Fakta bahwa ia bisa kembali bergabung dengan kelompok hanya dalam sehari sudah bisa dibilang keberuntungan besar.
Delegasi dari Pasukan Perbatasan kehilangan empat kuda. Namun, Bikki Sans secara luar biasa tetap berada di atas kudanya selama kekacauan itu, dan kuda milik Itsukushima, Yume, serta Setora tidak lari terlalu jauh, sehingga mereka masih bisa ditangkap kembali. Neal si pengintai, yang sempat kabur sendirian, juga berhasil kembali. Yang paling penting, tidak ada satu pun nyawa yang hilang. Mereka benar-benar beruntung.
“Ini salahku. Mungkin aku terlalu meremehkan Dataran Quickwind,” kata Itsukushima dengan nada penuh penyesalan. “Biasanya aku datang ke dataran ini sendirian. Kadang aku membawa anjing, tapi karena aku sendiri, aku hampir tidak pernah lengah. Menjaga kewaspadaan penuh terhadap sekitar itu mutlak. Tapi kali ini…”
Manusia tidak bisa tidak merasa lebih percaya diri saat berada dalam kelompok. Tiga orang akan bertindak seolah-olah mereka sepuluh, dan sepuluh orang akan merasa sekuat seratus. Memang begitulah manusia adanya. Begitulah pandangan Itsukushima, dan meskipun terdengar agak berlebihan, Bikki Sans mengangguk berulang kali, setuju.
“Ketika manusia lahir dan besar di kota dari batu, semakin tinggi tembok dan bangunan yang kita dirikan, semakin besar pula kita mengira diri kita. Kita cenderung lupa bahwa begitu melangkah keluar dari kota, kita hanyalah makhluk lemah dengan sedikit kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Kita harus lebih rendah hati.”
Neal tampak mengabaikan semua pembicaraan itu, terlihat muak mendengarnya. Namun mungkin memang untung bahwa orang seperti Bikki Sans yang ditunjuk sebagai pemimpin delegasi itu. Kalau pemimpin delegasi adalah orang yang tidak kompeten atau berkepribadian buruk, bisa dipastikan takkan ada hal baik yang terjadi. Neal memang tak diragukan lagi adalah orang brengsek, tapi Bikki Sans setidaknya masih bisa dibilang layak. Mengetahui hal itu saja sudah cukup memberi rasa lega.
Delegasi melanjutkan perjalanan mereka melintasi Dataran Quickwind, kini dengan kewaspadaan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Tampaknya ada cukup banyak raksasa jangkung di wilayah sekitar Pegunungan Mahkota. Mungkin memang di sanalah salah satu tempat mereka tinggal. Itsukushima sendiri tidak tahu pasti, jadi tak ada cara untuk memastikan, tapi untuk sementara waktu, mungkin lebih bijak bagi delegasi untuk menghindari daerah itu, dan mengalihkan arah ke timur laut menuju Iroto.
Frasa “untuk sementara” menjadi kunci di sini. Jika masalah muncul, akan terlalu terlambat untuk mengambil tindakan. Kalau ada sesuatu yang terasa tidak beres, jika ada yang merasakan firasat buruk, maka hal itu harus segera dibagikan dan dibicarakan bersama. Kalau memang perlu perubahan rencana, maka tak boleh ada keraguan.
Menurut Itsukushima, sangat jarang terjadi bahaya saat berada sendirian di Dataran Quickwind. Itu karena ia selalu menempatkan menghindari bahaya sebagai prioritas utama, dan tak pernah ragu untuk mengubah arah jika diperlukan.
Namun, bepergian dalam kelompok dengan tujuan yang sudah ditetapkan tidak semudah itu. Dalam ekspedisi ini, mereka berusaha menempuh rute sependek mungkin menuju Pegunungan Kurogane. Mengikuti jalur paling optimal membuat mereka tidak punya banyak ruang untuk menyimpang, sehingga menjadi sulit untuk merespons secara fleksibel terhadap ancaman yang muncul.
Bikki Sans memerintahkan Itsukushima untuk bertindak lebih sebagai pemimpin daripada sekadar penunjuk jalan. Secara resmi, ditetapkan bahwa Itsukushima dan anjing serigalanya yang berpengalaman, Poochie, akan menjadi pihak yang menentukan rute perjalanan, sementara yang lain hanya perlu mengikuti mereka.
Dibutuhkan tiga hari perjalanan sebelum mereka mencapai sisi utara Pegunungan Mahkota. Tak ada satu haripun yang berlalu tanpa mereka melihat sosok raksasa jangkung di kejauhan, namun Itsukushima selalu mengubah arah seperlunya untuk menghindari pendekatan lebih jauh. Dengan cara itu, mereka berhasil menjaga agar para raksasa tak merasa terusik.
Dari sana, delegasi bergerak ke arah timur laut. Setelah sekitar satu setengah hari perjalanan, mereka mulai melihat lebih banyak rumpun pepohonan dan perbukitan yang dipenuhi semak belukar. Permukaan tanah tidak rata, menyulitkan pandangan jauh ke depan, tapi terlihat jelas bahwa hutan membentang ke arah timur dan timur laut. Itsukushima mengatakan bahwa Iroto sudah tak jauh lagi. Tak terlihat ada raksasa jangkung di mana pun, dan saat itu juga waktu sudah mendekati malam—waktunya mereka bersiap untuk bermalam.
