Pertama kalinya.
Saat Merry tersadar, yang ia miliki hanyalah pakaian yang melekat di tubuhnya, dan satu-satunya hal yang ia ingat hanyalah namanya sendiri.
Merry tidak sendirian. Ia bersama kelompok yang terdiri dari sebelas orang. Dari sebelas itu, yang akhirnya menjadi rekan seperjuangannya adalah Hayashi, Michiki, Ogu, dan Mutsumi.
Meski ingatannya samar, ia mengingat Hiyomu yang tiba-tiba muncul entah dari mana, lalu membawa mereka ke Altana. Itu pasti terjadi di depan Menara Terlarang, karena Merry tak punya sedikit pun ingatan tentang Hiyomu saat berada di dalam atau di bawah menara.
Saat Merry bercerita, Haruhiro menyadari sesuatu. Entah kenapa, kenangan tentang bagian dalam menara dan area di bawahnya terasa kabur. Ia mencoba mengonfirmasi pada Kuzaku, Shihoru, dan Setora, dan mereka merasakan hal yang sama.
Menurut penjelasan Merry, ingatan itu kembali perlahan—seperti, “Ah, iya, memang begitu kejadiannya.” Tapi saat mencoba mengingat sendiri detail tempat itu, rasanya seperti menabrak dinding kosong. Percakapan yang pernah terjadi di sana juga terasa kabur dan tidak jelas.
Menanggapi hal ini, Setora berkomentar, “Mungkin kita sempat dibius.”
Kata Setora, meski ia tak ingat jenis-jenisnya, ada tumbuhan dan hewan tertentu yang sekresinya bisa menyebabkan halusinasi, hipnosis, bahkan gangguan mental. Jadi tak mustahil jika salah satu dari mereka bisa menyebabkan kehilangan ingatan atau kebingungan.
Apa pun penyebabnya, Merry dan kelompoknya dibawa ke Altana dan ditawari cukup uang untuk kebutuhan hidup sementara dengan syarat mereka menjadi prajurit relawan. Karena tak tahu apa yang sedang terjadi, mereka menerima tawaran itu demi bertahan hidup.
Meski waktu kedatangan mereka berbeda, Haruhiro dan kawan-kawannya tampaknya mengalami alur peristiwa yang kurang lebih sama, hingga akhirnya menjadi prajurit relawan.
Ada ratusan prajurit relawan seperti mereka. Sebagian dari mereka telah gugur, jasadnya dibakar menjadi abu, dan dikuburkan di perbukitan tempat makam-makam tersebar.
“Lumayan luar biasa, ya?” ujar Kuzaku sambil menghela napas.
Yang ia maksud dengan “luar biasa” mungkin lebih tepat disebut “mengerikan.”
Hiyomu pernah bicara soal “berpindah sisi”—dari pihak yang digunakan menjadi yang mempergunakan.
Dengan kata lain, Haruhiro dan yang lain, sejak awal, telah dimanfaatkan. Apakah dipaksa menjadi prajurit relawan juga bagian dari itu?
Siapa dalang di balik semua ini? Petinggi Kerajaan Arabakia? Master-nya Hiyomu? Atau sosok lain yang menarik tali dari balik bayang-bayang?
Mungkin, andai mereka mengikuti kemauan Hiyomu, jawabannya bisa ditemukan. Tapi sudah terlambat.
Lagipula, Hiyomu hanya menuntut mereka untuk patuh, bukan untuk menjadi rekannya—bukan untuk saling membantu. Ia ada di atas angin. Itu bukan kesepakatan yang setara. Bisa saja, meski mereka patuh, Hiyomu tetap akan memanfaatkan mereka sekehendaknya.
Haruhiro ingin meyakini bahwa penolakan mereka adalah keputusan yang benar. Tapi kenyataan yang mereka hadapi terlalu suram untuk membuatnya yakin.
Mereka terus berjalan, menuju utara, menembus hutan.
Begitu melewati hutan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu, seharusnya mereka akan tiba di sebuah benteng besar bernama Deadhead Watching Keep, yang dulunya dijaga oleh pasukan Kerajaan Arabakia. Alterna memang telah jatuh ke tangan musuh, tapi mereka perlu memastikan apa yang terjadi pada benteng itu juga.
Setelah keluar dari hutan, mereka bisa melihat sebuah bangunan yang memang tampak seperti benteng berdiri di kejauhan.
