5. Berilah Kami Berkah (Grimgar)

Haruhiro mulai bergerak lagi sebelum matahari terbit. Tak ada tanda-tanda pengejar mereka semakin mendekat, dan yang lebih penting, mereka butuh air—dan makanan.

Kiichi adalah kunci mereka untuk keduanya. Nyaa itu menyerupai kucing, tapi berjalan dengan kaki belakang seperti monyet. Kedua kaki depannya sangat lincah. Menurut Merry, para nyaa adalah makhluk yang sangat cerdas. Bahkan Kiichi tampak bisa mengerti kata-kata tuannya, Setora.

Kelompok itu bergerak menuju pegunungan di selatan. Mendaki gunung memang berbahaya karena ada naga di sana, tapi mereka mungkin masih aman di kaki gunung. Kalau keadaan memburuk, mereka bisa lari. Lagi pula, mencari sumber air di pegunungan jauh lebih mungkin daripada di dataran.

“Dengar baik-baik,” Setora berkata pada Kiichi sambil menatap serius. “Kami sedang mencari makanan dan air. Tanpa keduanya, kami akan mati. Kamu juga. Makanan dan air. Mengerti?”

Menjelang matahari tinggi di langit, medan mulai dipenuhi lereng curam.

Pemandangannya mulai terasa pegunungan sekali—berbukit, terjal, penuh bebatuan.

Mungkin ini saatnya untuk mundur. Kalau sampai seekor naga muncul, mereka akan benar-benar dalam bahaya. Haruhiro dan yang lain sepakat untuk tidak melanjutkan lebih jauh ke selatan. Saat itulah Kiichi tiba-tiba lari. Mereka mengejarnya, dan akhirnya tiba di sebuah lembah. Di dasar lembah itu mengalir sungai kecil yang jernih. Nyaa itu menundukkan kepalanya dan mulai minum.

Setora tampak senang bukan main. “Kerja bagus, Kiichi!”

Sebenarnya tidak bijak untuk langsung meminum air mentah. Bahkan tanpa ingatan sekalipun, mereka masih punya akal sehat sebanyak itu. Tapi rasa haus yang mereka alami sudah sampai titik menyiksa. Tak ada yang bisa menahan diri—mereka pun meneguk air dingin dan jernih itu dengan lahap.

“Kita sudah pernah hidup terlalu ekstrem,” kata Merry setelah merasa cukup terhidrasi. Matanya tampak sedikit berkilau. “Sepertinya perut kita tidak akan terlalu bermasalah. Selama ada air, kita masih bisa bertahan cukup lama.”

Seperti apa sebenarnya hidup yang mereka jalani dulu? Haruhiro merasa ia harus bertanya soal itu pada Merry. Ia juga memutuskan untuk meminta Merry menjelaskan lebih lanjut soal sihir Shihoru. Untuk sementara, mereka akan menjadikan tempat ini sebagai titik awal—membangun semacam markas kecil di sekitar sumber air ini. Apa pun keputusan mereka nantinya, yang penting sekarang adalah membangun pondasi untuk bertahan hidup.

Malam sebelumnya, Haruhiro gagal menghibur Shihoru ketika gadis itu merasa kewalahan oleh rasa cemas dan beban tanggung jawab. Ia sempat memikirkannya, tapi dirinya pun sama cemasnya—dan tidak punya ruang emosional untuk benar-benar mengatasi semuanya. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan, dan takut ia tak bisa melakukan apa-apa. Faktanya, ia memang tidak berbuat apa-apa. Bahkan mencoba pun tidak. Itu sudah cukup jelas.

Haruhiro ingin mulai menambah hal-hal yang bisa mereka lakukan—dan yang benar-benar mereka lakukan—sedikit demi sedikit.

Meskipun mereka tak bisa mendapatkan kembali ingatan mereka, setidaknya mereka punya Merry. Mereka bisa menyerap informasi yang dimiliki Merry, sedikit demi sedikit, dan menjadikannya milik mereka sendiri. Mereka juga punya Kiichi. Nyaa peliharaan Setora itu bukan cuma hebat dalam menemukan makanan dan air—sepertinya dia bisa melakukan lebih dari itu. Bahkan bisa dibilang, dia jauh lebih berguna daripada Haruhiro sendiri.

