Haruhiro adalah sebuah dinding.
Secara metaforis, tentu saja. Apakah ia langit-langit, jendela, tiang, atau dinding? Ia merasa dirinya semacam dinding, tapi jelas bukan dinding yang sesungguhnya. Dinding yang nyata ada di belakang punggungnya saat ini, ketika ia menahan napas.
Berbicara soal dinding itu, sebenarnya itu bukanlah dinding kayu, bukan pula dinding batu, bahkan bukan dinding tanah biasa. Ya, bukan sekadar tanah, itu jelas, tapi kemungkinan terbuat dari material tanah yang diolah. Mungkin mereka menggunakan jenis tanah khusus? Atau mencampurnya dengan sesuatu? Dinding itu tebal ditumbuhi lumut, dan keras sekali. Haruhiro pernah mencoba menusuknya dengan belati, tapi nyaris tak mampu menembus. Bisa dibilang, dinding itu benar-benar keras—setidaknya hampir sekeras batu.
Dinding yang memisahkan Kota Lama Damuro dari Kota Baru itu tingginya hanya sekitar empat hingga lima meter. Namun, berbeda dengan dinding batu yang permukaannya tidak rata dan bisa dipanjat, dinding ini rata dan licin, sehingga mustahil dinaiki begitu saja. Kalau ada tangga atau peralatan lain, mungkin ceritanya berbeda. Tapi tetap saja, di beberapa bagian dinding tampak menonjol ke luar, membentuk semacam pos berjaga dengan lubang-lubang kecil. Sudah jelas itu adalah menara pengawas. Entah sepanjang waktu atau tidak, tapi bisa dipastikan goblin berjaga di dalamnya. Selain itu, ada pula goblin bersenjata yang berpatroli di atas dinding. Jika mencoba memanjat, sudah pasti ia akan langsung ketahuan.
Ada beberapa tempat yang tampak memungkinkan untuk masuk atau keluar.
Haruhiro sendiri sudah menemukan tiga gerbang kayu berbingkai baja yang dipasang pada lubang-lubang di dinding itu.
Namun, di setiap gerbang selalu ada banyak goblin yang berjaga. Jelas sekali mereka bertugas untuk mengawasinya. Jika mereka mencoba masuk lewat gerbang, satu-satunya cara adalah dengan kekerasan. Itu mungkin tidak mustahil, tapi sama saja dengan mengusik sarang lebah. Bukan ide yang bagus.
Rekan-rekannya sedang menunggu di salah satu reruntuhan yang relatif masih utuh di Kota Lama. Haruhiro dan Neal berpisah dari mereka sejak siang untuk mengintai, dan kini matahari sudah hampir tenggelam.
Meski begitu, Haruhiro masih belum juga menemukan cara untuk menyusup ke Kota Baru.
Dengan dinding yang rendah, melarikan diri seharusnya tidak sulit. Tapi masuk tanpa ketahuan? Itu jauh lebih sulit.
Tapi, bukankah sama saja dengan para goblin? Jika mereka keluar dari Kota Baru lalu jatuh derajat menjadi goblin Kota Lama, nyaris tidak ada jalan untuk kembali lagi. Saat masih masa pelatihan, Haruhiro dan para prajurit relawan lain sering menghabisi goblin-goblin itu demi bertahan hidup. Sampai sekarang pun ia masih berusaha berdamai dengan perasaan bersalah yang tersisa.
Meski begitu, untuk saat ini, ia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi ketika malam tiba. Itulah alasan Haruhiro menempel ke dinding, menyatu dengannya, dan menunggu datangnya gelap.
Bahkan ketika ia melakukan itu, goblin-goblin masih berjalan di atas kepalanya, namun ia belum juga ketahuan. Bukan berarti para penjaga itu lengah, hanya saja memang beginilah hasilnya ketika seorang thief bisa menjadi satu dengan dinding.
Akhirnya, matahari pun tenggelam.
Sekitaran itu makin lama makin gelap.
