4. Kenapa Kita Terus Mengulang? (Grimgar)

“Hei, Haruhiro!”

Tahu-tahu, Ranta sudah mencengkeram bahunya dan mengguncangnya keras.

“Haruhiro! Haruhiro! Kenapa kamu juga jadi aneh sekarang, hah?!”

Nggak ada yang aneh denganku. Haruhiro menggelengkan kepala. Aku baik-baik saja. Tapi bukan itu masalahnya.

Kamu salah.

Kalau dipikir-pikir, justru dari jauh hari ini akulah yang ada masalah.

Kenapa dia bisa lupa? Itu benar-benar misteri. Tak masuk akal kalau dia bisa lupa sesuatu sepenting ini. Faktanya, Haruhiro ingat semuanya. Dia sebenarnya tak pernah kehilangan ingatan. Semua itu ada—selalu ada—di dalam kepalanya. Kalau tidak, tak mungkin dia bisa mengingatnya sekarang.

“Haruhirooo!”

“Udah diam!” Haruhiro mendorong Ranta menjauh.

Kamu bikin aku pusing. Kamu keras kepala banget, tahu nggak? Apa sih maksudmu? Sial.

Tenang, Haruhiro berkata dalam hati. Tenangkan pikiranmu.

Tapi mana mungkin aku bisa tenang sekarang.

Bukan cuma Ranta. Kuzaku, Setora, Yume, bahkan Merry pun menatap Haruhiro dengan tatapan aneh.

“Tunggu sebentar…”

Jangan lihat aku seperti itu.

Selama ini aku memang gila karena lupa, tapi sekarang aku sudah mulai waras. Atau setidaknya, aku merasa bisa kembali seperti diriku sebelumnya. Tapi kalau kalian terus menatapku begitu, aku bisa gila lagi.

“Boleh aku minta waktu sebentar…? Aku cuma perlu menata pikiranku. Hanya sebentar…”

Haruhiro mulai berjalan. Dia tidak punya tujuan. Dia hanya tidak ingin tetap di sini.

Tempat ini terlalu dekat dengan Menara Terlarang.

Semuanya berawal dari menara ini.

Dia pernah mendengar suara seseorang.

“Awaken.”

Ia masih mengingatnya dengan jelas. Tempat itu gelap. Di bawah Menara Terlarang. Waktu itu ada Ranta, Yume, dan Shihoru. Renji. Ron. Adachi. Sassa. Chibi-chan. Dan Kikkawa. Lalu Moguzo. Juga Manato.

Kakinya membawanya ke suatu lokasi tanpa ia sadari. Haruhiro berhenti di depan batu putih kusam yang menandai makam rekannya.

“Moguzo…”

Haruhiro mengulurkan tangan ke arah batu nisan itu. Bukan karena berharap sesuatu akan terjadi jika disentuh. Dan memang tidak terjadi apa-apa. Itu hanya sebuah batu putih kusam. Tak lebih dari batu dingin yang basah oleh hujan.

Haruhiro teringat. Renji dan timnya telah membantu mereka membawa Moguzo ke krematorium di pinggiran kota. Moguzo, yang selalu lebih besar dan lebih lembut daripada siapa pun, akhirnya menjadi tulang dan abu. Mereka sendiri yang menguburkannya di bawah batu ini.

Makam Manato berada tak jauh dari Moguzo. Benar. Di sebelah sana.

Haruhiro berjalan menyeberangi lereng rumput. Yang lain ikut menyusul. Ia menyadarinya. Tapi Haruhiro tidak menoleh ke belakang. Apa yang dilakukan Merry? Apakah dia juga mengikutinya seperti yang lain? Ia bertanya-tanya. Kalau memang penasaran, ia tinggal melihat saja. Sesederhana itu—tapi ia tak bisa melakukannya.

“Oh, ya…” Haruhiro berjongkok di depan makam Manato. “Benar juga, Manato…”

Saat mereka keluar dari Menara Terlarang, dinding besar muncul di belakang mereka dan menutup pintu masuk. Ada tuas semacamnya di dalam sana. Tuas itulah yang membuka dan menutup pintu itu.

Bulannya.

Setelah meninggalkan menara itu, ia melihat bulan di langit.

Bulan merah itu aneh. 

Itu yang ia pikirkan saat itu.