Tapi penting juga untuk bergantung pada yang lain—bukan hanya Kiichi.

Ada batas atas untuk apa yang bisa ia lakukan seorang diri. Meski ada hal-hal yang tak bisa ia lakukan, mungkin ada di antara mereka yang bisa. Sebaliknya pun begitu. Mungkin ada hal-hal yang orang lain tak bisa lakukan, tapi Haruhiro bisa. Selain itu, meski tidak bisa dilakukan sendirian, kalau dua atau tiga dari mereka bekerja sama, mungkin bisa terwujud.

Membedakan tumbuhan beracun atau tidak memang sulit, tapi mereka mencoba meniru Kiichi—mencoba menempelkan tumbuhan yang ia makan ke bibir mereka, atau menggigit sedikit, lalu menunggu untuk memastikan tidak ada reaksi aneh.

Ada beberapa jenis kacang dan buah beri, dan mengejutkannya, juga lumut yang cukup enak dan mengenyangkan. Kuzaku sempat sakit perut saat mereka mencoba jamur dan umbi-umbian, jadi mereka memutuskan untuk menghindari jenis itu setelahnya.

Kiichi juga bisa menangkap hewan-hewan kecil. Tikus, kadal, ular, dan semacamnya.

Tikus dan kadal terlalu kecil—hanya cukup jadi camilan untuk Kiichi. Ular penuh tulang, tapi masih bisa dimakan.

Lalu muncul pertanyaan: apakah mereka perlu membuat api?

Mereka membahasnya bersama, dan mempertimbangkannya baik-baik.

Kalau mereka menyalakan api untuk memasak, pasti akan ada asap. Di hari yang cerah tanpa angin, asap itu bisa terlihat dari beberapa kilometer jauhnya.

Tapi api benar-benar membuat perbedaan besar. Banyak bahan makanan yang jadi lebih aman untuk dimakan setelah dimasak.

Mereka akhirnya membuat tungku dari batu di tempat yang tertutup, sehingga kalaupun ada asap, akan tertahan oleh pepohonan dan daun-daun di sekitarnya.

Begitu tungku siap, mereka mengumpulkan daun kering dan kayu, lalu mencoba menyalakan api. Kuzaku tampak percaya diri dan berkata, “Gampang ini mah.” Tapi ternyata jauh lebih susah dari yang ia bayangkan.

Menjelang matahari terbenam, mereka hampir menyerah. Tapi Shihoru, dengan tingkat fokus yang mengagumkan, memutar tongkat di antara kedua tangannya, dan akhirnya berhasil menyalakan api.

Melihat bagaimana Shihoru—yang selama ini menganggap dirinya tidak berguna—berusaha sekuat itu, membuat hati Haruhiro terasa hangat. Ia memanggilnya dan berkata, “Kamu berhasil.” Tapi Shihoru hanya menunduk dengan sedikit canggung dan berkata, “Sekarang aku jadi keringetan,” lalu menundukkan kepala.

Sebagian besar hari pertama mereka di lembah kaki gunung itu dihabiskan untuk membuat api, tapi mulai hari kedua, mereka mulai berburu. Meski begitu, di hari kedua dan ketiga, hanya beberapa hewan kecil yang berhasil ditangkap Kiichi—itu satu-satunya hasil yang mereka dapatkan.

Pada hari keempat, Haruhiro melemparkan salah satu belatinya dan berhasil melukai seekor rusa. Ia mengejar hewan itu saat melarikan diri, dan akhirnya menangkapnya setelah rusa itu mulai melemah. Meski begitu, hewan itu masih tergolong anak rusa. Ia menghabisinya dengan cepat, menguras darahnya, menguliti, lalu memotong-motong dagingnya. Sejak saat itu, Haruhiro kadang-kadang beruntung mendapatkan buruan.

Namun, pada sore hari ketujuh mereka berkemah di lembah, ketika Haruhiro sedang memandangi Pegunungan Tenryu tanpa tujuan jelas, ia melihat sesosok makhluk besar tengah bergerak. Lebih dari setengah tubuh makhluk itu menjulang di atas puncak pepohonan di lereng gunung—tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ukurannya sungguh luar biasa. Gila rasanya ia masih bisa melihatnya dari jarak bermil-mil seperti ini.

