7. Kami Hanya Berdiri di Sana, Bingung (Grimgar)

Damuro, yang terletak sekitar empat kilometer barat laut Altana, dulunya dikenal sebagai kota kedua di Kerajaan Arabakia. Asalnya kuno. Manusia telah tinggal di sana sejak zaman yang tak tercatat. Selama waktu itu, ketika manusia datang dari utara karena suatu alasan, sebagian besar dari mereka menyeberangi Dataran Quickwind dan berkumpul di tempat bernama Damuro. Sebagian dari mereka menetap, membangun rumah, dan hidup di sana selama beberapa generasi. Pada akhirnya, Kerajaan Arabakia menempatkan seorang hakim wilayah dan mulai mengatur daerah tersebut.

Bekas benteng manusia itu terbagi menjadi Kota Lama dan Kota Baru.

Bangunan-bangunan di sekitar sini pasti dulunya bertingkat dua, tetapi kini hanya segelintir yang masih utuh. Benda-benda yang menjulang dari puing-puing itu… apakah itu pilar? Seekor binatang kecil berjalan di atas sebuah balok yang tergeletak di puncak pilar. Enklosur dengan tinggi yang berbeda-beda itu… pagar, atau tembok?

Tak ada selain reruntuhan, reruntuhan, dan reruntuhan sejauh mata memandang. Tidak banyak bangunan yang masih memiliki dinding dan atap yang utuh. Bahkan, mungkin wajar jika dikatakan tak ada satu pun yang masih utuh.

“Sepi banget…” gumam Kuzaku.

Sekejap kemudian, terdengar pekikan dari kejauhan, “Aaagahhh!”

“…Sial,” keluh Neal sambil mengendus. “Bener-bener apes banget aku kali ini.”

Itu harusnya kami yang bilang.

Haruhiro ingin sekali mengatakan itu, tapi ia tidak mau berbicara dengan Neal. Ia harus menghindari agar tidak terguncang. Ia bukan melakukan ini karena mau, tapi kalau ia harus melakukannya, ia akan melakukannya tanpa korban. Meski ia punya firasat samar bahwa itu mungkin akan sangat sulit dilakukan.

“Ada banyak sekali mereka, ya? Mereka ada di mana-mana. Gobby McGobgob dan teman-teman gobbynya.”

Entah apa yang ia pikirkan, tapi perempuan bermodel rambut kembar kuda yang songong itu berjalan di samping Haruhiro sambil terkikik. Persetan dengannya.

Haruhiro sebenarnya tidak suka memikirkan dirinya menyebut perempuan itu jalang. Tapi bagaimana ia bisa tidak? Pertama, ia membenci penampilannya. Suara dan cara bicaranya menjengkelkan. Bahkan panas tubuh dan keberadaannya saja sudah mengganggu. Seluruh keberadaan Hiyomu, setiap aspeknya, terasa mengusik Haruhiro dengan cara yang salah.

Hanya dengan berdiri di sisinya, Hiyomu membuat emosi gelap yang amat pekat membuncah di dalam dirinya. Kebencian yang intens, rasa muak yang dalam. Ia sedikit terkejut, bahkan agak kaget. Ia tak pernah tahu ia bisa membenci seseorang sedalam ini. Itu bahkan membuatnya berpikir, Bukankah ini agak tidak normal?

Tanpa memiliki ingatan tentang dirinya yang dulu, Haruhiro tidak benar-benar tahu seperti apa ia sebelumnya. Tapi ia rasa ia bukanlah orang baik. Orang baik tidak akan membenci orang lain sedalam ini. Bahkan jika itu Hiyomu.

Tidak, mungkin Hiyomu memang pengecualian. Bagaimanapun juga, ini Hiyomu yang dibicarakan.

Entah bagaimana, Haruhiro ingin menyangkal bahwa Hiyomu berada dalam jarak yang bisa ia jangkau. Betapa lebih bahagianya ia jika bisa melupakannya. Tentu saja itu mustahil. Ia tak akan pernah bisa menghapusnya dari ingatan, karena faktanya Hiyomu memang ada di sana.

Apakah pada akhirnya ia tidak punya pilihan selain menerimanya? Tapi ia membencinya. Ia tidak ingin menerimanya.

Ia tahu. Ia bukan anak kecil lagi, jadi ia harus menahan hal-hal yang tidak ia sukai. Semua orang melakukannya. Mereka bertahan, menunggu waktu yang tepat. Ia harus tetap fokus.

Mereka tidak berjalan terlalu cepat, tapi detaknya berpacu. Semua gara-gara Hiyomu. Ia mulai kesal lagi. Tidak baik. Ia perlu bernapas setenang mungkin, memperluas pandangan. Mengamati dirinya sendiri—tidak, mengamati kelompok itu dari sudut pandang tinggi.

Saat ia melakukannya, tak terelakkan kalau ia juga melihat Hiyomu, tapi ia hanya perlu membayangkan bahwa gadis itu adalah wortel berjalan atau semacamnya.

