Malam sudah larut, namun dinding Kota Baru tetap sama seperti biasanya. Cahaya menetes dari menara pengawas, sementara obor berkedip-kedip, bergerak bolak-balik mengikuti langkah para penjaga di atas benteng.
Haruhiro bersembunyi di balik bayangan sebuah reruntuhan, tak lebih dari sepuluh meter dari tembok kota. Setelah mempertimbangkan banyak kemungkinan, inilah posisi terbaik yang bisa ia temukan.
Alasannya sederhana dan jelas: jarak antara menara pengawas di bagian ini lebih renggang. Dari perkiraannya, sekitar enam puluh meter. Biasanya, menara-menara itu hanya dipisahkan oleh tiga puluh hingga empat puluh meter. Perbedaannya sangat mencolok.
Berbeda dengan awal malam, patroli goblin mulai terlihat lengah. Hal itu sudah ia pastikan. Masih ada dua goblin di tiap kelompok, tapi setelah satu patroli lewat, Haruhiro bisa dengan mudah menghitung sampai dua ratus sebelum kelompok berikutnya muncul.
Ia meminta Kuzaku melepaskan baju zirahnya, hati-hati agar tidak menimbulkan suara sedikit pun. Pedang panjangnya dititipkan pada Setora.
Merry dengan lembut menepuk bahu Haruhiro. Wajahnya sulit dilihat dalam gelap.
“Hati-hati,” bisiknya.
Haruhiro mengangguk pelan sebagai jawaban.
Ia sudah membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Cara untuk menghindarinya. Cara untuk mengatasinya bila tidak bisa dihindari. Begitu pikirannya mulai berputar, ia tak sanggup menghentikannya. Tentu saja ia merasa tegang. Resah. Mustahil tidak.
Tak peduli seberapa lama ia memikirkannya, akhir dari semua ini tetap tidak terlihat. Keraguannya tak pernah benar-benar hilang. Jujur saja, ia merasa begitulah adanya. Mustahil segalanya berjalan sesuai rencana. Faktanya, kebanyakan justru berakhir buruk. Semuanya seimbang di atas tepi pisau, jadi wajar bila ia merasa gelisah. Stabilitas dan ketenangan batin terasa terlalu jauh untuk dijangkau. Tanah di bawah kakinya seakan terus bergeser. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha menjaga keseimbangan, dan tetap berdiri.
“Haaah…” ia menghembuskan napas panjang.
Kiichi, yang tadi berbaring di dekat kaki Setora, berjalan mendekatinya. Ia berdiri dengan dua kaki belakang, lalu menaruh satu kaki depannya di paha Haruhiro.
“Nya,” suaranya lirih. Mungkin maksudnya sesuatu seperti, Senang bisa bekerja sama denganmu. Perasaan itu tentu saja sama—malah lebih dari itu. Kiichi jauh lebih bisa dipercaya dibanding Hiyo atau Neal.
“Kita lakukan sesuai rencana. Aku dan Kiichi menyeberangi dinding duluan. Setelah itu Hiyo, lalu Neal. Urutannya begitu.”
“Okie-dokie.”
“Baiklah.”
“Kalau ada masalah, aku akan memberi tanda. Segera berhenti dan mundur. Tak perlu khawatir soal aku. Aku akan cari cara sendiri. Oke, ayo kita mulai.”
Tunggu sampai patroli goblin mendekati titik masuk. Menunggu bukan masalah bagiku. Kalau hanya itu yang harus kulakukan, aku bisa menunggu selamanya. Tapi, tentu saja, segalanya takkan semudah itu.
Patroli sudah melewati titik masuk. Berapa lama sampai yang berikutnya? Kurang dari dua ratus detik? Menurutku sekitar seratus delapan puluh. Haruskah kita tunggu yang selanjutnya? Tidak, waktu itu cukup.
Patroli sebelumnya masih di dekat titik masuk.
Kita tunggu delapan puluh detik, lalu jalankan rencana. Menyeberang tembok butuh dua puluh. Sisanya masih ada delapan puluh detik cadangan. Ayo.
Setelah menghitung sampai enam puluh, Haruhiro mulai berpikir, Patroli terakhir sudah cukup jauh. Mungkin kita bisa bergerak sekarang?
Aku terlalu terburu-buru, ia sadar. Aku harus tenang.
Enam puluh tujuh, enam puluh delapan.
Enam puluh sembilan.
Tujuh puluh.
Tujuh puluh satu. Tujuh puluh dua. Tujuh puluh tiga.
Tujuh puluh empat.