“Itu naga?” Setora berkedip beberapa kali. Ekspresinya tetap datar, tapi dari sorot matanya tampak jelas bahwa ia terkejut dengan caranya sendiri. “Besar sekali.”

Naga itu sedang melintasi sisi gunung. Ia tidak tampak menuruni ataupun mendaki lereng, tapi juga tidak menjauh.

Dengan mengamatinya lebih seksama, Haruhiro bisa melihat sosok-sosok lain yang tampaknya juga naga, lebih jauh di kejauhan.

Naga memang hidup di Pegunungan Tenryu. Merry pernah mendengarnya tak lama setelah menjadi prajurit relawan, dan ia tidak pernah benar-benar meragukannya—tapi inilah pertama kalinya ia melihatnya secara langsung.

Ternyata naga benar-benar ada. Dan bukan hanya ada—mereka juga bukan makhluk langka. Mereka lumrah. Kenyataan itu membuat berkemah di lembah terasa lebih menakutkan, tapi kalau makhluk sebesar itu mendekat, pasti ada tanda-tandanya. Tidak perlu merasa takut secara berlebihan.

Kelompok itu perlahan-lahan mulai membuat tali dari kulit kayu dan tanaman rambat. Dengan bahan itu dan beberapa potong kayu, pada hari kesepuluh mereka membangun tempat berteduh sederhana. Bangunan itu bahkan tak pantas disebut dinding—hanya tiang-tiang dengan atap seadanya—tapi cukup untuk melindungi dari terik matahari dan hujan.

Secara alami, mereka terbagi dalam sistem di mana tiga orang akan pergi berburu dan mencari makanan, sementara dua orang lainnya tinggal di lembah untuk menjaga api, menyiapkan makanan, dan memperkuat gubuk kecil mereka.

Setora bekerja dengan tanah liat dan membakarnya untuk membuat gerabah. Membuat botol berleher sempit memang sulit, tapi dengan pot tanah yang cukup dalam, mereka bisa menyimpan makanan.

Ide membuat kantong air dari perut dan kandung kemih hewan buruan juga datang dari Setora. Ia mencucinya dengan bersih, menguleni agar lebih lentur, lalu meniup dan mengeringkannya. Prosesnya lumayan rumit, tapi hasil akhirnya cukup menyerupai kantong air, jadi kini mereka bisa membawa air kemanapun.

Ia juga berharap bisa memanfaatkan kulit hewan sebaik mungkin, tapi ternyata itu lebih sulit dari yang dikira. Perlengkapan thief Haruhiro memang menyertakan jarum, tapi tidak ada benang. Tanpa tali yang kuat, menyatukan kulit itu tak mungkin dilakukan, jadi untuk sementara mereka hanya menggantungnya atau membentangkannya di tanah. Tapi mengenal Setora, cepat atau lambat ia pasti akan menemukan cara membuat benang.

Malam ketujuh belas pun tiba.

Saat itu, Kuzaku dan Setora berjaga. Merry dan Shihoru berada di dalam gubuk—atau lebih tepatnya di bawah atapnya—sementara Haruhiro berbaring di tanah tak jauh dari sana.

Haruhiro terbangun sebelum Kuzaku sempat membangunkannya. Bukan karena ia tidur tidak nyenyak—melainkan karena ia sudah terbiasa terjaga begitu ada sesuatu yang terjadi.

“Ada apa?”

“Nggak tahu. Ada suara… atau bisa dibilang ada ‘kehadiran’. Kiichi yang pertama sadar.”

“Aku mengerti. Untuk berjaga-jaga, bangunin Merry dan Shihoru.”

“Siap.”

Haruhiro berjalan mendekati Setora yang sedang berjongkok di samping tungku. Untuk menjaga agar api di dalam tidak terlalu besar, mereka hanya memberi kayu bakar secukupnya agar tetap menyala sepanjang malam.

Kiichi ada di samping Setora, menatap gelap malam dengan sorot tajam, tubuhnya siap melompat kapan saja.

“Itu binatang?” tanya Haruhiro.

Setora menggeleng.

“Entahlah. Tapi Kiichi bertingkah aneh.”