Di lapangan luas yang gersang itu, tumbuh semak-semak di sana-sini, dengan kayu gelondongan dan batu potong berserakan. Tapi itu bukan satu-satunya hal yang ada di sana.
Menara-menara pengawas berdiri di berbagai titik, dikelilingi tenda-tenda. Beberapa dikelilingi pagar.
Di atas menara dan di balik pagar itu, terlihat sosok-sosok.
Mereka bukan manusia.
Haruhiro dan yang lainnya segera berlindung di balik tumpukan kayu dan batu, mengamati kamp itu dari kejauhan. Mereka tampak seperti manusia, tapi jelas bukan.
Ukuran tubuh mereka sedikit lebih besar dari manusia. Rambut mereka berwarna putih terang, tapi bukan karena usia. Warna kulit mereka mungkin hijau.
“Orc…” ucap Merry pelan.
Sayangnya, Haruhiro tidak ingat, tapi Deadhead Watching Keep dulunya memang dikuasai oleh para orc. Pasukan Perbatasan Kerajaan Arabakia dan para prajurit relawan pernah menyerbu dan merebutnya. Yang luar biasa, Haruhiro dan kelompoknya ikut dalam pertempuran itu—bahkan berperan besar dalam keberhasilannya.
Saat itu, Kuzaku berada di kelompok lain. Ia punya rekan-rekan lain.
Namun, semuanya gugur dalam pertempuran itu.
Salah satu rekan Haruhiro pun tewas dalam pertempuran itu.
Haruhiro sama sekali tidak mengingatnya.
Tapi itulah yang terjadi.
Mereka telah memenangkan pertempuran.
Para prajurit relawan menerima imbalan uang dalam jumlah besar. Tapi, harga yang harus dibayar oleh kelompok Haruhiro tidaklah sedikit—penuh dengan penderitaan.
Kerajaan Arabakia berhasil merebut Deadhead Watching Keep.
Apakah itu berarti benteng itu kini telah direbut kembali?
“Altana telah diduduki musuh, jadi ini seharusnya tidak mengejutkan,” kata Setora dengan nada tenang seperti biasa. “Apa kerajaan Altana punya markas lain selain Altana dan benteng itu?”
“Kita seharusnya mengambil peta yang ada di lantai dua Menara Terlarang,” ujar Merry seraya mulai menggambar sesuatu yang menyerupai peta di tanah. “Kalau ini adalah Altana…”
Di utara Altana terbentang sebuah padang luas yang disebut Dataran Quickwind.
Di bagian barat daya dataran tersebut, kira-kira tiga puluh kilometer arah barat laut dari Altana, terdapat pos militer Kerajaan Arabakia yang disebut Pos Lonesome Field.
Dan sekitar sepuluh kilometer lebih ke barat dari pos itu, menyusuri Sungai Jet, berdiri sebuah benteng lain milik pasukan perbatasan—Riverside Iron Fortress. Sama seperti Deadhead Watching Keep, benteng ini sebelumnya juga berada di bawah kendali orc. Tentara perbatasan merebut kedua benteng itu dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Bukan mau pesimis, tapi…” Wajah Kuzaku terlihat suram, dan ketika ia tampak seperti itu, rasanya sulit untuk tetap berpikir positif. “Sulit rasanya untuk terlalu optimis soal… pos di Lonesome Field itu, atau apalah namanya di Riverside.”
“Ada benarnya juga,” ujar Setora dengan nada datar. “Mungkin saja para prajurit yang melarikan diri dari Deadhead Watching Keep berkumpul di Riverside Iron Fortress dan bertahan di sana. Tapi kalau benar begitu, kemungkinan besar mereka tengah dikepung sekarang.”
“…Apa tidak ada tempat lain yang bisa kita tuju?” Wajah Shihoru terlihat begitu muram, seakan-akan ia bisa mati kapan saja. “Tempat… apa pun…?”
Merry menunjuk ke titik kira-kira satu meter dari gambar Altana yang ia buat di tanah.
“Kalau kita kembali ke Vele, kita akan aman—setidaknya untuk sementara. Kota Bebas Vele bersifat netral. Manusia, orc, undead, dan goblin semua hidup di sana.”
“Itu… lumayan jauh, ya?” tanya Haruhiro.
Merry mengangguk.
