainnya menatap ke arahnya. Mata mereka berkilat menatap dari bawah.
“Aneh…”
Mereka tidak memanjat.
Saat itulah ia menyadari dirinya tak membawa apa-apa.
Oh… pantas saja aku bisa memanjat dengan mudah. Ia memang cukup mahir memanjat pohon, tapi tidak mungkin bisa selincah ini jika sedang memegang pedang. Ke mana perginya pedang itu? Bahkan bukan cuma pedang—busur dan tabung anak panah pun tak ada.
Dada kirinya terasa nyeri. Sangat nyeri. Sulit bernapas, tapi ia masih bisa memaksa udara masuk ke paru-parunya.
Ketemu.
Pedangnya.
Jatuh di belakang si komandan bertanduk dua. Harus kuambil. Itu pedang bagus.
Dada kembali berdenyut sakit. Tulang… retak, ya? Mungkin tulang rusuk.
Pasti karena tameng. Tameng ksatria berkulit hijau itu menghantamnya keras, membuatnya terlempar—ya, saat itu.
Ksatria bertelinga runcing sedang melakukan sesuatu. Tangan kanannya—yang sudah Manato tebas—sedang coba ia tempelkan kembali ke pangkalnya. Apa bisa? Bisa nempel, ya? Manato tidak tahu. Ia sendiri belum pernah menempelkan tangan sebelumnya.
“Ahh…”
Manato menggelengkan kepala. Pandangannya agak buram. Sakit. Dadanya… terasa nyeri. Tapi tidak apa-apa. Masih bisa ditahan. Rasa sakit ini… lama-lama juga akan sembuh. Kalau cuma patah tulang, ya… tidak masalah. Sudah pernah, kok. Beberapa kali. Bahkan sering.
Ayah dan Ibu dulu sampai kaget.
“Eh, Manato, tulangnya udah nyambung aja? Hebat, ya, Manato. “
“Ehh? Ini hebat, ya?”
“Iya dong, hebat banget. Hebat, hebat!”
Kami bertiga sempat tertawa waktu itu…
Tapi… ini bukan saatnya tenggelam dalam kenangan.
Komandan paladin bertanduk dua menendang dinding pertahanan. Lalu, ksatria perempuan dan yang berkulit hijau melemparkan senjata serta perisai mereka. Sepertinya mereka berniat memanjat.
“Manato…!”
Terdengar suara Haru. Saat dilihat, Haru tengah terkepung oleh seorang priest berpakaian ritual yang membawa tombak berhias bendera dan dua orang paladin. Beberapa mayat tergeletak di sekeliling—sepertinya Haru yang menghabisi selain mereka bertiga.
“Alihkan perhatian mereka! Aku akan bantu segera…!”
“Aku baik-baik saja!”
Manato refleks menjawab, lalu malah tertawa kecil. Baik-baik saja? Yang mana yang baik? Bagian mana?
Ia melirik ke arah Altana. Dari balik pepohonan, samar-samar tampak siluet-siluet bergerak—entah itu komandan ksatria atau hanya ksatria biasa. Dan dari celah di dinding pertahanan, komandan bertanduk dua berlari keluar, helmnya memantulkan cahaya. Di belakangnya, para paladin lain bermunculan. Padahal Haru sudah susah payah mengurangi jumlah mereka, tapi sekarang malah bertambah lagi.
“Seriusan, nih…?!”
Rasanya… pengin ketawa. Junza sudah berkali-kali menegur karena sering ketawa di saat-saat aneh begini. Tapi gimana, dong? Mau bagaimana pun, kalau pengin ketawa, ya ketawa aja.
“—Oke, kalau begitu!”
Manato melompat dari atas dinding pertahanan. Ia berusaha melompat sejauh mungkin agar tidak ditangkap oleh ksatria berkulit hijau dan si perempuan yang sedang memanjat. Mungkinkah dia bisa melompati komandan bertanduk dua? Kalau tidak bisa, itu bakal masalah.
“Broblarl! Lumia—ris…!”