Apakah itu penghinaan bagi wortel? Wortel tak pernah berbuat salah padanya. Ia memang tidak terlalu menyukainya, tapi juga tidak membencinya.

Wortel. Mungkin ini ide yang lebih baik dari yang ia kira. Kalau ia tidak suka tapi juga tidak benci, keberadaan wortel tidak akan membuatnya tegang.

Wortel.

Hiyomu adalah wortel berjalan.

Aku tidak punya masalah dengan wortel, dan ini terasa agak dipaksakan, tapi itulah yang akan aku tanamkan pada diriku sendiri.

Haruhiro dan wortel itu berjalan nyaris berdampingan di barisan depan, dengan Kuzaku, Merry, Setora, dan Kiichi di belakang mereka, sementara Neal berada di posisi paling belakang.

“Ahh!” dan “Gyah!” teriakan para goblin terus terdengar dari kejauhan.

Ya.

Inilah Kota Lama Damuro, sarang para goblin.

Mereka bisa melihat goblin di atas atap dan di lantai dua bangunan yang runtuh. Ada yang menyorongkan wajah dari balik reruntuhan, atau dari balik bayangan pilar.

Ketika Haruhiro dan yang lain mendekat, para goblin itu segera bersembunyi atau lari.

Kadang-kadang mereka berteriak untuk menakut-nakuti rombongan. Sekali waktu, ada goblin yang melempari mereka dengan batu dari tempat yang mustahil mereka jangkau.

Namun, untuk saat ini, tidak ada tanda-tanda mereka akan menyerang. Goblin-goblin di Kota Lama itu mengawasi rombongan dengan gelisah, seolah menunggu apa yang akan mereka lakukan.

“Yah, mereka cuma sekumpulan goblin pecundang yang diusir dari Kota Baru, jadi gak bisa disalahin.”

Wortel yang berjalan itu bertingkah sombong. Haruhiro berharap sikap itu akan membuatnya lengah, sehingga ia melakukan kesalahan dan kena masalah. Tapi dalam situasi ini, masalah itu juga akan berimbas pada mereka. Sulit. Bukankah ada cara supaya sesuatu yang buruk hanya menimpa si wortel saja?

“Goblin sampah di Kota Lama nggak bisa menentang raja goblin. Mereka tahu nggak akan bisa berbuat apa-apa melawan kelompok prajurit relawan manusia yang serius. Mereka cuma sekumpulan sampah yang nggak ada gunanya. Kalian bisa abaikan saja. Kalau kita bertindak seolah tempat ini milik kita, mereka nggak bakal berani macam-macam.”

Haruhiro dan yang lainnya tetap diam. Sepertinya bukan hanya dia yang berpikir begitu. Merry, Setora, dan Kuzaku juga tidak berniat berkomunikasi dengan wortel itu.

Wortel berjalan itu mendecakkan lidahnya. Sepertinya ia kesal karena diabaikan, meskipun ia hanyalah sebuah wortel.

Setelah beberapa saat, Neal membuka mulutnya. “Yah, emang rasanya kayak gitu…”

Neal adalah anak buah Jenderal Jin Mogis, dan wortel berjalan itu adalah perwakilan sekutunya. Bagi Neal, sekalipun yang ia hadapi adalah wortel berjalan, ia tetap harus bersikap cukup perhatian. Apa itu yang terjadi?

Haruhiro berharap keduanya bisa saling menemani. Kalau dia sih ingin sebisa mungkin tidak terlibat dengan mereka berdua, dan menyelesaikan apa yang harus ia lakukan dengan selamat. Ia juga ingin Shihoru kembali.

Inilah misi yang dipercayakan kepada Haruhiro dan kelompoknya: Menyelinap melewati Kota Lama Damuro menuju Kota Baru. Bertemu dengan Gwagajin, raja—atau mogado—kaum goblin. Menyampaikan permintaan Jin Mogis, lalu menerima jawabannya. Kembali ke Altana, dan menyampaikan jawaban Mogado Gwagajin kepada sang jenderal.

Mereka memang belum mendapatkan pernyataan pasti dari sang jenderal bahwa ia benar-benar menculik Shihoru, tetapi ia berkata, Jika kalian menunaikan tugas kalian, semuanya akan kembali seperti sediakala. Itu pasti berarti ia akan membebaskan Shihoru tanpa cedera. Jika tidak, Haruhiro dan yang lainnya harus mengambil tindakan, tanpa ruang lagi untuk negosiasi. Mereka tidak akan menahan diri jika sampai terjadi.

Juga, Neal adalah pengamat mereka. Wortel berjalan itu tampaknya akan bernegosiasi dengan Mogado Gwagajin. Sulit rasanya membayangkan mereka bisa berkomunikasi dengan goblin, tapi tampaknya wortel ini bisa. Apa karena ia adalah wortel? Ia tak mengerti logikanya, tapi tampaknya wortel itu memang punya caranya. Mereka takkan berjalan masuk ke benteng goblin ini jika tidak.

