4. Ilusi di Persimpangan Jalan (Grimgar)

Jin Mogis telah menempatkan Haruhiro dan kawan-kawannya di sebuah ruangan di Menara Tenboro.

Ruangan itu tampaknya dulunya digunakan sebagai ruang persiapan saat jamuan diadakan. Ukurannya mengesankan—sangat luas—namun nyaris kosong, tak ada perabotan selain beberapa meja dan kursi.

Yang menarik, ruangan ini bahkan lebih besar daripada yang diberikan kepada para jubah hitam, atau yang digunakan oleh Komandan Resimen Pasukan Perbatasan, Anthony Justeen, beserta bawahannya. Apakah ini cara sang jenderal menunjukkan betapa ia menghargai Haruhiro dan kelompoknya? Kalau pun iya, lalu kenapa? Itu sama sekali tidak membuat Haruhiro merasa senang.

Shinohara juga sudah berada di dalam ruangan, menunggu kedatangan mereka. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Haruhiro bicarakan, tapi ia tak bisa bicara dengan leluasa di dalam Menara Tenboro. Jadi, ia pikir, karena Shinohara pasti penasaran dengan keadaan Altana, mereka bisa saja keluar dengan dalih berkeliling untuk melihat-lihat.

Saat melewati Kantor Korps Pasukan Relawan dan Kuil Lumiaris, Haruhiro sempat memastikan apakah mereka sedang diikuti. Sepertinya dua pengintai—anak buah Neal—sedang memantau mereka. Ia bisa saja melepaskan diri dari bayang-bayang mereka, tapi belum saatnya membuat jenderal merasa gelisah.

Atas permintaan Shinohara, mereka singgah di Perusahaan Simpanan Yorozu.

Perusahaan Simpanan Yorozu menerima titipan barang dengan biaya tertentu dan menjaganya dengan aman. Bagi para prajurit relawan, tempat ini sudah seperti bagian dari hidup mereka—tak tergantikan. Ketika Altana jatuh, perusahaan ini pastilah menyimpan emas, perak, senjata, perlengkapan, dan harta lain dalam jumlah besar. Namun tempat itu tak dijarah. Bahkan tak bisa dijarah. Gudangnya yang kokoh tak memiliki jendela dan tetap terkunci rapat, tak ada jalan masuk—meskipun banyak yang mencobanya. Termasuk sang jenderal, tampaknya. Beberapa prajurit berjaga di sekitar gudang tersebut.

Selanjutnya, Haruhiro dan yang lain pura-pura tak sadar bahwa mereka diikuti, lalu masuk ke kedai Sherry yang berada di Gang Celestial—tempat yang cukup aman untuk berbicara secara pribadi.

“…Menyedihkan,” gumam Shinohara.

Melihat keadaan kedai yang mengenaskan itu tampaknya cukup menyakitkan bagi Shinohara. Haruhiro sendiri tidak memiliki kenangan tentang tempat itu, jadi yang ia pikir hanya, Tempat ini juga habis dihancurkan para goblin, ya. Dan memang, kondisinya kacau. Sebagian besar kursi dan meja terbalik atau patah, tak sedikit yang hancur berkeping-keping. Pecahan piring dan botol berserakan di lantai, dan aroma asam memenuhi udara—bau yang menarik lalat datang, kemungkinan dari makanan dan minuman yang telah membusuk.

“Tempat ini…” Merry memegang dadanya, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kami sering ke sini… dulu.”

Mereka pun membagi tugas untuk membuka semua jendela, dan juga menyandarkan pintu agar tetap terbuka.

Udara segar sedikit mengurangi bau busuk yang menyengat, namun sinar matahari justru membuat kehancuran tempat itu terlihat makin jelas.

“Saat Altana diserang, pasti sempat terjadi pertempuran di sini,” ujar Shinohara, memperhatikan bercak-bercak gelap seperti darah dan anak-anak panah yang masih menancap di dinding.

“Kebanyakan prajurit relawan berhasil melarikan diri, tapi hampir semua tentara Pasukan Perbatasan dan warga sipil tewas di Altana. Tidak seperti kami, tempat ini adalah tanah kelahiran mereka—satu-satunya rumah yang mereka punya. Bahkan jika melarikan diri, mereka tak punya tempat lain untuk pergi.”

