Begitu fajar menyingsing, delegasi Pasukan Perbatasan kembali melanjutkan perjalanan menuju Iroto.
“Jadi?” Lelaki bertopeng itu menyikut Haruhiro pelan di bagian rusuk, lalu berbisik, “Kalian berdua semalam… udah ngelakuin itu, ya?”
“Huh?” Haruhiro mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Ada kilatan di balik lubang mata topengnya—kupikir begitu. Tentu saja, tak ada yang benar-benar berkilat. Itu cuma imajinasi.
“Nggak mungkin… Parupi—kau…!”
“Apa itu Parupi?”
“Bajingan kau! Kukira kau terlalu pengecut buat ngapa-ngapain, tapi ternyata aku salah, ya? Kau beneran ngelakuin itu, dasar brengsek?! Serius? Seriusan? Kau serius? Beneran? Jangan becanda sama gue, bro. Kau itu cuma Parupiiirooo, jadi kau pasti cuma ngibul, kan? Maksudku, bisa aja sih. Bisa banget. Ya, itu dia. Itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal.”
Lelaki bertopeng itu terus bergumam pelan, mulutnya gak berhenti nyerocos. Ia menyampirkan lengannya di pundak Haruhiro, lalu menariknya mendekat.
“Kau masukin nggak? Maksudku… lidahmu. Kau masukin lidahmu, kan? Kau pasti ngasih ciuman yang belepotan itu, ya? Sialan, kau beneran ngelakuin itu, ya?! Sejauh apa kalian berdua mainnya? Aku tanya, sejauh apa kalian mainnya, brengsek!”
Haruhiro tetap diam. Dia nggak akan buka mulut. Ini sudah masuk ke medan pertempuran kehendak melawan lelaki bertopeng yang gigih ini, dan Haruhiro jelas nggak punya keunggulan. Tapi tetap saja, dia punya alasan untuk bertahan. Bukan cuma bertahan—tapi menang. Kalau dia sampai bocor sedikit saja, lelaki itu bakal terus mendorong lebih jauh, dan mengorek setiap detail sampai habis-habisan.
Pada akhirnya, Haruhiro keluar sebagai pemenang. Ia mengabaikan segala tipu daya si pria bertopeng, dan akhirnya berhasil memaksanya mundur.
Namun tetap saja, ia tak bisa merasa tenang. Ia tahu dengan siapa ia berhadapan. Pria bertopeng itu pasti akan mencari celah untuk menyerang kembali. Pertarungan ini belum selesai. Mungkin memang takkan pernah berakhir. Bisa saja, pada titik tertentu, Haruhiro akan menyerah dan mulai membuka sebagian dari apa yang telah terjadi.
Bicara soal itu memang akan membuat segalanya lebih mudah. Haruhiro pun, entah kenapa, merasa samar-samar ingin jujur. Tapi kenapa?
Apa aku harus memberitahunya?
Ranta? Dari semua orang, dia?
Tidak. Mustahil. Begitu ia bicara, maka semuanya tamat—itulah firasat yang ia dapat. Tapi jika suatu saat ia berada di situasi dimana ia hanya berdua dengan Ranta, dan kesempatan itu muncul, lidahnya mungkin bisa terpeleset. Apa Haruhiro ingin membicarakannya? Tidak. Seharusnya tidak.
Setelah melewati sejumlah bukit kecil, sebuah sungai berkilau tampak di kejauhan. Waktu itu belum juga tengah hari. Permukaan air memantulkan sinar mentari pagi dengan gemerlap yang menyilaukan. Sungai Iroto menjulur seperti ular raksasa yang diselubungi cahaya.
Rombongan pun berhenti sejenak di sana.
“Kalau kita mengikuti aliran Iroto ke hulu, kita akan sampai ke Pegunungan Kurogane. Tak mungkin kita tersesat sekarang,” kata Itsukushima sambil menepuk kepala Poochie si anjing-serigala. “Tapi sebaiknya kita tidak mendekat ke sungai lebih dari ini, kecuali saat perlu mengisi ulang air.”
Iroto adalah sungai terpanjang dan terbesar di wilayah perbatasan. Tanah subur membentang luas di sepanjang daerah alirannya. Namun, meskipun demikian, tidak ada satu pun makhluk—baik manusia, orc, maupun elf—yang menetap di sana. Bahkan jika mereka menginginkannya, mereka tetap tidak akan bisa.
Menurut penuturan Itsukushima, Sungai Iroto dihuni oleh hiu sungai kecil namun ganas, serta ular sungai belang hitam-putih yang memiliki racun saraf mematikan.
Bau darah dapat membuat hiu-hiu sungai mengamuk. Mereka akan menyerbu mangsa dan mencabik-cabiknya hingga hancur. Sedangkan ular sungai belang itu mampu melumpuhkan korbannya hanya dengan satu gigitan, menyebabkan kematian lewat kelumpuhan otot pernapasan. Ular-ular itu bahkan bisa merayap keluar hingga ke tepi sungai. Dan tak peduli seberapa dangkal airnya, luka sekecil apapun—misalnya karena tergores batu—bisa langsung mengundang gerombolan hiu. Sesederhana mengambil air dari sungai saja sudah menjadi tugas yang cukup berisiko.