Bagaimanapun dilihat, ini jelas tidak mungkin aman.

Damuro adalah wilayah musuh.

Selain itu, Altana baru saja diduduki oleh para goblin sampai belum lama ini.

Mereka telah membunuh banyak manusia.

Bukan hanya itu. Mereka memakan mayatnya.

Goblin tampaknya juga memakan sesama mereka sendiri, jadi mungkin itu bukanlah penghinaan khusus.

Apa salahnya memakan yang sudah mati? Kalian juga memakan daging hewan, bukan?

Jika mereka mengatakan itu padanya, ia akan kesulitan mencari jawaban. Namun, bahkan tanpa membicarakan hal itu, goblin jelas bermusuhan dengan manusia.

Meski begitu, menurut wortel berjalan itu, goblin Kota Baru sama sekali berbeda dengan yang ada di Kota Lama. Karena goblin di Kota Lama adalah anggota terendah dalam masyarakat goblin—sampahnya.

Goblin Kota Lama terlihat menyedihkan dibandingkan dengan mereka yang telah menduduki Altana. Meskipun ada perbedaan tiap individu, secara keseluruhan tak ada yang terlihat besar atau kokoh. Bahkan saat Ekspedisi Selatan menyerang, mereka tampaknya tidak repot-repot mengerahkan goblin Kota Lama.

Haruhiro tidak tahu apakah ia beruntung atau sial karena telah melupakan hal ini, tetapi sekitar lima tahun lalu, Haruhiro dan kelompoknya pernah datang ke Kota Lama Damuro hampir setiap hari.

Untuk apa mereka datang ke sini? Sudah pasti bukan untuk piknik. Mereka datang untuk bekerja. Untuk mencari nafkah. Memburu. Kelompok itu memburu goblin. Kota Lama Damuro adalah medan perburuan yang ideal bagi para prajurit relawan yang baru dilantik.

Banyak calon prajurit relawan membangun pengalaman di Kota Lama ini, membiasakan diri membunuh makhluk hidup dengan tangan mereka sendiri. Mereka kemudian menjadi prajurit relawan penuh, lalu meninggalkan sarang ini. Haruhiro pasti pernah menjadi salah satu anak yang baru belajar terbang itu.

Namun goblin juga makhluk hidup. Wajar saja jika mereka tidak tinggal diam.

Pada masa-masa pelatihannya, kelompok Haruhiro kehilangan seorang rekan bernama Manato. Ia tahu itu karena Merry pernah memberitahunya. Mereka telah membalaskan dendamnya. Haruhiro dan kelompoknya pernah menuntut balas pada goblin-goblin Kota Lama.

Bunuh, lalu dibunuh, lalu bunuh lagi, dan dibunuh lagi. Bukan hanya tragis, itu adalah lingkaran setan. Jika rantai itu tidak diputus, semuanya takkan pernah berakhir. Tetap saja, entah ia mengingatnya atau tidak, Haruhiro pernah membunuh goblin dari Kota Lama. Ia adalah seorang pembunuh.

Mari hentikan pembunuhan yang tak berarti.

Ia tidak dalam posisi untuk mengucapkan kata-kata itu, jadi ia tidak akan mengatakannya. Jika para goblin dari Kota Lama menyerang mereka, ia akan melawan tanpa ragu. Ia juga tak akan menunjukkan belas kasihan. Namun jika pertempuran bisa dihindari, itu lebih baik.

Kurasa tidak akan berjalan seperti itu, ya?

“Gungyah!” teriak seekor goblin.

Suaranya dekat. Dari belakangnya.

Haruhiro menoleh. Sumbernya berada di sebuah bangunan runtuh, sekitar sepuluh meter di belakang mereka, di sisi kiri. Bangunan itu bertingkat dua, tetapi sebagian besar sudah hancur—hanya sekitar separuh dari setiap lantai yang masih tersisa. Di sanalah ia melihatnya. Di lantai dua. Seekor goblin. Mengenakan baju rantai yang penuh lubang. Apakah itu tombak di tangannya? Tombak pendek. Apakah ia berencana melemparkannya? Gerakan melemparnya sudah dimulai.

“Kuzaku…!”

Bahkan sebelum Haruhiro memanggil namanya, Kuzaku sudah mencabut katana besarnya. Ia berbalik dan berlari menyerang. Tombak itu melayang. Dengan satu tebasan, Kuzaku menepisnya. Neal berteriak.

“Itu berbahaya!”

Jangan bilang itu—kau seharusnya sadar!

Haruhiro mencabut belatinya sambil menoleh ke sekeliling, mengumpat Neal dalam hati. Untuk apa kami menempatkanmu di belakang? Jangan lengah. Berguna sedikit kalau kau mau menghabiskan oksigen!

“Apaan tadi itu?! Kau cuma goblin kecil busuuuuk!”

Matanya liar menoleh ke segala arah, wortel berjalan itu memegangi hiasan rambut boneka kecil—atau apapun itu. Meski penampilannya tidak nampak seperti satu, hiasan kepala itu adalah relik asli.

