6. Apa yang Ditinggalkan Para Pejuang (Grimgar)

Setelah sampai di ujung ruang makan, sayangnya, kelompok itu harus berhenti sejenak untuk beristirahat.

Mimorin duduk sambil menatap Haruhiro dengan pandangan memohon, kakinya terlipat di bawah tubuhnya dan lututnya menonjol ke depan.

“Dia bilang kamu bisa pakai lututnya sebagai bantal, yeah! Dasar babi kotor!” teriak Anna-san padanya, tapi Haruhiro tetap menolak. Ia duduk bersandar di dinding, menenangkan napasnya.

“…Kamu baik-baik saja?”

Jika Kuzaku sampai khawatir padanya, itu berarti dia berada dalam kondisi yang gawat. Baiklah, mungkin ia cuman melebih-lebihkannya. Tapi ketika Kuzaku, yang memancarkan energi adik laki-laki yang luar biasa, mulai khawatir, Haruhiro tak bisa menahan rasa tidak tenang.

“Tidak apa-apa. Aku sudah lebih baik sekarang,” kata Haruhiro sambil berdiri.

“Hah! Mana mungkin!” Ranta langsung bersikap sinis. “Kalau kamu sudah kelelahan setelah itu, kita nggak akan sampai ke mana-mana. Satu-satunya hal yang pernah kamu kuasai hanyalah menampilkan wajah kuat. Kalau kamu nggak baik-baik saja, kamu tetap harus pura-pura, dasar bodoh.”

“Ya, ya.”

“Jangan cuma menyepelekanku!”

“Aku harus ngapain coba…?”

Sialan. Aku berharap dia menghilang saja. Aku nggak mau dia benar-benar hilang, tapi akan menyenangkan kalau dia pergi jauh-jauh sekali-sekali.

“Ranta selalu ngomong hal-hal nyelekin kayak gitu…” Yume menyilangkan tangannya dan menghela napas. “Dia nggak pernah berubah, ya?”

“Orang-orang nggak gampang berubah,” Kuzaku tertawa pelan. “Maksudku, itu cuma nunjukin kalau Ranta-kun nggak pernah benar-benar dewasa.”

“Apa maksudmu?! Jangan sok cuma karena kamu sedikit lebih tinggi dariku, dasar brengsek!”
“Ah, aku tahu aku bilang ini tiap waktu, tapi itu bukan ‘sedikit.’ Aku jauh lebih tinggi darimu.”

“Kamu masih belum belajar jangan pamer tinggi badan, ya?!”

“Itu faktur, tau nggak,” Yume menyela, membuat Ranta semakin kesal.

“Maksudmu fakta! Oh, dan itu nyelekit, bukan nyelekin! Kamu pernah bikin kesalahan yang sama tadi, cuma bilang aja! Kamu yang nggak pernah dewasa!”

“Yume juga sudah tumbuh, lho!”

“Di mana?!”

“Yume nggak akan bilang persis di mana, tapi di sini-sana!”

“Samar banget! Tunggu, sini-sana…”

Ranta menggeser masker-nya dan menatap Yume dari atas ke bawah. Berulang-ulang.

“E-Eh… mungkin memang ada… Ada beberapa tempat yang kurasa memang tumbuh. Entahlah, nggak mustahil…”

“Lihat kan?” Yume membusungkan dada dengan bangga.

“Lihat ke mana sih?” gumam Merry sambil mengerutkan alis.

“O-Oh, diam lah!” wajah Ranta memerah seperti tomat. Ia buru-buru memakai kembali maskernya. “Aku bisa lihat ke mana pun aku mau! Aku nggak coba liat yang dia sembunyikan! Kamu nggak punya bukti apa-apa!”

“Wah, lihat dia coba bela diri…”

“Diam, Kuzaku! Berlutut! Aku akan bunuh kau!”

“Katakan padaku…” Setora menekan ujung tombaknya tepat di leher Inui. “Perlu aku tusuk kamu biar berhenti melakukan itu?”

“Heh!” Inui membuka matanya yang tak tertutup lebar-lebar sebelum meraih ujung tombak dengan tangan kosong.

“Lakukan, kalau kamu bisa! Lakukan! Aku mau itu!”

Setora ragu sejenak. “Bolehkah aku benar-benar melakukan itu?” Sekali ini, ia tampak goyah.

“Tentu, kenapa tidak?” Tokimune menampilkan senyum putihnya yang cerah.

Eh, boleh, ya?

“Ya, lakukan saja.” Tada terlihat sudah muak. Mungkin ia memang tidak peduli lagi.

“Wah, hebat, Inui! Cinta yang membara! Cinta, cinta, cinta! Kamu bikin aku ingin jatuh cinta juga!” Kikkawa bergelung-gelung karena kegembiraan.

“Inui itu penyimpang seksual yang nggak bisa menahan dirinya, ya,” celetuk Anna-san dengan hinaan yang sama sekali tak ada hubungannya.

“Inui itu seorang…” Mimorin mulai berbicara, tapi entah kenapa, mungkin menyadari dia hampir mengungkap sesuatu yang seharusnya tak seorang pun tahu, ia menutup mulutnya. Tapi apa itu? Yah, nggak terlalu penting juga.

Ini benar-benar kacau.

“Ayo kita lanjut,” kata Kimura sambil kacamatanya berkilau. Ia terus membuat lensanya berpantul saat mengulang kata-kata itu. Entah kenapa, ia sama menyebalkannya dengan Ranta, bahkan lebih menjengkelkan.

“Tokimune-san,” dorong Haruhiro. Tokimune mengangguk.

“Ya. Kita harus pergi…”

Ujung ruang makan itu bukanlah jalan buntu. Ada pintu. Dua buah, di ujung-ujung tembok batu yang berlawanan, terbuat dari bahan yang masih belum bisa mereka pastikan, apakah itu logam atau batu. Setiap pintu memiliki lekukan berbentuk lima lingkaran yang saling tumpang tindih di tengahnya. Haruhiro berdiri di depan pintu kanan, sementara Tokimune berdiri di depan pintu kiri.