Selain itu, di sekitar aliran sungai juga hidup berang-berang sungai bertaring panjang yang panjang tubuhnya bisa mencapai tiga meter; buaya Iroto, spesies yang pejantan dewasanya bisa tumbuh hingga lima meter; dan kuda nil bertaring panjang yang hidup berkelompok dengan jumlah anggota puluhan. Semua makhluk ini merupakan karnivora atau omnivora, dan mereka memangsa satu sama lain. Evolusi telah menjadikan mereka makhluk buas nan ganas.
Sudah jelas—atau mungkin justru tidak terlalu jelas—bahwa berang-berang sungai bertaring panjang bukan hanya memangsa buaya Iroto, dan buaya Iroto pun tidak memiliki selera khusus terhadap kuda nil bertaring panjang. Mereka akan memakan apa pun yang bisa mengenyangkan perut mereka. Dan bagi makhluk-makhluk itu, manusia terlihat seperti mangsa yang lemah dan mudah diterkam.
“Mereka makan apa saja yang datang untuk minum di Sungai Iroto. Sebaiknya kalian anggap saja tidak mungkin bisa melawan mereka kalau berada di dekat tepi sungai.”
“Yume sih nggak keberatan kalau bisa liat mereka,” kata Yume sambil menggembungkan pipinya.
“Kita pasti harus isi ulang air suatu saat nanti,” jawab Itsukushima sambil mengangkat bahu. “Kalau saatnya tiba, kita berdua pasti akan jadi bagian dari tim pengambil air. Aku berharap kita nggak ketemu hewan apa pun, tapi kemungkinan itu kecil. Kuda nil bertaring panjang ukurannya besar dan mereka selalu bergerak dalam kelompok, jadi kurasa kamu akan sempat ngelihat satu atau dua ekor.”
Dua hari setelah perjalanan menyusuri Sungai Iroto dimulai, kesempatan itu pun muncul.
Itsukushima, Poochie, Yume, Haruhiro, dan Ranta meninggalkan Kepala Delegasi Bikki Sans, Pengintai Neal, Kuzaku, Setora, Merry, dan para kuda, untuk melakukan misi pengisian ulang persediaan air. Meskipun semua orang masih punya sedikit air minum tersisa, mereka ingin mengisi kembali cadangan air sebelum situasinya jadi mendesak.
“Hati-hati di luar sana,” kata Bikki Sans dengan nada sungguh-sungguh. Hal itu bisa terlihat dari nada suaranya dan alis menyatunya yang khas.
“Aku juga pengin ikut…” kata Kuzaku, terdengar tidak puas.
Si pria bertopeng menendang pantatnya. “Diam! Badanmu kegedean! Kau cuma bakal nyusahin!”
“Heh. Nggak sakit tuh. Nggak kerasa apa-apa,” ucap Kuzaku santai.
“Apa lo bilang, brengsek?!”
“Udah ah, jangan berantem,” potong Yume, berdiri di antara keduanya. “Udah ya udah. Yume bisa jadi maraaah banget nanti kalau kalian terusin!”
Neal tiba-tiba tertawa entah kenapa. Wajahnya yang kemerahan berbalik ke arah lain.
Ekspresi Kuzaku berubah jadi senyum bodoh. “Yume-san… Barusan kamu imut banget.”
Yume memiringkan kepala dan berkedip beberapa kali. “Heh?”
“Aku bisa paham kenapa kamu berpikir begitu,” kata Setora sambil mengangguk. “Dia bahkan nggak sadar waktu melakukannya. Aku pengin pelihara dia.”
“Yume nggak ngerti maksudmu, tapi kayaknya jadi peliharaanmu boleh juga, Setoran. Kamu pasti bakal ngerawat Yume dengan baik, kan?”
Haruhiro bisa mengerti kenapa Merry tersenyum melihat Yume. Bahkan tatapan hangat dari Bikki Sans pun masuk akal, mengingat dia orang yang baik. Tapi Neal? Melihat Yume sambil memegang dadanya dan melirik dari samping? Itu nggak terduga. Haruhiro jadi penasaran apa yang ada di kepala si pengintai itu.
“Hati-hati, ya,” kata Merry sambil dengan halus menggenggam pergelangan tangan kiri Haruhiro. Kalau mereka sedang berdua, Haruhiro mungkin nggak akan sanggup pergi. Mungkin dia akan memeluk Merry. Pikiran semacam itu agak bikin Haruhiro risih, tapi dia juga sadar bahwa itu hal yang wajar. Haruhiro mencintai Merry, toh. Lebih dari kemarin. Dan hari ini, lebih dari kemarin. Dia nggak bisa menahan perasaan itu.
Dan begitulah, tim pengambil air pun berangkat.
“Jadi?” Tiba-tiba, si pria bertopeng menyerang lagi. “Kalian ngapain lagi tadi malam? Sampai sejauh apa mainnya?”