Ia tidak mengingat apa pun yang terjadi sebelum terbangun di ruang bawah tanah Menara Terlarang. Tapi rasanya, kalau saja ada petunjuk—apa pun, sekecil apa pun—mungkin ia bisa mengingat semuanya. Tidak perlu sesuatu yang besar. Asal ada titik awal, sisanya mungkin akan mengalir dengan mudah.

Seperti orang tua yang pastinya pernah ia miliki. Keluarga. Atau mungkin seorang teman.

Jika ia bisa bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalunya, mungkin ingatan itu akan kembali. Bahkan tak harus seseorang—bisa saja sebuah benda yang dulu sering ia gunakan.

Tapi, ada satu hal yang ia yakini sepenuhnya.

Dulu, ia bukan berasal dari sini.

“Awaken.”

Sebelum mendengar suara itu dan terbangun, Haruhiro pernah berada di tempat lain.

Bukan di Grimgar.

Mungkin bulan di tempat asalnya dulu tidak berwarna merah. Apa warnanya? Ia tidak tahu. Tapi yang pasti bukan merah. Karena bulan merah itu aneh.

Haruhiro telah berpindah dari Grimgar ke dunia lain. Lewat Wonder Hole, ia pergi ke Dusk Realm. Lalu melewati sarang gremlin menuju Darunggar. Dari sana, ia melewati celah di pegunungan naga api dan kembali ke Grimgar di Lembah Seribu, tempat ia bertemu Setora dan berpisah dengan Ranta.

Lalu ada Parano. Mereka masuk ke Kamp Leslie, dan akibatnya, terjebak lama di dunia aneh yang memutarbalikkan pikiran itu.

Grimgar.

Dusk Realm.

Darunggar.

Parano.

Pasti ada dunia-dunia lain selain yang sudah mereka lalui. Banyak dunia. Mungkin tak terhitung jumlahnya. Haruhiro berasal dari salah satu dunia itu sebelum datang ke Grimgar.

“Aku harus meresapi semua ini… Aku bingung, Manato…”

Saat ia memejamkan mata, wajah Manato langsung terbayang dengan jelas.

Ingatan Haruhiro masih kacau. Terserak tak beraturan. Sudah lama sejak Manato meninggal—sejak Haruhiro membuatnya mati.

Aku yang membiarkannya mati.

Begitu juga dengan Merry. Pada dasarnya, Haruhiro telah membiarkan Merry mati. Ia adalah pemimpin, jadi tanggung jawab itu jatuh padanya.

Ranta sempat meninggalkan kelompok saat mereka berada di Lembah Seribu. Haruhiro dan yang lainnya melanjutkan perjalanan ke timur, menyusuri bagian barat daya Pegunungan Kuaron demi menghindari wyvern. Di tengah perjalanan, mereka diserang kawanan guorella dan, saat melarikan diri, mereka menemukan sebuah desa.

Penduduk desa itu bukan manusia. Mereka adalah gumow—percampuran antara orc dengan manusia, atau mungkin elf.

Tapi ada satu manusia di sana.

Jessie. Rambut pirang dan mata biru. Katanya, dia dulunya seorang hunter.

Ya. Seorang hunter. Saat tahu Yume juga seorang hunter, Jessie mengatakan kalau dirinya pun pernah menjadi hunter.

Itsukushima. Ayah Yume. Orang yang sekarang dipenjara di ruang bawah tanah Menara Tenboro. Haruhiro ingat Jessie menyebut nama itu. Ia pernah bertanya pada Yume, “Kau muridnya Itsukushima, ya?”

Jessie memang seorang hunter.

Tapi dia bisa menggunakan sihir juga.

Itu bukan kontradiksi. Tidak aneh kalau seorang mantan hunter akhirnya menjadi mage.

Jessie Land.

Itulah tempat di mana Merry meninggal. Ia benar-benar telah kehilangan nyawanya. Namun, Jessie mengatakan masih ada jalan.

“Dia bisa hidup kembali, seperti aku—yang sudah mati sekali.”

“Tapi ada harga yang harus dibayar.”

“Dia akan kembali dengan menggantikan posisiku.”

“Kalian bukan orang bodoh, kan? Jadi pasti paham.”

“Ini bukan hal yang wajar.”

“Secara logika, manusia tidak bisa hidup kembali. Itu kenyataannya.”

Haruhiro jatuh berlutut. Kalau ia tidak menopang tubuhnya dengan tangan di atas paha, dia mungkin sudah terjatuh sepenuhnya.

Jessie adalah misteri. Dia bukan orang yang bisa dipercaya begitu saja. Tapi, saat itu, dia tak tampak seperti sedang berusaha menipu mereka.