“Bagaimana kelihatannya?” tanya Bikki Sans kepada Itsukushima. Sejak serangan raksasa waktu itu, Bikki Sans hanya sesekali menunggang kudanya. Kini, kuda itu—seperti kuda-kuda lainnya—lebih sering digunakan untuk mengangkut barang. Satu-satunya yang tetap menunggang kuda adalah Neal, yang tanpa henti menatap mereka dari atas pelana, seolah memandang rendah semua orang.
“Kelihatannya baik-baik saja,” kata Itsukushima sambil mengangguk. “Mari kita nyalakan api dan bermalam di sini hari ini. Besok kita akhirnya akan sampai di Iroto.”
“Waaah, akhirnya!” seru Ranta, melompat kegirangan. “Waktunya api unggun! Serius! Serius banget! Aku kangen banget sama yang namanya api unggun! Api itu suci! Nggak, api itu jahat! Puji Skullhell!”
Kelompok Haruhiro pun mulai mengumpulkan kayu bakar, lalu menyalakan api di bawah pepohonan sesuai tempat yang ditunjukkan oleh Itsukushima. Yume dan Poochie pergi berburu, dan dalam waktu lebih dari satu jam mereka berhasil menangkap beberapa tikus dataran yang gemuk dan seekor rubah berekor panjang dengan pola mirip kacamata di sekitar matanya. Itsukushima dan Yume membedah hasil buruan mereka dengan cekatan, mempersembahkan sebagian tangkapan kepada Dewa Putih Elhit, lalu memasak sisanya. Bumbu mereka hanya berupa sedikit garam dan rempah-rempah, tapi semua orang kebagian—bahkan bagian jeroan yang sedikit pahit sekalipun—dan semuanya terasa lezat.
Setelah selesai makan, Bikki Sans mulai merawat kelima kuda mereka. Ia membawa sikat khusus dalam perjalanan ini. Setiap kali ada waktu luang, ia akan menyikat tubuh kuda-kuda itu, mengajak mereka bicara, dan meraba tubuh mereka dari kepala sampai kaki, memeriksa apakah ada yang tidak beres. Sepertinya ia memang sangat mencintai kuda hingga tak bisa menahan diri. Dan tampaknya para kuda pun membalas kasih sayang itu.
“Kuda tuh lucu, ya?” kata Kuzaku sambil menghampirinya.
Bikki Sans langsung tersenyum lebar, seolah-olah pujian itu ditujukan padanya. Alis tebal menyambung miliknya membuat senyuman itu terlihat cukup unik. Sekilas tampak lucu, tapi juga menunjukkan betapa baik hatinya.
“Kau paham, ya? Semakin besar kasih sayang yang kau tunjukkan, semakin kuda akan membalas cintamu. Nggak seperti manusia. Mereka itu makhluk yang benar-benar menggemaskan.”
“Hmm, aku mengerti maksudmu. Masuk akal sih… Maksudku, wajah mereka itu memang manis banget. Apalagi mata mereka, imut begitu.”
“Mata seperti ini nggak mungkin bohong, kan?”
“Ohhh, iya, iya, aku ngerti. Emang berasa gitu. Mata kecil yang berbinar ini nggak akan pernah berbohong.”
“Aku sudah merawat lebih banyak kuda daripada yang bisa kau hitung. Ada yang pemarah, ada yang sulit diatur, ada juga yang keras kepala. Tapi belum pernah aku menemui satu pun kuda yang membohongiku.”
“Hmm, begitu ya. Jadi kuda nggak bisa bohong, huh? Bagus juga tahu.”
“Aku jadi ngerasa sesuatu di sini…” kata Ranta sambil jongkok di dekat api. Sebuah senyum separuh muncul di wajahnya. “Kayaknya sih, dia pernah ditipu perempuan atau dilepeh habis-habisan sama seseorang, terus kehilangan kepercayaannya sama umat manusia, gitu nggak sih?”
“Orangnya aneh,” kata Neal, yang berdiri agak jauh dari api unggun, dengan senyum menyeringai. “Kabarnya sih dia ngelakuin yang nggak-nggak sama kuda.”
Ranta hanya melirik sekilas ke arah Neal, tanpa membalas sepatah kata pun. Mungkin Neal merasa baru saja melontarkan lelucon lucu, tapi ucapan itu kelewat vulgar.
“Apa-apaan sih, brengsek…?” gerutu Neal sambil mendecakkan lidahnya, kesal karena tak ada tanggapan. Mungkin tadinya ia berniat pergi, tapi pada akhirnya ia mengurungkan niat itu dan duduk bersandar pada pohon terdekat.
“Ahhh! Hei, hei, Merry-chan, Setoran!”
