Kemungkinan besar Kimura tidak tahu apa-apa tentang sang Penguasa Menara Terlarang sampai Haruhiro memberitahunya.
Tentu saja, Haruhiro sendiri juga belum pernah bertemu langsung dengan penguasa itu. Semua hanya berdasarkan ucapan Shinohara. Hiyomu punya seorang tuan yang ia layani, dan orang itu—atau apapun ia sebenarnya—diduga telah mencuri ingatan Haruhiro dan yang lainnya. Dari tindakan-tindakan Hiyomu, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa tuannya berada di Menara Terlarang. Dengan kata lain, penguasa Menara Terlarang dan tuan yang dilayani Hiyomu mungkin saja adalah orang—atau entitas—yang sama.
Seandainya Renji ada di sini, Haruhiro bisa saja membicarakan ini dengannya. Namun karena mereka berada di kelompok terpisah, Haruhiro memutuskan untuk menjelaskan sejauh ini kepada Kimura.
“…Begitu, ya. Jika memang ada konspirasi di balik semua ini, meski berat untuk kuakui, aku tidak bisa menutup kemungkinan bahwa Shinohara-kun terlibat. Terus terang, aku sempat meragukan keputusan Orion untuk bergabung dengan Pasukan Perbatasan. Shinohara-kun mengambil keputusan itu tanpa berkonsultasi dengan siapa pun… Bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, tapi kali ini taruhannya jauh lebih besar daripada sebelumnya.”
Menurut Kimura, tidak akan mengejutkan jika ternyata Shinohara memang menjalin kontak dengan Komandan Jin Mogis dari Pasukan Perbatasan.
Jika situasi menuntutnya, Shinohara bisa saja menjabat tangan musuh sambil tersenyum. Bukan berarti ia berteman dengan semua orang, melainkan karena ia tidak pernah membiarkan perasaan pribadi menghalangi apa yang harus ia lakukan. Ia tersenyum karena itu umumnya lebih baik daripada memasang wajah masam. Lagi pula, apa gunanya berjalan dengan wajah sekeras batu?
Shinohara adalah orang yang sangat pragmatis. Dan justru itulah, menurut Kimura, yang membuatnya begitu bisa dipercaya.
“Tidak semua orang mampu mempertahankan cinta yang tak tergoyahkan seperti diriku. Hati manusia itu labil. Shinohara-kun adalah orang yang bergerak berdasarkan logika, dan rasa tanggung jawab adalah bagian dari logika itu.”
Bahkan Kimura, sahabat dekat sekaligus orang kepercayaan Shinohara, tidak hanya melihatnya sebagai orang baik. Shinohara bisa bersikap baik bila situasi menuntutnya demikian. Ia adalah tipe pria yang dapat bertindak penuh kebaikan dan kemurahan hati sejauh yang ia perlukan.
“Bagaimanapun juga, aku khawatir pada Shinohara-kun. Jika ada hal yang ia sembunyikan dariku sekalipun, aku yakin ia pasti punya alasan kuat. Mungkin, untuk menipu musuh-musuhnya, ia harus lebih dulu menipu teman-temannya. Tapi tidak baik kalau sampai membuatmu mencurigainya, Tuan Haruhiro. Itu hal yang tidak bisa begitu saja kuabaikan.”
Kimura sependapat bahwa mereka perlu menyelidiki niat sebenarnya Shinohara. Namun, ia akan selalu menjadi teman dan rekan seperjuangan Shinohara. Jika ia dihadapkan pada pilihan untuk berpihak pada Shinohara atau pada Haruhiro dan Renji, tak diragukan lagi ia akan memilih Shinohara.
Karenanya, lebih baik jangan menganggap Kimura sebagai sekutu. Tapi jika memang Shinohara terlibat dalam sebuah konspirasi dan Kimura merasa ia harus mengembalikan Shinohara ke jalan yang benar, maka ada kemungkinan ia tetap akan berpihak pada mereka. Itu berarti mereka masih bisa bekerja sama. Masih ada ruang untuk berkooperasi.
Pintu keluar berada di belakang kapel. Haruhiro menekan cekungan di pintu itu, dan pintu segera mulai melipat ke dalam, tanda bahwa kunci sinkronisasi berhasil dibuka. Sepertinya kelompok Tokkis sudah lebih dulu melewati dapur dan mencapai pintu mereka sebelum Haruhiro dan rombongannya.
“Berikutnya halaman dalam, ya?” ujar dread knight bertopeng sambil mendengus, dan kacamata Kimura berkilat.
“Ya, betul sekali.”
“Baiklah, ayo kita lakukan ini!” seru Kuzaku riang.
Haruhiro berhenti sejenak, menarik napas. “Ayo lanjutkan.”