Manato dan Moguzo telah mengajari mereka sesuatu. Manusia bisa mati. Kehidupan bisa hilang. Setiap hidup pasti akan berakhir dengan kematian.

Itulah kenapa, seperti yang dijelaskan Jessie, kebangkitan Merry adalah kejadian istimewa—dan itu datang dengan syarat yang tidak biasa. Itu bukanlah keajaiban. Seperti trik sulap, meskipun tampak tak masuk akal, selalu ada penjelasan di baliknya.

Tapi Jessie menolak membocorkan rahasianya. Merry akan hidup kembali, menggantikan dirinya. Itu saja yang bisa dia katakan. Tidak lebih.

Saat itu, Haruhiro dan kelompoknya diberikan pilihan.

Tidak—Haruhiro-lah yang diberikan hak untuk memilih.

Haruhiro membuat keputusan itu sendiri, tanpa berdiskusi dengan siapa pun.

Ia tak sanggup menerimanya—Merry, yang akan menjadi tak lebih dari sekadar kenangan, seperti Manato atau Moguzo. Rasa sakit yang akan ia rasakan saat mengenang waktu yang pernah mereka lalui bersama—ia tak ingin merasakannya lagi. Ini bukan lelucon. Tentu saja ia tak menginginkannya.

Kalau ia punya pilihan, Haruhiro akan membuat keputusan yang sama untuk Manato atau Moguzo. Jika ada cara untuk menghindari kenyataan bahwa seseorang yang dekat dengannya telah tiada, untuk tidak harus kehilangan mereka selamanya—maka tak ada yang lebih baik dari itu.

Tak peduli betapa menjijikannya cara yang harus diambil, itu tetap lebih baik daripada harus mengubur Merry. Ia sudah cukup paham soal itu dari kejadian pertama. Tapi, kenyataannya, ia tetap harus mengalaminya dua kali. Ia tak ingin mengalaminya untuk yang ketiga kalinya. Ia sudah muak.

Namun… apa yang Jessie lakukan?

Luka di bahu Merry saat itu cukup dalam. Jessie mengiris pergelangan tangan kirinya sendiri, lalu menekannya ke luka Merry. Ia mempertahankan posisi itu cukup lama.

Hingga akhirnya, Jessie tinggal kulit pembungkus—tak ada tulang, tak ada isi. Seolah semua yang ada di dalam dirinya telah ia tuangkan sepenuhnya ke dalam tubuh Merry.

Ketika Merry terbangun, cairan busuk yang bukan darah—sesuatu yang lain—menyembur keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.

Jika jumlah cairan yang keluar sama dengan yang masuk, maka volumenya tidak berubah.

Apa pun yang mengisi tubuh Jessie kini berpindah ke dalam tubuh Merry. Jika tak ada bagian yang digantikan olehnya, maka keseimbangan akan terganggu. Dan kalau begitu, semuanya tidak akan masuk akal.

Pada dasarnya, apa pun yang seharusnya terjadi dalam proses itu—terjadi. Dan Merry hidup kembali.

Begitukah cara Haruhiro memaknainya saat itu? Atau, lebih tepatnya, apakah itu satu-satunya cara yang bisa ia pahami? Apakah ia berhenti berpikir karena apa pun penjelasannya akan terdengar dipaksakan? Mungkin saja.

“Itu awal dari semuanya…”

Haruhiro menengadah. Ia belum pernah seberat ini merasakan beban dari kepalanya sendiri. Ia mengalihkan pandangan ke kanan, ke arah rekan-rekannya.

Ranta menyingkapkan masker di wajahnya sedikit, menatap Haruhiro dengan dahi berkerut. Kuzaku terlihat cemas, atau mungkin bingung. Yume menopang punggung Merry dengan satu tangan, sementara Merry menundukkan kepala.

Setora menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat, pandangannya yang diam dan tajam tertuju pada Haruhiro.

“Orang mati tidak bisa kembali.”

Itu yang Setora katakan padanya waktu itu. Bahkan jika Merry kembali bernapas, itu bukan kebangkitan seperti yang Haruhiro harapkan.

Merry.

Aku pikir semuanya akan baik-baik saja.

Apakah aku memaksa diri untuk percaya karena ingin percaya?

“Perempuan yang kembali mungkin bukan orang yang sama dengan yang telah mati.”