“Sulit dicerna rasanya…” Kuzaku duduk di atas meja bar, menundukkan kepala.

Setora duduk di anak tangga menuju lantai dua, dengan Kiichi beristirahat di sisinya.

Shihoru hanya berdiri diam di tengah-tengah kedai. Tampak bingung.

Merry menghampiri Shihoru, menepuk punggungnya dengan lembut. Shihoru sempat tersentak, namun kemudian menoleh padanya dengan senyum kaku. Lalu, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata, “Terima kasih,” atau mungkin sesuatu yang mirip.

Tak lama kemudian, Shinohara mulai membereskan meja dan kursi, mengembalikannya ke posisi semula. Haruhiro dan Kuzaku ikut membantu.

Shinohara, Haruhiro, Kuzaku, Merry, dan Shihoru duduk mengelilingi satu meja. Setora tetap di tangga, dari sana ia bisa melihat hampir seluruh ruangan, termasuk jendela dan pintu. Kiichi keluar melalui jendela. Jika para pengintai mencoba mencuri dengar, Kiichi pasti akan memberitahu mereka.

“Sudah lama, Haruhiro. Pertama-tama, aku senang kau selamat.”

“Aku hanya berharap bisa mengingatmu juga, Shinohara-san.”

“Aku sudah dengar sedikit tentang kondisimu.”

“…Kuduga begitu.”

“Aku dengar mentor dari guild thief—” Shinohara menundukkan kepala. “Barbara-san, sudah tiada.”

Haruhiro menghela napas.

“Iya,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.

Shinohara meletakkan tangannya di atas meja.

“Aku mengenalnya sejak dia masih aktif sebagai prajurit relawan.”

“Kau… mengenalnya?”

“Tak lama, tapi kami pernah satu party.”

“Eh?”

“Kami rekan seperjuangan.” Shinohara menatap tangannya sendiri. “Dia tipe orang yang rasanya tak akan pernah mati. Waktu dia berhenti jadi prajurit relawan dan menjadi mentor di guild thief, aku yakin dia akan baik-baik saja. Tapi kita tak pernah tahu, ya? Kurasa dia sendiri pun tak pernah membayangkan akhirnya akan seperti ini. Tapi beginilah dunia Grimgar. Kematian bisa datang kapan saja.”

“Shinohara-san…” Merry tampak ingin mengatakan sesuatu. Namun tak menemukan kata yang tepat, ia hanya menunduk.

“Maaf,” kata Shinohara sambil tertawa kecil, terdengar agak merendah. “Ini bukan saat yang tepat untuk jadi sentimental. Aku dengar tentang amnesiamu dari Eliza. Katanya, cuma Merry yang tidak terpengaruh.”

Alih-alih mengangguk, Merry justru menundukkan kepala lebih dalam.

“…Ya.”

Shinohara mengusap dagunya, ekspresinya tampak berpikir dalam.

“Ini pertama kalinya aku dengar kejadian seperti ini. Jujur saja, rasanya sulit dipercaya. Kita semua pernah mengalami sesuatu yang serupa dulu.”

“Umm…” Haruhiro mengusap pipinya saat mulai bicara. “Yang terjadi itu… kami terbangun di Menara Terlarang. Tempatnya gelap… Kami berada di bawah tanah. Yang kami ingat hanya nama masing-masing. Kata Merry, sebelumnya kami berada di dunia lain… Entah, mungkin itu memang dunia lain. Tempat yang jelas bukan Grimgar.”

“Dalam ingatanku, kami pergi ke Kamp Leslie dan—”

Begitu Merry menyebut nama itu, wajah Shinohara langsung berubah.

“Kamp Leslie? Kamp milik Ainrand Leslie?”

Merry tampak canggung dan sedikit gelisah.

“…Oh. Ya. Sepertinya itu.”

“Melalui Kamp Leslie ke dunia lain, ya?” Shinohara menyilangkan tangan. “Apa yang terjadi di dunia lain itu?”

“Masalahnya aku…” Merry menggigit bibir. “Aku tidak… um… terlalu ingat dunia itu dengan jelas…”

Shihoru menyentuh lengan Merry dengan khawatir.