“Ayo bergerak!”

Saat Haruhiro berlari menuju reruntuhan di depan mereka, tepat di sisi kanan, semua orang langsung mengikutinya tanpa ragu.

Bangunannya hanya satu lantai. Dua pertiga dindingnya masih utuh, tetapi langit-langitnya sudah ambruk. Tak ada goblin di dalamnya—itu bisa dipastikan hanya dengan sekali pandang.

Dengan punggung menghadap reruntuhan, mereka menempatkan diri sehingga pandangan mereka bersama mencakup semua arah. Kiichi memanjat dinding dan berdiri di atas sebuah balok penyangga.

Neil, terlepas dari segala kekurangannya, masihlah seorang pengintai yang aktif. Selama ia tidak lengah, ia bisa melakukan sebagian besar tugasnya. Namun, yang cukup mengejutkan adalah ketika melihat si wortel berjalan itu mau bekerja sama dan bertindak sebagai bagian dari kelompok. Masa lalu Hiyomu si wortel berjalan memang tak jelas, tapi mungkin ia pernah punya pengalaman sebagai prajurit relawan.

“Lima di selatan,” kata Setora dengan suara tenang.

“Barat, tiga,” lanjut Merry.

“Timur, lima, mungkin?” Kuzaku memiringkan kepalanya. “Nggak, enam. Bisa jadi delapan.”

Karena terdengar ragu, Neil langsung mengoreksinya. “Paling nggak ada lebih dari sepuluh. Mata kamu di mana?”

Haruhiro menyapu pandangannya ke arah goblin-goblin yang dilaporkan rekan-rekannya. “Mereka terorganisir…”

Mereka bukanlah gerombolan kacau. Mereka punya pemimpin. Tapi di mana?

“Sepertinya mereka mau menyerang dari timur. Aku yang hadapi,” ujar Kuzaku sambil menyiapkan katana besarnya. “Aku bakal baik-baik saja dengan bantuan minimal.”

“Musuh di selatan dan barat berusaha menyatu. Bukankah timur cuma pengalihan?” kata Setora datar.

“Utara mencurigakan,” kata Hiyomu. “Barusan, salah satu makhluk kecil itu mengintip, lalu bersembunyi lagi. Gob itu mencurigakan banget.”

“Biar kami saja yang urus disini,” kata Neal sambil tertawa sinis, lalu mendorong bahu Haruhiro. “Pergi intai sana, pahlawan.”

Apa aku harus menendangnya? Haruhiro sempat berpikir sejenak. Jelas, ia tidak akan melakukan hal sepele seperti itu.

Utara, ya? Ia tidak melihat ada goblin yang cocok dengan ciri itu. Bisa kah ia mempercayai perkataan Hiyomu? Secara pribadi, ia sama sekali tidak mempercayainya. Namun, jika mereka tidak bisa keluar dari situasi ini, Hiyomu pun akan ikut terancam. Lagi pula, Hiyomu dan pemilik Menara Terlarang mungkin tidak secara khusus berniat mencelakai Haruhiro dan kelompoknya. Siapa pemilik Menara Terlarang itu? Untuk saat ini belum jelas, tapi orang itu pasti punya tujuan. Mereka sedang mencoba memanfaatkan Haruhiro dan kelompoknya untuk mencapainya.

“Kuzaku, hadapi musuh di tengah. Setora, kau yang pimpin. Aku akan mencari dan menyingkirkan pemimpin musuh.”

Haruhiro tidak menunggu jawaban. Ia membenamkan dirinya ke tanah—itulah gambaran mental yang ia gunakan. Stealth.

Ia segera menjauh dari tempatnya berdiri dan bergerak ke arah utara. Ia tidak berkeliaran di tengah jalan. Sebisa mungkin, ia memanfaatkan reruntuhan, puing, dan bayangan yang terbentuk untuk menyembunyikan diri.

Sesekali, ia menyeberang jalan. Ia tidak merasa takut. Ia punya perasaan—sebuah intuisi, begitulah ia menyebutnya—tentang kapan ia akan terlihat. Kali ini, ia tidak akan terlihat.

Kuzaku dan yang lainnya sedang bertarung. Ia tidak menoleh ke belakang untuk melihat. Mereka baik-baik saja. Ia bisa menyerahkan ini kepada mereka.

Ia tidak mencari. Jika ia mencoba mencari, kemungkinan besar ia justru akan melewatkan apa yang ingin ditemukannya. Ia mengambil pandangan yang luas, sangat luas, terhadap seluruh pemandangan. Jika ada sesuatu bergerak, jika ada bentuk atau warna yang tampak tidak pada tempatnya, perhatiannya akan langsung tertuju ke sana.

Ia menemukannya segera. Seekor goblin. Kulit mereka umumnya berwarna hijau kekuningan. Reruntuhan itu dipenuhi lumut, tanaman ivy, dan sulur-sulur, sehingga memberikan semacam kamuflase. Namun mereka tetap terlihat mencolok saat bergerak.