“Buset, nyebelin banget sih kamu…”
“Barusan, kalian berdua nempel kayak udah biasa. Kalian pikir udah nikah, ya? Udah jadi suami istri gitu? Lagi mabuk cinta, ya? Iya, kan? Ngaku aja deh? Hah?”
Haruhiro melirik ke arah Itsukushima yang berjalan paling depan bersama Poochie, lalu ke Yume yang menjaga posisi belakang. Eh, orang ini nyebelin banget tau gak? Bisik-bisik terus ke telingaku, pikirnya. Haruhiro pengin mereka menegur Ranta, tapi mereka semua lagi fokus. Daerah ini berbahaya. Jadi mereka nggak bisa sembarangan.
“Ini nih yang bikin aku sebel sama kamu. Kamu tuh nggak pernah jelas. Kalo kamu udah ngejalaninnya, ya bilang aja udah. Aku ngelakuin ini, aku ngelakuin itu. Aku dah sampe segini. Kenapa harus ditutup-tutupin? Ayo lah, bilang, tolol. Tukeran informasi, gitu lho. Kita ini kan rekan, udah bareng lama. Bener, kan?”
Ranta terus berbisik-bisik, tapi kontrol volumenya sempurna. Suaranya pelan banget. Tapi Haruhiro bisa dengar dengan jelas. Sebagai seorang thief, pendengaran Haruhiro memang tajam. Ranta pasti udah mikirin itu waktu nentuin seberapa keras dia bicara. Licik juga, orang ini.
“Kalau kamu sendiri bagaimana?”
Nggak ada pilihan lain. Haruhiro balik membisik, melancarkan serangan balik.
“Huh? Aku? Maksud kamu apa?”
“Gimana hubunganmu sama Yume? Ada perkembangan?”
“Perkembangan? Maksudmu? Ohhh, itu ya? Perkembangan, hmm? Kayak… kemajuan gitu, ya? Hmm…”
“Jangan ngeles mulu. Kamu udah bilang belum? Atau emang nggak mau bilang?”
“A-Apa yang harus aku bilang sih…?”
“Tentu saja, bahwa kamu mencintainya.”
“K-K-Kamu bilang itu ke dia?! Aku tahu kamu! Pasti bilangnya setengah-setengah, kayak iya tapi juga enggak…”
“Aku sudah bilang pada Merry.”
“Apa—”
“Aku ungkapkan langsung, seperti seharusnya.”
“Kamu… sudah? Maksudmu, kamu menyatakan perasaanmu?”
“Ya, benar.”
“Itu bohong. Omong kosong. Kamu bohong. Pasti bohong. Aku nggak percaya. Kamu kan cuman Parupirurun!”
“Jujur saja, ini cuma soal mengatakan apa yang aku rasakan. Bahkan aku pun bisa melakukannya.”
“Meskipun kamu Parupororon?”
“Bahkan aku berhasil, jadi…”
“Terus kalian berciuman, ya?!”
“Aku nggak bakal komentar sama itu. Menurutku, hal itu tidak perlu dijelaskan secara gamblang.”
“Berhenti sok dewasa, deh!”
“Mungkin aku memang tidak sekanak-kanak kamu.”
“Ugh!”
Ia tidak memiliki perasaan puas atau, rasakan tuh, pantas! yang muncul di benaknya. Justru, yang ia rasakan mirip dengan iba. Ranta bisa sangat blak-blakan terhadap orang lain—seringkali berlebihan—tapi kalau menyangkut Yume, dia terlalu penakut. Mungkin cinta membuatnya melembek.
“Hei.”
“Apa lagi, kamu gumpalan tai zaman purba?!”
“Menurutku, kamu harus mengungkapkannya dengan kata-kata.”
“Diam, kamu fosil beringus!”
“Kita nggak pernah tahu apa yang bisa terjadi, atau kapan. Aku rasa, bahkan tanpa aku mengatakan ini pun, kamu sudah tahu… dan kamu sudah siap.”
Setelah terdiam sejenak, Ranta menjawab, “Tentu saja aku siap.”
“Ini mungkin satu-satunya kesempatan yang kamu punya, tahu?”
“Kamu sok bijak banget dah…”
Ranta menyikut Haruhiro di bagian rusuk. Haruhiro sudah menduga itu akan menjadi pukulan yang cukup keras, tapi ia tidak mencoba menghindar. Tak mengherankan, rasanya sakit. Namun, ia tetap tenang, dengan ekspresi datar di wajahnya.
Ranta bergumam, “Tapi, ya… mungkin kau ada benarnya juga…”
Saat itu juga, Itsukushima berhenti melangkah.
“Nyuh?” Yume menoleh ke arah Itsukushima dan memiringkan kepalanya bingung.
“Hanya agar kalian tahu saja…” kata Itsukushima sambil mengelus kepala Poochie. “Meski aku tak bisa menandingi anjing kecil ini, pendengaranku cukup tajam untuk ukuran manusia.”
Haruhiro bertanya ragu, “Kenapa tiba-tiba bilang begitu?”
Itsukushima berdeham dengan canggung.