“Oke…”

Mereka saling mengangguk, lalu masing-masing menekan lekukan di pintunya sendiri. Pintu-pintu itu berderit serempak dan mulai terbuka, seolah-olah melipat ke dalam dirinya sendiri dan menyatu dengan dinding.

“Nampaknya kita dapat kapel,” kata Haruhiro.

Kelompok Haruhiro akan melanjutkan lewat jalur kanan.

“Dan kita dapat dapur, ya?”

Kelompok Tokkis akan pergi ke kiri.

Begitu kelompok Haruhiro membuka pintu di sisi jauh kapel, dan Tokkis membuka pintu di dapur, penguncian serempak itu akan selesai, dan mereka akan bertemu di halaman dalam.

“Kalau aku…”

Apa yang akan dilakukan Kimura?

“We-hoh!”

Dengan tawa aneh itu, ia berjalan menuju Haruhiro dan yang lain di depan pintu kanan.

“Kamu nggak perlu ikut kami, tau? Maksudku, kamu mungkin lebih cocok dengan mereka. Pergi ke sana saja.” Ranta memberi isyarat seperti sedang mengusir lalat.

Kimura tiba-tiba tertawa. “Zwe-hah!”

“Eek!”

Ranta bukan satu-satunya yang kaget. Kuzaku, Merry, dan Yume juga sedikit melonjak kaget. Setora menatapnya dengan tatapan bingung, seolah berkata, Apakah pria ini gila? Apa yang ada di kepalanya?

Haruhiro merasa hampir sama seperti Setora.

“…Kimura-san.”

“Ada apa, Haruhirorororong. Rororororong. Rororong. Rong.”

“…Tahu gak? Lupakan saja apa yang ingin kukatakan.”

Mereka bilang orang ini dekat dengan Shinohara. Seberapa banyak dia tahu tentang niat Shinohara?

Jika, seperti yang dicurigai Haruhiro, Shinohara memiliki hubungan dengan master Menara Terlarang, apakah Kimura mengetahui fakta itu? Jika Shinohara sedang merencanakan sesuatu, apakah Kimura ikut terlibat dalam konspirasi itu?

Bagaimana dengan anggota Orion lainnya? Misalnya, Hayashi.

Hayashi adalah rekan Merry. Jika mereka ingin menyelidiki Orion, Hayashi adalah jalan masuk mereka.

Namun Hayashi tidak ikut bergabung dengan pasukan terpisah. Ia adalah salah satu dari tiga belas anggota Orion yang ditugaskan ke pasukan utama serangan di Gunung Nestapa. Shinohara mempercayakannya untuk memimpin kelompok itu.

Kalau Kimura begitu dekat dengan Shinohara, bukankah wajar jika ia memimpin pasukan utama? Tapi Shinohara memilih untuk menempatkan Kimura di pasukan terpisah. Apakah itu menunjukkan seberapa besar kepercayaan Shinohara padanya? Apakah mereka begitu dekat hingga Shinohara ingin selalu menempatkannya di sisinya?

Bagaimana jika kedekatan mereka sampai bisa dikatakan hampir seperti satu orang yang sama?

Haruhiro dan Renji memutuskan bahwa Shinohara layak untuk terus diawasi. Kimura juga harus diperlakukan sama. Mereka juga perlu mempertimbangkan kemungkinan bahwa setiap anggota Orion berada di bawah kendali Shinohara.

Namun, mungkin saja Shinohara belum mengungkapkan niatnya bahkan kepada Kimura, sahabat terdekatnya. Jika ditarik ke kesimpulan paling ekstrem, Shinohara mungkin juga sedang mengkhianati teman dan rekan-rekannya. Secara alami, tidak ada cara untuk memastikan hal itu saat itu juga. Mungkin benar, mungkin tidak. Tidak ada yang tahu.

“Nah, sampai jumpa!” Tokimune berkata sambil mengedipkan mata dan sedikit menganggukkan kepala.

“Ya,” jawab Ranta sambil melambaikan tangan.

“Tidak, jangan cuma ‘ya’! Dasar kotoran lalat!” teriak Anna-san padanya.

“…Kasar banget, ya?”

Meski Ranta tampak tersinggung, Haruhiro tidak terlalu merasa iba. Tapi jika dia yang tiba-tiba dipanggil “kotoran lalat,” dia juga pasti mulai meragukan nilai keberadaannya sendiri. Anna-san memang jago dalam urusan menghina dengan kata-kata.

“Haruhiro.”

Ia bisa merasakan kehangatan dari tatapan Mimorin padanya meski dari jarak jauh.

Apakah inilah yang disebut tatapan penuh perasaan?

“Aku mencintaimu.”

“…Uh, oke.”

Aku harus ngapain, sih? Duh.

Yah, untuk saat ini ia tak perlu melakukan apa-apa. Mereka hanya akan berpisah dengan Tokkis sebentar… meski sebentar saja. Mereka akan bertemu lagi sebentar lagi jika semuanya berjalan sesuai rencana, dan akan jadi masalah kalau tidak bisa. Jadi, terlalu memikirkan apa yang akan datang tidak terlalu berguna. Untuk sekarang, ia harus fokus. Fokus pada apa yang ada di depannya.

Koridor di balik pintu terasa sunyi dan menakutkan. Ia sengaja menjaga telinga tetap siaga dan matanya tetap awas saat melangkah. Tapi, tidak ada yang terjadi.

“Nah, sekarang, aku akan ceritakan tentang kapel…” kata Kimura. “Ruangan ini, sejauh yang aku tahu, selalu dipenuhi oleh jenis musuh yang sama. Kemungkinan besar hal itu juga berlaku kali ini…”

Entah kenapa, ia tidak tertawa lagi. Tanpa tawa aneh itu, Kimura terasa bukan Kimura. Hal itu terasa salah, bahkan mengerikan.

“Musuhnya memang apa?” Setora langsung bertanya tanpa basa-basi.