Di depannya, agak ke kanan, sekitar tiga puluh meter jauhnya, ada reruntuhan besar berlantai dua. Lantai pertamanya masih utuh. Lantai keduanya setengah hancur, seperti teras yang membusuk dan nyaris runtuh.

Haruhiro menempelkan punggungnya ke dinding luar reruntuhan terdekat, lalu mengamati teras tersebut. Ada dua goblin di sana sekarang. Mereka berjongkok di balik bayangan sebuah perabot berbentuk kotak yang tergeletak miring, sesekali menjulurkan kepala dari baliknya.

Apakah hanya dua itu? Tidak. Dua pertiga lantai dua memang tampak seperti teras, tapi sepertiga sisanya masih memiliki atap dan dinding. Ada juga tangga di sana.

Seekor goblin menaiki tangga. Apakah ia berniat bergabung dengan dua goblin di atas? Goblin itu tetap merendahkan tubuhnya, bergegas masuk ke bayangan perabot itu.

Haruhiro bergerak menuju posisi para goblin. Goblin-goblin di teras itu tetap waspada terhadap sekeliling mereka. Ia pun harus berhati-hati.

Ia tiba di reruntuhan. Teras lantai dua berada tepat di atas kepalanya. Dindingnya dipenuhi sulur-sulur ivy. Sekitar tiga meter di depannya, ada sebuah jendela. Ia mencoba mendekatinya.

Ia mendengar suara—suara goblin. Dari dalam reruntuhan, para goblin itu berbicara. Dua atau tiga ekor? Atau mungkin lebih?

Ia mengintip melalui jendela, menatap ke dalam bangunan. Ruangan itu luas. Di bagian belakang, ada tangga. Ia melihat enam, tujuh—delapan goblin.

Satu turun dari tangga, sementara satu lagi naik menggantikannya.

Bangku… atau meja? Salah satu goblin duduk di atas meja. Goblin itu saja yang terlihat memiliki perlengkapan lebih baik. Meski agak longgar, itu tetaplah baju zirah tembaga, ditambah sebuah helm. Zirah dan helm itu berkilau, seolah dipoles dengan cermat. Di pinggangnya tergantung beberapa belati—mungkin empat—dan di punggungnya tersampir sebilah pedang panjang.

Itu pemimpinnya, pikir Haruhiro. Yang lain jelas tunduk padanya.

Selain si goblin berhelm, ada empat goblin yang membawa busur silang. Goblin-goblin pembawa busur silang itu patut diwaspadai. Bahkan dengan Merry di sini, terkena anak panah busur silang di bagian vital tetap akan menjadi masalah besar.

Haruhiro bergerak sekitar lima meter lagi di sepanjang dinding. Sepertinya ini adalah jalan masuk dan keluar. Tidak ada pintu—hanya sebuah lubang sederhana, tinggi dan ramping. Ada tanda-tanda bahwa tanaman ivy baru saja dibersihkan.

Ia mengintip melalui pintu masuk itu. Terlalu jauh. Helm gob itu berjarak tujuh atau delapan meter. Jendela tadi lebih dekat, tapi bahkan dari sana jaraknya tetap sekitar lima meter, dan mereka jelas akan menyadari jika ia masuk lewat jendela.

Haruhiro memutuskan untuk memanjat dinding di bagian lantai dua yang masih memiliki dinding dan langit-langit. Terlihat seperti tempat yang bagus. Ivy itu tak akan mampu menahan berat tubuhnya—pasti akan patah. Menggunakan tonjolan-tonjolan batu sebagai pegangan tangan dan pijakan kaki, ia dengan cepat memanjat hingga ke atap lantai dua.

Atapnya terbuat dari genting. Haruhiro merangkak maju, berhati-hati agar tidak merusaknya. Ia melongok ke bawah, ke arah teras. Apakah furnitur berbentuk kotak itu sebuah lemari? Tiga goblin tampak berjongkok rapat di balik bayangannya.

Salah satu goblin menyembulkan kepala dari balik lemari itu, menoleh ke sekeliling, lalu cepat-cepat menunduk lagi.

Mereka adalah penjaga. Mungkin selalu ada dua di atas sana, dengan satu lagi bertugas sebagai penghubung. Jadi total tiga, ya?

Kalau hanya dua, ia bisa melenyapkan keduanya sekaligus. Yang ketiga pasti akan membuat keributan. Goblin di bawah akan menyadari ada yang tidak beres. Tidak bagus.

Para goblin penjaga itu hanya memperhatikan hal-hal di luar reruntuhan ini. Tidak mungkin baginya untuk menghabisi ketiganya sekaligus. Tapi dia memang tidak perlu menyingkirkan para penjaga itu. Benar. Ini akan berhasil.

Haruhiro berbalik badan, lalu menuruni atap hingga mencapai lantai teras.

Salah satu goblin mengintip dari balik lemari, matanya berputar-putar gelisah. Namun, ia sama sekali tidak menyadari keberadaan Haruhiro.