Komandan bertanduk dua mengangkat perisai bundarnya. Dengan tongkat tumpulnya, ia mencoba memukul Manato di udara. Manato malah tertawa. Gawat, ini. Dia lagi di udara. Nggak bisa menghindar. Tapi… apa benar nggak bisa? Mungkin masih bisa?
“—Hngh…!”
Manato memeluk lutut dengan kedua tangan, menyusutkan tubuh sebisanya. Dengan begitu, kemungkinan hantaman tongkat itu meleset akan sedikit lebih besar.
Mungkin saja.
Siapa tahu.
“Guh—…!”
Atau… mungkin juga tidak.
Sisi kiri tubuhnya dihantam keras, dan Manato terhempas ke tanah. Seketika, kesadarannya sempat mengabur. Tapi—pedang. Pedang! Harus ambil pedangnya.
Itu dia. Pedang. Pedang!
“Kaahh…!”
Manato menggenggam pedangnya dengan kedua tangan, lalu bangkit sambil mengayunkannya sekuat tenaga. Dan—kena. Ujung tongkat tumpul milik komandan paladin terpental oleh sabetan pedangnya. Itu murni kebetulan. Sungguh… lucu, kan, hal beginian?
“Nuuh! Kuh! Tsah…!”
Tubuhnya terasa sakit di banyak tempat—mungkin—tapi tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Manato terus mengayunkan pedangnya, mengayun, dan mengayun lagi.
Jika dia mundur sekarang… entah kenapa, rasanya seperti kalah.
Jadi ayunkan saja. Ayunkan terus pedang itu sambil melangkah maju—maju—dan terus maju.
Manato tidak mundur.
Mungkin, justru komandan bertanduk dua itu yang mulai mundur.
Begitu Manato menyadari bahwa dirinya sedang menekan balik lawan, sesuatu menghantam dari samping. Tidak ada kesempatan untuk menghindar.
“Ouh—!”
Manato terhempas ke samping, lalu nyaris tanpa jeda, tubuhnya disepak keras.
Tenaga yang luar biasa. Tendangan yang gila kuatnya.
Pasti dari ksatria berkulit hijau.
Ia terguling, jatuh di semacam padang rumput—atau lebih tepatnya, semak belukar tipis. Dan saat ia terbaring begini, dedaunan menutupi pandangannya. Jadi kini, ia tak bisa lagi melihat dengan jelas.
Meski sebenarnya bukan sedang rebahan santai juga.
“Nngh…!?”
Dari bahu kiri hingga ke punggung, terasa seperti dihantam keras.
Sakit? Panas? Entahlah.
Apa ini… luka bacok? Bisa jadi. Mungkin, ya.
Terbabat, mungkin?
“Manatooo…!”
Terdengar teriakan Haru dari kejauhan.
Haruskah tadi aku kabur saja? Pikiran itu sekilas terlintas. Mungkin seharusnya aku benar-benar menuruti Haru?
“Uryaaaahh…!”
Manato membalikkan tubuh dan kini terlentang, lalu dengan tangan kanan satu-satunya yang masih bisa digerakkan, ia mengayunkan pedangnya sembarangan.
Lengan kiri… entah sakit atau mati rasa, tak bisa digerakkan sesuka hati.
Sebenarnya bukan hanya lengan. Seluruh tubuh pun tak bergerak seperti yang ia inginkan.
Manato tahu ada banyak musuh di sekitarnya—komandan dan para ksatria.
Tapi berapa orang tepatnya, dia tak tahu.
Dia tak bisa sejauh itu memperkirakan.
Tapi… dia tidak takut.
Entah kenapa, tidak ada rasa takut sama sekali sekarang.
Bukan berarti ini menyenangkan. Jadi tidak ada alasan untuk tertawa.
Apa-apaan ini? Apa yang sedang aku lakukan? Ini… salah, kan, seperti ini?
Mungkin memang seharusnya dia kabur tadi.
Haru sudah menyuruhnya untuk lari ke Bahtera.
Haruskah ia melakukannya sejak awal?
Apa ini semua… kesalahan?
“—Nngghh…!”