Setora terdengar meyakinkan. Lagipula, dia seorang necromancer dari Desa Tersembunyi. Para necromancer telah menciptakan golem dalam upaya mereka menghidupkan kembali yang telah tiada. Mereka mencoba mengatasi kematian melalui berbagai eksperimen dan kegagalan, namun tak pernah berhasil.

Dengan menggunakan bagian tubuh orang mati sebagai bahan dasar, mereka menciptakan pelayan yang sangat setia sekaligus mengerikan. Dan itu—itulah satu-satunya hasil terbaik yang bisa mereka capai.

“Kuharap dia bukan semacam monster asing, setidaknya.”

Bukan.

Saat Merry kembali, dia tetaplah Merry. Bukan monster.

Sama sekali bukan.

“Dia bukan… kan…?”

Tapi di situlah semuanya bermula.

Merry, tanpa diragukan, adalah Merry. Namun ada beberapa hal yang terasa aneh.

Jessie Land sempat diserang oleh sekelompok vooloo—makhluk mirip serigala seukuran beruang. Mereka berhasil selamat entah bagaimana. Tapi masalah sebenarnya datang setelah itu.

Tanah berguncang hebat, seperti gempa bumi, dan sebuah bukit tampak bergerak ke arah mereka. Tentu saja, itu bukan bukit sungguhan. Itu adalah gumpalan besar makhluk hitam yang bentuknya mirip ulat raksasa.

Apakah itu fenomena alam? Atau memang begitu bentuk makhluk-makhluk itu? Apa pun penjelasannya, Haruhiro belum pernah melihat atau mendengar makhluk semacam itu sebelumnya.

Tapi Merry tahu apa itu.

Seingat Haruhiro, Merry menyebutnya Sekaishu.

Lalu ada soal sihir juga. Benar. Merry menggunakan sihir. Mantra Arve Magic bernama Blaze Cliff. Tapi dia bilang itu saja tak cukup untuk menghancurkan Sekaishu.

Sepertinya Setora yang sempat bertanya, “Apa itu Sekaishu?”

“Aku tidak tahu,” jawab Merry.

Itu adalah kata yang dia ucapkan sendiri, tapi dia mengaku tidak tahu artinya.

Merry seharusnya tidak bisa menggunakan Arve Magic. Tapi kenyataannya, dia bisa. Blaze Cliff. Aneh, karena mantan hunter Jessie juga pernah menunjukkan mantra yang sama. Aneh?

Apakah itu benar-benar kebetulan?

Setelah meninggalkan Jessie Land, mereka melanjutkan perjalanan menuju laut. Dalam perjalanan itulah Haruhiro sempat berbicara empat mata dengan Merry.

“Pasti ada yang salah denganku. Aku membuat semua orang khawatir. Aku tahu itu.”

Merry sadar ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya. Bahwa dirinya pasti telah berubah. Jika dirinya memang gila, katanya, dia ingin Haruhiro memberitahunya. Dia juga berkata bahwa dia ingin Haruhiro menghentikannya.

“—Aku di sini. Tapi aku tidak tahu. Tidak selalu, tapi ada saat-saat di mana aku benar-benar tidak tahu. Anginnya kencang, dan aku merasa seperti akan terbawa. Di mana aku? Seseorang… beri tahu aku. Aku—”

Setelah mereka kembali dari Parano, kemungkinan besar penghuni Menara Terlarang memberikan semacam obat kepada Haruhiro dan yang lainnya agar mereka kehilangan ingatan. Haruhiro sendiri baru mengingat semua ini sekarang.

Tapi entah kenapa, Merry berbeda. Dia bilang dia tidak terlalu tahu apa yang terjadi di Parano. Tapi semua hal lainnya—ia ingat. Merry tidak sama seperti yang lain.

Haruhiro meletakkan satu tangan ke tanah untuk menumpu, lalu berdiri.

Hujan yang turun kini lebih mirip hujan es. Cukup dingin. Haruhiro menggigil, merasa kedinginan.

Ayo pulang. Meskipun aku bahkan tak tahu di mana “rumah” itu. Untuk saat ini, tempat mana pun yang bisa melindungi kami dari angin dan hujan sudah cukup.

“Merry.”

Ia memanggil nama gadis itu, namun Merry tak mengangkat wajahnya. Dia bersandar erat pada Yume, terlihat ketakutan. Siapa yang dia takuti? Apa yang membuatnya gentar? Apakah dia mencari perlindungan dari Yume? Mungkin dalam pikirannya, Yume akan melindungiku. Mungkin seperti itulah yang Merry rasakan.