Berbeda dengan kapel, koridor itu gelap tanpa penerangan, meski ada cahaya samar dari depan. Tak lama kemudian, mereka melihat bahwa halaman dalam begitu terang hingga membuat mereka bertanya-tanya apakah mereka benar-benar berada di bawah tanah, atau justru di luar ruangan. Langit-langitnya sangat tinggi, bahkan ada lantai dua berbentuk huruf U yang tidak menutupi seluruh area.
Apa yang terjadi dengan langit-langit itu? Ada cahaya putih samar terpancar darinya. Walau tak seterang langit biru cerah, cahayanya hampir setara dengan siang berawan.
“Oh?! Hei, hei! Itu Haruhiro dan kawan-kawan! Aku di sini! Aku datang! Dan bukan cuma aku, semua Tokkis ada di sini! Yay!”
Sekitar sepuluh meter dari pintu masuk halaman dalam, Kikkawa melambai pada mereka, berdiri di samping Mimori. Entah apa maksud Mimori mengangkat kedua tangannya begitu tinggi, Haruhiro sendiri tidak begitu mengerti, tapi jelas tatapan gadis itu tertuju padanya.
“Aku tidak khawatir sih, tapi bagus juga melihat kalian sampai dengan selamat!” Tokimune memberi acungan jempol. Anna-san membusungkan dada, tampak lebih besar kepala daripada biasanya.
“Kelihatannya kalian tai cacing berhasil juga, ya!”
“Terima kasih!”
“Ayolah, Kuzaku! Jangan bilang terima kasih kalau dia manggil kita tai cacing, dasar bego!”
“…Aku lebih kesal dipanggil ‘bego’ sama kamu, Ranta-kun, daripada dipanggil ‘tai cacing’ olehnya. Dia tidak bermaksud jahat kok.”
“Dan maksudmu aku jahat kalau ngomong begitu?!”
“Huh? Ya jelas lah.”
“Oke, kamu benar, itu memang tidak bisa kupungkiri.”
“Heh…” Entah sejak kapan Inui sudah berdiri di belakang Setora lagi, yang kali ini menodongkan tombak ke arah lehernya.
“…Kamu memang tak bisa diperbaiki.” Setora tampak benar-benar lelah menghadapi tingkahnya. Bagaimana tidak?
“Kalau tiba saatnya aku belajar dari kesalahanku…!” Mata Inui yang tidak tertutup penutup mata melebar, merah penuh pembuluh darah dengan menyeramkan. “Itu hanya akan terjadi setelah segelku pecah, aku terbangun sebagai raja iblis, terbunuh, lalu bereinkarnasi lagi sebagai raja iblis, dan bahkan saat itu pun aku tidak akan berubah!”
“…Jadi intinya kamu nggak akan berubah, ya?” gumam Yume. Seketika kacamata Kimura berkilat.
“Bo-hweh! Aku hormati itu!”
Merry dan Haruhiro sama-sama menghela napas panjang. Begitu menyadarinya, mereka saling pandang dan bertukar tatap penuh minta maaf. Tidak ada yang perlu minta maaf sebenarnya, itu hanya rasa malu karena kebetulan melakukan hal yang sama. Namun momen itu buyar saat terdengar dentuman keras. Mereka menoleh, dan melihat Tada sudah menghantamkan palu perangnya yang ia banggakan ke lantai.
“Kalian sudah cukup beristirahat. Saatnya bergerak.”
“Tada benar!” Tokimune tersenyum lebar, mengangkat perisainya, lalu mencabut pedang panjangnya dengan gaya khasnya. Kikkawa menghentakkan pedangnya ke perisai. Mimorin pun menghunus pedang panjangnya dengan kedua tangan.
Sementara itu, Anna-san tidak melakukan apa-apa secara khusus, hanya membusungkan dada dan menegakkan kepala seperti biasanya. Di belakangnya, terpancar aura jahat dari Inui. Sejak kapan dia berpindah dari belakang Setora? Inui sudah berganti peran dari thief, menjadi warrior, lalu hunter—jelas ada lebih banyak hal dalam dirinya selain sekadar seorang gila.
“Fuh.” Kuzaku mengembuskan napas, menggenggam gagang katana besarnya. Ia menyesuaikan pegangan tangannya. “Jadi ini, ya? Musuh untuk tahap ini.”
Musuhnya sudah jelas sejak awal, bahkan tak butuh penjelasan. Begitu mereka memasuki area, itu langsung terlihat.
Sosok itu punya dua tangan, dua kaki, dan sebuah kepala yang menempel pada tubuhnya. Bentuknya memang menyerupai manusia, tapi ukurannya jauh lebih besar daripada manusia mana pun. Sulit dipastikan seberapa besar karena ia sedang berjongkok, tapi bila berdiri tegak, tingginya kemungkinan lebih dari lima meter. Halaman dalam itu memiliki dua lantai, dan dalam posisi setengah membungkuk pun kepalanya sudah mencapai lantai dua.