Tiba-tiba, pedang lepas dari tangan kanan Manato dan terbang entah ke mana.
Komandan paladin bertanduk dua kini berdiri di atas dada Manato. Ia mengangkat tongkat tumpulnya tinggi-tinggi, menatap Manato dari balik mata yang berkilau.
Sesuatu melintas di langit. Burung? Tapi ukurannya terlalu besar. Atau mungkin karena jaraknya terlalu dekat, terlalu rendah.
Satu ekor? Tidak—dua.
Dua makhluk terbang—apakah itu burung atau bukan—melintas di atas kepala sang komandan, lalu segera menghilang dari pandangan.
Burung. Terus apa kalau burung?
“Alberaro… Lumia—ris… Ler…”
Komandan itu mengatakan sesuatu.
Apa maksudnya? Manato sama sekali tak tahu.
Sosok ksatria perempuan membungkuk, wajahnya mendekat ke Manato yang terbaring.
“Berbaktilah kepada Lumiaris—dan kau akan diselamatkan untuk selamanya.”
Tanpa sadar, Manato bertukar pandang dengan mata perempuan itu. Berbeda dengan para komandan atau priest yang menutupi kepala mereka dengan pelindung berkilap, cahaya di mata perempuan ini tampak keluar dari matanya sendiri. Justru itu yang lebih menyeramkan.
Di balik cahaya itu, Manato melihat simbol dengan enam tonjolan—sama persis seperti yang tergambar pada bendera priest.
“Wahai yang lemah, tunduklah pada cahaya.”
Nada suara perempuan itu—anehnya—lembut.
Tunduk. Apa maksudnya? Menyerah? Bergabung?
Entah. Tapi mungkin artinya seperti itu.
Manato tertawa. Tertawa membuat seluruh tubuhnya sakit, dan justru itu membuatnya ingin tertawa lebih keras.
“Tidak akan pernah.”
“Kalau begitu, matilah.”
Perempuan itu membisikkan kata-kata itu nyaris tanpa suara, lalu menengadah ke arah sang komandan dan menggeleng pelan.
Kapten paladin itu mengangguk. Tongkat bulat diangkat lebih tinggi. Apa dia akan menghantam dengan itu? Ke mana akan diarahkan? Ke wajah? Kalau kena wajah, bisa hancur total. Dan kalau hancur… mungkin tak akan bisa diperbaiki. Bisa mati, mungkin. Apa benar… akan mati? Ini… bisa-bisa aku mati.
Manato mencoba melarikan diri, tapi dia tahu—itu takkan sempat.
“—!”
Kalau saja Haru tidak muncul dari belakang dan menebas kepala sang komandan dengan dua belati dari arah berlawanan, wajah Manato pasti sudah remuk.
Tunggu—sejak kapan dia ada di sana? Haru? Baru sedetik lalu, kayaknya dia nggak ada di situ.
“Manato…!”
Haru menendang tubuh sang komandan yang telah kehilangan kepala, lalu dalam satu gerakan cepat, memenggal kepala ksatria perempuan.
Bagaimana barusan?
Di mata Manato, belati di tangan kanan Haru seolah memanjang—meluncur cepat—sehingga mampu menebas leher perempuan itu dalam satu ayunan bersih. Apa itu mungkin?
Padahal, posisi si ksatria perempuan merunduk, bertumpu pada keempat anggota tubuhnya. Seharusnya Haru perlu membungkuk untuk mengayunkan tebasan ke arah leher.
Tapi Haru sama sekali tidak melakukannya.
Ia menebas sambil berdiri.
Kalau begitu… berarti, belati Haru memang bisa memanjang?
“Masih bisa bangkit, Manato…!?”
Haru bertanya sambil mengarahkan belatinya ke ksatria berkulit hijau.
Tidak salah lagi. Saat Haru mengayunkan belati di tangan kanannya, bilahnya melesat—memanjang dalam sekejap. Ksatria hijau itu berhasil menangkisnya dengan perisai, tapi ia tak bisa bergerak maju. Haru terus menerus menyerangnya dengan bilati itu yang memanjang berulang kali—byuun, byuun. Ksatria itu jadi benar-benar terdesak.