Yume merangkul lengan Merry dan Setora, menarik mereka mendekat sambil berkata hal-hal seperti, “Ayo, dong,” dan, “Apa salahnya sih?” Ketiga perempuan itu pun duduk di depan api unggun dengan tangan saling terkait. Setora tampak sedikit terganggu, tapi sepertinya masih bisa mentolerirnya. Sementara Merry kelihatannya sama sekali tidak keberatan.
“Aku mau patroli. Kalian tidur saja atau terserah mau ngapain,” kata Itsukushima, menjauh dari api unggun bersama Poochie.
Bikki Sans kembali ke api unggun bersama Kuzaku, yang sebelumnya membantunya merawat kuda.
“Wah, kuda itu lucu banget. Aku bisa aja nih jadi suka beneran.”
“Kau punya potensi,” kata Bikki sambil menepuk punggung Kuzaku. Wajah Kuzaku tampak benar-benar senang mendengarnya.
“Serius nih? Maksudmu beneran?”
“Kalau kau berlatih dengan tekun, kau bisa jadi perawat kuda yang baik.”
“Yah, aku nggak yakin mau latihan, sih… dan juga nggak kepikiran buat jadi perawat kuda, terus terang aja.”
“Seorang perawat kuda yang baik bisa jadi penunggang kuda yang hebat.”
“Oh! Nah, yang itu sih terdengar menarik.”
“Hei, kau ini…” Ranta tampak seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya mengangkat bahu lalu membalikkan badan ke samping. “Aku tidur duluan, ya. Bangunin kalau ada apa-apa.”
“Untuk giliran jaga pertama—” Bikki Sans baru mulai bicara, tapi Haruhiro sudah lebih dulu mengangkat tangan.
“Biar aku saja. Nanti kita bergantian. Toh Itsukushima-san sedang berpatroli, jadi seharusnya tidak masalah.”
“Ya, itu kedengaran bagus,” kata Bikki, puas dengan pengaturan itu. Ia mengambil dua selimut dari tumpukan barang, membentangkan satu di atas tanah, lalu meletakkan selimut lainnya di atasnya, menggunakan ransel sebagai bantal. Ia merangkak masuk di antara kedua selimut itu, lalu memalingkan wajahnya yang beralis menyambung ke arah Haruhiro dan yang lainnya.
“Selamat malam.”
Setelah Haruhiro dan yang lain masing-masing mengucapkan selamat malam, Bikki Sans mengangguk dan memejamkan mata. Ia tahu betul apa yang dilakukannya. Pria itu memang teliti dalam segala hal.
“Kita yang lain juga sebaiknya tidur, ya? Jaga kami baik-baik, ya, Haru-kun?”
Yume, Merry, dan Setora pun merebahkan diri di samping satu sama lain.
Merry tampaknya sudah sedikit membaik. Haruhiro merasa lega melihatnya. Ia merasa selama ini seperti sengaja menunda-nunda menghadapi masalah itu, jadi mungkin ia memang terlalu santai. Tapi apa yang seharusnya ia lakukan? Bukan hanya soal Merry—ia juga harus mencari cara untuk membawa Shihoru kembali. Haruhiro memikirkan hal-hal itu, tapi sejujurnya, ia sama sekali tidak punya gambaran bagaimana cara menyelesaikannya.
Di samping Haruhiro, Kuzaku menguap lebar. Kelopak matanya sudah terlihat sangat berat.
“Tidur sana,” kata Haruhiro padanya.
“Mm, iya…” gumam Kuzaku, terdengar seperti sudah setengah tertidur.
Neal masih duduk bersandar di pohon, menundukkan kepala. Ia sudah lama tidak bergerak, jadi mungkin saja ia benar-benar tertidur. Sebagai seorang pengintai, dia mungkin sudah terbiasa tidur dalam posisi yang aneh.
“Hei, Haruhiro,” kata Kuzaku sambil menguap lebar lagi.
Haruhiro menatap ke dalam api saat menjawab, “Apa?”
“Kamu ingat semuanya, kan?”
“Ya… Kurasa begitu.”
“Senang semuanya jadi begini.”
“Maksudmu apa?”
“Maksudku, ini hal yang bagus, kurasa. Aku cuma kepikiran aja…”
“Iya kah?”
“Dibanding aku yang mengingat, dan kamu yang nggak, lebih baik kamu yang ingat, dan aku yang lupa, gitu.”
“Mungkin… Kamu ada benarnya.”
“Aku yakin kok. Makanya aku senang semuanya jadi begini.”
“Tidur sana.”
“Akan kulakukan.”
Kuzaku bangkit, melangkah dua atau tiga langkah menjauh dari api unggun, lalu roboh begitu saja seperti kehabisan tenaga. Ia sudah mendengkur bahkan sebelum benar-benar terlelap.
“…Serius?”
Haruhiro menggeleng pelan.
Menyebalkan memang, tapi sisi sederhana dan kekanak-kanakan dari Kuzaku ini—atau kalau mau bicara dengan sopan, bisa dibilang sebagai sikapnya yang polos dan lugas—telah menjadi penopang besar bagi Haruhiro. Ia bahkan merasa bahwa sikap itu pernah menyelamatkannya.