“Aku tidak tahu jarak pastinya, tapi mungkin sekitar lima ratus kilometer…”
“Yah…” Kuzaku tersenyum masam. “Itu… butuh jalan kaki dua puluh hari, ya…?”
“Tanpa jaminan akan ada makanan?” Setora menatap Kuzaku dengan ekspresi jengkel. “Kalau niatmu mati di jalan, mungkin itu bukan ide buruk.”
“Perkataanmu agak jahat juga ya, Setora-san?”
“Aku tidak ada maksud begitu. Aku hanya benar-benar berpikir ucapanmu tadi sangat bodoh.”
Haruhiro hampir menghela napas, tapi tanpa sadar ia menahannya.
Sial. Rasanya seperti kita terkepung dari segala arah.
Ia ingin mengucapkannya. Tapi ini bukan situasi yang bisa diselesaikan hanya dengan mengangkat tangan dan menyerah. Walau dalam hati ia merasa sangat tertekan, Haruhiro tidak memperlihatkannya di wajah. Bukan karena ia berniat menyembunyikannya. Ia memang tidak menunjukkannya, entah kenapa.
“Aku ingin tahu lebih banyak,” kata Haruhiro, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski putus asa. “Informasi yang jelas. Juga, air dan makanan. Kalau bisa, kita harus berburu.”
“Andai Yume ada di sini…” ucap Merry, lalu menggeleng. “…Tapi mengucapkannya pun tak akan membantu.”
“…Yume?” tanya Shihoru.
“Teman kami,” jawab Merry dengan senyum tipis. Saat mengenang sosok Yume, ia tidak bisa menahan senyum. Senyum itu datang begitu saja. “Yume sempat terpisah dari party untuk sementara waktu. Kami seharusnya bertemu kembali di Altana, setengah tahun setelah itu… tapi, siapa yang tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak saat itu…?”
Shihoru menekan kedua tangannya ke dadanya.
“Yume…”
“Kau ingat sesuatu?” tanya Haruhiro.
Shihoru menundukkan kepala, lalu menggeleng.
“Bukan begitu… Entah kenapa… rasanya… sakit saja…”
“Kamu dan Yume sangat dekat,” kata Merry sambil tersenyum. “Yume itu seorang hunter… dan anak yang luar biasa. Sungguh. Kuat, tulus… dan lucu.”
Kuzaku berbisik di telinga Haruhiro, “Dia perempuan, kan? Si Yume-san itu.”
“Sepertinya begitu,” jawab Haruhiro pelan.
“Jadi cuma aku dan Haruhiro yang cowok?” Kuzaku menghitung dengan jarinya. “…Jumlah cewek kayaknya banyak juga, ya?”
“Bro…”
“Enggak, maksudku… ya tahu lah.” Kuzaku bicara lirih. Ia pasti penasaran soal hubungan asmara dalam kelompok. Kalau ada laki-laki dan perempuan dalam satu kelompok, hal seperti itu pasti akan muncul. Atau setidaknya wajar kalau muncul. Haruhiro hanya bisa tersenyum kecut.
Sebenarnya, Haruhiro pun tidak sepenuhnya tak tertarik, tapi…
Haruhiro tidak tahu bagaimana cara memuji penampilan seorang perempuan. Dalam hal kata-kata, mungkin ia akan menyebut mereka “cantik” atau “imut,” tapi seperti apa orang yang disebut cantik, dan seperti apa yang disebut imut?
Menurut penilaiannya, Merry termasuk dalam kategori “cantik.” Tanpa ragu. Setora pun cenderung ke arah “cantik.”
Lalu, bagaimana dengan Shihoru? Mungkin lebih cocok disebut “imut”? Tapi, pada Shihoru, kesan kewanitaannya justru terasa lebih kuat dan sulit diabaikan.
Bagaimanapun, ketiganya bisa dibilang menarik dengan caranya masing-masing.
Kalau dipikir-pikir lagi, Haruhiro sempat sedikit heran bagaimana ia bisa berinteraksi dengan mereka secara begitu biasa. Kalau ia bertubuh tinggi dan berotot seperti Kuzaku, mungkin akan lebih mudah menarik perhatian lawan jenis. Tapi Haruhiro bukanlah seperti itu. Saat ia mulai berpikir bahwa dirinya hanyalah orang biasa—tidak menonjol, bahkan mungkin kurang dari itu—tangannya menyentuh wajahnya sendiri. Seketika, kesadarannya kembali.