Satu hal yang pasti—Kiichi sedang mewaspadai sesuatu. Dan jika Setora sampai berkata Kiichi bersikap aneh, berarti memang ada yang tidak biasa. Si nyaa itu menatap lurus ke arah depan, agak ke kiri.

“Di sana, ya? Aku akan cek.”

“Hati-hati.”

“Ya.”

Haruhiro bergerak ke depan dengan langkah senyap, menyatu dalam gelap. Selama berburu, sebagian insting thief-nya sepertinya mulai kembali. Bahkan dalam kegelapan nyaris total, Haruhiro bisa bergerak tanpa menimbulkan suara.

Ia memang tak punya penglihatan malam, jadi tak bisa melihat jelas. Namun, gelap justru mempertajam indera-indera lainnya, dan bahkan cahaya sekecil apa pun bisa memberinya petunjuk penting.

Haruhiro meninggalkan lembah dan maju sekitar enam puluh langkah sebelum berhenti.

Ia mendengar suara seperti, “Nggh… Ahh… Uhh…” Apakah itu suara manusia?

Ada suara seperti langkah kaki, atau lebih seperti sesuatu yang diseret.

Sumber suara itu berasal dari arah kanan.

Cahaya bulan yang menyusup lewat celah-celah pepohonan menyinari objek bergerak itu dengan samar.

Mungkin itu manusia. Atau seseorang dari ras yang menyerupai manusia.

Pikiran pertamanya adalah: Apakah dia terluka? Apakah ia sedang tersesat dalam keadaan cedera?

Sosok itu lalu berhenti.

Ia tak bisa melihat mereka, tapi ia merasa seolah-olah mereka sedang menatap ke arahnya.

Haruhiro menahan napas sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Apakah mereka sudah menyadari kehadiran Haruhiro? Ia belum bisa memastikan.

Haruhiro meletakkan tangan di gagang belatinya. Menariknya tanpa suara nyaris mustahil. Ia akan mencabutnya saat pihak lain bergerak. Sampai saat itu, ia akan menunggu. Ternyata, Haruhiro cukup sabar. Ia bisa menunggu selama yang dibutuhkan.

Pihak lain itu bergerak.

Haruhiro segera mencabut belatinya dan mengambil posisi bertahan.

Namun mereka tidak bergerak ke arahnya. Mereka justru menjauh.

Haruhiro sempat ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk membuntuti mereka. Ia tidak berniat mengejar terlalu jauh. Ia hanya ingin tahu siapa mereka sebenarnya.

Tak lama setelah ia mulai mengikuti, tubuhnya langsung dilanda keringat dingin.

Ini bisa jadi masalah.

Ada sesuatu di belakangku juga.

Mungkinkah itu teman-temanku? pikirnya. Tidak. Bukan itu.

Kuzaku dan yang lainnya mungkin mengkhawatirkannya, tapi ini bukan saatnya mereka ikut campur. Justru mereka akan mengganggu. Mereka pasti cukup sadar soal itu.

Lagi pula… suaranya mirip.

“Uwah… Ohh… Uhh…”

Itu suara… ya, kemungkinan besar suara… dan langkah kakinya juga serupa. Bunyi langkah yang terdengar sangat familiar.

Ada beberapa sosok. Ia tak yakin bisa menyebut mereka “manusia.” Tapi apa pun mereka, yang ini tidak sendirian. Ada banyak.

Berpikir terlalu lama akan jadi kesalahan fatal. Haruhiro mengambil keputusan. Ia harus berhenti mengejar. Ia tak perlu langsung kembali ke lembah; ia bisa memutar sedikit, dan tetap sampai. Yang penting tetap tenang, jangan panik, dan terus berjalan.

Tapi saat berjalan, ketenangannya mulai goyah.

“Ohh…”

“Uhh…”

“Ahh… Ohh…”

“Eahh… Uohh…”

Suara-suara itu terdengar dari segala arah. Bukan hanya dua atau tiga. Mungkin sepuluh. Bahkan bisa lebih.

Untuk saat ini, mereka tidak terdengar sangat dekat—artinya, tidak dalam jarak lima atau enam meter—tapi Haruhiro tak akan terkejut jika satu atau dua berada dalam radius sepuluh meter darinya.

Di sebelah kanan, ia sempat melihat bayangan bergerak. Anehnya, meski suasana sudah gelap, bayangan itu tetap terlihat jelas. Siluetnya menyerupai manusia. Tak diragukan lagi.