“Aku kurang lebih mendengar semuanya. Kalian mungkin merasa sedang berbicara diam-diam, tapi…”
“Soal apa?” tanya Yume, memandangi gurunya, lalu Haruhiro dan si pria bertopeng. “Tadi Haru-kun sama Ranta ngomongin apa, sih? Yume tahu kalian bisik-bisik, tapi nggak jelas ngomongin apa.”
“B-Bukan apa-apa!” Ranta berseru panik, membuat Yume manyun. Tapi wajar saja—semakin dibilang “bukan apa-apa,” semakin besar rasa penasarannya. Yume jelas akan menuntut penjelasan. Begitu Ranta melihat dia mulai mendekat, ia buru-buru ambil langkah duluan agar bisa menghindar. “Nanti! A-Aku bakal ceritain nanti, ya?! T-Tapi bukan sekarang. Kita masih, um, ada urusan. Jadi, aku bakal ngomong soal itu nanti, janji…”
“Nngh…” Yume mengangguk dengan enggan. “Yah, baiklah. Kalau gitu gak apa-apa.”
Itsukushima menatap Yume dengan penuh perhatian. Namun, ia segera menunduk, mengangguk seolah menegaskan sesuatu pada dirinya sendiri, lalu kembali menghadap ke depan.
Dia pasti punya perasaan campur aduk soal ini, pikir Haruhiro—mungkin dengan sedikit lancang. Itsukushima menyayangi Yume seperti putrinya sendiri. Cepat atau lambat, anak burung itu akan meninggalkan sarangnya dan menemukan pasangannya. Tapi… apakah pasangannya harus pria bertopeng itu, dari semua orang?
Kalau Haruhiro berada di posisi Itsukushima, dia pasti akan kesulitan. Ranta memang manusia, dan dia punya beberapa sifat yang baik. Mereka telah melalui banyak hal bersama, naik turun, dan pada akhirnya Haruhiro mempercayainya sebagai rekan seperjuangan. Tapi tetap saja, ada sisi-sisi dari Ranta yang buruk—bahkan, bisa dibilang menjengkelkan.
Mengesampingkan itu, tim pengambil air terus bergerak maju. Mungkin tinggal sekitar seratus meter lagi menuju Sungai Iroto. Tak banyak pohon tinggi di sekeliling mereka, tapi cukup banyak tumbuhan berdaun bergerigi—mungkin sejenis pakis. Tanah di bawah kaki mereka kebanyakan berupa bebatuan berlumut. Udara terasa lembap, tapi bukan lembap yang menyegarkan—melainkan dingin yang menusuk dan tidak nyaman.
Itsukushima mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. Ia menunjuk ke arah selatan, dan Haruhiro mengikuti arah yang ditunjukkan.
Ada sesuatu di sana.
Ranta mengeluarkan suara kecil, “Whoa…” dari balik topengnya.
Jaraknya cukup jauh, tapi bentuk umumnya masih bisa dikenali. Itu artinya, hewan itu pasti berukuran besar. Dan bukan cuma satu. Ada beberapa. Hewan berkaki empat bertaring panjang. Bukan hanya dari kepala mereka, tapi juga ada tonjolan-tonjolan menyerupai taring di punggung mereka.
Itu kawanan kuda nil bertaring panjang. Apa mereka sedang menuju Sungai Iroto?
“Wah. Jadi itu mereka, ya?” Yume terdengar senang bukan main. Memang, dia sebelumnya bilang ingin melihat hewan itu. Haruhiro ingin berkata, “Baguslah untukmu,” tapi sejujurnya, ia hanya merasa ngeri.
“Kita aman, nggak?” bisik Ranta.
“Dengan jarak sejauh ini, seharusnya kita aman,” jawab Itsukushima, lalu kembali berjalan.
“Oh, hebat. ‘Seharusnya.’” Nada suara Ranta jelas tidak puas. Itu juga tidak banyak membantu meredakan ketakutan Haruhiro, tapi dia memutuskan untuk mempercayai keputusan Itsukushima.
Tim terus berjalan sampai akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Iroto. Di sana ada jalur pantai yang sempit. Hanya beberapa langkah meniti bebatuan dan pasir basah, mereka sudah bisa mencapai air yang jernih.
“Ada gosong pasir di tengah sungai,” kata Haruhiro sambil menunjuk ke sana, tapi Itsukushima menggeleng pelan.
“Bukan, itu bukan gosong pasir.”
“Hah? Tapi…”
Jaraknya mungkin ratusan meter dari tepi seberang—bisa jadi hampir satu kilometer—tapi memang terlihat seperti sebuah pulau kecil di tengah sungai.
“Haru-kun, coba diliat baik-baik, deh.”
Atas desakan Yume, Haruhiro menyipitkan mata, mencoba mengamati lebih jelas apa yang tadinya ia kira bagian dari lanskap. Awalnya ia tak melihat hal aneh, tapi perlahan-lahan ia sadar ada sesuatu yang ganjil.
“Hmm?”
“Wah! Itu pulau…” Ranta menggeser topengnya ke atas kepala. “Kayaknya gerak, deh? Ke arah hilir? Eh, enggak… justru ke hulu?”