Ia memang belum sempat bercermin, tapi Haruhiro bisa membayangkan seperti apa wajahnya. Seperti yang ia duga, ia mengingat lebih dari sekadar namanya sendiri.
Meski begitu, mengenang kembali wajahnya yang biasa saja bukanlah hal yang menyenangkan.
“…Pokoknya, tempat ini tidak aman. Kita sebaiknya menjauh dari benteng dulu. Urusan langkah selanjutnya, kita bisa bahas nanti.”
Nada suaranya terdengar seperti seorang pemimpin.
Merasa sedikit canggung, ia menambahkan, “…Gimana? Boleh?”
Tampaknya tak ada yang keberatan.
Haruhiro pun kembali masuk ke dalam hutan. Tujuannya pertama adalah mencari tempat istirahat yang aman. Hutan ini terlalu dekat dengan Altana dan Deadhead Watching Keep. Mereka mungkin harus pindah lebih jauh. Haruhiro sempat berpikir akan mendiskusikannya dulu, tapi rupanya itu terlalu naif.
Begitu mereka memasuki hutan, Kiichi menoleh ke satu arah, lalu tiba-tiba menoleh ke arah lain dan berdiri tegak. Ia tampak sangat waspada.
Tak lama kemudian, terdengar suara anjing menggonggong. Itu sudah cukup menjadi tanda.
“Mungkin itu goblin yang mengejar kita…”
“Pertanyaannya, seberapa besar kelompok mereka.” Setora tetap tenang seperti biasa. “Kalau hanya sepuluh, atau bahkan dua puluh, kita masih bisa mengusir mereka. Tapi kalau jumlahnya seratus, atau dua ratus… jelas kita takkan sanggup, kan?”
“Gak juga.” Kuzaku mencoba bersikap gagah, tapi akhirnya mengangguk. “…Iya sih, aku setuju.”
“…Cuma goblin?” tanya Shihoru ragu. “Bukannya goblin dan orc itu sekutu, ya…?”
Merry menunduk.
“Aku nggak tahu pasti bagaimana hubungan mereka, tapi dua-duanya memang tergabung dalam Aliansi Para Raja…”
Bisa saja goblin dari Altana sudah mengirim utusan ke orc di Deadhead Watching Keep, dan sekarang mereka bekerja sama memburu Haruhiro dan yang lainnya.
Kuzaku mendengus.
“Orc tuh kelihatannya kuat, ya? Besar banget soalnya.”
Untuk saat ini, baik goblin maupun orc belum menemukan posisi mereka. Tapi kalau sampai ketahuan… situasinya bakal gawat.
“Di barat ada Damuro. Tambang Cyrene ada di barat lautnya…” Merry menggeleng pelan. “Damuro itu basisnya goblin, dan Tambang Cyrene dipenuhi oleh kobold…”
“Kalau ke timur?” tanya Setora.
Merry berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Kalau kita terus ke timur dari hutan ini, seharusnya kita keluar ke Dataran Quickwind. Tapi setelah itu… aku rasa nggak ada kota apa pun di sana.”
“Di selatan…” Haruhiro menoleh. “Gunung, ya? Rangkaian pegunungan. Gimana kalau kita masuk ke sana?”
Merry langsung menggeleng.
“Nggak aku sarankan. Di Pegunungan Tenryu ada naga… Kamu tahu ‘naga’ itu apa, kan?”
Begitu mendengar kata itu, bulu kuduk Haruhiro langsung berdiri.
“…Kurang lebih, aku tahu.”
“Tunggu, naga?” Kuzaku mengerutkan kening. “Kedengarannya bahaya banget.”
Bahu Shihoru langsung merosot.
“Nggak ada tempat yang bisa kita tuju…”
“Kita ke timur saja.”
Haruhiro mengatakan itu, tapi dalam hati langsung ragu. Apa benar itu pilihan yang tepat? Kakinya terasa dingin seketika.
Lagi pula, apa dia memang orang yang pantas membuat keputusan seperti ini? Ingatannya saja belum pulih. Kalau dipikir-pikir, ini jelas terlalu berat untuknya.
Namun, bukan berarti ia mengucapkannya tanpa alasan. Haruhiro punya pertimbangan sendiri.