Kimura mendorong bingkai kacamatanya ke atas. Lensanya tidak berkilau. Ya, ini aneh. Atau mungkin lebih aneh karena biasanya lensanya berkilau tidak karuan?

“Di Orion, kami menyebut mereka wraith.”

Untungnya, mereka tidak menemui satu pun sebelum sampai di kapel.

Berbeda dengan semua ruangan sebelumnya, kapel ini terang benderang. Cahaya menembus dari langit-langit tinggi, sepertinya melalui kaca patri. Tempat ini seharusnya berada di bawah tanah, jadi kemungkinan besar itu bukan cahaya alami. Cahaya jenis apa itu tidak jelas. Tapi yang jelas, ruang itu tidak gelap.

Karena begitu terang, kelompok itu bisa jelas melihat bahwa kapel berbentuk silinder, dengan lebar sekitar dua puluh meter, dan ada tangga batu yang menuju ke atas di tengah ruangan.

Sejumlah manusia duduk di tangga batu itu.

Setidaknya, mereka terlihat seperti manusia.

Enam manusia.

Mungkin terlihat jelas, tapi mereka memiliki campuran usia, postur tubuh, dan gaya berpakaian. Namun ada satu kesamaan: masing-masing berpakaian mirip dengan kelompok itu. Dengan kata lain, mereka tampak seperti prajurit relawan.

“Nama lain untuk wraiths adalah mimic.” Kimura memegang gada di tangan kanannya, perisai kecil siap di tangan kiri saat ia maju. “Mereka adalah boneka hidup, dibuat menyerupai prajurit relawan yang gugur di Pemakaman…”

Satu per satu, para wraith di tangga batu mulai berdiri.

Dari penampilannya, tiga di antaranya—seorang pemuda, seorang pria paruh baya, dan seorang wanita besar—pasti adalah warrior. Pemuda pemberani itu memegang pedang besar, pria paruh baya membawa kapak, dan warrior wanita besar itu memegang pedang panjang dan perisai besar.

Orang tua dengan rambut memutih itu mengenakan jubah putih mirip Kimura, jadi pasti dia seorang priest. Ia memegang tongkat priest yang sangat berhias, tapi terlihat masih mematikan jika mengenai seseorang.

Pria bertopi runcing dengan jenggot panjang yang berlebihan jelas seorang mage. Ia membawa tongkat berwarna krem yang tidak terlihat terbuat dari kayu.

Namun, yang menarik perhatian Haruhiro adalah wanita tangguh yang sudah menarik pedang panjangnya. Ia memegang pedangnya dengan cara agak khas, telapak tangan bagian belakang menghadap ke mereka. Terdapat sarung di tubuh dan pahanya juga. Apakah dia membawa beberapa belati? Jumlahnya banyak. Berdasarkan ukuran sarungnya, mungkin itu adalah belati lempar. Wajahnya tak terlihat karena helm besi yang ia kenakan, tapi baju zirahnya hanya terdiri dari pelindung dada, pelindung betis, dan seminimal mungkin lainnya.

Haruhiro mengamati gerakan kakinya saat ia dengan lancar menggeser berat tubuh. Ketika ia masih hidup—jika memang bisa disebut begitu—wanita yang bentuknya ditiru oleh wraith itu pasti seorang warrior yang terampil.

“Biar jelas,” kata Kimura pelan, matanya tak pernah lepas dari para wraith. “Bertarunglah dengan segenap kemampuanmu. Meskipun Shingen dan Yokoi tercintaku hanyalah bayangan dari diri mereka yang dulu, mereka tetap luar biasa kuat.”

Apakah dia baru saja menyebut sesuatu yang besar begitu saja? Eh, apakah memang besar? Sulit dikatakan. Mungkin ternyata itu bukan pengungkapan yang terlalu mengejutkan.

“Delm, hel, en, trem, rig, arve.”

Tak ada waktu untuk memikirkannya. Di titik tertinggi tangga batu, mage kurus dengan jenggot mulai menggambar simbol-simbol elemen dan melantunkan mantra.

“Firewall!” teriak Merry.

Api membumbung. Sebuah tembok api yang nyata. Layar api itu menutupi tangga dari pandangan. Segera, para wraith bergerak. Wanita tangguh itu menuruni tangga batu. Pemuda pemegang pedang besar pergi ke kanan, sementara pria pemegang kapak dan wanita pemegang pedang panjang serta perisai pergi ke kiri.

“Mereka datang!”

Haruhiro memberi isyarat agar Kuzaku pergi ke kanan dan Yume ke kiri. Ranta sudah lebih dulu bergerak ke kiri.

Dalam hitungan detik, pemuda pemegang pedang besar muncul di sisi kanan Firewall, sementara pemegang kapak dan wanita bersenjata pedang panjang muncul di sisi kiri. Kuzaku menghadapi pemuda pemegang pedang besar, Ranta melawan pemegang kapak, dan Yume menghadang wanita itu.

“Kimura-san?!”

Kimura berdiri di tengah Firewall. Apa yang ia lakukan?

Menunggu. Apakah cuma itu?

Wanita tangguh itu… Kekasih Kimura, mungkin itulah dia. Apakah namanya Yokoi? Yokoi menembus Firewall seolah tak ada apa-apa, lalu menyerang Kimura sambil mengayunkan pedangnya.

“Fwah-hah?!”

Kimura menahan pedang panjang Yokoi dengan perisainya, lalu mengayunkan gadanya. Mungkin ini bukan Yokoi yang asli, tapi apa benar ia akan sengaja menargetkan selangkang mantan kekasihnya terus-menerus?

Tapi itu tidak masalah, karena Yokoi menangkis gada Kimura dan menyerangnya. Berulang kali. Kimura berusaha menangkis serangannya dengan perisai, tapi ia tidak mampu menahan semuanya. Ia tergores di mana-mana dan segera terluka parah.

“Weee! Yokoiii!”

Kimura terlihat senang, tapi jika terus begini, Yokoi akan mengirisnya habis, jadi sesuatu harus dilakukan. Haruhiro hendak membantu, tapi Setora menghentikannya.