Benarkah Merry akan berpikir seperti itu? Jika dia benar-benar Merry yang Haruhiro kenal? Lagi pula, kenapa dia tidak menjawab? Haruhiro sudah memanggil namanya. Apa susahnya membalas, meski hanya sedikit? Atau… apakah ada alasan kenapa dia tidak bisa?

“Apa kau Jessie?”

Saat Haruhiro mengucapkan pertanyaan itu, tubuhnya gemetar. Ia masih menunduk, tanpa usaha sedikit pun untuk menatap Haruhiro.

Bahunya naik turun seiring tarikan napas. Gerakan itu terus berulang, berkali-kali.

“Merry-chan…?” Yume memanggil pelan, mencoba melihat wajahnya lebih dekat. Tapi wanita itu tetap tidak merespons.

Napasnya semakin cepat dan dangkal. Yume mencoba mengusap punggungnya, namun ia menepis tangan Yume. Lalu lebih jauh lagi—ia mendorong tubuh Yume menjauh darinya.

“A-Apa…?” Ranta secara refleks berdiri di antara Yume dan wanita itu.

“T-Tidak…! Tidak…!”

Wanita itu menggelengkan kepala kuat-kuat, membuat rambutnya berantakan.

“Aaaaaahhh!”

Suaranya nyaris seperti jeritan. Tidak, itu memang benar-benar jeritan.

“Nggghaaaaahhh!”

Apa dia sedang kesakitan? Apakah tubuhnya terluka? Wanita itu menggeliat hebat, seolah menahan rasa sakit.

“Tidak…! Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak…! Aku…!”

Jika dia menderita, maka semua ini karena Haruhiro. Wanita itu adalah Merry. Ia benar-benar mirip. Tak mungkin orang lain. Namun—apa yang telah Haruhiro panggil padanya?

Dia memanggilnya Jessie.

Apakah Haruhiro secara tidak sadar menyebutnya sebagai pria misterius itu? Tapi itu tak mungkin.

“Merry! Maafkan aku, Merry!”

Hari itu, ketika mereka berbicara berdua. Malam itu, saat Merry mengungkapkan kegelisahannya pada Haruhiro. Ia telah memeluk Merry erat-erat. Dan Merry tidak menolaknya. Apa yang pernah ia katakan waktu itu?

“Aku selalu ingin kamu melakukan ini.”

Haruhiro mengingatnya. Itulah yang dikatakan Merry padanya.

Itu memang Merry. Dan wanita yang sedang menggeliat di hadapan mereka saat ini juga Merry. Merry bukan sedang mencari perlindungan dari Yume. Merry tahu ada sesuatu yang salah dalam dirinya, tapi dia tidak bisa mengatasinya sendiri. Karena itu, tanpa sadar dia bergantung pada Yume. Pada dasarnya, sama seperti malam itu. Merry mempercayai Haruhiro dan Yume sebagai rekan seperjuangan. Karena itulah dia mengandalkan mereka.

Dan sekarang, apa yang telah Haruhiro katakan padanya?

Haruhiro berusaha berlari mendekati Merry.

Tapi saat itulah, itu terjadi.

Pandangan Merry mendadak tertarik ke atas, ke langit. Gerakannya begitu mendadak, seperti ada suara krek yang terdengar. Sekejap, matanya memutar ke belakang, menampilkan bagian putihnya. Mulutnya terbuka, dan terdengar erangan pelan darinya. Ini bukan sesuatu yang dia lakukan dengan kehendaknya sendiri. Tidak—ini terlihat seperti ada kekuatan luar yang memaksanya. Bukan berarti ada seseorang yang memegang kepalanya dan menariknya ke belakang. Tidak ada yang seperti itu terjadi.

“Merry…?”

“Bukan.”

Itu suara Merry. Setidaknya nada suaranya masih sama.

Tapi dia sudah berbeda.

“Pria itu tidak ada di sini.” Dengan dagu masih terangkat, hanya bola mata Merry yang bergerak turun menatap Haruhiro.“Tepatnya, dia telah kehilangan kemampuan untuk menyadari dirinya sendiri. Karena itu, dia tak bisa muncul lagi.”

Jessie? Apakah “pria” yang dimaksud wanita itu adalah Jessie? Haruhiro yang pertama kali menyinggungnya. Ia yang menyarankan bahwa, meskipun perempuan itu terlihat seperti Merry, mungkin sebenarnya dia adalah Jessie. Merry telah membantahnya. Tidak—lebih tepatnya, dia bukan Merry.