“…Aku nggak bilang kita harus terus jalan ke timur. Maksudku, kita perlu lepas dari pengejar dulu. Dan menurutku, arah timur paling masuk akal untuk itu.”
Setora mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita bergegas.”
Mereka pun langsung bergerak. Haruhiro tak tahu apakah semuanya benar-benar yakin dengan keputusannya. Tapi kalau mereka terlalu lama diam di tempat, pengejar bisa segera menyusul.
Kelompok mereka bergerak cukup cepat, tanpa berhenti untuk beristirahat sedikit pun. Meski begitu, mereka masih bisa mendengar suara gonggongan anjing. Mungkin bukan dari depan, tapi juga bukan dari belakang langsung. Pengejar mereka tersebar di seluruh hutan. Sepertinya mereka telah membentuk tim-tim kecil, satu anjing dan satu goblin per tim, dan jumlah timnya ada sepuluh—mungkin bahkan puluhan—yang sedang menyisir hutan untuk menemukan mereka.
Mereka terus berjalan dan berjalan. Tak ada seorang pun yang membuang tenaga untuk mengobrol. Merry sempat bilang kalau hutan ini tak terlalu luas, tapi matahari hampir terbenam dan mereka belum juga keluar dari pepohonan. Haruhiro merasa mereka sudah berjalan lebih dari sepuluh kilometer. Mungkin lima belas. Bisa jadi dua puluh.
Sekeliling mereka sudah mulai gelap, sementara langit barat membara kemerahan. Saat Haruhiro berhenti dan menoleh ke belakang, semua ikut berhenti. Ia menajamkan pendengarannya. Tak terdengar apa-apa kecuali suara burung dan desir dedaunan.
“Kapan terakhir kali kita dengar suara anjing?” tanya Kuzaku, membuka suara untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Sudah cukup lama,” jawab Setora.
Bahu Shihoru naik-turun. Dia terlihat benar-benar kelelahan.
Mereka mengobrol sejenak, dan langit semakin gelap. Matahari akan segera tenggelam di balik cakrawala.
“Kita istirahat di sini saja malam ini,” usul Haruhiro, lalu tersenyum pada Shihoru.
Shihoru membalas dengan senyum canggung.
Soal mendirikan tempat istirahat, yang bisa mereka lakukan hanyalah mencari tempat untuk merebahkan tubuh. Mereka bisa membuat alas darurat dari daun dan rumput, tapi karena sedang dikejar, Haruhiro tak ingin meninggalkan jejak yang terlalu mencolok.
Walau matahari hampir terbenam, cahaya masih cukup terang. Mereka semua duduk melingkar.
“Eh? Kiichi ke mana?” tanya Kuzaku.
“Dia tadi pergi entah ke mana,” jawab Setora santai. “Tapi dia pasti akan kembali.”
“Mungkin dia pergi mencarikan sesuatu buat kita,” kata Kuzaku sambil tertawa.
Setora mengangkat bahu. “Aku akan benar-benar diberkahi.”
Setelah itu, mereka semua terdiam. Sudah jelas semua orang kelelahan setelah apa yang mereka alami. Terlalu berat rasanya untuk memaksakan diri mengobrol.
Saat hari benar-benar gelap dan jarak pandang tinggal beberapa meter saja, para perempuan pergi ke semak-semak untuk buang air. Setelah mereka kembali, Haruhiro dan Kuzaku juga pergi agak menjauh untuk kencing.
“Kau pikir kita pernah kencing berdiri berdampingan kayak gini sebelum kehilangan ingatan, Haruhiro?”
“…Mana kutahu.”
“Ah! Kau pasti barusan mikir aku orang yang suka ngomong hal bodoh, ya?”
“Mungkin sedikit.”
“Tapi kadang hal-hal begini bisa memicu ingatan, kau tahu?”
“Ada yang kau ingat?”
“Sama sekali nggak.”
Saat mereka kembali ke tempat beristirahat, sepasang mata berkilau terlihat di samping Setora.
“Nyaa.” Kiichi menyambut mereka dengan suara mengeong.
“Sepertinya aku memang diberkahi,” kata Setora dengan nada yang lebih ceria dari biasanya. “Kiichi membawa beri. Tak banyak, tapi cukup untuk mengganjal perut.”
Kuzaku sampai terlonjak kaget. “Serius?!”