Cahaya mulai merembes keluar dari menara pengawas—mungkin mereka menyalakan api di dalamnya. Goblin-goblin yang berpatroli di atas dinding juga membawa obor, atau sesuatu yang mirip obor.
Haruhiro menjauh dari dinding sejenak, mengamati Kota Baru secara menyeluruh dari sisi Kota Lama. Menara pengawas rata-rata berjarak sekitar tiga puluh hingga empat puluh meter satu sama lain. Jumlah goblin yang berpatroli di atas dinding tidak terlalu banyak, tapi juga tidak bisa dibilang sedikit. Sekilas, terlihat ada satu goblin setiap lima puluh meter. Tidak, bukan satu—melainkan dua goblin per patroli. Itu berbeda dari siang tadi. Apakah setelah gelap mereka meningkatkan penjagaan?
Ia melihat para goblin patroli berhenti, lalu mengarahkan obor mereka ke arah Kota Lama. Mereka tampak lebih serius daripada yang ia perkirakan.
“…Ini merepotkan.”
Jika Haruhiro sendirian, menyusup ke Kota Baru bukanlah hal yang mustahil. Ia hanya perlu menunggu momen ketika tidak ada patroli goblin di dekatnya, lalu dengan cepat memanjat dinding di titik tengah antara dua menara pengawas. Meski begitu, ia mungkin akan membutuhkan alat bantu. Sebuah tangga, atau mungkin semacam pijakan.
Namun, begitu ia berhasil memanjat, alat itu pasti akan tertinggal di Kota Lama. Tangga atau pijakan semacam itu harus dipasang dan kemudian dibongkar lagi. Ia butuh bantuan orang lain. Apa artinya ini bahwa ia tidak bisa melakukannya sendirian?
Haruhiro akhirnya kembali ke reruntuhan tempat rekan-rekannya menunggu. Neal sudah lebih dulu kembali ketika ia tiba. Sisanya duduk melingkar mengitari sebuah lampu berpenutup yang diletakkan di tanah.
“Rencana ini tidak ada harapan,” kata Neal.
Mau tak mau, Haruhiro harus mengakui kebenarannya.
“Aku rasa kita harus menyerah membawa semua orang masuk ke Kota Baru. Kalau pun masuk, sebaiknya hanya beberapa dari kita. Mereka juga akan butuh bantuan. Paling mudah memang dengan tangga, tapi kalau Kuzaku bisa membantu mendorongku, mungkin aku bisa melewati dinding itu.”
“Tidak ada kalau kita masuk,” sahut Hiyomu, mendecakkan lidahnya. “Kita harus masuk. Kita tidak punya pilihan lain. Jadi kita masuk. Kalian masih juga tidak paham? Kalau begitu, bukankah kalian keterlaluan bodohnya?”
Tak ada seorang pun yang menjawab.
Jelas, Haruhiro merasa kesal. Semua orang pasti begitu. Tapi menanggapi setiap ucapan Hiyomu hanya akan melelahkan.
“Jujur saja, kalian ini memang tak bisa diharapkan…”
Hiyomu menggerakkan tangannya ke pinggul sambil menggerutu. Haruhiro dan yang lain masing-masing membawa tas selempang berisi ransum kering, kantung air, dan perlengkapan lain. Sementara Hiyomu hanya membawa bawaan yang sangat ringan—hanya sebuah kantong kecil yang diikatkan di pinggulnya.
Dari kantong kecil di pinggulnya, Hiyomu mengeluarkan selembar kertas yang terlipat, lalu membentangkannya di dekat lampu.
“Peta?” bisik Setora.
“Bukankah itu jelas?” Hiyomu melotot padanya. Mungkin bukan karena sifatnya tiba-tiba jadi lebih buruk, tapi lebih karena ia sedang jengkel. Merry mencondongkan badan untuk melihat peta itu.
“Ini… Kota Baru?” tanyanya pelan.
“Hm.” Kuzaku menyipitkan mata sambil memiringkan kepalanya. “Itu sulit dilihat.”