Di depan, jalannya menurun. Lembah, ya? Ia sudah sampai. Ia bisa melihat api. Tungku.

“Ahh…”

“Ohh…”

“Uhhh…”

“Ahhhh…”

Suara-suara itu semakin dekat. Apakah mereka mengejar Haruhiro? Jika ya, rasanya tidak terlalu mengancam, dan mereka juga tidak tampak berusaha keras mengejarnya. Aneh sekali. Sangat aneh.

Haruhiro menuruni lereng, menuju tungku. Teman-temannya sudah berkumpul di sekitarnya.

“Ada sesuatu yang datang,” hanya itu yang bisa Haruhiro katakan.

“Hah? ‘Sesuatu’ itu maksudnya apa?” Setora terdengar jengkel, dan Haruhiro tak bisa menyalahkannya.

“Ah…!” Kuzaku menoleh ke arah lereng yang baru saja dituruni Haruhiro.

Haruhiro ikut menoleh. Ada sesuatu yang terseok-seok turun dari atas.

Kuzaku mencabut pedangnya.

“Kita harus menghadapinya, kan?!”

“Ya.” Haruhiro membalik cengkeraman belatinya. “Jangan jauh-jauh dariku. Usahakan tetap bersama.”

“Aku akan pastikan kalian semua selamat,” ujar Merry.

Haruhiro bisa mendengar napas Shihoru yang tegang.

Mereka datang. Apa pun itu.

Makhluk itu menyeret salah satu kakinya. Gerakannya berat, tubuhnya terombang-ambing saat melangkah.

Manusia? Tapi tidak tampak seperti goblin. Mungkin orc?

Setora mengambil sepotong kayu terbakar dari tungku dan menyorotkannya ke arah makhluk itu.

“Itu manusia!” seru Setora.

Di saat bersamaan, Merry berteriak, “Zombie!”

“Gak peduli apa itu…!” Kuzaku meloncat maju, pedangnya berkilat.

Pedang Kuzaku panjang dan tebal. Bilahnya hanya satu sisi, jadi bisa dibilang semacam katana besar. Akan sulit sekali mengendalikan pedang sebesar itu tanpa tinggi badan dan otot-otot sekuat Kuzaku.

Katana besar itu dengan mudah memisahkan kepala makhluk—entah manusia, zombie, atau apa pun itu—dari bahunya.

Kepala yang terpenggal itu jatuh ke tanah dan berguling di dekat tungku. Terlihat seperti kepala pria. Ia sangat kurus, dan rambutnya yang tumbuh liar begitu kaku sampai sulit dipercaya itu benar-benar rambut.

“Eeek…!” Shihoru menjerit.

Mata dan mulut kepala yang terpenggal itu masih bergerak-gerak.

Setora menendang kepala itu menjauh.

“…Itu benar-benar menjijikkan!”

“Serem!” Kuzaku memang pemberani, tapi bahkan dia sampai merinding. “Ini terlalu mengerikan! Zombie itu—”

“Ada lebih banyak yang datang!” Setora memotong, memberi peringatan.

Apakah semua itu zombie? Mereka berjalan sempoyongan turun lereng menuju dasar lembah.

Merry melompat maju.

“O Cahaya, semoga perlindungan ilahi Lumiaris menyertaimu.”

Dia bergerak begitu cepat, seolah hendak menubruk para zombie itu.

Haruhiro mengejar Merry.

“Merry?!”

“Dispel…!” Merry mendekati zombie-zombie itu dan mengucapkan mantra.

Itu benar-benar sihir cahaya. Sebuah kilatan terang membutakan Haruhiro sampai ia terpaksa menutup mata.

“Urkh…”

Ia segera membuka mata dan melihat sekeliling. Butuh waktu sebelum penglihatannya kembali normal.

Dua zombie terjatuh di kaki Merry. Tak bergerak. Seperti mayat.

“Mereka mayat hidup yang tak bisa tenang karena kutukan No-Life King!” Merry menekan jarinya ke dahinya, bersiap mengucapkan mantra lagi. “O Cahaya, semoga perlindungan ilahi Lumiaris menyertaimu.”

“Mereka datang dari segala arah!” teriak Setora.