Haruhiro mengangkat tangan kanannya. Lima detik tersisa.
Ia melipat jarinya satu per satu.
Empat.
Tiga.
Dua.
Satu.
Ia bergerak cepat. Kiichi dan Kuzaku mengikuti dalam diam. Hiyo dan Neal juga menyusul.
Mereka sampai di tembok.
Kuzaku menempelkan kedua tangannya ke permukaan batu. Kiichi segera memanjat tubuhnya, dan dalam sekejap sudah berada di atas tembok. Berikutnya giliran Haruhiro.
Kuzaku berbalik menghadapnya, sedikit merendahkan tubuh, lalu menyatukan kedua tangannya sedikit di atas lutut. Telapak tangannya menghadap ke bawah, bukan ke atas.
Haruhiro menapakkan kakinya di atas tangan Kuzaku, sambil berpegangan pada bahunya.
“Ngh…!”
Dengan seluruh tenaga, Kuzaku melontarkan Haruhiro ke atas. Kekuatan mentah yang ia miliki benar-benar luar biasa. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas kepala. Mungkin ia bahkan bertumpu di ujung jari kakinya.
Dengan tinggi hampir seratus sembilan puluh sentimeter, seakan-akan Haruhiro sedang berdiri di atas tongkat setinggi dua meter. Tembok itu tingginya kurang dari empat meter. Baginya sekarang, melewatinya hanyalah perkara sepele.
Kiichi sudah menunggu di atas tembok. Di bawah, Hiyo berusaha memanjat dengan bantuan Kuzaku. Haruhiro menjulurkan tangannya ke bawah. Hiyo segera meraih lengannya, dan dengan cepat Haruhiro menariknya ke atas.
“Terima kasih,” bisik Hiyo di telinganya. Haruhiro tidak menanggapi.
Berikutnya giliran Neal. Kuzaku mendorong tubuh Neal, membantu mendorongnya naik sama seperti yang ia lakukan pada Haruhiro dan Hiyo.
Kuzaku lalu melambaikan tangan. Haruhiro membalas dengan sebuah isyarat yang artinya, Cepat pergi. Kuzaku pun segera menjauh dari tembok.
Patroli berikutnya belum datang. Masih aman. Waktu kita cukup.
Kiichi menjadi yang pertama melompat turun dari tembok. Ia mendarat hampir tanpa suara. Tingginya sekitar tiga meter di sisi ini—tidak setinggi di sisi Kota Lama.
Neal menyusul, meski tidak semulus Kiichi. Ia menggenggam tepi atas tembok, menggantung sebentar, lalu melepaskan diri.
“Ngh…!”
Bukan hanya erangan itu. Dia juga cukup berisik. Tapi… bagaimana dengan patroli? Apakah mereka mendengar?
“Dasar orang tua…” gumam Hiyo, sebelum ikut turun. Pendaratannya jauh lebih baik daripada Neal.
Patroli? Masih aman.
Haruhiro akhirnya melompat juga. Tumitnya ia tekan beberapa kali ke dinding, bukan untuk menendang, melainkan untuk memperlambat laju jatuh. Saat menyentuh tanah, ia melonggarkan tubuhnya sebisa mungkin dan berguling di tanah, lalu segera bangkit lagi dan terus bergerak.
Ia sudah mendengar cukup banyak tentang Kota Baru dari Hiyo. Tempat di mana mereka mendarat—dengan kata lain, tempat Haruhiro berpijak sekarang—terlihat seperti tanah, padahal sebenarnya bukan. Itu adalah atap yang menutupi jalan.
Jalan-jalan di Kota Baru umumnya berupa terowongan beratap, lengkap dengan langit-langit.
Namun, di banyak bagian terdapat lubang-lubang untuk sirkulasi udara sekaligus membiarkan cahaya masuk. Ada yang kecil, ada pula yang besar. Bentuknya pun beragam. Melalui salah satulah rombongan ini turun ke jalan yang sesungguhnya.
“…Sempit banget,” gumam Neal. “Punggungku pasti sakit nanti…”
Memang benar, jalan itu lebarnya hanya sekitar satu setengah meter, dengan langit-langit setinggi itu juga. Bahkan Hiyo, yang tubuhnya lebih pendek daripada Haruhiro maupun Neal, tetap harus menundukkan kepala.