Kalau dipikir-pikir, Haruhiro memang tipe yang selalu ragu, tak suka berdiri di depan atau berada di atas orang lain. Tapi meski begitu, ia tetap bisa melangkah sejauh ini dengan menganggap dirinya sebagai pemimpin kelompok. Bisa jadi, peran besar dalam hal itu berasal dari Kuzaku—tepat setelah keinginan Haruhiro sendiri untuk melindungi teman-temannya.
Apa pun alasannya, Kuzaku mempercayai Haruhiro sepenuhnya dan selalu mendukungnya. Meski tubuhnya setinggi satu kepala lebih dari Haruhiro, Kuzaku selalu menatapnya dari bawah, dengan rasa hormat. Ia satu-satunya yang selalu bersikap sebagai pengikut Haruhiro, apa pun yang terjadi. Bagi Kuzaku, Haruhiro adalah sosok yang lebih berpengalaman—seorang pemimpin sekaligus seperti kakak laki-laki—seseorang yang layak dihormati.
“Dasar aneh…” gumam Haruhiro sambil menatap api unggun yang mulai mengecil. Ia menambahkan beberapa ranting kering lagi ke dalamnya.
Kuzaku punya perasaan pada Merry. Ada masanya Haruhiro bahkan sempat curiga mereka mungkin punya hubungan yang lebih dari sekadar teman. Itu membuatnya cemburu dan terpuruk. Ya, itu memang pernah terjadi.
Itsukushima dan Poochie sempat kembali, tapi setelah memberi tahu Haruhiro bahwa semuanya terlihat normal, mereka segera pergi lagi.
Malam di tempat ini terasa sangat berbeda dibanding ketika berada di tengah Dataran Quickwind. Tak ada angin, misalnya. Udara juga tidak terlalu dingin. Tidak terasa ada bahaya dari pemangsa yang bersembunyi di balik kegelapan. Banyak serangga bersuara, tapi suasananya tetap tenang. Tentu saja, bukan berarti Haruhiro bisa lengah. Ia tahu itu. Tapi kantuk mulai datang juga.
Merry terbangun dan datang menghampiri api unggun. Ia duduk diam di samping Haruhiro.
“Kamu sempat tidur?” tanya Haruhiro. Merry mengangguk.
“Iya.”
“Oh, syukurlah.”
“Mau aku gantikan jaga?”
“Ah…” Haruhiro mengusap dagunya. “Nggak, aku masih kuat.”
“Begitu, ya.”
“Hnnn.”
Merry tampak ragu sejenak. “Maaf…”
“Huh? Maaf untuk apa?”
Merry hanya menggeleng pelan, menolak menjelaskan.
Seseorang menghela napas. Bukan Haruhiro, dan bukan juga Merry.
Itu Neal.
“Ya ampun… Apa-apaan sih ini semua?” gumam Neal sambil berjalan mendekat dan duduk di dekat api.
Haruhiro dan Merry saling menatap. Apa-apaan sih ini semua? Seharusnya itu kalimat mereka.
Neal menghela napas lagi. Ia mendecakkan lidahnya, lalu menghela napas untuk ketiga kalinya. Sebagai penutup, ia meludah ke tanah.
“Kalian mengganggu.”
“Apa?” Haruhiro bukan tipe orang yang mudah marah, tapi jelas kali ini dia mulai kesal. Apa sih masalah orang ini?
“Maksudku…” Neal mencabuti rumput dan melemparkannya. “Kalian ganggu, jadi pergilah jalan-jalan atau semacamnya. Aku yang berjaga. Lagipula aku nggak bakal bisa tidur juga.”
Ternyata dia sedang mencoba bersikap perhatian. Butuh waktu bagi Haruhiro untuk menyadarinya. Kenapa Neal sampai melakukan itu? Perhatian terhadap apa, atau siapa? Haruhiro agak paham… tapi juga agak tidak. Tapi bukan berarti ia benar-benar tidak mengerti.
Haruhiro memandangi sekitar tanpa tujuan jelas. Ketika matanya beralih ke Ranta yang ternyata sudah duduk, ia sedikit terkejut. Dread knight itu hanya mengangguk pelan, memberi isyarat dengan dagunya. Seolah berkata, Pergi saja.
Haruhiro ingin berpikir, Jangan sok keren deh, kamu kan cuma Ranta, tapi… dia tak bisa.
“Baiklah, cuma sebentar…” katanya akhirnya.
Begitu Haruhiro berdiri, Merry ikut bangkit. Mereka tak punya tujuan jelas, jadi memutuskan untuk mengecek keadaan kuda. Hewan-hewan itu tampak tenang, berkat perawatan Bikki Sans.
Tanpa bisa ditahan, Haruhiro terus saja mencuri pandang ke wajah Merry.
“Tidak apa-apa,” kata Merry sambil tersenyum, mengelus surai salah satu kuda. “Aku masih diriku, sekarang ini.”
Haruhiro sama sekali tak pernah berpikir bahwa Merry yang bersamanya saat ini bukanlah Merry yang sebenarnya. Tapi, justru karena itu, kalau dia sampai mengatakan secara terang-terangan bahwa dia tidak pernah mencurigainya, rasanya malah jadi aneh.