“Di Orion, kami menyebut itu golem,” ujar Kimura, kacamatanya berkilat. “Ukurannya bervariasi, tapi yang ini termasuk besar. Anggap saja bongkahan batu humanoid raksasa yang bisa bergerak. Sangat keras. Kami pernah mengalahkan mereka dengan menghancurkan kepala mereka.”
“Kepalanya, ya? Mengerti.” Kuzaku mengangguk. “Tapi, uh, itu lebih mirip tonjolan bulat daripada kepala…”
“Meow! Itu barusan berkedip!” seru Yume. Ia benar. Di tengah ‘kepala’ golem itu, sebuah cahaya merah menyala.
“Itu akan bergerak.” Ranta merendahkan tubuhnya, bersiap siaga.
Golem itu bergetar ketika mulai bangkit.
“Delm, hel, en, balk, zel, arve…!” Mimorin menggambar simbol-simbol elemental dengan ujung pedang panjangnya, melancarkan Blast. Bukan hanya satu tembakan, tapi dua sekaligus. Ledakan itu menyelimuti kepala golem dengan asap, namun sosok raksasa itu tetap bergerak. Tubuh bagian atasnya terangkat, lutut yang semula tertekuk kini mulai lurus. Ia hampir berdiri tegak.
“Itu nggak mempan, ya?!” teriak Anna-san. Faktanya, meski sedikit hangus, kepala golem tidak retak sama sekali, apalagi pecah. Cahaya merah yang menyerupai mata itu pun masih menyala.
“Ngomong-ngomong, Haruhiro, kita pernah ngalamin yang kayak gini sebelumnya kan?!” Tokimune berseri-seri, seolah sedang bersenang-senang. Aneh. Kalau Ranta yang bersikap begitu, Haruhiro pasti sudah kesal setengah mati. Tapi entah kenapa, ia tidak merasakan hal yang sama pada Tokimune. Apa karena pria itu memang lebih mudah disukai?
“Kalau pun pernah, aku sama sekali nggak ingat.”
“Oh, gitu ya? Oke, barisan depan, berpencar!” seru Tokimune lantang sebelum langsung berlari. Tada, Kikkawa, dan Mimorin ikut bergerak bersamanya. Walau secara teknis Mimorin seorang mage, ternyata ia tetap dihitung sebagai barisan depan, ya? Inui entah sudah menghilang ke mana.
“Haruhiro?!” Ranta mendesaknya untuk bergerak, dan ia tak bisa menahan diri untuk tidak berpikir, Oh, diamlah. Aku tahu. Apa mereka memang pasangan yang buruk? Atau hanya karena kepribadian Ranta yang busuk? Atau Ranta memang sepenuhnya menyebalkan? Mungkin semuanya benar.
“Kita ikuti perintah Tokimune-san! Kuzaku, Ranta, Yume, maju ke barisan depan!”
“Siap!”
“Ayo kita hajar!”
“Hee-hee!”
“Merry, tetap bersama Anna-san dan bersiap untuk apa pun! Kimura-san, kamu juga! Setora, aku mengandalkanmu untuk melindungi mereka!”
“Baik!”
“Serahkan padaku.”
“Dimengerti.”
Kini golem itu sudah berdiri tegak sepenuhnya, namun Tokimune, Tada, Kikkawa, dan Mimorin, bersama Kuzaku, Ranta, dan Yume langsung mengitarinya dalam sekejap. Sementara itu Anna-san, Kimura, Merry, dan Setora menjaga jarak. Mereka akan tetap aman selama golem itu tidak mulai menembakkan proyektil.
Tapi… ke mana perginya Inui? Apa itu penting sekarang? Haruhiro memutuskan untuk melupakannya dulu.
“Somersault Bomb…!” Tada melancarkan serangan pembuka. Ia berlari, lalu melompat dengan salto ke depan, menghantam golem. Palu perangnya mengenai lutut kanan raksasa batu itu. Namun, golem itu sama sekali tidak bereaksi. Sebaliknya, ia mengayunkan lengannya yang besar untuk menepis Tada.
“Serang di titik terfokus sambil menahannya di tempat!” Tokimune menerjang golem, menghantam kaki kiri si golem dengan pedang panjang dan perisai. Golem itu berbalik, mencoba membalas dengan sapuan lengannya, memaksa Tokimune mundur cepat.
“Hahhhhh…!” Kuzaku maju berikutnya, seolah hendak menebas dengan katana besarnya, tapi justru menendang tulang kering golem. Raksasa itu segera mencoba memutar tubuhnya untuk menghadapi Kuzaku.