Shinohara menatap Merry dengan saksama. Ada apa dengan tatapan itu? Bukan tajam… tapi—

Bukan itu. Apakah itu keraguan?

“Aku mengerti.”

Apakah Shinohara curiga pada Merry?

Setidaknya, dia tampak belum sepenuhnya yakin dengan ceritanya.

“Intinya, sesuatu terjadi di dunia lain itu, dan kalian semua terbangun di ruang bawah tanah Menara Terlarang. Saat itu, kalian lupa segalanya kecuali nama masing-masing. Kecuali Merry.”

Kuzaku memegangi kepalanya dan mengerang.

“Iya ya, kalau dipikir-pikir lagi… serem juga. Gila banget, sih. Apa sih yang sebenarnya terjadi…?”

“Yang ‘gila’ itu justru kosakatamu yang payah.”

Begitu Setora mengatakan itu, Kuzaku langsung berteriak.

“Hei! Aku sensitif soal itu!”

Haruhiro tersenyum, setengah kesal setengah geli.

“Jadi ternyata kamu memang kepikiran, ya…”

“Cuma sedikit, kok.”

Kuzaku mengangkat tangannya, menunjukkan jari telunjuk dan ibu jarinya hampir menyentuh.

“Serius, cuma sedikit.”

“Seharusnya kamu lebih kepikiran daripada itu.”

“Setora-san, bisa nggak sih kamu jangan duduk di pojok terus sambil nyindir aku?”

“Apa? Kamu mau aku duduk lebih dekat?”

“Entahlah, aku nggak mau kamu dekat-deket amat, tapi aku juga nggak mau kamu kejauhan, jadi… ya, mungkin aku mau kamu tetap cukup dekat…?”

“Aku tolak.”

“Apa, kamu nolak?”

Kuzaku menghela napas berat, bahunya jatuh.

“…Apa, kamu nolak?”

“Kenapa kamu harus ngulang dua kali…?” Haruhiro bertanya dengan nada sebal.

Kuzaku menatap Haruhiro dengan mata memelas.

“Apa sih perasaan ini…? Rasanya… nyesek, tau gak…?”

“Yah, kamu bukan anak anjing yang ditelantarkan…”

“Ohh, jadi gitu ya. Jadi ini rasanya kayak anjing yang ditinggal tuannya? Ya, mungkin bener juga…”

“Sejak kapan kamu jadi peliharaanku?”

Ketika Setora mengatakan itu dengan ekspresi jijik yang jelas, mata Kuzaku membelalak.

“Kenapa kamu se-nggak suka itu…?”

“Kamu nggak ngerti?”

“Huh? Nggak, sama sekali. Kenapa?”

“Apa pun yang salah dengan otakmu, sudah nggak bisa dibantu…”

“…Gak apa-apa. Serius. Aku bakal minta Merry-san buat nyembuhin aku.”

“Aku rasa aku nggak bisa menyembuhkanmu.” Merry pun tampak tak senang.

“Serius?” Kuzaku benar-benar syok. “…Kamu juga nggak bisa nyembuhin aku? …Seriusan? Parah banget, ya aku…”

“Hei, sekarang…”

Sejenak, Haruhiro berpikir untuk menghiburnya, tapi rasanya tidak pantas.

“Yah, kayaknya kamu memang parah, sih.”

“Jadi kamu memang anaknya kayak gitu ya…”

Bahkan jika itu Shinohara, Haruhiro tidak tahu bagaimana perasaannya soal cara pria itu memperlakukan Kuzaku seperti anak-anak. Tapi ya, dia juga tidak bisa menyalahkannya.

Berusaha mengembalikan pembicaraan ke topik semula, Haruhiro menoleh ke arah Shinohara.

“Kalau aku sebut nama Hiyomu, kamu tahu siapa yang kumaksud?”

“Ya,” jawab Shinohara, meski dia tidak mengangguk. “Aku tahu.”

Ada sesuatu yang terasa janggal.

Apa? Haruhiro tidak sepenuhnya yakin.

“…Hiyomu, atau tuannya, melakukan sesuatu pada kami, dan sepertinya itulah yang membuat kami kehilangan ingatan.”