“Aku bisa merasakannya,” kata Haruhiro sambil mengelus kuda juga. “Entah kenapa, aku cuma… bisa tahu aja.”
“Begitu ya,” gumam Merry pelan. Apa maksudnya? Haruhiro sendiri tidak benar-benar tahu. Barusan dia bilang bisa mengerti, tapi yang satu ini justru tak bisa ia pahami sama sekali.
Haruhiro menatap langit malam. “Bulannya terang banget malam ini, ya…”
Merry ikut menengadah. Cahaya bulan menerangi wajahnya dari samping, membuat siluet wajahnya tampak begitu jelas. Matanya sedikit menyipit. “Iya, benar.”
Tahu-tahu, Haruhiro sadar dia sedang menatap Merry.
Begitu Merry menoleh padanya, ia buru-buru mengalihkan pandangan, panik.
“Gimana kalau kita jalan-jalan sebentar?” usulnya, nada suaranya meninggi di akhir kalimat. Tidak lucu sih, tapi Merry tersenyum tipis.
“Boleh.”
“Hati-hati jalannya. Gelap.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulutnya.
Merry mengangguk. Lalu, setelah beberapa detik, ia menunduk.
Mungkin dia sedang memastikan apakah tanah masih bisa terlihat. Meski bulan merah tampak besar dan terang di langit, dan bintang-bintang berhamburan tanpa berkedip, malam di Dataran Quickwind ini tetaplah pekat. Merry melangkah ke depan, tapi tampaknya ia menginjak batu atau sesuatu, dan sempat tersandung sedikit.
Secara refleks, Haruhiro meraih lengannya dan menahannya.
“Terima kasih,” bisik Merry, suaranya terdengar sangat dekat.
“Tanganmu.” Ini mengejutkan. Haruhiro sendiri tidak menyangka akan mengatakan itu. Tanpa menunggu jawaban darinya, ia menurunkan tangan yang tadi memegang lengannya. Ia benar-benar tak menyangka dirinya bisa melakukan hal seperti ini. Haruhiro menggenggam tangan Merry.
Merry menunduk dan mengangguk pelan. Lalu, ia membalas genggamannya.
Keduanya berjalan dalam kegelapan, bergandengan tangan. Haruhiro memang tidak bisa menavigasi dengan melihat bintang seperti Itsukushima atau Yume, tapi ia masih bisa melihat cahaya api unggun dari kejauhan, jadi tak ada risiko tersesat.
Tanah di sini cukup rata, dan ada sebuah bukit kecil yang tampaknya mudah untuk didaki. Ia melihat beberapa pohon tumbuh di puncaknya. Haruhiro menggandeng tangan Merry dan mulai menaiki bukit itu. Seperti dugaannya, mereka sampai di atas tanpa kesulitan. Angin bertiup sedikit lebih kencang di sini.
“Kamu nggak kedinginan?” tanya Haruhiro.
Merry menggeleng. “Nggak.”
“Ya udah, baguslah.”
Di saat-saat seperti ini, Haruhiro benar-benar merasa kesal dengan dirinya sendiri yang payah dalam berbicara. Ia berharap, walau cuma sekali saja, bisa seperti Ranta—ngobrol panjang lebar tanpa kehabisan kata.
“Di dalam diriku…”
Pada akhirnya, Haruhiro tetap diam sampai Merry sendiri yang memulai pembicaraan.
“Di dalam… dirimu?”
“Ada sesuatu… atau seseorang yang bukan diriku. Tapi kamu pasti sudah tahu itu.”
Haruhiro menggenggam tangan Merry sedikit lebih erat.
“Iya.”
“Itu…” kata Merry, merujuk pada sesuatu yang ada di dalam dirinya. “Itu tidak selalu mencoba mengambil alih dan keluar… Aku juga nggak tahu harus menjelaskannya bagaimana. Itu bukan aku. Tapi juga bukan sepenuhnya orang lain. Aku bisa merasakannya. Ia selalu ada, hadir. Mengamati, atau pura-pura nggak mengamati. Kadang-kadang, aku merasa ia mencoba membantu. Tapi mungkin juga tidak… Ada beberapa orang di dalam sana.”
“…Bukan cuma satu orang?”
“Bukan.” Merry menggeleng, lalu mengangguk pelan. “Ada beberapa orang. Aku yakin dulu mereka semua adalah individu.”
“Jessie… salah satunya?”
“Iya.”
“‘Pria itu tidak ada di sini.’”
Bukan-Merry mengatakannya waktu itu.
“Benar.” Merry mengangguk. “Ingatan Jessie sudah hancur.”
“Saat kita kembali ke Grimgar, penguasa menara terlarang memberi kita semacam obat. Waktu itu… kamu Jessie, ya?”
“Aku lari. Aku bersembunyi di dalam diriku sendiri. Aku nggak mau keluar.”
“Itu sebabnya kamu nggak terlalu ingat soal Parano?”
“Semuanya samar, jadi aku cuma bisa mengingat sedikit, dan itu pun kabur.”