“Dan meooow!” Yume langsung melompat, menusukkan belati besarnya ke pantat golem.
“Fuh…!” Mimorin menyayat paha golem dengan kedua pedang panjangnya.
“Heh, heh, heh! Golem-chan! Aku di siniii!” Kikkawa berteriak sambil memukul-mukul perisainya dengan pedang. Apa maksudnya dia melakukan itu?
“Hunnghh!” Saat Kikkawa berulah konyol, Ranta sudah lebih dulu berlari menaiki tubuh golem. Dalam sekejap, ia sampai di bagian kepala.
“Personal Skill, High-Tide Waterfall Climbing! Ga ha ha!”
Apa sebenarnya yang dipikirkannya?
Namun, berada di atas kepala golem jelas menarik perhatiannya. Golem itu mencoba meraih Ranta dengan kedua tangannya. Gerakannya lambat, kaku, dan kurang luwes.
“Percuma! Percuma! Percuma!” Ranta melompat dari kepala ke bahu, lalu ke punggung golem, dengan mudah menghindari tangan yang kikuk itu. Ia lolos begitu saja di sela-selanya.
“Zwahhhhhh…!”
Tada langsung maju. Sekilas mungkin tampak seperti hanya mengandalkan satu jurus andalan yang sama seperti sebelumnya, tapi nyatanya tidak. Ia membidik dengan cermat, lalu mengambil ancang-ancang lebih panjang daripada serangan pertamanya, dan melompat dengan lompatan luar biasa.
“Nghhhhahhhh…!”
Ia berputar ke depan, bukan sekali, tapi dua kali.
“Ahhhhhhhhhhhhhh…!”
Kalau kau meminta Haruhiro melakukan hal yang sama, jelas tak mungkin. Secara fisik itu sudah sulit, apalagi dari sisi mental—menakutkan. Jika Tada gagal, kepalanya atau punggungnya akan menghantam langsung tubuh golem yang keras bak batu karang. Itu bukan sekadar cedera parah, dia bisa langsung mati di tempat. Apakah Tada sama sekali tak kenal takut? Mustahil ia bisa melakukannya tanpa keberanian sebesar itu.
“Somersault Bomb!” Palu perangnya menghantam lutut kanan golem. Di titik yang hampir sama dengan serangan pertamanya—mungkin persis sama.
Golem itu kehilangan keseimbangan. Serangan Somersault Bomb Tada yang nekat itu berhasil meremukkan hampir sepertiga lutut golem.
“Yaaay! Itu Tadacchi kita! Wuuuhuu!” seru Kikkawa penuh semangat.
Tapi ini jelas bukan pesta.
“Good job! Yeah!” Anna-san juga bersemangat. Napasnya memburu lewat hidung.
“Yaaaay.” Mimorin mengangkat kedua tangan. Ekspresinya tidak terlihat terlalu heboh, tapi mungkin itulah cara dirinya menunjukkan kegembiraan.
“Wha…?!” Golem yang terpaksa berlutut membuat Ranta harus melompat turun, tapi itu urusan kecil.
“Waktunya serbu rame-rame! Raaheeeeee…!”
Apa-apaan itu, “raahee”? Pekikan macam apa lagi itu? Haruhiro sama sekali tak paham.
Meski Tada dan Mimorin cukup mengesankan, tetap saja Tokimune-lah yang membuat kelompok Tokkis menjadi apa adanya.
Dia tidak punya kecepatan atau kelincahan seperti Ranta. Tubuhnya tidak kecil, dan ia pun tak memakai perlengkapan ringan. Namun meski begitu, Tokimune tetap menjejak tanah, lalu memanfaatkan lutut golem sebagai pijakan, melompat tinggi ke atas.
Pentas Teater Tokimune resmi dimulai.
Tokimune menghantam wajah golem dengan perisainya.
Pedang panjangnya berputar, menusuk mata merah yang berkilau.
Lalu ia kembali mengayunkan perisai, menghajar kepala golem bertubi-tubi.
Pedangnya berputar lagi, lalu menebas.
Menginjak tubuh golem sebagai pijakan, Tokimune bergerak liar. Benar-benar liar. Ia menari seperti macan tutul, menyengat seperti gajah.
Sekilas, gerakannya tampak acak, seakan tanpa perhitungan. Tapi mungkin tidak begitu. Yah, mungkin memang ia tak banyak berpikir, namun tindakannya tetap mengikuti semacam logika—meski logika yang konyol. Itu sama sekali tidak terlihat berbahaya. Justru, Tokimune membuat semuanya tampak mudah.
“Cih!” Tada mengangkat palu perangnya ke bahu. “Lihat tuh, dia nari kayak orang kesetanan. Aku ini apa coba, pembuka acaranya?”