“Kalau begitu jangan lihat. Kau mengganggu sekali, dasar bebal.” Hiyomu menghela napas panjang. “Dengar baik-baik. Ini adalah satu-satunya peta Kota Baru Damuro yang masih ada, paham? Cobalah sedikit bersyukur. Meski tubuhmu besar, nyatanya kau bahkan tidak bisa menggunakannya dengan benar. Dasar mesum dengan masalah ejakulasi dini.”
“Itu… agak berlebihan, tidak sih?”
“Kalau tak mau dihina, tutup mulutmu.”
“Baik, aku diam sekarang.”
“Tolong lakukan.”
“Kau benar-benar bikin kesal, tahu?”
“Bukankah kau tadi bilang mau diam?”
“Sekarang aku diam!”
Kalian ini anak-anak ya?
Haruhiro menunduk menatap peta itu. Memang benar, itu sulit sekali dilihat atau bahkan dibaca. Kertasnya sudah tua dan rapuh, garis-garis serta tulisannya pun memudar. Lebih parah lagi, skalanya tidak konsisten. Terlihat ada banyak penyederhanaan, bahkan beberapa bagian jelas terdistorsi. Ia menduga peta itu tidak terlalu akurat, melainkan hanya berfokus pada posisi relatif dari titik-titik penting.
“Mungkin… sekitar dua puluh tahun yang lalu?” gumam Hiyomu.
“Dua puluh tahun…” bisik Merry pelan.
Hiyomu mengabaikannya dan terus berbicara.
“Dulu ada sebuah party hebat yang merencanakan penaklukan Kota Baru Damuro. Seperti yang kalian tahu, Kota Lama adalah tempat perburuan goblin ramah-pemula. Tapi Kota Baru… itu wilayah perawan bagi para prajurit relawan. Kalau ada sebuah perbatasan yang begitu menjanjikan tepat di dekat tempat tinggalmu, akan sangat pengecut sekaligus tak berperasaan bila kau tidak pernah sekalipun mencoba menantangnya. Jadi… party luar biasa itu berhasil menyusup ke Kota Baru dengan brilian, dan mereka membuat peta ini.”
Haruhiro melirik ke arah Hiyomu, sedikit mendongakkan matanya. Hiyomu tengah menatap peta itu dalam-dalam. Ia tampak sangat memperhatikan lipatan-lipatannya, jari-jarinya berulang kali menelusuri bekas garis yang ada.
“Jelas, banyak hal sudah berubah sejak saat itu. Bagaimanapun, sudah dua puluh tahun berlalu. Waktu yang tidak sebentar. Party hebat itu mendirikan lima markas di dalam Kota Baru, lalu berpindah dari satu ke lainnya sambil menjelajah. Tapi…”
Jari telunjuk Hiyomu bergerak di atas peta, menunjuk pada sebuah tanda bintang. Ada empat bintang lain, lima semuanya.
“Siapa yang tahu? Mungkin kita beruntung kalau masih ada satu saja yang tersisa.”
Setora menunjuk gambar mirip gunung di bagian tengah peta.
“Apa ini?”
Hiyomu menoleh sekilas padanya.
“Ahsvasin. Kalau diterjemahkan ke bahasa manusia, artinya ‘Langit Tertinggi.’ Di Langit Tertinggi itulah Mogado berada. Mogado, untuk diketahui, adalah sebutan goblin bagi raja mereka. Jadi, singkatnya, Langit Tertinggi itu adalah kastil.”
“Begitu, ya.” Setora menepuk sebuah area di bagian kiri bawah peta yang sudah menghitam, seolah tertutup noda. “Kalau begitu, apa ini?”
“Ohdongo.”
Saat Hiyomu menjawab, Kuzaku memiringkan kepala. “…Oh, don’t go?”
Haruhiro menepuk keningnya dan menghela napas. “Ayolah, serius…”
“Bukan, aku sebenarnya tahu, oke? Aku tahu itu bukan artinya. Tapi kedengarannya memang begitu, kan.”