“Kamu urus si mage!” katanya.

Haruhiro mengangguk. “Bantu dia!”

Meninggalkan Setora menjaga Kimura, Haruhiro mengelilingi Firewall. Mage kurus dengan jenggot dan priest berambut memutih belum turun dari tangga. Seolah mereka tahu Haruhiro akan datang.

“Delm, hel, en, van, arve.”

Mage kurus itu memicu mantra lain. Yang ini…

“Ah?!”

Panas. Seketika, matanya terasa kering, dan tenggorokannya kering kerontang. Angin terasa sangat panas. Tapi tidak begitu kuat hingga menerbangkannya. Ia masih bisa bertahan. Ia bisa menahan dan menembus angin itu, entah bagaimana, tapi…

“Delm, hel, en, ig, arve.”

Sihir lagi?

Bola api datang padanya. Tidak hanya satu. Dua, tiga melesat melewatinya. Insting Haruhiro membuatnya berhenti menahan angin panas itu. Ia membiarkan angin mendorongnya mundur sambil memutar tubuh menghindari bola-bola api itu. Bola ketiga hampir mengenai, dan membakar sebagian rambutnya, tapi entah bagaimana ia berhasil menghindarinya.

“Huh?!”

Serangan berikutnya bukan sihir. Itu priest berambut memutih yang menyerbu. Ia mengayunkan tongkatnya ke samping, tapi terlalu keras. Haruhiro menunduk dan menghindar. Tapi tongkat itu tidak berhenti. Atau lebih tepatnya, priest itu tidak berhenti. Ia memutar seluruh tubuh dengan tongkatnya dan mencoba ayunan kedua. Kalau itu mengenai aku, mungkin aku mati, pikir Haruhiro saat ia meloncat ke samping.

“Delm, hel, en, rig, arve.”

Mage kurus itu mulai lagi. Melantunkan mantra secara berkala. Sebuah pilar api muncul, dan Haruhiro hampir menabraknya. Itu adalah mantra Fire Pillar.

“Urgh…!” Haruhiro mencoba mundur dengan cepat, tapi mage kurus itu memanggil Fire Pillar lagi.

“Delm, hel, en, rig, arve.”

“Panas!”

Di belakangnya. Ada pilar api tepat di belakang Haruhiro. Ia tidak bisa maju atau mundur. Kiri atau kanan? Haruhiro bergerak ke kanan sebelum sempat meragukan keputusan itu. Priest berambut memutih menunggunya di sana, mengayunkan tongkat ke arah Haruhiro.

“Huh?!”

Kalau ia mencoba berpikir, ia tak akan sempat. Haruhiro membiarkan tubuhnya bergerak sendiri. Tongkat itu menyisir telinga kirinya. Tidak kena. Haruhiro melewati priest itu, menendang kakinya saat lewat. Saat priest itu jatuh, luar biasanya, ia mulai melantunkan mantra sihir cahaya.

“O Cahaya, semoga perlindungan ilahi Lumiaris menyertaimu!”

Priest berambut memutih jatuh ke lantai batu dengan suara gedebuk. Tapi ia masih menolehkan telapak kiri ke arah Haruhiro.

“Blame!”

“Huh—?!”

Tidak ada yang terjadi. Apakah mantranya gagal? Apakah sihir cahaya itu tidak berefek? Kenapa? Tidak, pertanyaan “kenapa” tidak penting. Haruhiro melompat ke atas priest itu. Ia menahan wraith itu dan membelah lehernya dengan belati. Rasanya seperti menebas kantong tanah. Tanah berjatuhan dari luka itu, dan tubuhnya cepat hancur. Priest berambut memutih berubah menjadi tanah. Tidak, bukan sekadar tanah. Ada benda putih bercampur di dalamnya. Tulang, ya?

“Wraith tidak bisa menggunakan sihir cahaya?! Tapi mereka bisa menggunakan sihir lain!”

“Delm, hel, en, van, arve.”

Benar. Para wraith tidak bisa mendapat berkat Lumiaris lewat sihir cahaya, tapi mereka masih bisa menggunakan sihir lain. Mage kurus itu melontarkan mantra. Angin panas menyengat tubuh Haruhiro, hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.

“Urgh…!”

“Delm, hel, en, ig, arve.”

Lalu datang Fireball. Satu, dua, tiga. Itu benar-benar berbahaya. Haruhiro melakukan salto mundur diagonal, menghindari Fireball pertama dan kedua, lalu melompat ke samping untuk menghindari yang ketiga.

“Ini cukup berbahaya, ya?!”

“Meow!”

Apa itu Yume? Ya, itu Yume. Ia melompat melewati Firewall yang kini jauh lebih rendah, berguling, dan menempatkan diri dalam posisi berlutut. Busurnya sudah ditarik dan siap. Ia segera melepas satu anak panah. Lalu yang lain, dan satu lagi.

“Marc em Parc.”

Mage kurus itu tangkas bereaksi. Magic Missile. Ia menghasilkan beberapa butir cahaya, menembak jatuh anak panah Yume satu per satu.

“Marc em Parc!”

Ia terus melontarkan Magic Missile sambil menyerang.

“Hah! Whoa! Mew!”

Yume lincah berguling, melakukan salto, dan menghindari butiran-butiran cahaya itu.

“Lempar!”

Ia bahkan menemukan celah untuk melepas anak panah. Luar biasa.

“Marc em Parc!”

Kalau bukan karena waktu pengucapan Magic Missile yang singkat, mage kurus itu takkan mampu bersaing dalam adu tembak dengan Yume. Dari keahliannya memilih mantra yang tepat untuk situasi yang tepat, ia pasti adalah prajurit relawan yang cukup andal semasa hidupnya.

Firewall perlahan menghilang.

Kuzaku kesulitan menghadapi pemuda pemegang pedang besar. Ranta sepertinya berhasil menjatuhkan pemegang kapak dan kini menghadapi warrior wanita yang sebelumnya dilawan Yume.