Haruhiro menuju tangga. Para goblin penjaga itu masih belum menyadarinya. Tidak ada tanda-tanda satu pun dari mereka yang akan naik ke atas.

Haruhiro menuruni tangga, tangannya meraih gagang belati. Di tengah tangga ada sebuah bordes. Bahkan tanpa turun terlalu jauh, jika ia berjongkok, ia bisa melihat lantai pertama.

Jarak dari dasar tangga lantai pertama ke tempat goblin berhelm duduk kira-kira dua meter. Empat goblin pembawa busur silang berada dekat meja, sementara empat lainnya agak lebih jauh.

Goblin berhelm itu mengatakan sesuatu, dan para goblin pembawa busur silang tertawa kecil. Lalu goblin-goblin lainnya ikut tertawa dan bertepuk tangan. Jelas, goblin berhelm itu adalah pemimpinnya. Goblin-goblin pembawa busur silang merupakan pengikut dekatnya, sementara sisanya mungkin berada dalam posisi yang lebih rendah. Hubungan kekuasaan itu mudah terlihat.

Haruhiro menarik belatinya. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Atau mungkin lebih tepatnya, dia melihatnya. Sebuah gambaran seakan video terputar di dalam kepalanya. Haruhiro hanya perlu mengikutinya.

Ia menuruni tangga. Sebentar lagi ia akan sampai di bordes. 

Goblin berhelm itu berkata sesuatu lagi. Goblin-goblin lain tertawa. 

Ia melewati bordes dan terus menuruni tangga.

Goblin berhelm itu menghadap ke arahnya dengan sisi kanan. Dua goblin dengan busur silang pasti juga melihat Haruhiro. Mereka seharusnya bisa melihatnya, namun tak terpikir oleh mereka bahwa Haruhiro akan ada di sana, sehingga mereka belum menyadarinya. Tapi itu bisa terjadi kapan saja.

Ia sampai di dasar tangga. Goblin berhelm itu praktis berada tepat di depannya. Kalau aku berhenti sekarang, aku pasti akan mengacaukannya. Pikiran itu membuat tubuhnya kaku. Ia tetap bergerak.

Haruhiro mencoba memutari goblin berhelm itu dari belakang. Tinggal dua langkah lagi, salah satu goblin pembawa busur silang menelan ludah. Matanya melotot, menatap ke arahnya. Haruhiro sudah ketahuan.

Ia sengaja berpikir, Apa, baru sadar? Panik akan jadi hal terburuk yang bisa ia lakukan. Ia harus memutuskan: mundur sekarang atau terus maju, dan ia tak boleh ragu.

Haruhiro menerjang goblin berhelm itu. Ia melingkarkan lengan kirinya ke leher lawan dari belakang. Helm itu terlalu besar untuk si goblin, sehingga mudah tergeser. Begitu lehernya terekspos, ia menusukkan belati yang digenggam terbalik ke sana. Goblin berhelm itu mulai meronta sesaat sebelumnya—tapi terlambat sudah.

Masih menahan tubuh goblin berhelm yang langsung mati di lengan kirinya, Haruhiro berlari menuju pintu keluar.

Salah satu gob pembawa busur silang mengarahkan senjatanya ke Haruhiro. Ia berencana menggunakan goblin berhelm sebagai perisai jika tembakan dilepaskan. Tapi itu tidak terjadi.

Para goblin mulai ribut. Saat itu, Haruhiro sudah berada di luar.

Sambil membuang jasad goblin berhelm, ia berlari menuju tempat yang sebelumnya ia panjat untuk naik ke lantai dua. Goblin-goblin berbusur silang keluar dari reruntuhan, mengejar Haruhiro. Namun, ia sudah memanjat dinding dengan belati tergigit di mulutnya. Goblin-goblin itu tak berhasil menemukannya.

Ia memanjat hingga ke atap lantai dua. Goblin-goblin di teras sedang menengok ke bawah, menjerit-jerit sambil mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Mereka kebingungan dan panik. Itu membuat segalanya jadi mudah.

Ia melompat turun ke teras. Satu tusukan belati ke punggung goblin penjaga langsung merenggut nyawanya. Goblin penjaga lainnya sedang mencondongkan badan ke tepi teras. Haruhiro menendangnya jatuh, lalu menerjang goblin terakhir dan menyayat lehernya.

Goblin penjaga yang ditendang berteriak Gyah! saat jatuh ke jalan di bawah, tapi ini hanya lantai dua. Dari tanah, ia cepat berguling untuk berdiri, lalu menengadah ke arah Haruhiro.

“Ngyahgwoah!”

Ia tak tahu apa sebenarnya yang dikatakannya, tapi ia berasumsi itu berarti seperti, Itu musuh! Dia di sana!

Dua goblin berbusur silang membidik Haruhiro. Ia segera merunduk tepat ketika anak-anak panah beterbangan ke arahnya. Proyektil-proyektil itu melesat jauh di atas kepalanya. Segera setelah itu, dua lagi menyusul. Ditembakkan dari bawah, anak-anak panah itu sama sekali tak punya peluang untuk mengenai Haruhiro di teras.