Shinohara terdiam. Apakah sesuatu terlintas di benaknya? Atau justru dia bingung? Sulit menebaknya. Suasananya terasa aneh.

Haruhiro melirik ke arah Merry. Merry juga tampaknya merasa hal itu aneh.

“Bagaimanapun juga.” Shinohara menatap sekeliling ke arah kelompok itu. “Masalah itu sebaiknya kita anggap terpisah dari persoalan yang sekarang. Aku tidak bisa membayangkan tuan dari Menara Terlarang akan mengundang Ekspedisi Selatan masuk.”

“Ya… kurasa begitu…”

Haruhiro hampir memiringkan kepalanya. Ada sesuatu yang terasa ganjil. Lagi. Tapi kali ini, sepertinya dia menangkap secercah petunjuk tentang apa yang membuatnya terganggu.

Shinohara bilang bahwa dia tak bisa membayangkan sang tuan menara akan mengundang Ekspedisi Selatan—yang berarti para orc, goblin, dan kobold.

Itu pernyataannya barusan. Mungkin memang benar. Tapi… bukankah ada yang aneh?

Ya. Haruhiro tahu apa yang aneh.

Siapa sebenarnya tuan dari Menara Terlarang?

Haruhiro bisa membuat sejumlah kesimpulan.

Mereka terbangun di ruang bawah tanah menara itu. Hiyomu berada di antara mereka, berpura-pura kehilangan ingatan seperti yang lain. Itu hanya sandiwara. Hiyomu ternyata merencanakan sesuatu yang jahat atas perintah tuannya.

Maka, masuk akal jika tuan dari Menara Terlarang adalah tuannya Hiyomu. Itu satu kemungkinan. Penafsiran yang cukup masuk akal.

Tapi Haruhiro belum pernah sekalipun berpikir bahwa tuan dari Hiyomu adalah juga tuan dari Menara Terlarang.

Hiyomu jelas-jelas terlibat dalam urusan menara. Itu tidak perlu dipertanyakan. Tapi tetap saja… apakah bisa disamakan “tuannya Hiyomu” = “tuan menara”?

Menara Terlarang seharusnya tempat misterius yang bahkan para prajurit relawan pun tidak bisa masuki.

Apakah anggapan itu salah?

Atau Shinohara memang tidak berpikir begitu? Menara itu punya tuan. Apakah dia tahu ada seseorang yang tinggal di sana? Atau hanya sekadar rumor?

Setidaknya, Merry tidak pernah mengatakan apa pun soal itu.

“Oh iya,” Shinohara tiba-tiba mengganti topik. “Kalian dengar soal Yume-san dan Ranta-kun yang sekarang bersama Pasukan Relawan?”

“Yume…!” Merry menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya seperti hendak melebar melampaui batas, dan dia tampak akan menangis kapan saja.

Yume.

Ranta.

Bagi Haruhiro, itu hanya nama. Dia tidak ingat apa pun soal mereka. Tapi melihat reaksi Merry, perasaan haru mulai menyelinap ke dalam dirinya juga.

“…Mereka bersama kalian, ya? Begitu rupanya. Keduanya juga. Aku nggak tahu… Kita berpisah dengan Ranta setelah bertengkar, ya? Tapi… mungkin ‘bertengkar’ bukan kata yang tepat. Aku juga nggak terlalu ingat…”

Haruhiro mencoba mengingat kembali cerita Merry tentang apa yang terjadi, tapi ingatannya kabur.

“Ohh?!” tubuh Kuzaku mulai gemetar. Ia memeluk dirinya sendiri. “Aku merinding. Ini apa, ya? Jangan-jangan aku kena penyakit aneh? Tapi kayaknya enggak, kan…?”

Shihoru mulai menitikkan air mata. Dia terlihat kebingungan.

“Aku nggak punya kenangan tentang mereka, jadi tidak ada yang bisa kukomentari.” Setora seperti biasa. “Aku lebih ingin bertemu langsung daripada cuma dengar kabar kalau mereka baik-baik saja. Itu lebih cepat dan pasti. Kenapa tidak kau bawa saja mereka ke sini?”

“Eh, Setora-san… perlu ya ngomong ke senior kita dengan nada seperti itu…?” bisik Kuzaku pelan. Shinohara tersenyum.