Yokoi sungguh kuat. Kimura, Setora, dan Merry bekerja sama namun tetap kewalahan.

Yume bahkan tidak menatap Haruhiro. Seolah-olah ia tidak ada. Bukan karena ia tidak mampu. Yume sengaja mengabaikan Haruhiro.

Kenapa?

Jawabannya jelas. Agar tidak menghalangi jalannya.

Kesadaran Haruhiro sudah tenggelam ke lantai.

Tentu saja, bukan secara harfiah. Itu hanyalah gambaran mental yang ia gunakan.

Stealth.

Haruhiro menaiki tangga batu.

“Marc em Parc…!”

Mage kurus itu melontarkan empat butir cahaya. Yume bergerak cepat seperti kelinci untuk menghindar dan melepas anak panah yang menembus topi mage itu. Seketika, topi itu hancur menjadi debu.

“Delm, hel, en, van—”

Mage kurus itu tak membuang waktu dan segera mengucapkan mantra lain. Tapi mantra itu takkan pernah selesai.

Haruhiro sudah berada di atas mage kurus itu, menusukkan belatinya ke punggung wraith. Serangan dari belakang.

“Urghk…!”

Agoni mage kurus itu hanya berlangsung sesaat. Ia sudah mulai hancur. Hampir seketika, mage kurus itu berubah menjadi tanah.

“Mew!”

Yume melompat sekali seolah berkata, “Kita berhasil!” lalu menoleh. Mereka tidak bisa membuang waktu untuk merayakan. Yang lain masih bertarung.

“Kenapa kau lama banget sih, bego?!” teriak Kuzaku, meski tidak jelas apakah ia berusaha menyemangati diri sendiri atau ada maksud lain.

Tiba-tiba muncul dua, tidak, tiga Ranta. Sejenak terlihat seperti itu, tapi sebenarnya itu hanyalah cara unik para dread knight bergerak. Atau mungkin gaya khas Ranta sendiri.

Warrior wanita itu benar-benar kehilangan jejak Ranta. Ia berdiri diam, sementara kedua lengannya terpenggal. Mungkin ia mencoba berbalik, tapi dalam sekejap, Ranta memenggal kepalanya. Ia hancur menjadi potongan-potongan, meninggalkan hanya tanah dan tulang.

“Jurus pamungkas, Dark Rending! Sial, itu keren banget! Aku yang terhebat! Whooo!”

“Ngh!”

Kuzaku menangkis ayunan pedang besar ke bawah dengan katana besarnya, menepisnya ke atas. Itu membuat tubuh pemegang pedang besar terbuka lebar. “Hahh!” Tanpa jeda, Kuzaku mengiris tubuh pemuda itu dari atas ke bawah, membelah wraith menjadi dua. Dengan itu, ia hancur menjadi debu.

“Hweeeeaaaahhhh?!”

Kimura mengeluarkan teriakan aneh, mengayunkan gadanya ke atas. Apakah ia menargetkan selangkang Yokoi? Cepat bergerak, Yokoi mundur, menghindari gada itu dengan mudah.

“Blargh?!”

Sesuatu menancap di kepala Kimura. Pisau lempar? Haruhiro melewatkan momen tepatnya, tapi kemungkinan besar itu dilempar Yokoi.

“Kimura-san?!”

“Te-Te-Te-Tengkulakuu! Seperti bajaaa! Jadi, serangan remeh semacam ituuu!! Tak akan pernah melukaikuuu!”

“Itu menancap cukup dalam…”

“Itu sempurrrnaaak! T-T-Terjaga di tempatnyaaa! Tulang-tulangku akan melindungiku! Aku akan terlindungi oleh t-tulangku!”

Tentu saja tampak sangat tidak oke, tapi jika Kimura bersikeras baik-baik saja, biarlah. Namun hal itu penting. Meskipun wraith, Yokoi tampak bingung. Haruhiro bisa memahami perasaannya. Meski tidak jelas apakah wraith benar-benar merasakan apa-apa.

“Ini mengingatkanku pada masa lalu, kau tahu?” Darah memancar dari titik di mana pisau lempar itu menancap di kepala Kimura. “Kenangan itu kembali, Yokoiiii! Hari-hari cinta dan hasrat kita! Oh, aku bahkan tak bisa membicarakannya tanpa air mata dan daraah!”

“Ugh, aku bahkan tak mau tahu…”

Haruhiro ingin menutup telinganya. Sebenarnya, ia ingin menutup mulut orang aneh itu. Mungkin wraith Yokoi merasakan hal yang sama? Dengan asumsi kalau mereka bisa merasakan sesuatu. Karena ia melempar pisau lempar lain ke arah Kimura.

“Oof?!”

Tidak hanya satu. Pisau itu menghantam dada kanan dan kiri Kimura, lalu perutnya. Ada tiga.

“Sakiiiiiit banget?!”

“Sial, orang ini benar-benar rusak parah…”

Haruhiro tak ingin setuju dengan Ranta, tapi kali ini ia tak punya pilihan selain mengangguk diam-diam.

“B-Biarkan aku menyembuhkannya—”

Merry mencoba memanggilnya, tapi Kimura tak mendengar. Ia mendekat dan mengayunkan gadanya ke arah Yokoi.

Itu nggak bakal berhasil, bung. Lihat? Dia menghindar lagi.

Yokoi menembakkan pisau lempar ke arah Kimura, seolah berkata, “cukup sudah.” Tiga lagi. Satu mengenai lengan kanan, dan satu di masing-masing paha.

“Owwie?!” Kimura akhirnya jatuh.

“Ya, aku yakin itu sakit!” Ranta melompat, mengayunkan pedangnya ke arah Yokoi. Sementara Ranta bergerak banyak untuk setiap aksinya, Yokoi justru efisien. Dengan putaran siku atau gerakan pergelangan tangan, ia tidak sekadar mengayunkan longsword-nya, tapi menghantam katana Ranta dengan keras. Ranta memegang katana dengan dua tangan, sementara Yokoi menggunakan satu tangan. Meski begitu, Ranta justru yang terdesak mundur.