Pertempuran berubah menjadi baku hantam.

Setora dan Kiichi melindungi Shihoru, sementara Kuzaku melibas zombie-zombie yang menyerbu dengan ganas. Haruhiro memotong kepala mereka dan menendang atau menginjak agar mereka tak bisa bergerak. Zombie yang terkena sihir cahaya Merry berubah menjadi mayat, kembali ke wujud seharusnya, tapi yang tak terkena terus bergerak sampai akhirnya benar-benar lumpuh. Mungkin otak mereka masih berfungsi, karena tubuh yang kehilangan kepala berhenti bergerak, tapi kepala-kepala itu tetap penuh energi. Kepala zombie itu memang tak bisa berbicara, tapi masih bisa membuka dan menutup rahang. Haruhiro hampir tergigit oleh salah satu kepala zombie. Kalau tidak hati-hati, dia benar-benar dalam bahaya.

Karena gelapnya suasana, pertarungan melawan zombie terasa seperti berlangsung selamanya.

Setiap kali ia kira tidak ada zombie tersisa di sekitar, ia mendengar erangan dari arah lain. Zombie berjalan sempoyongan menuruni lereng. Suara mengerikan itu terus terdengar, dan saat ia menoleh, ia menemukan kepala zombie. Berapa kali pun itu terjadi, Haruhiro tak pernah terbiasa dengan sensasi mengerikan saat menginjak kepala zombie.

Akhirnya, tidak ada yang bisa benar-benar tenang sampai langit mulai terang, dan mereka bisa memastikan tak ada lagi zombie di sekitar.

Selama pertempuran, mereka juga menyadari zombie-zombie itu bukan hanya manusia, tapi ada juga ras lain. Namun, karena mayat yang tak terkena sihir cahaya Merry sudah tercerai-berai, sulit membedakan mana manusia dan mana yang ras lain.

Tapi serius, berapa banyak zombie yang sudah mereka kalahkan?

Sulit memperkirakannya. Jujur saja, Haruhiro bahkan tak ingin menghitung.

“Kita…” Shihoru ragu menatap anggota lain. “Kita harus membersihkan ini…?”

“Ya…” Kuzaku dalam kondisi luar biasa, tubuhnya penuh darah hitam dan potongan daging busuk. “…Sepertinya iya. Kita… mungkin harus bersih-bersih. Aku nggak yakin bisa tidur di sini kalau nggak beresin ini…”

“Ada yang lebih penting.” Setora cukup kuat untuk berkata begitu. Meski tidak separah Kuzaku, Setora juga penuh percikan darah dan daging busuk, tapi ia tampak biasa saja. “Apa kita memang jadi target zombie? Atau serangan ini cuma kebetulan?”

Merry tampak kelelahan akibat terlalu sering menggunakan sihirnya. Dia berlutut.

“Mayat yang dikendalikan kutukan No-Life King membentuk koloni dan berkeliaran tanpa tujuan. Aku pernah dengar itu, tapi lupa kapan…”

“Kalau begitu ini cuma kebetulan.” Setora mengulurkan tangan, dan Kiichi memanjat bahunya lalu menjilat pipinya. “Kita lagi sial.”

Kuzaku menundukkan kepala dan menghela napas.

“Nasib kita benar-benar buruk…”

Haruhiro tidak menghela napas.

Sebenarnya dia ingin memberi sudut pandang yang lebih positif, tapi jelas itu mustahil. Dia kecewa, dan ingin mengeluh juga. Dia ingin menangis sejadi-jadinya. Dia ingin melampiaskan kemarahannya pada seseorang.

Yah, nggak juga sih.

Bukan berarti dia tidak kecewa. Hanya saja dia bisa mengatasinya. Atau setidaknya dia ingin berpikir bahwa dia bisa.

Kalau dia masih bisa berpikir seperti itu, berarti semangatnya belum benar-benar patah.

“Aku benci harus bilang ini, tapi kita tinggalkan tempat ini saja.” Haruhiro berusaha sekuat mungkin agar suaranya tidak terdengar enggan saat mengucapkannya. “Sepertinya goblin-goblin di Altana sudah tidak mencari kita lagi, dan kita punya makanan yang cukup awet. Aku rasa kita sudah siap untuk melanjutkan perjalanan lain.”


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x