Ya, Ranta benar, pikir Haruhiro. “Pulau” itu bergerak melawan arus, walaupun perlahan.
“Kepalanya sebentar lagi akan muncul,” ujar Itsukushima.
Hal itu terjadi nyaris seketika. Sesuatu benar-benar menerobos permukaan sungai di hulu dari “pulau” itu, yang tampaknya ikut sedikit terangkat bersamaan—setidaknya dari yang bisa Haruhiro lihat. Jaraknya mungkin sekitar dua atau tiga ratus meter dari tepi sungai, jadi ia tak bisa melihat dengan jelas, tapi benda yang muncul dari air itu pastilah kepala makhluk itu. Massa besar yang sebelumnya ia kira gosong pasir, ternyata bisa jadi adalah tubuh dari makhluk tersebut.
“Itu… makhluk hidup, ya?” tanya Haruhiro.
Kalau benar, panjangnya pasti lebih dari seratus meter.
“Kura-kura raksasa Iroto,” jelas Itsukushima dengan nada datar. Mengagumkan bagaimana ia bisa tetap setenang itu padahal sesuatu sebesar itu sedang berada di depan mata—atau paling tidak, masih dalam jarak pandang.
“Ada yang bilang mereka hidup selama berabad-abad,” lanjutnya. “Lihat ukurannya. Mereka tidak punya pemangsa alami dan sangat jinak. Aku bahkan pernah dengar ada orang yang bisa menungganginya dengan aman.”
“Wooooow…” Mata Yume membulat. “Itu luar biasa. Yume juga pengin nyobain naik itu, deh.”
Itsukushima tersenyum kecil, setengah geli. “Kamu akan keburu dimakan hiu sungai, ular belang hitam-putih, atau buaya Iroto sebelum sempat berenang ke sana.”
“Oh, iya, ya. Bener juga, ya? Kalau gitu, Yume nyerah dulu deh untuk hari ini. Lain kali aja, ya.”
Syukurlah dia bisa melepaskannya dengan mudah, pikir Haruhiro. Ia berharap suatu hari nanti Yume bisa mewujudkan mimpinya untuk menunggang kura-kura raksasa Iroto—tentu saja dengan bantuan orang lain, mungkin Ranta.
Tim segera kembali bekerja. Mereka menuju tepi sungai dan mulai mengisi kantong-kantong air yang telah mereka bawa satu per satu. Pekerjaan itu sangat sederhana—cukup itu saja. Prosesnya memang tidak rumit.
Buaya Iroto dan berang-berang bertaring panjang berukuran besar, jadi jika ada yang mendekat, Itsukushima, Yume, atau Poochie pasti akan menyadarinya dan memberi peringatan. Sementara itu, ular sungai belang hitam-putih cukup mudah terlihat oleh mata manusia karena warnanya yang mencolok, sehingga relatif mudah dideteksi.
Masalah sebenarnya adalah hiu sungai. Ukurannya bervariasi antara lima belas hingga tiga puluh, bahkan empat puluh sentimeter untuk yang besar. Warna tubuh mereka cokelat kusam seperti lumpur, membuat mereka nyaris tak terlihat pada pandangan pertama—kecuali jika pengamatnya memiliki penglihatan yang sangat tajam. Lebih buruknya lagi, mereka sangat cepat, mampu menutup jarak dengan target mereka dalam sekejap.
Itsukushima dan Yume berjongkok di tepi air. Dari luar, mereka mungkin tampak hanya sibuk mengisi kantong air dengan santai, tetapi kenyataannya, mereka terus-menerus mengawasi permukaan air dengan waspada. Sementara itu, Poochie berjaga di sekitar mereka, mengawasi lingkungan sekeliling.
Haruhiro merasa tegang. Ia tak bisa menahan desah napas yang keluar karena rasa khawatir yang menggelayut.
“Heh, pengecut…” ejek Ranta, meski dari sikapnya sendiri terlihat jelas bahwa ia juga ketakutan—sampai-sampai ia menjulurkan lengannya sejauh mungkin untuk merendam kantong air ke dalam sungai.
Sebagai penutup, Yume tiba-tiba berjalan ke samping Ranta dan menyodorkan tangannya ke dalam air dengan cipratan yang cukup keras. Haruhiro sempat bingung apa yang sedang ia lakukan, sampai Yume menarik kembali tangannya—memegang seekor hiu sungai sepanjang dua puluh sentimeter. Matanya melotot, gigi-giginya tajam saling membentur, dan tubuhnya menggeliat liar.
“Uwaaah!” Ranta terjatuh terduduk karena kaget.
“Kamu harus hati-hati, tahu?” kata Yume sambil melempar hiu sungai itu dengan satu gerakan cepat seperti cambuk. Gerakan bahunya luar biasa—hiu itu terlempar ke udara, masih menggeliat dan mengatupkan rahangnya, lalu jatuh kembali ke sungai dengan bunyi cipratan keras.