“Bahasa goblin memang kasar, penuh suara serak dari tenggorokan,” ujar Hiyomu sambil mengernyit, lalu mendengus pendek. “Ohdongo. Artinya ‘Lembah Terdalam.’ Tempat itu katanya dihuni para ugoth. Ugoth itu, yah… bisa dibilang semacam tetua bijak? Goblin-goblin intelektual.”
Tak perlu dijelaskan lagi, manusia dan goblin memang berbeda. Sama-sama berjalan dengan dua kaki. Sama-sama memiliki tangan yang cekatan, bisa menggunakan alat. Sama-sama makhluk sosial. Namun, meski ada kesamaan itu, mereka tetaplah dua ras yang benar-benar berbeda.
Dan goblin masih berada beberapa tingkat di bawah manusia. Bukan hanya Haruhiro yang melihat mereka seperti itu—pasti kebanyakan manusia pun begitu. Bahkan Hiyomu sendiri menyebut bahasa mereka vulgar. Manusia, tanpa perlu dipikirkan lagi, secara naluriah merendahkan goblin.
“Sekarang, kalian pasti tidak tahu ini. Bahkan prajurit relawan seperti Soma pun tidak tahu. Para ugoth bisa berbicara dalam bahasa manusia.”
Mata Haruhiro membelalak.
“…Bahasa manusia?”
“Tepat sekali.” Hiyomu tertawa mengejek, melirik ke arahnya. “Ayo, coba pikir baik-baik. Saat sisa-sisa Kerajaan Arabakia melarikan diri ke selatan Pegunungan Tenryu dan Damuro jatuh menjadi wilayah goblin, itu kira-kira seratus empat puluh tahun yang lalu. Lalu, No-Life King mati—meski katanya tak bisa mati, atau apa pun itu yang terjadi—sekitar seratus… yah, mungkin seratus lima tahun lalu. Sejak saat itu, Kerajaan Arabakia mulai berusaha bangkit kembali.”
“Mereka membangun Altana…” gumam Merry pelan. Setora mengerutkan kening sambil menggaruk leher Kiichi.
“Bagaimana caranya? Damuro hanya sepelemparan batu dari Altana. Bukankah goblin pasti menganggap manusia dari Kerajaan Arabakia sebagai musuh?”
Kuzaku menyilangkan tangan dan menggeram pelan.
“Harusnya mereka menghalangi, kan? Tak mungkin membangun kalau tidak menyingkirkan goblin dulu.”
“Hah!” Hiyomu tertawa mengejek. “Itu pemikiran khas orang berkepala otot.”
“Ya, aku tahu aku memang cuma orang kepala otot…” Kuzaku merunduk lesu.
Jangan diterima begitu saja, pikir Haruhiro, tapi ia menyingkirkannya untuk fokus pada masalah Altana.
“…Ugoth. Ada goblin yang bisa bicara bahasa manusia. Manusia membangun Altana tanpa diganggu… Jadi mereka menghindari pertempuran? Karena manusia dan goblin membuat kesepakatan…?”
“Mereka pasti mendapat keuntungan,” kata Setora lirih. “Kalau goblin mendapatkan sesuatu dari tidak menyerang manusia, asumsi paling logis adalah manusia memberi mereka sesuatu sebagai imbalan.”
“Ini tidak akan ada ujungnya kalau kalian semua tetap bodoh. Biar aku bantu.” Hiyomu menyeringai ke arah Setora, lalu menyelipkan tangannya ke dalam kantong di pinggulnya.
“Huh…?!”
Mata Kuzaku terbelalak. Haruhiro pun terkejut.
Ia langsung mengenali pisau yang ditarik Hiyomu dari kantong itu. Pisau itu. Pisau milik pemimpin goblin yang pernah menguasai Altana—Wakil Raja (Viceroy) Bogg. Seluruhnya terbuat dari logam merah. Pisau merah Bogg itulah yang dengan mudah menggorok leher Dylan Stone, komandan pasukan penyerbu.