“…Dia memang pintar, ya?” kata Haruhiro, dan Kiichi membalas dengan mengeong pelan.
Setora menyodorkan sesuatu, dan Haruhiro menerimanya. Tampaknya itu salah satu beri. Ia tak bisa melihat warnanya dalam gelap, tapi ukurannya kira-kira sebesar ujung ibu jari dan berbentuk bulat. Kulitnya terasa agak kenyal.
“Sepertinya nggak beracun,” ujar Setora, jadi Haruhiro memasukkan beri itu ke mulutnya. Saat digigit, kulitnya pecah, dan cairan asam segar langsung memenuhi mulutnya. Ada rasa manis juga, sedikit.
Kuzaku ikut mengambil satu dan memakannya. “Aku merasa hidup lagi…”
“Itu lebay,” Setora mendengus.
Memang tidak cukup untuk mengenyangkan perut kosong mereka, dan walau mengurangi rasa haus, haus itu pasti akan kembali. Tapi Haruhiro bisa mengerti perasaan Kuzaku. Ia sendiri juga merasa sedikit lega.
Ia merasa bisa langsung tidur sekarang juga, tapi pikirannya menolak. Ini bukan waktu yang tepat untuk tidur, katanya dalam hati, lalu mengurungkan niatnya.
“Aku berjaga. Kalian tidur saja.”
“…Sendirian?” tanya Shihoru.
“Iya. Itu bikin khawatir, ya? Aku berjaga sendirian. Hmm. Ya, mungkin memang begitu, ya…”
“B-Bukan itu maksudku…”
“Kau juga perlu tidur,” kata Setora dengan nada kesal. “Kita bisa bergantian jaga. Akan menyusahkan kalau kau malah pingsan karena kelelahan nanti di jalan.”
“Bisa ngomongnya lebih halus nggak…” gumam Kuzaku.
“Apa kau mau protes?” sahut Setora tajam.
“Jangan galak tiap kali, dong…”
“Pengecut. Kau terlalu mudah ketakutan.”
Akhirnya, mereka sepakat untuk tidur secara bergantian sambil menunggu fajar menyingsing.
“Kalau begitu, aku ambil giliran pertama. Nanti akan kubangunkan Kuzaku sebelum aku kelelahan.”
“Oke,” sahut Kuzaku sambil langsung merebahkan diri dan menguap lebar. “…Gila. Rasanya aku bisa langsung tidur detik ini juga…”
“Aku nggak bisa…” gumam Shihoru. Maka Haruhiro memutuskan agar dia tetap terjaga bersamanya.
Merry dan Setora pun ikut berbaring. Kiichi meringkuk di samping Setora.
Tak butuh waktu lama sebelum Kuzaku mulai mendengkur pelan. Merry dan Setora tetap diam tak bergerak. Apakah mereka sudah tertidur? Atau hanya mencoba memejamkan mata?
Haruhiro meneliti sekeliling, tapi hutannya begitu tenggelam dalam kegelapan pekat hingga terasa menyesakkan. Ia terkejut betapa sedikitnya yang bisa dilihat.
Seekor burung hantu—mungkin—berkicau di kejauhan.
Dan suara mencicit itu… serangga, barangkali?
“Agak menakutkan juga, ya…” bisik Shihoru pelan.
Aneh, Haruhiro sendiri tidak merasa takut, tapi tetap saja ia menjawab, “Iya.”
Shihoru merapat ke sisi kanan Haruhiro. Ia tak bisa melihatnya, tapi bisa merasakannya sedikit. Sepertinya tubuh gadis itu bergetar halus.
“Kau baik-baik saja?” tanya Haruhiro.
“…Iya.”
Suaranya tak terdengar baik-baik saja, tapi mungkin itu satu-satunya jawaban yang bisa Shihoru berikan. Kalaupun dia berkata sebaliknya, tetap saja tak ada yang bisa dilakukan. Haruhiro tak bisa berbuat apa-apa. Ia berharap ada pertanda bahwa segalanya akan menjadi lebih terang, tapi masa depan tampak sama gelapnya dengan hutan di sekitar mereka.
“…Maaf,” ucap Shihoru.
Pasti hal itu mengganggunya, pikir Haruhiro. Tapi satu-satunya hal yang bisa ia tanyakan hanyalah, “Maaf kenapa?” Dan ia membenci betapa tak berdayanya dirinya sendiri karena itu.