“Kalau kamu terus ngeluh, aku beneran bunuh kamu, tahu?” suara Hiyo terdengar datar namun mengandung ancaman yang gamblang. Jelas ia sedang tegang. “Kalau mulutmu nggak berhenti ngoceh, kamu mati. Paham? Oh, dan kalau sampai kepisah dari kami, jangan harap bisa pulang hidup-hidup. Nggak perlu aku bunuh, kamu bakal mati sendiri. Jadi intinya, lakukan apa pun yang Hiyo suruh. Kalau nggak, aku bunuh kamu.”
“…Ngerti.”
“Ayo.” Haruhiro mendorong keduanya untuk bergerak, lalu ia melanjutkan langkah menelusuri terowongan.
Ia tidak merasakan keberadaan goblin. Ras itu sama seperti manusia—bangun di pagi hari, tidur di malam hari. Itu sudah ia pelajari sejak di Altana. Kemungkinan besar, sebagian besar goblin sekarang sedang terlelap, tenggelam dalam mimpi.
Beberapa lorong di tempat itu lebih lebar, dengan langit-langit yang tinggi. Di sana terpasang lampu-lampu dari keramik—atau sesuatu yang mirip. Namun, lorong-lorong seperti itu hampir selalu dipenuhi gerombolan goblin yang duduk di sisi jalan, bercakap-cakap riuh, membuatnya mustahil bisa lewat begitu saja.
Mau tidak mau, mereka dipaksa masuk ke lorong sempit yang memaksa kepala menunduk. Ia tidak berniat mengeluh seperti Neal, tapi punggung Haruhiro pun mulai terasa pegal. Belum lagi lorong-lorong itu berliku-liku tak karuan, membuatnya kehilangan arah. Bukan hanya berputar-putar, melainkan benar-benar seperti labirin rumit. Dengan semua persimpangan dan jalan bercabang, ia sudah tidak tahu lagi ke mana sebenarnya mereka melangkah.
Sesekali, seekor goblin melintas. Haruskah kubunuh saja? pikir Haruhiro. Tapi kalau iya, lalu apa yang harus dilakukan dengan mayatnya? Tidak ada cara untuk menyembunyikannya. Mereka hanya bisa meninggalkannya di sana. Dan saat pagi tiba, ketika goblin lain menemukannya, sudah pasti akan terjadi keributan besar. Akhirnya, setiap kali seekor goblin mendekat, mereka hanya bisa berbalik dan menunggu sampai ia berlalu.
Aku tidak bisa melihat ke mana kita pergi. Rasanya ini membuatku hancur.
Tapi pada saat yang sama… ia bergumam dalam hati, aku mungkin tidak akan benar-benar hancur.
Dia memang tidak memiliki ingatan, jadi sulit baginya untuk benar-benar memahami perasaan itu. Namun, rupanya Haruhiro sudah sering menapaki tali emosional semacam ini sebelumnya. Jika ia masih mampu melihat dirinya secara objektif dan berpikir, Aku tidak bisa melihat ke mana kita akan pergi. Rasanya ini membuatku hancur, maka itu berarti dirinya masih baik-baik saja.
Sekarang, bila bukan hanya tidak bisa melihat tujuan, melainkan hanya bisa melihat jarak yang sangat terbatas di depannya, lalu kehilangan pemahaman atas situasi maupun kondisi mentalnya sendiri—itu akan menjadi tanda bahaya yang serius.
Mungkin saja ia sudah terbiasa mengamati dirinya sendiri secara objektif demi mencegah hal itu terjadi.
Cara Neal yang berulang kali menggelengkan kepala, seakan berkata Cukup sudah, lalu menghela napas panjang tanpa suara, kemungkinan besar merupakan caranya untuk melepaskan tekanan dan bertahan melewati keadaan ini. Sementara itu, Hiyo—yang secara sukarela menawarkan diri menjadi penunjuk jalan mereka—tetap memusatkan perhatian pada tugasnya, berusaha keras untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Meski berbeda, masing-masing dari mereka memiliki cara tersendiri dalam menghadapi tekanan.
Menurut penuturan Hiyo, sekitar dua puluh tahun lalu sejumlah bangunan yang mirip gumpalan lumpur diletakkan secara acak, lalu digali terowongan untuk menghubungkannya. Hanya ada dua terowongan besar dengan langit-langit tinggi yang berfungsi sebagai jalan utama. Keduanya berawal dari Ahsvasin, dan salah satunya mengarah ke Ohdongo, Lembah Terdalam. Semua ini telah tercatat di dalam peta.
Dua puluh tahun telah sepenuhnya mengubah wajah kota. Jalan-jalan lebar membentang ke segala arah, dipenuhi bangunan kokoh yang terlalu megah untuk diejek sebagai “gumpalan lumpur,” seperti yang dulu sering dikatakan Hiyo.