“Kalau kamu sampai digigit sekali, yang lain bakal datang bergerombol. Mungkin bahkan Yume nggak bisa nolongin kamu waktu itu, ngerti?”
Haruhiro mendorong punggung Ranta.
“Kenapa nggak berterima kasih padanya? Dia baru saja nyelametinmu, tahu.”
“K-Kamu nyelametin aku…” Ranta menunduk dan berdeham pelan. “Makasih.”
Yume tersenyum ceria.
“Nggak usah dipikirin!”
Ranta sempat melirik ke arahnya, lalu bergumam pelan—nyaris tak terdengar.
Sesuatu seperti, “Kau adalah mentariku.”
Haruhiro mendengarnya, tapi pura-pura tidak. Ia sempat terpikir, Apa-apaan coba, sekarang kamu jadi penyair? Tapi ia memilih menahan komentarnya.
Cinta memang bisa membuat siapa pun jadi penyair—begitu kira-kira pemikiran Haruhiro. Meskipun puisi yang lahir mungkin tidak bagus. Itu semua soal punya rasa atau tidak. Dan Haruhiro, tentu saja, sama sekali tak punya rasa untuk itu.
“Kita sudahi saja sampai di sini,” kata Itsukushima sambil memasukkan kantong air ke dalam ranselnya. “Cukup untuk sekarang.”

Jika Itsukushima bilang sudah waktunya berhenti, kemungkinan besar dia benar. Ranta bisa saja digigit hiu sungai tadi kalau bukan karena Yume menyelamatkannya. Satu krisis berhasil dihindari, tapi tak ada yang tahu kapan bahaya berikutnya akan muncul.
Tim pun menjauh dari Sungai Iroto. Haruhiro berpikir ini tinggal soal mengikuti jalan yang sama seperti saat mereka datang. Tapi ternyata tidak. Itsukushima memilih rute yang berbeda.
Haruhiro bertanya santai, “Ini bukan jalan yang tadi kita lewati, kan?”
Itsukushima hanya mengangkat bahu tanpa memberi penjelasan. Ia sepertinya tidak melakukan ini karena iseng. Pasti ada alasannya, bukan?
“Nurrrm. Ada yang aneh…”
Yume menoleh ke sekeliling dengan waspada sambil mengeluarkan suara khasnya, nurrrm, entah apa artinya. Tapi, ya, mungkin memang ada sesuatu yang terjadi.
Mereka sudah berjalan cukup jauh melewati hutan yang jarang pepohonannya ketika Poochie berhenti dan mulai menggeram. Ia menghadap ke utara. Ada sesuatu di sana? Haruhiro menyipitkan mata, tapi tidak melihat apa pun yang mencurigakan.
“Master?” tanya Yume.
“Hmm…” Itsukushima berpikir sejenak, lalu menepuk Poochie dan menyuruhnya terus jalan.
Pasti memang ada sesuatu yang mencurigakan. Haruhiro jadi lebih waspada saat berjalan mengikuti di belakang Poochie, Itsukushima, dan Yume. Sementara itu, si pria bertopeng tetap diam. Bukan karena dia tak peka terhadap suasana kelompok—kadang dia hanya memilih untuk tak peduli. Memang begitulah Ranta. Bodoh, tapi kadang sulit ditebak. Tapi… mungkin mereka hanya terlalu mencemaskan hal-hal kecil?
Tak lama kemudian, mereka melihat kelompok lain di kejauhan. Dengan empat kuda di antara mereka, sulit untuk salah menebak siapa itu. Haruhiro tak melihat anggota kelompoknya sendiri di sana, tapi Bikki Sans tampak sedang mengurus tunggangan mereka.
Haruhiro merasa lega, dan nyaris saja mengendurkan kewaspadaannya tanpa sadar. Namun tiba-tiba ia berpikir, Saat-saat seperti inilah biasanya sesuatu terjadi—hampir saja aku lengah lagi. Aku nggak boleh ceroboh.
Poochie berhenti lagi. Telinganya tegak, dan ia menoleh ke sana kemari dengan gelisah.
Ranta memiringkan kepalanya. “Huh?”
Haruhiro meletakkan telunjuk di depan bibirnya, menyuruhnya diam. Ranta mengangguk.
Itsukushima menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ke arah Haruhiro. Si thief itu merayap mendekat ke hunter itu, yang berbisik, “Ikut aku.”
Sebelum Haruhiro sempat menjawab, Itsukushima sudah memberi isyarat tangan ke Yume. Sepertinya ia menyuruh Yume membawa Ranta dan Poochie kembali ke kelompok utama.
Itsukushima mulai berjalan. Haruhiro mengikutinya. Kemampuan menyelinap hunter itu akan membuat para thief paling ahli pun merasa kagum. Pria itu benar-benar luar biasa. Kemampuannya di atas rata-rata dalam segala hal. Ia mungkin bisa menjadi thief, warrior, bahkan mage atau priest kelas satu. Tapi tampaknya ia tidak terlalu peduli soal itu. Ia mencintai binatang, alam, dan orang-orang yang penting baginya, serta bisa beradaptasi dalam situasi apa pun.