“Ha ha! Jangan ngambek!” Tokimune menjejak kepala golem, lalu melesat tinggi, makin tinggi ke udara.
“Wow…” Haruhiro tak kuasa menahan diri untuk berdecak kagum.
“Dia bintang!” Yume berceletuk tak jelas. Yah, mungkin tidak sepenuhnya omong kosong—Haruhiro sedikit banyak bisa merasakannya juga.
Golem menegakkan lehernya, menatap ke arah Tokimune.
“Yah-hahhhh!” Tokimune berputar di udara—bukan hanya berputar, tapi jungkir balik di atas golem.
Apa maksudnya?
Jelas, kaki Tokimune kini menghadap ke atas, sementara kepalanya mengarah ke bawah.
Dan posisinya sekarang bukan lagi di atas kepala, melainkan tepat di depan wajah golem.
Tokimune menghunuskan pedangnya ke depan sembari terjatuh di tubuh golem.
“Finiiiiish…!”
Itu tembus.
Itu tembus!
Pedang panjang Tokimune menembus mata merah golem yang berkilau.
Dalam.
Sampai ke pangkal.
“Whew!” Tokimune segera mencabut pedangnya, lalu melompat turun dari tubuh golem dan mendarat mulus di lantai batu.
Ia rapatkan kakinya, berdiri tegak, perisai didekatkan ke tubuh. Pedang panjangnya diarahkan ke ujung kaki, lalu dengan satu gerakan ia melukis setengah lingkaran di udara, mengangkatnya hingga tegak lurus ke atas.
“Whoa…” Kuzaku tertegun, nyaris tak bisa berkata-kata. Dia kagum, jelas.
Ranta mendecakkan gigi. “Sial, itu keren banget…”
Golem itu tak bergerak lagi. Matanya padam, tak bersinar sedikit pun.
“Aw, yeah!” Kikkawa menirukan pose Tokimune, tapi hasilnya jauh dari keren.
“Pokoknya, apa pun kata orang, kemenangan ini berkat aku, oke?!”
Dari mana datangnya mata air kepercayaan diri dan afirmasi diri tanpa dasar yang tak ada habisnya itu, Anna-san? Haruhiro bertanya-tanya.
“Benar sekali,” Tokimune mengedip ke arahnya. “Semua ini berkatmu. Kau yang terbaik, dan kami beruntung bisa mendampingimu!”

Aku yakin sumber masalahnya datang darimu.
Mungkin Anna-san jadi seperti sekarang karena Tokimune selalu dengan terang-terangan menguatkan tingkahnya. Atau justru sebaliknya—dia bisa jadi maskot kelompok Tokkis karena memang dari awal dia seperti itu? Mana yang benar?
Apa pun jawabannya, Haruhiro tahu dirinya takkan bisa jadi seperti Tokimune atau Anna-san. Ada sedikit rasa iri, tapi bukan berarti dia perlu menirunya. Mungkin memang seharusnya tidak.
“Suh, suh, suh…!” Kimura tiba-tiba tertawa. Apa-apaan itu? Tawa yang seolah dipaksa keluar di sela gigi? Ia menekan bingkai kacamatanya, dan kilatan cahaya memantul dari lensanya.
“Kalian sungguh, sungguh luar biasa. Begitu unik dan bisa diandalkan sebagai prajurit relawan. Aku benar-benar terkesan. Suh, suh, suh. Tak pernah terpikir aku akan menyaksikan kemampuan kalian sejauh ini…”
“Itu terdengar kayak ucapan bos terakhir…” komentar Kuzaku. Haruhiro bisa sedikit mengerti maksudnya.
“Be-heh!”
Tawamu gila banget, Kimura.
“Kalau memang begitu bunyinya, mungkin memang begitulah diriku.”
“Setidaknya bantah dulu…” Haruhiro tak tahan ikut berkomentar.
Kimura malah menepuk dahinya, lalu mendadak membungkuk ke belakang sambil berseru,
“Aheeejoahhhh!”
Serius deh, tawamu itu nyeremin.
Pada titik ini, sudah tidak jelas lagi apakah itu tawa atau ekspresi emosinya yang lain. Tapi kalau Haruhiro menertawakannya, rasanya justru sama saja dengan mengakui kekalahan. Jadi ia memilih diam.
“Heh…”
Saat menengadah, ia baru sadar Inui sudah berada di lantai dua. Entah sejak kapan. Bagaimana caranya? Lantai dua itu dikelilingi pagar rendah—atau tepatnya semacam parapet—dan Inui kini bersandar di sana, kedua tangannya menekan pagar, bahunya merosot lesu.
“Ah, kesempatan untuk jadi pusat perhatian lenyap sudah…”
“Emang kita peduli?!”
Meski agak kesal, Haruhiro setuju dengan Ranta.