Para gob bersenjata busur silang berteriak. Dari suara yang mereka keluarkan, sepertinya sejumlah goblin telah berlari kembali masuk ke reruntuhan. Mereka memanjat tangga, berniat menyerang Haruhiro di teras.

Haruhiro meloncat berdiri, lalu segera menjatuhkan diri dari teras. Ada tiga gob bersenjata busur silang di bawah. Apakah satu lagi berada di dalam reruntuhan bersama goblin lainnya?

Saat mendarat, ia langsung mendekati salah satu gob bersenjata busur silang. Goblin itu terlihat sangat terkejut. Ketika Haruhiro siap untuk menubruknya, goblin itu tidak menarik busurnya, melainkan menahannya di depan, berusaha melindungi diri. Ia tampak benar-benar ketakutan, siap untuk kabur.

Haruhiro tidak menubruknya; ia justru meraih busur silang itu dengan tangan kirinya. Goblin itu spontan menarik senjatanya mendekat, mencoba mencegah Haruhiro merebutnya. Namun ketika Haruhiro melepaskannya, goblin itu terhuyung ke belakang. Kehilangan keseimbangan, dia pun terbuka, dan Haruhiro dengan mudah menancapkan belatinya ke punggung.

Entah kenapa, ia tahu mana tusukan yang mematikan, dari sudut mana harus menyerang, dan sedalam apa, seolah itu sudah menjadi nalurinya. Itu terasa agak mengganggu, bahkan baginya sendiri, tapi setidaknya membuat segalanya lebih mudah.

Masih ada dua gob bersenjata busur silang. Satu melarikan diri masuk ke reruntuhan, sementara satu lagi melemparkan busurnya ke arahnya. Haruhiro menghindari senjata yang melayang itu, lalu mendekati goblin tersebut.

Memukul rahang goblin bersenjata busur dengan telapak tangannya, ia menyapu kakinya hingga terjungkal. Satu tebasan di leher membuat goblin itu tak mampu bernapas. Darah mengucur dari arteri karotisnya. Kini, hanya kematian yang menanti.

Ia melompat ke dalam reruntuhan, dan goblin bersenjata busur yang kabur tadi berdiri membelakanginya. Haruhiro menerjangnya, lalu menancapkan belati ke titik vital di punggungnya.

Tinggal satu goblin bersenjata busur lagi. Empat goblin lainnya berada di pertengahan tangga, mengejarnya. Mereka berbalik, menjerit keras. Kepanikan mereka sudah parah. Mereka takut pada Haruhiro.

Tentu saja. Seluruh tubuhnya basah kuyup oleh darah goblin. Mungkin ia melakukannya karena terpaksa, tapi goblin-goblin itu tak akan percaya. Seorang pembunuh massal dari ras manusia muncul dan membantai rekan-rekan mereka satu per satu. Di mata goblin, Haruhiro pasti tampak seperti monster.

Ia akan berbohong jika mengatakan itu tidak menyakitkan sedikit pun. Namun ia tak bisa memberi mereka celah. Haruhiro mengejar goblin bersenjata busur itu. Kakinya mungkin lemas, karena begitu sampai di bordes, ia langsung roboh.

“…Sial.”

Haruhiro merampas busurnya, lalu menendang pantatnya.

“Pergi dari sini. Kalian juga nggak mau mati, kan?”

Apa pun yang ia ucapkan, mereka tidak akan mengerti. Namun meski tak berbicara bahasa yang sama, ia tetap berharap ancaman itu bisa berhasil.

Masih memegang busur, Haruhiro membalikkan punggung pada goblin bersenjata itu.

Goblins pembawa busur silang itu tidak bergerak. Goblin-goblin lain di atas pun tetap diam. Saat mencapai pintu keluar, Haruhiro menoleh ke belakang untuk melihat mereka. Goblin pembawa busur silang dan yang lainnya menatapnya. Mereka semua gemetar.

Haruhiro melemparkan busur silang itu ke lantai, membuat para goblin terlonjak kaget. Sepertinya dia sudah cukup membuat mereka takut—setidaknya dia berharap begitu. Jika belum, dia akan terpaksa membunuh lebih banyak lagi. Dan dia ingin menghindarinya sebisa mungkin.

…Walaupun aku tidak berada di posisi untuk bilang aku tidak mau membunuh, setelah semua yang sudah kulakukan.

Haruhiro meninggalkan reruntuhan itu. Ia menjauh, lalu mengawasi dari jarak dekat. Para goblin belum keluar. Ia juga tak melihat ada goblin di teras lantai dua. Apakah mereka mengira dia masih menunggu di luar untuk menyergap mereka?

Apa aku terlalu berlebihan…

Haruhiro segera kembali ke rekan-rekannya. Ia bisa melihat bahwa mereka juga sudah menyelesaikan urusannya.

Sepertinya semua baik-baik saja. Lebih dari sepuluh goblin tergeletak mati. Sebagian besar tubuh mereka sudah terbelah oleh katana besar milik Kuzaku.