“Kalian tak perlu khawatir. Meskipun ada struktur komando di klan, kita semua tetap prajurit relawan. Kita sederajat.”

Setora menanggapi dengan senyum tipis.

“Aku bahkan bukan prajurit relawan, jadi makin tidak ada alasan bagiku untuk berbasa-basi. Aku merasa, kalau kita terlalu menelan mentah-mentah kata-katamu, kita malah akan terluka. Mungkin aku tipe yang curiga. Aku selalu mendekati sesuatu tanpa prasangka, tapi justru karena itu semuanya terasa mencurigakan.”

Haruhiro merasa seolah disiram air dingin.

Setora tidak salah. Malahan, Setora jarang salah dalam hal semacam ini.

Yume dan Ranta masih hidup, dan mereka bersama Pasukan Relawan. Itu kabar baik. Kalau memang benar. Tapi untuk saat ini, satu-satunya yang mengatakan itu hanyalah Shinohara.

“Tentu saja aku sempat mempertimbangkan untuk membawa mereka.”

Shinohara tampak tidak tersinggung sama sekali. Ia tetap tersenyum seperti sebelumnya.

“Tapi, ini menyangkut masalah ingatan kalian. Aku tidak ingin memperumit situasi yang sudah rumit. Setelah mempertimbangkan semuanya, kami berdiskusi dalam Pasukan Relawan, dan kami putuskan seperti ini. Yume-san dan Ranta-kun juga menyetujui.”

Setora hanya mengangkat bahu tanpa menanggapi lebih lanjut.

Shinohara. Pemimpin Orion. Pria itu tampak tanpa cela.

Berbeda dari Setora, Haruhiro sebenarnya tidak terlalu mencurigainya—atau, mungkin, itu tidak sepenuhnya benar.

Merry tampaknya mempercayainya sepenuhnya, tapi Haruhiro tidak mengingat siapa Shinohara, dan Setora bahkan belum pernah bertemu dengannya. Dia terlihat dapat dipercaya. Tapi meskipun ia memberi kesan seperti itu, apakah itu berarti mereka benar-benar bisa mempercayainya?

Mungkin Haruhiro hanya terlalu banyak berpikir. Dia sedang berhati-hati. Itu sudah pasti. Setora mungkin juga berpikiran sama.

Selama ini, ia mengikuti arus karena memang tidak punya pilihan lain. Jalan di depannya hanya ada satu.

Namun kini, ia telah sampai di sebuah persimpangan. Ia harus memilih jalan mana yang terbaik untuk dirinya dan kelompoknya.

Haruhiro memandangi satu per satu rekan-rekannya.

“Kalau ada pendapat, aku ingin mendengarnya.”

Kuzaku mengerang pelan dan menggeleng.

“Kurasa aku nggak punya.”

“Aku bahkan belum bilang apa yang mau aku bicarakan…”

“Bisakah seseorang membungkam si otak udang manis ini?” ucap Setora dingin.

Shihoru terkekeh lemah.

“Setora-san.” Ekspresi Kuzaku mendadak serius, membuat Setora agak goyah.

“…A-Apa?”

“Kamu memanggilku otak udang manis… Bukannya itu terdengar agak imut?”

“Itu pertanyaan yang kau ajukan dengan wajah seserius itu?”

“Nggak juga, cuma terpikir aja.”

“Dan semua yang terlintas di kepalamu harus diucapkan, ya?”

“…kedengarannya memang agak imut. Otak udang manis…” gumam Merry.

Haruhiro berdeham. Semua langsung menoleh padanya.

“Eh, dengar, um… Maksudku, kita nggak harus terus-terusan diatur oleh Pasukan Ekspedisi… maksudku, Jenderal Jin Mogis. Aku pikir kita bisa bertindak sebagai anggota Korps Prajurit Relawan.”

Semua menatap Haruhiro dan mengangguk. Sejauh ini, tidak ada yang keberatan. Itu sudah cukup baik.

“Masalahnya… soal apakah kita sebaiknya meninggalkan Pasukan Ekspedisi sekarang atau tidak, itu hal lain. Jenderal menganggap kita pionnya. Kurasa dia tidak benar-benar mempercayai kita, tapi dia sedang mencoba menarik kita ke pihaknya. Kita perlu mempertimbangkan apa yang akan dia lakukan kalau kita bilang, ‘Baiklah, kami akan kembali ke Korps Prajurit Relawan sekarang.’”