Namun, meski Hiyomu menyebutnya pisau, bilah itu lebarnya hampir tiga sentimeter, dengan pelindung tangan yang kokoh. Kalau dihitung bersama gagangnya, panjangnya pasti sekitar empat puluh lima sentimeter.
Apa bisa muat? Pisau sebesar itu? Di dalam kantong di pinggang Hiyomu? Haruhiro bertanya-tanya. Mungkin masih memungkinkan untuk diselipkan. Tapi tetap sulit membayangkan pisau itu bisa masuk dengan nyaman.
“Kantong itu…” tanya Merry dengan raut hati-hati. Hiyomu menepuk kantong itu dengan ekspresi seolah baru tersadar.
“Ahh, jelas saja. Ini juga relik dari guruku. Kapasitas penyimpanannya yang konyol ini benar-benar praktis. Iri, ya? Sayang sekali, aku tidak akan memberikannya, meminjamkannya, bahkan menyuruhmu menyentuhnya sebentar pun tidak. Mengerti? Sentuh saja, kau benar-benar mampus.”
“Relik memang luar biasa, ya…?” Kuzaku tampak benar-benar terkesan. Dia memang orang yang polos.
“Luar biasa sampai-sampai bikin ngakak,” ucap Hiyomu dengan nada penuh percaya diri seperti biasa. “Tapi biar jelas, pisau ini bukan relik, oke?”
“Hanya terbuat dari logam langka, begitu?” tanya Setora.
Hiyomu mengayunkan pisaunya sambil mengangguk.
“Sepertinya begitu. Dulu, di Kerajaan Arabakia, mereka menyebutnya hi’irogane. Aku juga tidak tahu campurannya apa, tapi kalau melebur beberapa logam yang ditambang dari Pegunungan Tenryu, bisa tercipta paduan merah seperti ini.”
“Memang cantik, sih,” ujar Kuzaku sambil mengangguk. “Benar-benar mencolok. Jadi, Kerajaan Arabakia membuat ini… apa tadi? Hilir kare?”
“Hi’irogane.”
Saat Haruhiro membenarkan ucapannya, Kuzaku menggaruk kepalanya.
“Benar, benar. Hi’irogane, hi’irogane. Itu apa ya? Warna api? Jadi, logam berwarna merah menyala itu namanya hi’irogane?”
“Kerajaan Arabakia…” Mata Setora sedikit menyipit. “Memberikan itu pada goblin?”
“Ada teori lain,” Hiyomu memutar pisaunya sambil bermain-main dengannya, tampak sama sekali tak berbahaya di tangannya yang sudah terbiasa. “Bahwa logam itu sebenarnya memang sudah tersembunyi di Damuro sejak lama. Bisa jadi mereka hanya memberitahu para goblin di mana letaknya. Tapi, apa pun caranya, hi’irogane yang langka dan sangat berharga—yang hanya bisa ditemukan di Damuro—akhirnya jatuh seluruhnya ke tangan para goblin.”
“Hmm…”
Ekspresi Kuzaku seolah berkata, ‘Terus?’ Hiyomu langsung mengejeknya dengan nada sinis.
“Kalian ini, dengan imajinasi kalian yang payah, mungkin tidak bisa memahaminya. Tapi bagi para goblin, ini masalah yang luar biasa besar. Mereka itu ras yang dianggap rendah. Dan biar jelas, itu bukan pendapat pribadiku. Banyak ras lain—bukan hanya manusia—yang memandang rendah goblin. Para elf, dwarf, bahkan orc dan kobold sekalipun, menganggap goblin tak lebih dari sekadar hewan. Meski sampai sekarang pun mungkin pandangan itu tidak banyak berubah. Maksudku, mereka hanya sedikit lebih baik daripada monyet. Oh, tapi kulit goblin halus, jadi aneh karena mereka lebih tidak berbulu, ya? Yah, itu cuma perumpamaan saja.”
Fakta bahwa para goblin berhasil memonopoli hi’irogane yang jumlahnya terbatas dan amat berharga, jelas jauh lebih penting bagi mereka dibandingkan apa yang sempat diperkirakan Haruhiro.