Itu lebih mirip cambuk daripada belati. Tapi cambuk tidak memanjang seperti itu. Apa sebenarnya benda itu?
“Manato!?”
“—Waah! Iya…!”
Tadi Haru sempat bertanya apakah ia bisa bangkit, dan Manato belum sempat menjawab. Kini, ia menghentakkan tubuhnya dan melonjak berdiri dalam satu gerakan.
Sakit—seluruh badan terasa sakit. Tapi, masih bisa bergerak.
Sementara itu, Haru memaksa ksatria hijau mundur dengan belati memanjangnya, lalu mengelak dengan mulus dari tusukan tongkat panjang ksatria bertelinga runcing. Dan saat itu juga—belati Haru memotong leher ksatria bertelinga runcing dengan satu tebasan bersih.
Manato mencari pedangnya.
Ke mana jatuhnya tadi?
Tak kelihatan. Tapi… yah, lupakan pedang untuk sekarang. Meski sebenarnya tidak bisa begitu saja dilupakan—dari celah benteng, para musuh terus berdatangan. Berapa musuh? Sulit dihitung. Mereka muncul satu demi satu, tanpa henti. Dan bukan cuma dari celah benteng—di atas pun ada. Para ksatria. Mungkin juga seorang komandan.
“Makhluk orc ini… merepotkan!”
Haru mengayunkan belatinya cepat—hyu, hyu—memaksa ksatria hijau kembali menggunakan perisainya. Di celah itu, Haru maju. Langkah pertamanya cepat. Langkah kedua lebih cepat lagi. Dan gerakannya tidak lurus—berkelok tajam, nyaris tak bisa diikuti. Baru saja dia menyebut ksatria itu “merepotkan”… tapi sekarang?
Dalam sekejap, Haru sudah berada di belakang ksatria itu. Dengan kedua belatinya—yang satu bisa memanjang dari kanan, yang satu biasa di kiri—ia melingkarkan tebasan dan memenggal leher musuhnya bersih.
Langkah yang nyaris indah. Kalau bisa melakukan hal seperti itu… pasti terasa luar biasa.
Haru menoleh ke Manato.
“Lari—”
Ia pasti ingin mengatakan sesuatu lagi. Tapi ia tak sempat, karena saat itu, sang komandan bertanduk dua bangkit kembali.
“Lumiaris…! Broblar…!”
“Ehe…”
Manato mendadak tertawa kecil karena terlalu syok. Bukannya “Eh?”, yang keluar justru, “Ehe…”, seperti gumaman kikuk tak sengaja.
Komandan itu—dengan kedua tangannya—mengangkat kepalanya sendiri, dan menekankannya kembali ke lehernya.
Tidak mungkin kepalanya bisa menempel kembali. Itu keterlaluan, kan?
Tapi… kalau dipikir-pikir, paladin bertelinga runcing itu tadi memegang tongkat panjang dengan kedua tangan, padahal sebelumnya tangan kanannya sudah ditebas oleh Manato.
Apa mungkin… dalam waktu sesingkat itu, tangannya sudah tersambung kembali? Ya, mungkin memang disambungkan kembali.
Kalau begitu… kepala pun bisa disambung? Tapi… benarkah begitu?
Tangan dan kepala itu dua hal yang berbeda. Sama sekali tak sebanding.
Atau… mungkin tidak berbeda?
Komandan paladin itu mengangkat tangannya dari kepala, di mana dua tanduk mencuat dari tengkoraknya.
Jelas-jelas ia melepaskan tangannya. Ia tidak lagi menahan kepalanya.
Tapi kepala itu tidak jatuh.
Sudah menyatu kembali.
“Inti cahaya… belum hancur sepenuhnya…!”
Haru—mengucapkan sesuatu yang tak sepenuhnya dipahami Manato—menusukkan belati di tangan kanannya. Belati itu, yang rasanya terlalu besar untuk disebut belati, ditahan oleh lengan kiri komandan paladin.