Itsukushima berhenti di balik bayangan pohon. Ia menunjuk ke arah utara, tampaknya ke semak-semak sekitar lima puluh meter jauhnya.
Haruhiro menahan napas, mengamati semak-semak itu. Tiba-tiba semak-semak itu bergoyang. Sesuatu muncul dari balik sana. Kulitnya bersisik dan berwarna hijau. Itu… buaya? Tidak, sepertinya bukan. Kepalanya terlalu tinggi. Kadal, mungkin?
Itsukushima memberi isyarat agar Haruhiro membaca gerak bibirnya. “Lizardman,” katanya tanpa suara.
Haruhiro pernah mendengar tentang makhluk itu. Lizardman—manusia kadal. Mereka tidak secerdas manusia, elf, dwarf, atau orc, tapi mereka bisa membuat dan menggunakan alat sederhana, serta cukup pintar untuk membentuk masyarakat yang lebih kompleks daripada sekadar kawanan.
“Itu pengintai. Bisa kau bunuh tanpa ketahuan?” Itsukushima mengucapkan pelan dengan gerakan bibir. Haruhiro mengangguk. Ia memang tidak bangga soal ini—tapi inilah keahliannya.
Ia menggunakan Stealth, membenamkan pikirannya ke dalam tanah. Ia bisa masuk ke dalam kondisi itu tanpa kesulitan. Dalam keadaan ini, ia tak perlu berpikir terlalu banyak. Rasanya seperti melihat dirinya sendiri dari atas, dari sudut miring. Tentu saja, ia tidak benar-benar melihat dirinya dari atas. Hanya terasa seperti itu saja.
Itsukushima ada di sini. Semak-semak tempat si lizardman bersembunyi ada di sana. Maka, Haruhiro mulai mengendap ke arahnya. Apakah ada lizardman lain? Di atas pohon? Di balik semak lain? Tidak. Hanya ada satu.
Lizardman itu menyembulkan setengah kepalanya dari semak, menatap ke arah selatan. Jarak antar matanya yang lebar menunjukkan bahwa medan pandangnya lebih luas daripada manusia. Pada posisinya yang sekarang, kecil kemungkinan Haruhiro akan terlihat, kecuali sesuatu yang tak terduga terjadi. Tapi untuk berjaga-jaga, ia memutar ke belakang si lizardman.
Ia menghunus belatinya dengan tangan kanan, menggenggamnya dari arah bawah. Mendekat seakan melayang, ia melingkarkan lengan kiri dari bawah ke dagu si lizardman. Di saat yang sama, ia menusuk dengan belati, menyayat tenggorokan dan pembuluh darahnya, lalu langsung menghujamkan pisaunya ke mata kanan, menembus ke dalam otak.
Seberapa dalam pisaunya harus ditancapkan? Seberapa besar kerusakan yang perlu dibuat untuk membunuh makhluk ini secepat mungkin? Kalau ia masih harus berpikir, itu sudah terlambat.
Ia biarkan tubuhnya bergerak sendiri.
Haruhiro merebahkan tubuh lizardman yang kini tak bergerak ke dalam semak, lalu kembali ke arah Itsukushima.
“Kau hebat juga,” kata Itsukushima dengan suara rendah, terdengar agak terkejut.
Haruhiro menggeleng pelan. “Masih ada yang lain, kan?”
“Yah,” gumam Itsukushima sambil mengernyit, “lizardman biasanya tinggal lebih jauh ke utara. Ini aneh… Ah, aku mengerti sekarang. Harusnya aku sudah menduganya…”
“Apa maksudmu?”
“Ekspedisi Selatan, atau apalah namanya. Mereka dikerahkan cukup luas di sisi selatan Pegunungan Kurogane.”
“Dan di sanalah tempat tinggal para lizardman?”
“Ya. Mereka pasti terusir, jadi bermigrasi ke selatan.” Itsukushima menghela napas, memutar lehernya ke satu sisi, lalu ke sisi lain. Ia menarik napas panjang. “Tak banyak pilihan,” akhirnya ia berkata. “Kita ubah rute. Untuk sekarang kita menjauh dari Sungai Iroto dan bergerak ke utara. Aku tak terlalu suka, tapi sepertinya kita harus melewati Rawa Kelabu.”
“Itu tempat berbahaya?”
“Semua tempat berbahaya,” kata Itsukushima sambil menegang di salah satu sisi wajahnya. “Tapi Rawa Kelabu itu dingin di waktu begini. Dan penuh pacet pula. Bakal berat untuk kuda-kuda kita. Belum lagi pacetnya bisa melompat, bisa tiba-tiba menyembur keluar dari rawa. Jadi kita juga tak bisa lengah.”
“Sepertinya…” Mengerikan, Haruhiro hampir mengucapkan kata itu, tapi langsung menelannya ketika Itsukushima menepuk pundaknya.
Itsukushima sudah berlari pergi. Haruhiro segera menyusul. Ia tak bertanya ada apa, atau kenapa Itsukushima berlari sekencang itu. Pasti ada keadaan darurat. Itu satu-satunya kemungkinan.