“Kerja bagus, bung,” kata Kuzaku. Sikapnya yang ceria dan santai terhadap semua ini terasa agak mengendurkan suasana, apalagi mengingat tubuhnya lebih berlumuran darah daripada Haruhiro.

“Yah, entahlah kalau itu bisa dibilang bagus.”

“Para goblin Kota Lama ini memang tidak bisa melawan dengan layak. Mungkin aku terlalu kuat?”

“Jangan sombong, bodoh.” Setora menyikut bahu Kuzaku.

“Nggak, aku cuma bercanda, oke?”

“Kalau bercanda, bikin terdengar seperti bercanda.”

“Dia benar-benar konyol sekali, ya?” seru Hiyomu.

Kuzaku terlihat tersinggung.

“Aku nggak mau dengar itu darimu…”

Neal tersenyum tipis. Sepertinya ia ingin setuju. Walau posisinya menuntutnya untuk mempertimbangkan perasaan Hiyomu, ia pasti sudah merasa kesal dengannya.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Merry pada Haruhiro.

Haruhiro mengangguk refleks, tapi ia tak ingin membicarakannya.

“…Aku menyingkirkan yang kuduga sebagai pemimpin mereka. Ayo lanjut.”

“Kiichi!”

Saat Setora memanggil namanya, Kiichi dengan cekatan melompat turun dari puncak bangunan yang hancur.

Haruhiro menarik napas panjang. Ia harus kembali bersikap serius. Ia memang telah mengusir kelompok yang dipimpin oleh goblin berhelm. Tapi hanya itu. Kelompok lain masih bisa saja menyerang mereka.

Merry menghampirinya. Haruhiro sempat mengira ia akan bertanya, Kamu baik-baik saja? Kalau benar begitu, ia harus menjawab, Iya, aku baik-baik saja. Tapi ternyata bukan itu.

Merry meraih tangan kiri Haruhiro, lalu memeriksa pergelangannya. 

“Sihirnya sudah hilang.”

“…Oh. Ya, benar.”

Merry telah melancarkan sihir pendukung Protection dan Assist milik Dewa Cahaya Lumiaris pada Haruhiro, Kuzaku, Setora, dirinya sendiri, serta Hiyomu dan Neal—total enam orang. Setelah dilancarkan, efeknya berlangsung sekitar tiga puluh menit, jadi Merry akan melakukannya lagi sebelum waktu itu habis.

Dua bintang segi enam dengan warna berbeda masih bersinar di pergelangan tangan kiri Merry. Sepertinya Kuzaku dan yang lain juga masih memilikinya. Rupanya, sihir itu hilang karena Haruhiro terlalu jauh dari Merry.

“Akan kukeluarkan lagi mantranya.”

Merry masih memegang pergelangan tangan Haruhiro sambil membentuk tanda segi enam dengan jari-jari tangan satunya.

“O Cahaya, semoga perlindungan suci Lumiaris menaungimu… Protection. —Assist.”

Dua segi enam bercahaya muncul di pergelangan tangan Haruhiro saat ia melihatnya.

Sekejap saja, tubuh dan hatinya terasa ringan. Ia tak tahu kalau sihir Merry juga bisa memengaruhi hati.

“Terima kasih.”

“Tak perlu dipikirkan.” Merry tersenyum.

Huh? pikir Haruhiro curiga. Apa ini? Dadaku terasa aneh. Sakit.

Meski tak dingin, bulu kuduknya meremang. Ada rasa gerayangan di belakang lehernya. Tenggorokannya terasa tersendat, dan ia tak bisa bicara.

“Ada apa?” Merry memiringkan kepalanya.

Bukan apa-apa, ia ingin berkata begitu, tapi mulutnya hanya bergerak sia-sia, gagal membentuk kata.

“Ah!” Merry melepaskan pergelangan tangan Haruhiro dan menundukkan kepala. Pipi dan telinganya memerah. “Maaf,” ucapnya pelan sambil menarik-narik rambutnya sendiri. “Aku cuma… cuma memeriksa. Itu saja. Benar.”

“…Iya.”

Haruhiro pun ikut menunduk. Merry berbicara tergesa-gesa, seolah berusaha mencari alasan, tapi kenapa? Ia sendiri tak tahu. Dan bukan cuma Merry—ia juga sama-sama gugup. Kenapa ia bisa panik seperti ini?

Wajah malu-malu Merry terus terbayang di kepalanya. Wajar saja, dia tepat di hadapannya. Kalau ia mengangkat kepala sedikit saja, ia bisa melihatnya sepuas hati.

Tapi aku nggak bisa lihat.

Jantungku berdetak kencang sekali.

Ini nggak bagus, kan? Keadaanku sekarang. Aku harus tenang. Kalau pikiranku nggak jernih, kita nggak bisa maju.

Apa yang terjadi padaku?

Tolong, beri tahu aku.

Bukan berarti aku bisa bertanya, sih.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x