“Oh?” Tokimune menatap lebih jauh ke dalam halaman dalam. “Aku rasa tidak begitu.”
“Apa?!” Inui melompat ke atas pagar pembatas. Tapi bukan hanya itu.
“Hohhhh!” Inui menjatuhkan dirinya ke lantai satu. Untuk apa? Apa dia tadi naik ke lantai dua cuma demi mencari momen dramatis buat mencuri sorotan, lalu karena gagal, sekarang malah pamer dengan terjun bebas? Apa dia bodoh?
Bukan itu alasannya.
Pagar lantai dua tempat Inui berdiri tadi meledak. Hancur dihantam sesuatu—semacam proyektil.
Inui berhasil mendarat dengan selamat, tapi itu tak ada efek dramatis apapun. Karena ada sesuatu yang baru saja menghancurkan pagar lantai dua. Apa itu ulah haunt?
“Semua orang, lakukan penghindaran… dengan gaya!” perintah Tokimune penuh percaya diri. Meski tambahan “dengan gaya” jelas tidak perlu.
Mereka datang. Tepat ke arah kita. Peluru.
“Wahhhhhh!”
“Yahhooo!”
“Apa-apaan ini?!”
“Brengsek semuanya!”
“Aaaaaasuuuuu!”
“Bweh ha heh hahhhh!”
“Kalian ribut banget…”
Keadaan kacau. Semua orang, termasuk Haruhiro, berlarian panik. Untungnya, sejauh ini tak ada yang kena peluru. Tokimune hampir tidak bergerak, hanya sesekali mengangkat perisai untuk menangkis serangan. Tada pun dengan santainya menepis apa pun yang melayang ke arahnya. Mereka jelas sedang mencoba mencari tahu arah dan jumlah musuh.
Sambil berlari, Haruhiro juga berusaha melakukan hal yang sama. Tapi apakah berhasil?
“Musuhnya bisa bergerak?!”
“Ya, mereka mobile,” jawab Tokimune santai sambil mengangkat bahu.
“Bukannya haunt nggak bisa bergerak?!” Saat melihat Tokimune, rasa waspada Haruhiro selalu berkurang—entah itu baik atau buruk.
“Zo-foh! Betul, mereka memang tidak bergerak.” Kacamata Kimura berkilat. “Kalau itu haunt, ya. Tapi mungkinkah…?! Jenis musuh baru?!”
“Uh, tapi…” Haruhiro terhenti. Ia mendengar sesuatu selain suara peluru yang memantul. Sumbernya jelas dari lantai dua. Ada sesuatu yang besar bergerak di atas sana. Lantai berderit menahan beban. Itu langkah kaki, bukan? Dari lantai satu memang sulit melihat jelas, tapi tunggu—dia sempat menangkap sesuatu.
“Golem?!”
Bentuknya nyaris sama dengan golem yang baru saja dikalahkan Tokimune. Ada cahaya merah di tengah kepalanya. Namun, ukurannya tidak sebesar golem yang ada di lantai satu. Lebih kecil satu tingkat. Tapi tetap tidak sangat kecil—lebih tepatnya ukuran sedang. Dan ternyata ada lebih dari satu. Di lantai dua yang berbentuk U, satu golem berdiri di sisi kiri, satu lagi di sisi kanan. Dua semuanya.
Terus?
Dari mana datangnya peluru-peluru itu?
Di mana haunt-nya?
“Woo-hooo!” Kikkawa bersorak. Untuk apa dia bersorak? “Itu tumbuh dari golem, kan?! Golemnya punya haunt yang tumbuh di tubuhnya?!”
“Jenis baruuuu?!” Kimura menggeleng kuat-kuat. “Tidak! Tidak tepat kalau kita menyebutnya jenis baru! Itu hanya haunt yang menempel pada golem! Kita sebut saja hibrida!”
Tak peduli apa pun sebutannya, dari masing-masing bahu golem ukuran sedang itu tumbuh tiga haunt.
“Apa mereka seperti golem platform dengan senjata berjalan?!” seru Ranta. Nama itu agak kepanjangan.
“Disingkat aja, Golplat, ya!” Anna-san langsung memberi istilah praktis.
Golplat A di sisi kanan dan Golplat B di sisi kiri menembak terus-menerus sambil maju mendekat.
“Whoa…!” Kuzaku melompat ke samping untuk menghindari peluru, tapi di depannya sudah ada satu lagi. Hampir saja ia terkena tembakan langsung. Ia memutar tubuhnya miring dan berhasil lolos dengan nyaris terserempet.
Setora sedang mengawal Anna-san, Merry, dan Kimura ke area di bawah lantai dua. Di sana mereka seharusnya aman. Tapi ternyata tidak sepenuhnya—memang mereka ada di titik buta Golplat A, namun Golplat B mulai menembaki Setora dari sisi kiri lantai dua.