Kuzaku mengepalkan tangan lalu menghantamkan kepalan itu ke telapak tangannya.
“Oh, aku mengerti! Jadi itu alasannya hanya para goblin penting yang memakai senjata dan baju besi dari hi’irogane. Semacam simbol kekuasaan? Atau sesuatu semacam itu…?”
“Pintar sekali.” Senyum lebar Hiyomu malah terlihat menyeramkan. “Mau aku elus kepalamu?”
“Uh, tidak, terima kasih…”
“Kalau kau bilang begitu, justru aku makin ingin mengelusmu. Nuffuhuhuhu.”
“Oke deh, coba saja kalau bisa.”
“Okeee.” Hiyomu mengulurkan tangan dan mengusap kepala Kuzaku. “Elus, elus, elus, elus.”
“Sudahlah, hentikan!”
Begitu Kuzaku menepis tangannya, Hiyomu hanya menyeringai. Sampai di titik ini jelas sekali: kepribadiannya busuk sampai menakutkan.
“Begitu ya, masuk akal.” Yang menyeramkan juga, Setora tetap bisa setenang itu.
“Jadi, kartu yang kita pegang dalam negosiasi adalah hi’irogane? Kita kembalikan peralatan hi’irogane yang kita rebut dari goblin di Altana. Sebagai gantinya, mereka mau bekerja sama dengan kita. Tapi bukankah itu tawaran yang agak lemah?”
Hiyomu menepuk dadanya dengan satu tangan.
“Yang urus negosiasi itu aku. Kalian nggak perlu mikirin. Kalian cukup lakukan bagian kalian, itu sudah cukup. Tujuan kita adalah menyusup ke Kota Baru. Lalu, mencari cara untuk berhubungan dengan seorang ugoth yang bisa diajak bicara.”
Haruhiro menunjuk bagian peta yang tertutup tinta hitam.
“Ohdongo. Lembah Terdalam… Apa hanya di sana ada para ugoth?”
Hiyomu menggeleng.
“Di Ahsvasin juga ada. Mereka tampaknya jadi penasihat bagi para Mogado.”
Merry menundukkan pandangannya.
“Kita tak punya pilihan lain selain mencari jalan masuk ke salah satu dari dua tempat itu…”
Kuzaku menggerutu sambil memiringkan kepalanya.
“Kenapa kita nggak langsung masuk aja, sambil melambai-lambaikan pisau hi’irogane itu? Bahkan goblin paling rendah pun tahu apa itu, kan? Pasti mereka bakal kayak, ‘Wah, manusia itu bawa hi’irogane! Cepat panggil orang penting—eh, maksudku, gob penting!’?”
“Kalau tanya Hiyo…”
Hiyomu kini mulai menyebut dirinya dengan nama Hiyo. Bukannya dia Hiyomu? Apa itu penting?
“Aku lebih yakin mereka bakal teriak, ‘Itu hi’irogane! Rebut! Seraaaaang!’ gitu.” Ia menarik nada panjang. “Kamu harus ingat, apa pun yang kita katakan, mereka nggak bakal paham. Gob itu musuh kita. Kalau ketemu selain ugoth, artinya pertarungan hidup-mati. Itu yang harus kita anggap.”
“Makanya dari awal ini gila. Bikin aliansi sama gob…” gumam Kuzaku.
Hiyo melotot ke arahnya. Bibirnya sempat terbuka, seakan mau bicara, tapi akhirnya hanya mengeluarkan dengusan kesal.
Hiyo jelas tidak optimis dengan semua ini. Mungkin itu maksud tatapannya. Atau mungkin juga, tuannya—penguasa Menara Terlarang—hanya bergerak karena terpaksa.