“Aku hanya… menjadi beban untuk semuanya…”
“Bukan begitu—” Haruhiro hendak membantah, tapi ia tahu, bahkan jika ia berkata demikian, Shihoru tidak akan benar-benar mempercayainya.
“Kalau saja…” suara Shihoru tersendat, seolah sulit untuk mengungkapkannya. “…aku bisa mengingat… cara menggunakan sihir…”
Haruhiro terus-menerus mengusap hidung, menyentuh bibir, lalu menggaruk keningnya, sebelum akhirnya membuka mulut.
“Kamu tak perlu memaksakan diri.”
“…Iya, kamu benar. Meski kupaksa pun… aku sudah melupakannya….”
Ada nada lirih dalam suara Shihoru.
Terus terang saja, pikir Haruhiro, berbicara denganku tidak akan membantu apa-apa. Tapi mungkin pikiran itu terlalu dingin. Bagaimanapun juga, dia adalah rekannya, meski Haruhiro tak mengingatnya. Ia tak seharusnya berpikir seperti itu.
Kalau saja bisa, Haruhiro ingin menghibur Shihoru. Tapi bagaimana caranya? Ia tak tahu harus berkata apa. Dan kenyataan itu membuatnya kesal. Setidaknya ia mencoba menyembunyikan kekesalannya.
Shihoru memeluk lututnya, mencengkeram rumput dengan tangan kiri, lalu melepaskannya lagi. Shihoru pasti juga ingin melakukan sesuatu, tapi tak bisa, dan itu pasti membuatnya frustrasi.
Mungkin tak sengaja—setidaknya Haruhiro merasa begitu—tangan kiri Shihoru menyentuh paha kanan Haruhiro.
“M-Maaf!” Shihoru buru-buru menarik tangannya, dan mungkin ia bermaksud berdiri, tapi entah apa yang terjadi, ia malah terjatuh ke tanah.
“Ugh…”
“Sh-Shihoru…?”
“A-Aku tak tahan lagi…” suara Shihoru terdengar sangat kecil, nyaris lenyap tertiup angin malam.

Dia menangis. Sepertinya dia sudah berusaha menahannya, tapi gagal. Setidaknya bagi Haruhiro yang duduk tepat di sebelahnya, itu jelas terlihat—Shihoru sedang terisak.
Dia tak bisa membiarkannya sendirian seperti ini, tapi Haruhiro sama sekali tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuknya. Ia terus bergulat dalam pikirannya, bingung harus berbuat apa, sampai akhirnya ia mengulurkan tangan. Saat ujung jarinya menyentuh sesuatu yang lembut, Haruhiro sempat panik—mungkinkah ia menyentuh bagian yang sama sekali tak pantas?
Tidak, sepertinya bukan begitu. Berdasarkan posisi mereka, sikap Shihoru, dan hal-hal lainnya, itu kemungkinan besar adalah lengan Shihoru. Bukan, misalnya, dadanya. Ia hampir yakin itu lengan kirinya. Tapi meski begitu, menyentuhnya secara tiba-tiba bisa saja membuat Shihoru tidak nyaman. Haruhiro langsung menyesalinya. Seharusnya ia tidak melakukannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tak bisa ditarik kembali.
Shihoru menegang sejenak, tapi dia tidak menepis tangan Haruhiro. Meski begitu, bukan berarti semuanya baik-baik saja. Haruhiro tetap harus berhati-hati.
Dengan sebisa mungkin menghindari gerakan yang kasar, ia menggenggam lengan Shihoru sehalus mungkin.
“Kurasa… keadaan ini tidak akan menjadi lebih buruk lagi.”
Tidak bisakah dia berkata sesuatu yang lebih baik dari itu? Haruhiro nyaris putus asa dengan betapa miskinnya kemampuan bicaranya. Tapi meskipun begitu, Shihoru mengangguk. Mungkin dia merasa kasihan padanya. Padahal dia yang sedang menangis, tapi Haruhiro malah membuatnya merasa iba. Itu membuat Haruhiro merasa sangat bersalah.
Apakah Haruhiro yang dulu—sebelum kehilangan ingatannya—lebih baik dari ini? Entah iya atau tidak, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Haruhiro berharap ia bisa menjadi sedikit lebih baik di masa depan.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)