Satu-satunya hal yang berhasil mereka pastikan sebelum matahari terbit adalah letak Ahsvasin. Dari lubang mana pun mereka merangkak naik ke atas langit-langit jalan, hampir selalu mereka dapat melihat kemegahannya.
Bisa dibilang bangunan itu menyerupai kolosus berlengan lima. Tak terhitung banyaknya celah pada tubuh raksasa itu, dari mana cahaya mengalir keluar, menyingkapkan bentuknya secara samar. Menurut Hiyo, dua puluh tahun lalu Ahsvasin hanya setinggi dua pertiga dari yang sekarang, dan kala itu baru memiliki dua lengan. Sisanya jelas ditambahkan belakangan.
Ahsvasin seharusnya berada kira-kira di pusat Kota Baru, sehingga mereka bisa menebak di mana letak Ohdongo. Namun, mencapainya lewat jaringan terowongan yang rumit jelas sulit. Bagaimana kalau berjalan di atas langit-langit? Masalahnya, matahari bisa saja sudah terbit sebelum mereka tiba.
Tak menemukan pilihan lain, kelompok itu memutuskan untuk sementara meninggalkan Kota Baru. Di balik dinding, ada tangga menuju jalan layang di mana-mana. Tidak ada penjaga yang mengawasi, hanya patroli sesekali yang harus diwaspadai. Masuk ke Kota Baru memang sulit, tetapi keluar ternyata jauh lebih mudah.
Saat mereka kembali ke reruntuhan, cara Kuzaku menyambut Haruhiro dengan antusias—sampai-sampai seperti sedang mengibas-ngibaskan ekor—benar-benar menyebalkan. Tentu saja, Kuzaku tidak benar-benar punya ekor seperti Kiichi, tapi semangatnya memang sebegitu berlebihan. Haruhiro sungguh berharap dia bisa sedikit menahan diri. Namun, kalau Haruhiro bersikap terlalu ketus, Kuzaku malah akan langsung murung. Itu juga agak menyakitkan, meski hanya sedikit.
“Sepertinya tidak realistis kalau kita mencoba bersembunyi di dalam Kota Baru sambil terus menjelajahinya.”
Ucapan Neal mungkin ada benarnya. Untuk sementara, mereka harus bolak-balik masuk ke Kota Baru dari reruntuhan di Kota Lama ini. Hiyo tampak kurang puas dengan keputusan itu.
“Semoga saja goblin-goblin di Kota Baru tidak bergerak saat kita terlalu lama bersantai.”
Para goblin sangat menghargai hi’irogane. Jika itu benar, bisa saja mereka menyerang untuk merebut kembali senjata dan perlengkapan yang dulunya dibawa Viceroy Bogg beserta para pengikutnya.
Mereka menunggu hingga malam tiba, lalu Haruhiro, Hiyo, Neal, dan Kiichi kembali menyusup ke Kota Baru. Tujuan mereka adalah menemukan jalur yang menghubungkan Langit Tertinggi, Ahsvasin, dengan Lembah Terdalam, Ohdongo.
Karena terowongan itu sangat berliku-liku, mereka bergerak di atas atap jalanan terowongan. Namun, atap-atap itu penuh lubang. Mereka harus berhati-hati agar tidak tersandung atau terperosok jatuh. Sesekali ada lorong yang melintang di atas jalan terowongan untuk menghubungkan bangunan satu dengan lainnya. Lorong semacam itu biasanya selalu dipakai, siang maupun malam, jadi mereka tak bisa lengah. Sudah jelas, goblin-goblin mendiami bangunan yang menjorok di atas jalan terowongan. Jika mereka bersuara sembarangan, bisa saja terdengar. Bahkan mereka bisa saja terlihat oleh goblin yang kebetulan mengintip dari jendela.
Mereka mendapati bahwa daerah di sekitar Ahsvasin—tempat yang seharusnya menjadi kediaman Mogado—dipenuhi oleh bangunan-bangunan besar. Ahsvasin sepenuhnya dikelilingi olehnya. Hampir mustahil untuk mendekatinya lewat atap-atap terowongan.
Paling tidak ada satu jalan utama yang lebar, dengan langit-langit tinggi, yang tampaknya menuju langsung ke Ahsvasin. Namun, jalan utama itu ternyata merupakan distrik bisnis yang ramai. Selalu terang benderang, penuh dengan goblin berisik siang maupun malam. Menempuh jalan itu untuk mencapai Ahsvasin akan sangat sulit. Tidak—lebih tepatnya, mustahil.