“Woah?! Apa-apaan ini…?!”

“Hati-hati, Ranta!” Haruhiro memanggil meski tidak sepenuhnya yakin. Tangan kiri Yokoi kosong. Tidak ada yang tahu apa yang bisa ia lakukan dengan tangan itu.

“Diam, Parupirorin…!”

Ranta melompat ke kanan Yokoi. Ia berhenti dalam posisi merunduk. Beberapa saat kemudian, ia sudah berada di kiri Yokoi. Apakah ia mencoba bergerak cepat dari kanan ke kiri, memotongnya dengan satu tebasan saat berpindah? Namun, Yokoi tidak terluka.

“Jurus luar biasa, Peregrine Counter! Kirain kau bisa menangkis ini juga?! Oh, sial, dia bisa!”

Saat Yokoi maju diam-diam ke arah Ranta, Kuzaku melompat masuk.

“Oorahhh!”

Yokoi menangkis katana besar Kuzaku dengan rapi menggunakan longsword-nya. Mungkin berlebihan jika dikatakan itu seperti mainan anak-anak baginya, tapi ketika ia menendang dada Kuzaku dan membuatnya terhuyung mundur, jelas terlihat bahwa jarak kemampuan mereka begitu jauh. Kuzaku mengayunkan katana besarnya dengan kekuatan penuh, membuat Yokoi mundur sedikit sampai ia bisa pulih.

“Uh, dia luar biasa banget!”

“Kalau begitu minggir aja, pecundang!” Ranta kembali bertukar serangan dengan Yokoi. Haruhiro juga ingin ikut membantu, tapi itu tidak mudah. Kimura sempat bilang kalau ini belum ada apa-apanya dibandingkan saat Yokoi masih hidup. Serius? Dia bahkan lebih kuat dari ini?

“Ngh, guh…” Kimura berusaha bangkit.

Sudahlah. Kamu cuman bakal mati kalau maksa.

Merry segera berlari ke sisinya. Setora dan Yume juga mendekat.

“Aku nggak bisa menyembuhkannya selama pisau-pisau itu masih nancep!”

“Kau siapkan saja mantranya.” Setora mencabut satu pisau lempar dari tubuh Kimura.

“Mew!” Yume ikut membantu, mencabut pisau satu demi satu.

“Urgh, urrrgh…” Seluruh tubuh Kimura berlumuran darah. Merry membuat tanda segi enam di depan dahinya.

“O Cahaya, semoga perlindungan suci Lumiaris menaungimu… Sacrament!”

“Ohhhh!” Kimura tiba-tiba menekuk punggungnya seperti hendak melakukan bridge, lalu melompat berdiri dengan kedua tangan terangkat tinggi. Tubuhnya berlumur darah, tapi semua lukanya sudah tertutup. Penampilannya terlihat begitu heroik, meskipun bukankah yang lebih penting sekarang adalah duel antara Ranta dan Yokoi? Haruhiro tahu itu, tapi entah kenapa, matanya terus saja mengikuti Kimura. Apa ini mulai jadi kebiasaan? Dia membencinya.

“Ngomong-ngomong, Nona Merry, apa kau bisa mengucapkan Circlet?”

“Ya… aku bisa. Memangnya kenapa?”

“Aku punya rencana. Kau harus bekerja sama. Mengerti? Lakukan persis seperti yang kuperintahkan. Tepat seperti yang kuperintahkan. Paham?”

Merry mengangguk. Tidak ada ruang untuk menolak. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk. Auranya benar-benar gila. Pria itu jelas sudah kehilangan akal sehatnya.

“Akulah yang harus menyelesaikan segalanya dengan Yokoi!” Kimura mengayunkan gadanya sambil menerjang ke arahnya. “Minggir kalian, tuan-tuan!”

“Woah, hati-hati!”

“Tuan-tuan?!”

Setelah menghalau Kuzaku dan Ranta, Kimura berdiri tepat di depan Yokoi.

“Ooo Cahaya! Semoga perlindungan suci Lumiaris menaungimu!”

Belum sempat Kimura menyelesaikan mantranya, Yokoi sudah melemparkan pisau-pisau lempar. Tiga sekaligus, hampir bersamaan. Bagaimana sebenarnya cara kerja ingatan dan pikiran seorang wraith? Tak ada yang tahu. Tapi jelas Yokoi benar-benar membenci Kimura. Cara ia melemparkan pisau itu seolah berkata, “Jangan dekati aku, pria menjijikkan!” Kimura sempat memiringkan kepala untuk menghindari satu pisau, tapi dua lainnya menancap di bahu kiri dan paha kanannya.

“Mmph! Circlet!” Kimura tetap saja menyelesaikan mantranya, seakan berkata, “lalu kenapa?” Sebuah lingkaran cahaya berkilau muncul tepat di bawah kakinya.

“Ahhh!”

Pisau-pisau itu jatuh keluar dari bahu dan pahanya. Luka-lukanya pun tertutup. Tapi Yokoi sudah ada tepat di hadapannya. Jelas saja dia tidak akan diam menonton. Tentu tidak ada alasan untuk itu. Ia segera maju dan menghantam Kimura dengan pedang panjangnya.

“Gahhhhhh?!” Kimura meringkuk menahan tebasan itu.

Pedang panjang Yokoi menari tanpa ampun. Benar-benar brutal. Kimura dihantam berkali-kali di dalam lingkaran cahaya itu. Ia hanya bisa pas-pasan bertahan, melindungi kepala dan lehernya dengan perisai kecil dan gadanya.

“Arrrrggh?!”

“Uhh…” Mata Yume terbelalak seperti piring.

“Apa ini sebenarnya?” Setora pun sampai ternganga.

“O Cahaya, semoga perlindungan suci Lumiaris menaungimu… Circlet!”