“Boom! Bash! Smash!” Kimura menangkis peluru dengan gada dan tameng kecilnya, tapi jelas dia bukan Tokimune atau Tada. Dia tidak bisa bertahan lama begitu. Kimura memang aneh, tapi dia tetaplah seorang priest. Yah, Tada juga priest. Anna-san pun begitu. Jadi… apa semua priest memang orang aneh? Apa Merry satu-satunya yang waras?
Mengesampingkan itu, Golplat A dan B harus segera disingkirkan.
Sementara itu, Haruhiro diam-diam sudah masuk ke dalam mode Stealth, sehingga tidak jadi sasaran tembakan. Sepertinya Stealth cukup efektif melawan golplat.
“Delm, hel, en, balk, zel, arve…!” Mimorin melancarkan mantra Blast. Bukan tiba-tiba, sebenarnya. Golplat B baru saja mendekat ke pagar lantai dua, tepat di dekat lubang yang ditinggalkan Inui saat tadi terjun. Mimorin mengarahkan sihirnya ke celah itu.
“Bagus sekali, Mimori-san!” seru Kikkawa sambil menangkis peluru. Meski dirinya sendiri sedang dalam bahaya, ia tetap bertepuk tangan dan memberi semangat keras-keras kepada rekan-rekannya. Benar-benar pria yang berani.
Tembok parapet yang sudah hancur makin rusak diterjang Blast, membuat lantai di sana roboh dan ambruk. Golplat B jatuh ke lantai pertama, tertelan asap dan puing-puing.
“Kuzaaaku! Giliran kita!”
“Okeee!”
Ranta berlari ke arahnya, melesat zigzag seperti kilat. Kuzaku tak bisa bergerak seaneh atau selincah itu; ia hanya menerjang lurus ke arah Golplat B.
“Terus itu gimana?” Tokimune melirik Golplat A yang masih ada di lantai dua.
Tada mengayunkan palu perangnya. “Mau aku lempar ke atas lantai dua?” tawarnya.
“Uhh… trik itu, ya? Kayaknya nggak usah deh…”
Mereka kelihatan santai sekali. Apa itu tidak apa-apa? Yah, sebenarnya rasa tegang, fokus, atau bertindak mati-matian memang bukan gaya Tokkis. Mereka justru tenang dan menikmati pertarungan. Itu mungkin metode mereka. Lagipula, kebanyakan orang tidak bisa menirukan gaya itu, meski berusaha. Tokkis jelas tidak normal. Karena itulah gaya abnormal seperti itu justru cocok untuk mereka.
Lalu Inui—yang bahkan di antara mereka pun sudah luar biasa nyeleneh—sebenarnya sedang merencanakan apa? Bagaimana awalnya dia bisa sampai ke lantai dua?
Misteri terpecahkan, pikir Haruhiro begitu melihatnya. Inui ternyata sedang memanjat dinding batu untuk naik ke lantai dua sekarang. Oh, jadi itu dia lakukan secara normal, ya?
Haruhiro menahan diri untuk tidak melontarkan komentar konyol dan mencoba menirukan Inui. Dia sendiri cukup mahir memanjat. Mungkin dulu, sebelum kehilangan ingatan, ia punya hobi panjat tebing? Atau jangan-jangan hidupnya memang begitu berbahaya sehingga ia terbiasa menaklukkan tebing curam setiap hari?
Apa pun alasannya, ia berhasil mencapai puncak dinding batu lebih dulu daripada Inui, padahal Inui sudah lebih awal mulai memanjat. Akibatnya, justru Haruhiro yang berada dalam posisi berbahaya sekarang.
Atau… mungkin tidak juga. Golplat A sama sekali belum menyadari keberadaannya. Haunt di bahunya masih menembakkan peluru ke lantai satu. Haruhiro tidak bisa hanya duduk diam menyaksikan itu. Ia mendekati musuh, tidak tergesa, tapi juga tidak santai. Tetap waspada, tentu saja. Namun, sekalipun Golplat A mendeteksinya, apakah itu berarti tamat? Tidak juga. Kalau peluru diarahkan padanya, tubuh Golplat A atau kepala haunt-nya pasti akan bergerak lebih dulu. Itu akan jadi tanda. Saat itu terjadi, ia bisa langsung menghindar. Lompat turun ke lantai satu, bersembunyi di bawah tonjolan lantai dua. Dari posisi itu, Golplat A akan kesulitan membidik. Bahkan kalau pun ia gagal mendarat sempurna, ketinggiannya tak cukup untuk membunuhnya. Apalagi ada beberapa priest siaga. Ia bisa segera disembuhkan. Dipikir-pikir, situasinya tidak menuntutnya terlalu pengecut.