Mungkin ia berniat menangkisnya, tapi belati Haru menebas lengan kiri itu hingga putus.
Meski begitu, tanpa peduli, komandan paladin langsung menerjang Haru.
“Makanya…!”
Haru menghentakkan kaki kanannya ke dada komandan itu, membuat tubuhnya terjengkal ke belakang, lalu tanpa memberi waktu sedikit pun, ia menyusul dengan tendangan kiri dan menjatuhkannya.
Ya.
Aku harus kabur.
Manato bersiap berlari. Kali ini, ia akan menuruti Haru.
“Wahai cahaya!”
“Iglanssha! Diedenda!”
“Lumiaris! Rorubaror!”
“Arfinke! Lumiarishel!”
“Dengan lindungan Lumiaris…!”
Mereka datang.
Komandan paladin.
Para paladin.
Dan juga—seorang priest, seluruh tubuhnya dilapisi sesuatu yang berkilau seperti logam.
Priest itu mengibarkan bendera yang terpasang di ujung tombak, seolah sedang membakar semangat komandan dan pasukan paladin.
Berarti Haru belum berhasil menyingkirkannya.
Tapi bahkan komandan paladin pun… setelah kepalanya ditebas, bisa bangkit kembali dalam sekejap.
Kalau dipenggal begitu… bukankah harusnya mati?
Bahkan makhluk yang tidak normal pun… seharusnya mati kalau kepalanya dipisahkan dari tubuh.
Tapi komandan itu hidup lagi. Atau mungkin… memang belum mati sejak awal. Jadi, ditebas kepalanya saja tidak cukup. Begitu maksudnya?
Priest itu… rasanya bahkan lebih sulit dibunuh daripada komandan paladin.
Kalau Haru pun tak bisa membunuhnya… ini gawat.
Itu sangat menakutkan.
Namun Manato tidak bisa tertawa. Ini sama sekali tidak menyenangkan.
Ia harus kabur. Ia tahu itu.
Tapi tubuhnya… enggan bergerak seperti seharusnya.
――Di saat-saat seperti ini, lebih baik tertawa.
Wajah ayahnya muncul dalam bayangan—penuh kerutan, beberapa gigi telah tanggal, namun tetap tersenyum.
――Kalau tertawa, beban di hati jadi terasa lebih ringan.
Ibunya pun tak mau kalah, wajahnya dipenuhi keriput yang sama. Tapi mungkin justru karena itulah, karena mereka berdua selalu tersenyum dengan wajah berkerut yang seolah mencerminkan segala kesulitan yang telah mereka lalui bersama.
――Apa pun yang terjadi, selama kamu bisa tertawa, kamu akan sanggup bertahan. Kamu akan bisa melewatinya.
Itulah yang selalu diajarkan orangtuanya kepada Manato. Saat masih kecil, dia pun pernah menangis. Tapi bahkan di saat-saat seperti itu, ayah dan ibunya selalu berusaha membuatnya tertawa. Dan yang paling penting—mereka sendiri selalu tertawa. Karena itu, Manato ikut tertawa bersama mereka.
Dia tahu.
Ada waktu-waktu di mana tidak ada sedikit pun rasa ingin tertawa. Kenyataannya, ayah dan ibunya hampir tak pernah benar-benar bebas dari rasa sakit atau kelelahan. Ada hari-hari yang pasti begitu berat, begitu menyiksa. Tapi mereka tetap memaksa diri untuk tersenyum. Kadang dengan tawa getir, kadang seperti orang nekat.
Namun tetap saja—lebih baik tertawa daripada tidak.
Lebih baik bisa tersenyum daripada tak mampu tersenyum sama sekali.
Semua orang akan mati suatu saat nanti. Manato pun begitu.
Sampai tiba saat itu, selama masih bisa tertawa—dia ingin terus tertawa.
Seperti ayah dan ibunya dulu.
“Ni-hi…”
Maka Manato pun memaksa senyum muncul di wajahnya. Dan begitu melakukannya, perasaannya sedikit menjadi lebih ringan. Ketika hati terasa lebih ringan, tubuh pun jadi bisa bergerak.