Dia tak lagi berniat menyembunyikan kenyataan itu. Semuanya—cara bicaranya, cara dia berdiri, cara dia bergerak—semuanya berbeda dari Merry. Siapa pun yang pernah mengenal Merry, bahkan sedikit saja, pasti bisa merasakannya. Perbedaannya sangat mencolok.

“Kurasa ini sudah jelas, tapi…” kata wanita itu, “kalian tidak bisa menyalahkan perempuan itu atas semua ini. Ini bukan keputusan yang dia buat.”

Perempuan itu.

“Coba jelaskan dengan cara yang bisa kami mengerti…” Ranta menarik Yume menjauh ke belakang, dan ikut mundur setengah langkah. “Kau sebenarnya ngomongin apa sih?”

Wanita itu menoleh ke arah Ranta. Ia sedikit memiringkan kepala, seperti sedang mengangguk ringan, lalu menatapnya dengan tatapan yang khas. Itu bukan gerakan yang akan dilakukan Merry. Bukan gaya Merry sama sekali.

“Yang kumaksud, dia sama sekali tidak bertanggung jawab atas ini. Bukan dia yang membangkitkan dirinya dari takdir mereka yang telah mati. Juga bukan aku yang memilihnya.”

“Takdir… mereka yang telah mati…?” Ranta menggigit bibirnya. “Maksudmu dia pernah mati? Merry… meninggal? Tapi dia hidup lagi… Atau aku salah? Kau bukan Merry, kan? Jadi, maksudmu, ada… sesuatu di dalam Merry—kau, yang sedang berbicara pada kami sekarang, adalah contohnya… Begitu maksudnya…?”

“Kalian seharusnya menunjukkan belas kasih padanya.”

Makhluk ini—yang jelas bukan Merry—berbicara tentang dirinya dalam orang ketiga, menggunakan wajah dan suara Merry.

“Kalian tak seharusnya menindasnya, menyakitinya, atau memaksanya hidup dalam keterasingan. Karena semua ini bukan salahnya. Saat ini, dia masih memiliki ingatan, kehendak, dan segala sesuatu yang membentuk identitas dirinya. Namun, akan lebih bijak jika kalian tidak menganggap bahwa semua itu akan bertahan selamanya dari situasi apa pun yang akan dia alami. Dari apa yang telah kuamati, rasa jati diri yang dimiliki makhluk seperti kalian—meski ada variasi antar individu—tidaklah terlalu stabil. Bahkan, bisa dibilang sangat rapuh dan mudah runtuh.”

“Denger ya!” Ranta berteriak padanya. “Sebenarnya kau ini apa sih, yang terus ngoceh sok tahu begitu?! Sebelum sok bicara seolah kau lebih tinggi dari kami, sebutkan dulu siapa namamu!”

“Aku tidak punya nama.”

“Jangan ngeles!”

“Tidak.” Bukan-Merry menggeleng pelan. “Aku memang tidak punya nama. Hanya sebutan yang diberikan padaku.”

“Kalau begitu, sebutkan sebutan itu!”

“Aku adalah wujud yang membebaskan mereka yang mendekati kematian dari—” ucap Bukan-Merry, tapi ia tiba-tiba terhuyung sedikit, seolah tubuhnya mendadak lemas. Ia memegangi kepalanya dan menunduk.

“Tampaknya… dia ingin keluar. Dia belum siap untuk menerima kenyataan ini…”

Bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, perubahan mulai terjadi. Haruhiro bisa merasakannya. Ia menelan ludah—suara telannya terdengar jelas. Mata wanita itu terbuka, dan ia memandang ke kejauhan.

“Merry…?”

Saat Haruhiro memanggil namanya, dia menoleh menatap Haruhiro—lalu segera memalingkan wajah. Ia membungkuk, meremas pangkal lehernya dengan kedua tangan, dan bernapas pendek-pendek.

“Merry-chan…” Yume mencoba mendekatinya.

“Jangan dekati aku!” ia menjerit.

Ini Merry. Haruhiro yakin. Benar-benar Merry.

“Jangan dekat-dekat denganku… Tolong…”

Merry telah kembali.

Merry pernah mati, dan kini ada seseorang—mungkin lebih dari satu—yang tinggal di dalam dirinya. Tapi Merry juga masih ada di dalam tubuh itu. Dan yang kini menolak Haruhiro dan yang lainnya… bukan salah satu dari “bukan-Merry” itu.

Itu adalah Merry sendiri.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x