Dia pasti sudah memberikan beberapa perintah pada Yume saat menyuruhnya bergabung kembali dengan kelompok. Mereka sudah menaikkan barang-barang ke atas kuda dan bersiap untuk berangkat.
“Bagus, kalian sudah siap! Kita harus segera pergi dari sini!” teriak Itsukushima, lalu melesat ke arah barat bersama Poochie. “Ikuti aku! Jangan lamban! Mereka akan mengepung kita!”
“Siapa ‘mereka’?!” teriak Ranta.
“Para lizardman!”
Haruhiro menoleh ke belakang, ke arah mereka datang tadi, di mana suara gemerisik dedaunan dan suara-suara samar mulai terdengar. Ia memang belum melihat apa pun, tapi para lizardman jelas sedang mengejar mereka. Dan jumlahnya pasti tidak sedikit.
Bikki Sans melompat ke atas kudanya. “Neal, Yume-kun, Setora-kun! Naik kuda! Kita berangkat sekarang!”
Neal tidak butuh disuruh dua kali. Ia sudah setengah duduk di pelananya. Yume mengeong sebagai jawaban, sementara Setora sunyi, dan keduanya segera menaiki kuda mereka.
“Cepat!” Haruhiro berteriak pada Kuzaku dan Merry. Bikki Sans memimpin kelompok berkuda untuk bergerak pergi.
“Aku dan Parupiron yang jadi penjaga belakang?! Heh!” Ranta mencabut katana dari sarungnya. “Pasanganku mungkin nggak mampu, tapi ya sudahlah!”
“Menurutmu aku yang nggak mampu?!” sahut Haruhiro, melompat ke samping. Dua atau tiga proyektil ramping melesat keluar dari pepohonan. Anak panah? Ia menghindarinya, lalu melihat batang-batang yang menancap ke tanah. Tidak ada bulu panah. Mata panahnya bukan dari besi atau logam lain, tapi batu. Primtif, tapi tetap saja anak panah.
Beberapa anak panah lagi melesat ke arah mereka. Ranta menepisnya dengan katana tanpa repot-repot menghindar.
“Hah! Punya proyektil juga, ya? Keren banget, tuh!”
Belati biasa di tangan kanan, belati api di tangan kiri, Haruhiro menarik napas dalam—pelan tapi dalam—lalu menghembuskannya. Pandangannya tidak terfokus pada satu titik, tapi mencakup area luas dengan seluruh medan pandangnya. Pendengarannya, juga indra lainnya, ia kerahkan sepenuhnya.
Dalam hitungan detik, Haruhiro sudah mendeteksi sebelas lizardman. Sudah jelas, ini belum semuanya. Masih banyak lagi. Yang ini hanyalah kelompok yang sedang menerjang ke arah mereka.
Ranta terlihat siap menerkam kapan saja. “Kita lawan mereka di sini?!”
“Enggak, kita mundur dulu!” Haruhiro sudah berbalik bahkan sebelum selesai bicara. Ranta langsung mengikuti, lincah seperti serangga pelompat.
Anak panah beterbangan secara acak, tapi tak ada yang mengenai mereka. Para lizardman kini mengejar Haruhiro dan Ranta dengan tombak bermata batu, beberapa bahkan membawa perisai kayu. Mereka tidak mengenakan pakaian, tapi sebagian memakai aksesori dari tulang, taring, atau batu yang dipoles.
“Ha ha!” Ranta tertawa sambil berlari. “Kayaknya kita bakal seru-seruan nih!”
Saat si bodoh itu mengatakan hal-hal bodoh karena memang dia bodoh, Haruhiro mencoba memperkirakan jarak antara dirinya dan para lizardman yang berada paling depan. Makhluk-makhluk ini jelas bukan tipe yang lambat. Kalau ia berlari sekencang-kencangnya, mungkin saja bisa meninggalkan mereka, tapi ini bukan soal adu cepat—ia tak boleh berpikir sesederhana itu. Ia dan Ranta kalah jumlah jauh, dan tak bisa meremehkan kemampuan ras lizardman. Mereka pastilah pemburu alami. Dan kalau begitu, bisa jadi mereka akan mencoba mengepung atau memojokkan buruannya.
Kini, mereka terjepit di antara lizardman di belakang dan sebuah bukit curam di depan. Sebelum bisa mundur lewat sana, mereka harus menyerang dulu, membuat musuh gentar.
“Ranta, kita hadapi mereka di sana!”
“Hah! Akhirnya juga!”
Ranta mempercepat langkahnya, mencari posisi yang menguntungkan untuk bertarung. Haruhiro menoleh ke belakang. Anak panah masih beterbangan, tapi kecepatannya dan arah tembakannya tak cukup akurat untuk mengenai sasaran. Ia mengabaikannya dan terus berlari. Ranta sudah mendaki bukit.
Katanya asap dan orang bodoh suka tempat tinggi, ya cocok lah, pikir Haruhiro, sambil mempersiapkan diri untuk pertempuran yang akan datang.
Ia akan membunuh cepat dan bersih, lalu segera mundur.
Waktunya bekerja.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)