Haru berniat membiarkan Manato lari duluan. Dia sendiri akan berjaga di belakang. Kalau begitu, Manato harus berlari secepat mungkin. Jangan menoleh ke belakang. Tatap lurus ke depan.
Itulah yang dia pikirkan. Namun, rasa ingin tahu membuatnya tetap menoleh.
Dan memang dekat. Sangat dekat.
Komandan para paladin—beserta pasukannya—sudah hampir menyusul mereka.
“―Eh…”
Tapi bukan itu yang ia fokuskan.
Dari arah sebaliknya, sesuatu melesat datang.
Bukan terbang mendatar.
Tapi miring.
Menukik dari atas.
Dari langit—jatuh secara diagonal menuju tanah.
Makhluk hidup.
Bersayap.
Besar.
Seekor burung—?
Tidak.
Bukan burung.
Karena ukurannya jauh lebih besar dari manusia.
Sebelumnya pun ada sesuatu yang terbang.
Di atas kepala komandan yang bertanduk dua itu—makhluk seperti burung sempat melintas.
Tapi ukurannya… terlalu besar untuk disebut burung.
Mungkinkah… itu adalah—
“Naga!?”
Haru-lah yang berteriak.
Naga.
Jadi itu seekor naga?
Ia punya sepasang sayap, dan hanya dua kaki.
Dengan kedua kakinya itu, naga tersebut menendang para komandan dan paladin, menghempaskan mereka ke udara. Ia tidak pernah menyentuh tanah—benar-benar nyaris. Sayapnya mengepak kuat, menjaga tubuhnya tetap melayang sembari melaju lurus ke depan.
Manato melihatnya.
Dari punggung naga itu… sesuatu—tidak, seseorang melompat turun.
Seorang manusia? Mungkin. Tampaknya begitu.
Meskipun tidak mengenakan mantel seperti Haru, orang itu mengenakan pakaian tebal yang serupa. Wajahnya… sulit dikenali. Bukan bertopeng seperti Haru, tetapi ada sesuatu yang menyerupai kacamata besar menutupi matanya, dan bagian bawah wajahnya pun tersembunyi di balik penutup.
Naga itu hampir menabrak dinding pertahanan, namun berhasil naik lebih tinggi tanpa sempat menabraknya.

“Karambit! Tunggu di gunung…!”
Itu suara dari manusia yang melompat turun dari naga, bukan? Ya, benar. Manusia ada laki-laki dan perempuan. Ayah dan Ibu pernah bilang ada yang di luar itu juga, tapi Ayah adalah laki-laki, Ibu perempuan, Haru sepertinya laki-laki, Manato juga laki-laki, Junza laki-laki, dan Amu serta Neika adalah perempuan. Jadi orang itu… mungkin perempuan. Antara laki-laki dan perempuan, bentuk tubuh dan suara mereka biasanya agak berbeda. Umumnya, laki-laki bertubuh lebih besar. Dan perempuan itu, sepertinya sedikit lebih pendek dari Manato maupun Haru.
Perempuan itu mencabut pedangnya yang tergantung menyilang di punggungnya, lalu melangkah mendekati salah satu paladin yang belum sempat ditendang oleh naga. Ia hanya berjalan begitu saja—tanpa tergesa—dan mengayunkan pedangnya dengan satu tangan, tangan kanannya. Hanya satu kali ayunan. Tapi itu cukup untuk menebas kedua lengan si ksatria sekaligus—kanan dan kiri—sekaligus, dalam satu tebasan.
“Aku Yori, putri dari Rinka dan Luden Arabakia! Kulihat ini pertarungan yang tidak seimbang, maka izinkan aku turut membantu!”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)
[…] 1 – Kalau Kau Mau Tertawa, Tertawalah SajaBab 2 – Masa Lalu yang Tak AdaBab 3 – Kau Pernah TerbangBab 4 – Pedang dan TinjuBab 5 – Apa yang Telah Kita Lupakan?Bab 6 – Sesuatu yang […]