Itulah sejauh mana penjelajahan mereka di hari kedua. Pada hari ketiga, mereka berangkat menuju Ohdongo. Mereka yakin lokasinya tidak berubah selama dua puluh tahun terakhir, jadi yang perlu mereka lakukan hanyalah menempuh jalur di atas atap terowongan.
Haruhiro sudah mulai terbiasa menjelajahi Kota Baru. Justru karena itulah, ia harus tetap waspada dan mengingatkan dirinya agar tidak lengah. Ia tak perlu menjelaskan hal itu pada yang lain. Hiyo, Neal, bahkan Kiichi pun sudah mengerti.
Mereka berhasil mencapai Ohdongo dengan lebih mudah dari yang Haruhiro perkirakan.
Atau, lebih tepatnya, daerah di luar Ohdongo.
Tempat itu berdiri dalam kontras yang mencolok dibandingkan Ahsvasin. Wilayah sekitarnya mungkin tidak sepenuhnya kosong, tapi nyaris mendekati.
Lembah Terdalam.
Sebenarnya ini bukan lembah, melainkan lebih menyerupai sebuah poros vertikal. Ada sebuah alun-alun berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar dua ratus meter, namun tepat di tengahnya menganga sebuah lubang berdiameter kurang lebih seratus lima puluh meter.
Semua jalan terowongan bermuara di alun-alun, dan di sekeliling lubang besar itu menyala tak terhitung banyaknya api unggun penjaga. Goblin-goblin yang mondar-mandir di alun-alun membawa tombak dan perisai, sementara di punggung mereka tersampir sesuatu yang tampak seperti busur silang. Tak salah lagi, mereka adalah para penjaga. Di antara mereka, ada satu goblin dengan tombak merah, mengenakan helm merah pula. Jika itu benar-benar perlengkapan hi’irogane, besar kemungkinan dialah pemimpin keamanan di sana.
Kelompok itu turun dari atap jalan terowongan, berusaha mendekat sejauh mungkin ke alun-alun, lalu mencoba memanjat sebuah bangunan yang cukup tinggi untuk memberi mereka pandangan menyeluruh ke arah Ohdongo. Bisakah mereka menerobos melintasi alun-alun dan langsung masuk ke lubang itu? Tapi jika berhasil pun, apa yang menunggu mereka di bawah sana?
Sekitar tujuh puluh hingga delapan puluh goblin penjaga mengintai di sekitar alun-alun. Mungkinkah mereka bisa lewat tanpa terdeteksi? Jika hanya Haruhiro dan Kiichi, mungkin… hanya mungkin. Tapi kehadiran Hiyo dan Neal membuat semuanya jauh lebih rumit.
Ohdongo bukan sekadar lubang di tanah. Di bagian dalamnya terdapat tangga spiral yang berkelok turun. Sampai sejauh mana tangga itu mengarah? Bagaimana keadaan di dasar lubang? Haruhiro tidak bisa memastikan. Namun bisa dipastikan, goblin-goblin penjaga yang membawa obor atau entah apa itu sedang naik-turun di sepanjang tangga.
Kalaupun mereka berhasil menyeberangi alun-alun menuju Ohdongo, tetap tak mungkin menghindari para goblin penjaga di tangga. Satu-satunya cara adalah melesat turun sampai dasar, menyingkirkan setiap goblin yang menghadang, lalu berusaha menemukan seekor ugoth.
Itu jelas merupakan pertaruhan gila.
Dan peluang mereka sama sekali tidak berpihak.
Kelompok itu berbalik arah. Mereka harus meninggalkan Kota Baru sebelum fajar menyingsing.
Saat mereka berjalan di atas atap jalan terowongan, Neal bergumam, “Yah, ini pertama kalinya.”
Tidak ada jalan ke depan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Bahkan jika mereka terus memaksakan diri, rasanya mustahil mereka akan menemukan ide.
Kalau ini permainan kartu, mereka sudah diberi tangan yang mustahil dimenangkan—tanpa sedikit pun potensi di dalamnya—dan mereka benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Ada dua pilihan.
Kalah, atau menyerah.
Tapi karena berbagai alasan, mereka tidak bisa memilih salah satunya.
“Masih ada sesuatu yang bisa kita lakukan.”
Itu saja yang diucapkan Hiyo sebelum menyeberangi dinding.
Apa dia cuma nggak mau kalah? pikir Haruhiro saat itu.
Namun, sebenarnya, ia mungkin akan lebih tenang kalau memang hanya itu alasannya.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)