“Jessie sudah nggak ada lagi…”
Ada beberapa pribadi di dalam diri Merry. Haruhiro sendiri pernah melihat bagaimana isi dari Jessie masuk ke dalam dirinya. Jessie pun bukan satu pribadi. Di dalam dirinya, ada beberapa orang lain juga. Sekarang semuanya diwariskan ke Merry.
Pasti ada satu pribadi atau entitas yang jadi asal-muasalnya. Sebut saja mereka si A. A masuk ke dalam B. Maka A juga ada di dalam B.
Lalu, B masuk ke dalam C. Maka sekarang, di dalam C, ada A dan B.
Bolehkah dia menanyakan hal ini? Haruhiro ragu cukup lama, tapi akhirnya memutuskan untuk bertanya juga.
“Berapa banyak dari mereka yang ada di dalam dirimu? Kamu tahu?”
Merry tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, dia berkata, “Boleh aku duduk dulu?”
“Tentu saja.”
Haruhiro menemukan sebuah batu kering yang cukup nyaman, lalu duduk di atasnya bersama Merry. Dia bahkan tidak sempat terpikir untuk melepas tangan Merry. Saat mereka duduk bergandengan tangan, bahu mereka secara alami bersentuhan.
“Yang aku tahu secara jelas itu… seorang wanita—juga seorang prajurit relawan. Dia punya kekasih. Dan rekan-rekan seperjuangan… Semua dari mereka mati. Dia satu-satunya yang tersisa. Tubuhnya nyaris mati juga… Lalu dia berhenti bernapas. Namanya Ageha.”
“Dia… yang sebelum Jessie, ya?”
“Kurasa begitu. Sebelumnya lagi adalah… seorang mage. Dia juga prajurit relawan. Yasuma… Dia belajar dari seorang mage di guild mage, namanya Sarai. Kalau aku tidak salah ingat, mage yang pernah melatih Shihoru juga bernama Sarai.”
“Kalau begitu, dia nggak berasal dari masa yang terlalu jauh, ya?”
“Sarai masuk guild saat masih muda, lalu akhirnya menjadi pemimpin mereka. Kurasa sekitar dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu Yasuma masih jadi muridnya.”
Sebelum itu, ternyata ada seorang pria dari Desa Tersembunyi. Namanya Itsunaga. Dia melanggar aturan desanya, dan diasingkan bersama ibunya sejak kecil. Setelah itu, ibunya meninggal, dan dia pun hidup sebatang kara. Dia menyimpan dendam yang sangat dalam terhadap desanya, dan mengembara selama bertahun-tahun ke banyak tempat yang berbeda-beda.
Ia bertahan hidup dengan menjadi bandit, lalu juga sebagai pembunuh bayaran—tapi siapa yang hidup dengan pedang, akan mati oleh pedang juga. Setelah gagal membunuh pemimpin kelompok pencuri, dia justru diburu oleh orang-orang yang ingin membalas dendam. Ia lari dan terus lari, hingga akhirnya terlibat dalam perkelahian bodoh yang membuatnya terluka parah. Saat terbaring sekarat, muncul sesosok orc di hadapannya.
Diha Gatt.
Itulah orc yang membangkitkan kembali Itsunaga.
“Aku tidak tahu banyak tentang Diha Gatt. Dia jarang muncul. Tapi sepertinya dia sudah mengelilingi banyak tempat.”
Haruhiro mulai menghitung satu per satu dengan jari-jarinya:
Merry.
Jessie.
Ageha.
Yasuma.
Itsunaga.
Diha Gatt.
Enam orang.
“Itu… semuanya?”
Tapi yang sekarang mengusik benak Haruhiro adalah: Siapa sebenarnya ‘dia’?
Di depan Menara Terlarang, sosok itu telah berbicara padanya, seolah menunjukkan rasa iba terhadap Merry. Sosok itu berkata bahwa semua ini bukan kesalahan Merry, bahwa ini bukan pilihannya. Lalu sosok itu juga berkata: “Aku pun bukan yang memilihnya.”
Biasanya, Haruhiro akan mengira itu adalah Jessie. Dialah yang menghidupkan kembali Merry, toh. Tapi Jessie sudah tiada. Jadi… siapa “aku” yang dimaksud di sini?
Ini cuma perasaanku saja, tapi cara bicaranya membuatku yakin itu bukan perempuan. Mungkin bukan Ageha. Kalau begitu, apakah itu Yasuma, sang penyihir? Atau Itsunaga dari Desa Tersembunyi? Atau justru orc itu—Diha Gatt?
“Belum semuanya…” Merry bergumam.
“Masih ada lagi?”
“Kurasa… iya.”
Merry menundukkan kepala, tubuhnya gemetar. Sepertinya ini sangat berat baginya. Ia menggertakkan gigi, bernapas hanya lewat hidungnya.
Aku ingin melakukan sesuatu untuknya, Haruhiro sangat merasakannya. Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Tangan kanan Haruhiro sedang menggenggam tangan kiri Merry. Ia meletakkan tangan kirinya di atas tangan Merry, menutupinya. Lalu ia melepaskan genggaman tangan kanannya. Meski gugup, ia menggerakkan tangan yang kini kosong itu ke belakang punggung Merry—atau lebih tepatnya, ke pinggangnya.