Merry melantunkan mantra yang sama. Tapi… bukankah itu sama dengan yang baru saja Kimura gunakan? pikir Haruhiro. Dan memang benar. Kimura masih berada di tengah lingkaran cahaya itu, terus menerima tebasan. Hanya saja, kini lingkaran itu tampak semakin kuat. Tidak, bukan hanya terlihat—memang benar-benar semakin kuat. Apakah Circlet milik Kimura dan Merry saling tumpang tindih?

“Reeeee! Aku ter-boostiiiing?!” berkat itu, setiap kali Yokoi menebas Kimura, luka-lukanya langsung pulih—setidaknya kelihatannya begitu. Jadi ini rencana yang dimaksud Kimura tadi?

Merry menggenggam tongkatnya erat-erat, menunduk. “A-Aku… aku hanya melakukan apa yang dia suruh…”

“Befwegofeozuhyah?! Sakit, sakit, sakit, ini sakiiit! Sakit, sakit, pergilah! Kenapaaa tidak pergi jugaaa?!”

“Uh, kayaknya ada yang punya fetish aneh…” Kuzaku berusaha berpaling, tapi pandangannya malah bolak-balik, seperti penasaran sekaligus jijik.

Ranta menyarungkan katananya. “Aku ogah ikut campur…”

“…?!” Yokoi tampak kaget sejenak ketika mencoba menarik pisau lempar dengan tangan kirinya—tapi ternyata sudah habis. Sebagai gantinya, ia menendang Kimura. Sepertinya dia mencoba mengusirnya keluar dari lingkaran cahaya.

“Nghhhhh…”

Kimura bertahan. Ia berjongkok rapat, benar-benar bertahan penuh. Situasi ini buntu. Yokoi pun menggenggam pedang panjangnya dengan kedua tangan. Ia mengangkatnya tinggi, lalu mengayunkan ke arah Kimura.

Dan saat itulah, sesuatu terjadi.

“Nwa-hah!”

Kacamata Kimura memantulkan cahaya mencurigakan. Pedang Yokoi menghantam perisai kecilnya, sementara gada Kimura melayang di udara. Tepat ke arah… selangkangan. Tentu saja, selangkangan. Begitu gada Kimura menghantam bagian itu, terdengar bunyi retakan, dan tubuh Yokoi terbelah, hancur menjadi tanah dan tulang seperti para wraith lainnya.

“Urgh, ngh, guh…”

Kimura berdiri santai di tengah lingkaran cahaya yang saling bertumpang tindih. Pisau-pisau yang masih menancap di tubuhnya berubah menjadi tanah, sementara luka-lukanya menutup perlahan, disaksikan semua orang.

“Aku bisa merasakannya. Aku merasaaaakaaaan! Merasakan cinta yang tertinggal! Tapi, tidak… ini hanyalah cinta yang masih membekas dalam diriku…” Kimura menghentakkan kakinya ke tanah. “Kau bukan Yokoi yang kucintai. Kau hanyalah wujud najis yang menodai kenangan indah itu. Yokoi… kau tak akan pernah kembali… Tidaaaaak…”

“Sekarang dia malah nangis meraung-raung…” Ranta mendesis. Tapi bukan hanya dia—semua orang jadi risih. Atau… tunggu dulu.

“Kamu… beneran cinta banget sama dia, ya?” Yume sampai berkaca-kaca, mengangguk pelan.

“Oh, betapa aku mencintainya.” Kimura menoleh pada Yume dengan wajah berlumuran darah, air mata, dan ingus. “Dia adalah yang pertama sekaligus terakhir. Cinta terbesarku. Yokoi, selamanya…”

“Yah…” Ranta terkekeh. “Kalau segitu cintanya, mungkin dia beruntung juga, ya? Bukan berarti aku ngerti sih…”

“Aku lah yang beruntung, bisa mencintai Yokoi. Tapi masa lalu tetaplah masa lalu.” Kimura berlutut, meletakkan perisai kecil dan gadanya di lantai. Ia melepas kacamatanya, menyeka wajah dengan sapu tangan, lalu memakainya kembali. Seolah tak terjadi apa-apa, ia berdiri dan berkata datar, “Baiklah, kita tak punya waktu untuk berlama-lama. Mari lanjutkan.”

Haruhiro sebenarnya punya banyak hal yang ingin dia katakan, tapi dia menahan diri. Ia menyuruh rekan-rekannya maju lebih dulu, dan ketika hendak ikut menyusul, Kimura masih saja berdiri di tempat. Apa dia masih terbawa perasaan?

“Kimura-san…?”

“Tuan Haruhiro.” Kacamata Kimura berkilat samar saat ia memberi isyarat agar Haruhiro mendekat.

“Hei, kalian…” Ranta menggeser topengnya dan menatap mereka dengan penuh curiga.

Apa sebenarnya maksud dari kilatan samar di kacamata Kimura itu?

Haruhiro memberi isyarat dengan matanya. Ranta mengerti, lalu mengembalikan topengnya ke posisi semula. Setelah itu, ia menoleh ke arah Kuzaku yang juga sedang membungkuk, lalu menendang pantatnya sebelum berjalan pergi.

“Jangan tendang pantatku…”

“Diam!”

Haruhiro menurunkan suaranya. “Jadi, ada apa?”

“Aku harus minta maaf soal tadi.” Kimura menundukkan kepala.

“Tidak, tidak apa-apa… Kau cuma agak bikin kaget, itu saja.”

“Aku benar-benar malu. Sampai sekarang pun, aku masih hilang kendali setiap kali melihatnya lagi. Padahal aku paham betul itu sebenarnya bukan dia.”

“Tapi… wujudnya memang persis seperti dia, kan? Aku rasa wajar saja kalau kau bereaksi begitu.”

“Kami sudah kehilangan banyak rekan di Pemakaman ini. Termasuk dia… dan juga Shingen.”

“Shingen-san… dia yang berjanggut itu, ya?”

“Benar. Orion memang punya keterikatan dengan tempat ini. Menurutmu, kenapa bisa begitu?”

“Uh… kenapa?”