Haruhiro mulai bergerak mengitari Golplat A dari belakang. Sementara itu, apa yang dilakukan Inui? Rupanya dia baru saja berhasil naik ke lantai dua. Golplat A pun masih belum menyadarinya.
Kini Haruhiro sedikit tegang. Tapi menunda lebih lama tidak akan meningkatkan peluang keberhasilan. Justru sebaliknya, ia harus bertindak cepat.
Haruhiro mendekat ke Golplat A. Tingginya sekitar empat meter. Memanjatnya tidak jadi masalah. Bentuk humanoid golplat membuat permukaannya tidak rata, sehingga malah lebih mudah dijadikan pijakan. Dalam waktu singkat, Haruhiro sudah cukup tinggi hingga bisa menyentuh kepala golplat itu. Saat itulah ia terdeteksi.
Golplat A berusaha berputar, mungkin berniat melemparnya turun. Namun, punggungnya tak sefleksibel manusia, pinggangnya pun kaku. Gerakannya berat dan lamban. Haruhiro bahkan tidak perlu berpegangan mati-matian.
Ia mencabut belati dan langsung menghabisi para haunt di bahu Golplat A satu per satu. Pekerjaan itu terasa mudah, apalagi jika dibandingkan dengan saat Tada pernah melemparkannya ke langit-langit aula makan.
“Ah, sial! Kesempatan jadi pusat perhatian hilang lagi!” Inui mengeluh. Haruhiro sama sekali tak peduli.
Begitu keenam haunt telah berubah jadi debu, Haruhiro mencengkeram kepala Golplat A dan mencoba menusukkan belatinya ke bagian mata merah yang berkilau. Ada kata kunci mencoba disini. Belati itu memantul. Bagian itu bening, mirip kaca, dengan cahaya merah bersinar di baliknya. Ia hanya berhasil meninggalkan goresan tipis. Untuk memecahkannya, jelas dibutuhkan tenaga yang jauh lebih besar. Atau mungkin… ia bisa terus menusuk titik yang sama dengan keras kepala?
Ia tak akan kehilangan apa pun dengan mencoba, tapi dia bisa memberi orang lain kesempatan untuk bersinar. Haruhiro melompat dari Golplat A dan mendarat di parapet. Golplat itu menubruk ke arahnya, memaksanya melompat mundur. Karena ini parapet, tak ada apa pun di belakangnya untuk dijadikan pijakan. Ia hanya jatuh ke lantai satu, begitu juga Golplat A, yang menabrak parapet setelahnya.
“Haru-kun…!”
“Haru…!”
“Haruhiro…!”
Ia mendengar Yume, Merry, dan Mimorin memanggilnya. Ia menghargai perhatian mereka, tapi, yah, ia baik-baik saja.
Kalau saja ia Tokimune, mungkin ia akan melakukan salto midair yang menakjubkan lalu mendarat dengan sempurna. Tapi ia bukan Tokimune. Ia tak punya karisma atau pesona bintang seperti itu, jadi ia memprioritaskan mendarat dengan aman tanpa cedera. Pengalaman sering dilontarkan ke udara oleh Tada ternyata berguna. Begitu mendarat, ia meredam benturan dengan membayangkan sendinya tak terkilir, lalu menggulingkan tubuh dan langsung berdiri lagi. Tokimune dan Tada, dengan Kikkawa sebagai bonus tambahan, sudah menyerbu Golplat A.
“All riiiight!”
“Jauhi, Kikkawa!”
“Wow! Maaf! Aku super maaf!”
“Oke, mari kita lomba siapa yang menyelesaikannya duluan, Tada!”
“Aku, jelas!”
Sepertinya Tokimune dan Tada hampir akan menangani semuanya.
“Yahhhh!”
Haruhiro menoleh tepat saat pedang katana besar menembus mata merah menyala Golplat B. Ranta menampol kepala Kuzaku.
“Sialan, bangsat! Biarkan aku menyelesaikannya!”
“Duh! Gak ada alasan buat pukul aku karena itu!”
“Kapan aku pernah pake alasan, bego?!”
“Ya… ada benarnya juga. Masuk akal sih.”
“Haruhiro!” Mimorin berlari mendekat dan menggenggam wajahnya dengan kedua tangan. “Haruhiro!”
“Yesh?”
“Kamu tidak terluka kan?”
“Aku baik-baik saja.”
“Aku senang.”
Ia ingin dia berhenti, tapi begitu Mimorin meneteskan air mata, ia merasa bersalah jika memotongnya. “Bisa berhenti, nggak?” Tapi yah, tetap saja ia ingin dia berhenti.
Mimorin mengangguk, lalu melepaskannya.
Syukurlah.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)