Saat itu, Haruhiro mulai ragu: Apakah aku melakukan ini demi Merry, atau karena aku sendiri menginginkannya?
Ia tidak bisa menyangkalnya sepenuhnya. Tapi saat mulut Merry terbuka dan ia menghembuskan napas, Haruhiro bisa merasakan tubuhnya sedikit mengendur. Ia sedikit rileks.
“Seekor tikus,” kata Merry.
“Tikus?”
“Ya… Aku tidak tahu banyak tentangnya. Tapi… kurasa, mungkin, dia seekor tikus. Di dalam… seekor tikus.”
“Siapa yang di dalam tikus?”
“Itu…” Napas Merry mulai tersengal. Haruhiro mengusap-usap punggungnya pelan.
“Tak perlu dipaksakan.”
“Aku… tidak boleh… melihat lebih jauh lagi…”
“Huh?”
“Tak boleh melihat… Tak boleh mendengar… Lebih baik tidak tahu… Aku tak seharusnya tahu… Sesuatu sedang… mencoba… menghentikanku…”
Merry terus mengulang-ulang kata-katanya.
“Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi.”
Berkali-kali ia ulangi.
“Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi… Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi… Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi… Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi. Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi. Aku tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi tak boleh melihat lebih jauh lagi—”
Merry mengulang mantra itu semakin cepat dan cepat lagi. Bagaimana mungkin lidahnya tidak terbelit? Itu sebuah misteri. Tapi jelas bukan sesuatu yang bisa dipikirkan Haruhiro saat ini.
“Berhenti, Merry. Sudah cukup. Ini tidak membantu. Kamu tidak perlu terus memikirkan ini. Jelas-jelas kamu tidak seharusnya melakukan ini. Merry. Merry.”
“Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak…!”
Merry menggelengkan kepala liar, membuat rambutnya berantakan. Haruhiro diliputi ketakutan. Ini bukan semata ketakutan terhadap hal yang tak diketahui. Ia memang tidak tahu apa—atau siapa—yang berada di balik batas yang sedang Merry bicarakan.
Tapi ketakutan Haruhiro lebih nyata. Jika ini terus berlanjut, Merry bisa saja kembali seperti sebelumnya. Itulah yang membuatnya khawatir. Singkatnya, ia takut Merry kehilangan jati dirinya. Ia bisa saja tenggelam atau menghilang, dan “aku” yang lain itu akan mengambil alih dirinya lagi.
“Merry.”
Haruhiro menggenggam bahu Merry erat, memutar tubuhnya agar menghadap ke arahnya. Merry bereaksi seperti tak nyaman dengan sentuhannya, tapi mungkin itu hanya reaksi refleks. Meski begitu, Haruhiro tidak melepaskannya.
“Merry, lihat aku. Merry. Merry. Merry!”
“Haru…”
“Benar. Ini Haruhiro. Kamu kenal aku, kan? Lihat aku.”
Merry mengangguk beberapa kali, rahangnya bergetar.
“Tarik napas… Hembuskan. Perlahan. Ya. Tarik napas… Dan hembuskan.”
Merry menyesuaikan napasnya seperti yang Haruhiro arahkan. Tampaknya itu cukup membantunya untuk sedikit tenang.
“Selama aku bisa tetap kuat, makhluk itu tidak akan muncul. Mungkin semua tergantung padaku.”
“Tidak begitu,” ucap Haruhiro tanpa ragu.
Merry mengedipkan mata dua atau tiga kali. “Huh…?”
“Bukan begitu, Merry. Kamu punya kami. Kamu punya aku.”
“Aku punya…kamu.”
“Ya. Ini bukan hanya tanggung jawabmu sendiri. Kami tidak akan membiarkanmu menanggung semua ini sendirian. Aku… Aku bukan orang yang sama seperti saat pertama kali mengajakmu menjadi rekan kami. Mungkin terdengar aneh kalau aku sendiri yang bilang, tapi aku merasa sudah banyak berubah. Aku tidak setak bisa diandalkan seperti dulu.”
“Aku tidak pernah menganggapmu tak bisa diandalkan.”
“Kalau begitu, tidak apa-apa kalau kamu lebih mengandalkanku. Aku ingin kamu melakukannya. Dengar, Merry…”
“Ya.”
“Aku ingin minta maaf padamu. Karena membiarkanmu mati… dan karena membawamu kembali setelahnya. Itu keputusan yang kuambil sendiri, tanpa bertanya padamu.”
“Ya, tapi…”
“Dengar dulu.”
“Baik.”
“Tapi aku tidak menyesalinya. Apa pun yang harus kulakukan, aku ingin kamu kembali. Aku tidak sanggup membayangkan harus kehilanganmu selamanya. Aku ingin bersama denganmu. Aku tahu suatu saat nanti kita akan berpisah. Tak peduli seberapa berharganya sesuatu, pada akhirnya kita akan kehilangannya juga.”
“Ya. Kurasa…itu sesuatu yang sangat kita pahami.”