“Kenapa, meski sudah kehilangan begitu banyak anggota, Orion tetap memaksa menaklukkan Pemakaman ini? Bukankah itu aneh?”

“Yah… kalau dipikir-pikir, iya juga.”

“Salah satu alasannya adalah meski letaknya dekat dengan Altana, tempat itu hampir tak tersentuh oleh para prajurit relawan lain. Seperti tanah petualangan yang belum dijelajahi. Jika Orion bisa benar-benar mengungkap misteri Pemakaman, itu akan menjadi warisan yang abadi. Alasannya karena semangat petualangan, begitulah kira-kira.”

“Hmm. Semangat petualangan, ya? …Aku rasa aku mengerti.”

“Tuan Haruhiro. Kamu bukan tipe yang bisa tergerak oleh hal semacam itu. Aku bisa lihat. Sejujurnya, aku juga sama.”

“Huh?”

“Menaklukkan Pemakaman adalah tujuan Shinohara-kun. Karena dia begitu bersemangat mengejarnya, kami di Orion tak punya pilihan selain melakukan segala yang kami bisa untuk mewujudkannya. Tidak ada jalan lain.”

“Aku merasa…” Haruhiro mengetuk pipinya pelan, lalu menatap Kimura dari bawah. Kimura sendiri menunduk, tatapannya tertuju pada kakinya. “Sebenarnya, kamu sendiri tidak terlalu tertarik dengan ide itu, ya, Kimura-san? Mungkin?”

“Tidak, itu tidak benar. Sama sekali tidak,” jawab Kimura seketika, meski nadanya tidak sekuat kata-katanya. “Kalau bukan karena Shinohara-kun, Orion tidak akan pernah lahir. Tanpa kemurahan hatinya, ketajaman pengamatannya, ketegasannya, kepemimpinannya yang langka, kemampuan komunikasinya yang tiada banding, serta kemampuan adaptasinya yang nyaris menakutkan, Orion tak mungkin ada. Orion adalah rumah yang dibangun Shinohara-kun bagi orang-orang yang ia selamatkan. Bagi kami yang terdampar di Grimgar tanpa ingatan akan tanah kelahiran kami, itu adalah rumah maaaniiiisss kami…!”

Apakah Kimura sedang bercanda? Atau benar-benar serius? Sulit untuk memastikan.

“Soal Shinohara-kun, meski penampilannya tidak menunjukkan ini, dia sebenarnya cukup romantis. Tidak peduli berapa banyak rekan kami yang gugur, dia tidak pernah menyerah untuk menjelajahi Pemakaman. Bisa jadi dia memanfaatkan operasi penyerbuan Gunung Nestapa ini demi mencapai tujuan sebenarnya di sini.”

“Tujuan sebenarnya?” Dahi Haruhiro berkerut. “Tujuan seperti apa maksudmu?”

“Kuh-buh…” Kimura mengeluarkan tawa aneh khasnya, lalu menggelengkan kepala. Apa maksudnya? Apakah dia tidak bisa mengatakan? Atau tidak mau? Atau mungkin memang tidak tahu?

“Dari sisiku… Tuan Haruhiro, mungkin tak ada gunanya aku mengatakannya, tapi aku cemas pada Shinohara-kun… Sebagai seorang teman, maksudku.”

“Uh… Apa yang membuatmu cemas tentang dia?”

“Seperti yang kau tahu, Shinohara-kun orang yang sangat baik. Aku menghormatinya. Dia pemimpin Orion, dan sahabat yang berharga. Namun, ada kalanya dia…”

Wajah Kimura terdistorsi oleh rasa sakit yang jelas tidak dibuat-buat. Ia tampak benar-benar terganggu. Setidaknya, itu kesan yang Haruhiro tangkap.

“Aku ingin bisa membantunya… tapi… mungkin aku tidak cukup baik. Kadang-kadang, bahkan saat aku berada di sisinya, dia terasa begitu jauh…”

“Kimura-san.”

Mari coba selami lebih dalam.

Haruhiro membulatkan tekad. Meski Kimura selalu berada di sisi Shinohara, masih ada kemungkinan ia sebenarnya bisa berdiri di pihak mereka.

“Kau tahu Menara Terlarang, kan?”

“Ya,” kata Kimura setelah terdiam sejenak, sambil membetulkan letak kacamatanya. Kacamatanya tidak berkilau, namun ekspresinya mengeras. Ia tampak waspada. “Tentu saja. Memangnya kenapa?”

Apakah ini ide bagus atau buruk? Masih belum terlambat untuk mundur. Tapi ini tentang apa yang disebut Shinohara. Aku hanya ingin memastikan apakah Kimura tahu. Hanya itu.

“Kalau begitu, bagaimana dengan sang master Menara Terlarang?”

“Maaasteer…?”

“Bukan… Master.”

“Master…” Kimura memiringkan kepalanya, seakan sedang berpikir.

Apakah dia sedang berpura-pura bodoh? Atau memang benar-benar tidak tahu? Mana yang benar? Sulit dipastikan.

“Tuan Haruhiro.”

“Ya?”

“Aku dengar kau terbangun di bawah Menara Terlarang. Tanpa ingatan apa pun selain namamu sendiri.”

“Itu benar.”

“Kalau begitu…” Tiba-tiba Kimura mendekatkan wajahnya.

Woah, terlalu dekat.

Ujung hidung Kimura sampai menyentuh hidung Haruhiro.

Serius, kelewat dekat, bung.

“Apakah kau bertemu dengannya? Dengan sang Master Menara Terlarang itu? Kalau iya, apakah dia yang mencuri ingatanmu? Walau, kupikir dia belum tentu seorang manusia. Benarkah dia manusia? Kau kehilangan ingatanmu. Sembilan dari sepuluh kasus, hal semacam itu biasanya ulah sebuah relik. Tidakkah masuk akal bila kita berspekulasi bahwa mungkin kita semua pernah kehilangan ingatan karena ulah sang Master Menara itu, lalu kita diarahkan ke Altana untuk menjadi prajurit relawan?”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x