“Gila atau apa pun itu, tetap harus kita jalani.” Hiyo terus menggigit dan menjilat bibirnya sendiri. “Master memberi perintah dengan keyakinan kalau Hiyo bisa melakukannya. Bukan, ‘Kalau gagal juga nggak apa-apa.’ Ada peluang untuk berhasil. Peluang besar. Intinya, kita cuma perlu bertemu dengan seorang ugoth… Kalau kita semua nggak bisa masuk ke Kota Baru, maka…”
Dia tidak punya pilihan. Begitu pula dengan Haruhiro. Hampir bisa dipastikan bahwa Jenderal Jin Mogis sedang menahan Shihoru. Jika kelompok mereka tidak menunjukkan hasil, sang jenderal mungkin akan menyakitinya.
“…Aku bisa masuk ke Kota Baru. Kalau Kuzaku membantu, mungkin aku bahkan tidak butuh peralatan.”
“Bukan berarti mustahil kalau aku ikut juga,” ujar Neal, yang sejak tadi diam, meski nada suaranya terdengar tidak bersemangat.
“Kalau aku jelas mustahil,” kata Setora. “Tapi aku yakin Kiichi bisa. Seekor nyaa mungkin lebih berguna daripada manusia.”
Haruhiro menatap Hiyo. Hiyo membalas tatapan itu dengan sorot tajam, seakan berkata, Apa? Mau cari mati, hah, bocah?
“…Itu bisa juga. Hiyo ikut. Aku kan pernah jadi thief sebelumnya.”
“Oh… Kamu pernah?”
“Aku mulai sebagai paladin, sempat jadi thief sebentar, lalu berakhir sebagai warrior. Kenapa?”
“Paladin…” gumam Merry. Rahang Kuzaku ternganga.
“…Warrior? Serius?”
“It-Itu semua sudah lewat di masa lalu,” Hiyo merona. Entah apa yang membuatnya malu. “Sekarang ini aku cuma seorang kecantikan luar biasa, seperti yang kalian lihat. Tapi dulu, aku memang pernah jadi semua itu. Dan aku benci. Hiyo yang jadi paladin, thief, sekaligus warrior? Tidak lucu…”
Mungkin Hiyo memang sudah banyak mengalami hal, tapi Haruhiro tidak peduli. Rasa penasarannya terhalang oleh kebencian mendalam terhadap gadis itu.
“Jadi, peta ini kau buat dua puluh tahun lalu, kan?”
Ketika Haruhiro bertanya, ekspresi menyeramkan melintas di wajah Hiyo.
“Hiyo tidak pernah bilang satu kata pun soal membuatnya, kan?”
“…Yah, itu bukan hal penting juga sih.”
“Dan lagi, kalau mulai sekarang kau tidak memanggilku Hiyo, aku jamin kau bakal menyesal.”
“Baiklah… Hiyo.”
“Ada apa, Haru-kun?”
Haruhiro memejamkan mata, menarik napas panjang. Ia masih kesal, tapi sedikit lebih tenang. Sebenarnya itu bukan hal yang pantas membuatnya marah. Saat dipikirkan dengan kepala dingin, ia menyadari itu. Namun, rasa jengkel itu tetap ada.
Hiyo benar-benar jenius dalam hal mengusik orang. Meski Haruhiro sudah sangat berhati-hati, ia tetap kesulitan menghadapi gadis itu.
“…Apa ini pengalaman karena umur, ya?” gumamnya pelan. Hiyo langsung melotot padanya.
“Kau baruuu saja bilang sesuatu, ya?”
“Entahlah. Kayaknya sih tidak. Kau dengar sesuatu? Jangan-jangan cuma perasaanmu saja?”
“Hmph!” Hiyo mendengus lalu menoleh ke samping.
Sekilas, Hiyo tampak seperti gadis belasan tahun, mungkin pertengahan sampai akhir remaja. Tapi itu hanya sekilas. Dari bentuk tubuhnya, pakaiannya, dan gaya rambutnya, mungkin orang akan mengira usianya segitu. Namun, bila diperhatikan lebih saksama, jelas ia lebih tua. Haruhiro teringat kata-kata Barbara-sensei tentang Hiyo—perempuan yang suka bertingkah lebih muda dari umurnya. Tidak mungkin ia masih remaja. Ia terlihat seperti wanita berusia dua puluhan. Bukan awal, tapi pertengahan. Mungkin bahkan akhir. Kalau mata jeli meneliti lebih jauh, bisa jadi ia bahkan lebih tua dari itu.
Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa dirinya “berusia tak tentu.” Bentuk wajahnya, cara ia memakai riasan, pakaiannya, posturnya, intonasi suaranya, pilihan katanya, gerak-geriknya—tak satu pun benar-benar selaras. Seolah-olah semuanya tidak menyatu dalam sosok yang disebut Hiyo. Itu tidak alami. Bukankah ia hanya berusaha keras untuk terlihat seperti ini? Seakan sedang memainkan peran sebagai seseorang bernama Hiyo. Kalau begitu, kenapa?
Haruhiro tidak tahu. Namun bukankah ia seharusnya mencari tahu lebih banyak tentang Hiyo, meski sebenarnya ia sendiri enggan?
Hiyo bukanlah teman mereka. Jujur saja, bahkan sah-sah saja menyebutnya sebagai musuh.
Tanpa memahami lawannya secara menyeluruh, mustahil ia bisa mendapatkan keuntungan. Ya. Ini adalah sebuah pertarungan. Tapi pertarungan macam apa? Haruhiro sendiri pun tidak yakin.
Ia tak bisa membiarkan segalanya tetap seperti ini. Jika ia tidak bersungguh-sungguh, tidak mencurahkan seluruh kemampuannya, maka Hiyo, Sang Penguasa Menara Terlarang, bersama Jenderal Jin Mogis akan memanfaatkannya, lalu membuangnya begitu saja.
“Kalau peta ini sudah berusia dua puluh tahun, kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkannya. Jadi, aku pikir langkah awalnya, aku, Kiichi, Neal, dan Hiyo masuk ke Kota Baru, lalu memastikan keberadaan Ohdongo dan Ahsvasin, sekaligus memverifikasi sejauh mana kondisi saat ini berbeda dengan yang ada di peta. Semoga saja salah satu dari markas itu masih ada. Kita periksa itu juga.”
“Kelihatannya untuk sekarang kita harus menunggu di sini dulu…” Kuzaku mengerutkan kening, wajahnya penuh rasa gusar. Ia tampak benar-benar kecewa.
“Tidak ada celah yang bisa kita gunakan?” tanya Neal pada Hiyo.
“Kurasa tidak. Keamanan di sekitar Kota Baru dulu tidak seketat sekarang…” gumam Hiyo pada dirinya sendiri, lalu mendadak panik. “T-t-tapi bukan berarti Hiyo tahu soal itu! Bukan soal dua puluh tahun lalu! Sama sekali tidak! A-a-aku cuma dengar dari rumor! Rumor, oke?!”
“Huh?!” Kuzaku menutup mulut dengan kedua tangannya. “Tunggu, party hebat yang membuat peta ini dua puluh tahun lalu… itu punyamu?! Sebenarnya umurmu berapa sih?!”
“…Apa kau bisa lebih lamban lagi dalam menyadarinya?”
Setora sama sekali tidak berusaha menyembunyikan rasa jijik dalam tatapan yang ia tujukan pada Kuzaku. Tatapan Merry pun sama dinginnya.
“Kurasa kau sebaiknya tidak menanyakan umur seorang perempuan…”
“Tidak, tapi serius, bukankah ini memang misteri? Huh? Cuma aku saja yang penasaran? Nggak mungkin…”
Mendadak Hiyo menghujamkan pisaunya ke peta.
“Kau benar-benar ingin tahu seburuk itu?”
Ia tersenyum.
Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Bibirnya memang terangkat, bahkan mungkin terlalu lebar, tapi sama sekali tidak terlihat seperti senyuman.
“Akan kuberitahu. Aku enam belas tahun. Kecantikan takkan pernah menua. Hiyo selamanya enam belas. Mengerti?”
Kuzaku mengangguk pelan.
“…Iya.”
Menyeramkan.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)