“Benar. Tapi tetap saja, aku ingin bersamamu. Bahkan jika hanya satu menit… atau satu detik lebih lama. Aku rela melakukan apa saja demi bisa bersamamu sedikit lebih lama. Karena kamu sepenting itu bagiku.”
Apakah Haruhiro benar-benar berniat mengatakan semua itu langsung di hadapan Merry?
“Karena aku mencintaimu, Merry.”
Haruhiro sendiri terkejut ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya. Tapi meski terkejut, ada bagian dalam dirinya yang tetap tenang. Bahkan ia sempat berpikir, Ya jelaslah. Perasaan Haruhiro terhadap Merry sudah lama sangat jelas. Selama Merry tidak sebodoh itu, dia pasti sudah tahu—bahkan tanpa Haruhiro mengucapkannya.
Haruhiro telah memendam perasaan pada Merry sejak lama. Kini, dia tak yakin apakah yang membuatnya jatuh cinta adalah wajah cantiknya, kebaikan yang tersembunyi di balik sikap tajamnya, atau ketulusan Merry yang begitu murni. Mungkin semuanya. Yang jelas, semakin mereka bersama, Merry menjadi semakin penting baginya.
Bahkan ketika Mimori dan Setora menunjukkan ketertarikan mereka secara terang-terangan, hati Haruhiro tidak pernah goyah. Sama sekali tidak. Dia memang menyayangi mereka sebagai sesama manusia. Tapi ini adalah sesuatu yang berbeda. Haruhiro mencintai Merry. Dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dan ketika dia sudah mencintai seseorang sedalam itu, tak mungkin dia bisa mencintai orang lain.
“Aku benar-benar mencintaimu. Segalanya tentangmu. Aku tidak yakin perasaan ini akan pernah berubah. Tidak—aku tahu, perasaan ini tidak akan pernah berubah.”
“Haru…” Merry menutup matanya. Air mata mengalir dari kedua matanya. Mungkin dia berusaha menahannya. Tapi air mata itu tak bisa dihentikan.

“Aku juga… Aku mencintaimu, Haru.”
“Aku tak akan pernah…” Haruhiro memeluk Merry erat. “Melepaskanmu lagi.”
Merry sebenarnya bukan gadis mungil. Tapi saat Haruhiro memeluknya seperti ini, ia terasa begitu rapuh. Lembutnya tubuh Merry membuat Haruhiro nyaris kehilangan kata-kata. Namun, di balik kelembutan itu, ada berat yang nyata—sebuah bukti bahwa Merry tidak akan hancur hanya karena pelukan ini. Saat Haruhiro memeluknya erat, helaan napas pelan keluar dari bibir Merry, tepat di samping telinganya. Merry membalas pelukan itu. Lalu seperti seekor kucing yang manja, ia menggesekkan kepalanya ke pipi dan rahang Haruhiro. Rasanya begitu menenangkan. Ia sudah merasa sangat cukup.
Namun ada juga rasa tak sabar di dalam hatinya. Haruhiro tahu, ia tidak bisa hanya diam memeluk Merry seperti ini. Ia terus bergerak, dan Merry pun begitu. Hingga akhirnya, pipi mereka bersentuhan.
Pipi Merry basah oleh air mata.
Kalau ia memiringkan wajah sedikit saja, sesuatu mungkin akan terjadi.
Tapi ia tak bisa melakukannya. Tidak seharusnya. Dan justru itulah yang dilakukan Haruhiro.
Sedikit memiringkan kepala, dan bibir Haruhiro pun menyentuh sesuatu yang begitu lembut, begitu luar biasa lembut, hanya sekilas.
Harusnya aku mundur sekarang, pikirnya.
Namun, ia ragu.
Entah bagaimana, ia bisa mengatasi keraguan itu.
Haruhiro menekan bibirnya pada bibir Merry.
Kalau dijelaskan secara sederhana, itu hanya dua mulut yang saling bersentuhan—tapi kenapa rasanya seperti ini? Apa sebenarnya perasaan ini?
Kurasa aku mencintai Merry.
Aku mencintainya sedalam itu—hingga dadaku serasa hendak meledak, tubuhku mungkin akan hancur berkeping-keping.
Dan hanya Merry yang bisa menjahit kembali dadaku, menyatukan setiap bagian yang patah.
Karena dia begitu berharga bagiku.
Merry menarik wajahnya menjauh. Bibir mereka pun terpisah. Namun hanya sebentar. Merry segera kembali mendekat, mencium Haruhiro dengan kemauannya sendiri.
Haruhiro tak tahu siapa yang mengakhiri ciuman itu, atau bagaimana. Ia tak mengingatnya.
Yang jelas, mereka masih saling berpelukan. Sejak tadi, dan entah bagaimana, mereka mulai terbiasa. Mereka semakin mahir memeluk satu sama lain tanpa menyisakan jarak.
“Aku mencintaimu,” ucap Merry.
Rasanya seperti mimpi. Tapi Haruhiro tahu pasti—ini bukan mimpi.
“Haru… Aku mencintaimu. Jangan lepaskan aku.”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)