“Itulah intinya.”

Shinohara mulai menjelaskan situasi terkini Korps Prajurit Relawan.

Haruhiro sudah mendengar ini sebelumnya, tapi Korps Prajurit Relawan sedang kekurangan persediaan. Bahkan setelah merebut Riverside Iron Fortress, masalah itu belum juga teratasi.

Kobold memiliki kebiasaan makan yang sangat berbeda, jadi hampir tidak ada apapun di benteng yang layak dikonsumsi manusia. Mereka memang belum sampai kelaparan, tapi jika tak segera mengamankan logistik, atau mendapatkan bantuan, Korps Prajurit Relawan akan menghadapi krisis pangan dalam waktu dekat.

Di sisi lain, Gunung Nestapa, tempat musuh diyakini berkumpul, terletak lima belas kilometer ke utara dari Riverside Iron Fortress. Jika ditarik garis lurus, itu empat puluh kilometer dari Altana, jadi Riverside Iron Fortress memang jauh lebih dekat.

Korps Prajurit Relawan telah mengalahkan lima ribu kobold untuk merebut benteng itu. Tapi merebut dan mempertahankan adalah dua hal yang berbeda. Biasanya pihak bertahan punya keunggulan besar, tapi itu tergantung kondisinya.

Korps berhasil menutupi kekurangan jumlah dengan sihir kuat dan kemampuan tempur individu yang luar biasa.

Tapi jika mereka hanya punya seratusan orang untuk bertahan, apa mereka cukup untuk menjaga seluruh dinding benteng? Jika ada satu titik jebol saja, seluruh pertahanan bisa runtuh dalam sekejap.

Dan kalau para orc dari Deadhead Watching Keep benar-benar telah pergi ke Gunung Nestapa seperti yang mereka duga, ancaman itu hanya akan bertambah besar. Orc jauh lebih berbahaya dibanding kobold.

Jika musuh di Gunung Nestapa menyerang Riverside Iron Fortress, Korps Prajurit Relawan akan kesulitan besar. Kalau mereka tidak bisa mempertahankan benteng, satu-satunya pilihan adalah melarikan diri.

Tapi ke mana?

Bukan ke Wonder Hole. Mereka bahkan sudah terseok-seok di sana. Mereka merebut kembali Riverside Iron Fortress demi membuka jalan menuju kelangsungan hidup.

Ada satu kemungkinan lain.

Altana.

Dengan asumsi Pasukan Ekspedisi akan menerima mereka.

“Kalau dari pihakku sendiri,” kata Shinohara dengan suara lembut tapi mantap, “aku ingin kalian tetap bersama Pasukan Ekspedisi, seperti sebelumnya. Yang bisa kalian simpulkan dari itu adalah—aku meminta kalian menjadi mata-mata kami. Tentu saja, itu mengandung risiko. Kalau kalian dalam bahaya, tolong segera mundur. Kalau sampai terjadi, kami akan melindungi kalian.”

“Dengan cara apa?” Setora tertawa kecil. “Kalian jauh dari Altana, dari tempat aman. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalian akan menolong kami saat kami butuh.”

“Kami tidak berniat memusuhi Pasukan Ekspedisi. Kalau bisa bekerja sama, itu yang terbaik. Dan meski kusebut kalian mata-mata, aku tidak mengharapkan kalian membuat kekacauan dari dalam, atau hal semacam itu.”

“Yang kau inginkan adalah… informasi, ya?”

Saat Shihoru bertanya ragu-ragu, Shinohara menjawab tanpa ragu.

“Itu benar. Terutama soal tujuan Jin Mogis, dan apa yang dia rencanakan dari titik ini ke depan, sedetail yang kalian bisa. Ini bukan agar kami bisa melawan Pasukan Ekspedisi. Kalau bisa menjalin kerja sama yang mulus, itu hasil terbaik. Aku ingin kalian membantu mewujudkan itu.”

Sepertinya tidak ada alasan untuk menolak.

Meski Haruhiro belum mendapatkan kesepakatan dari semua temannya, kemungkinan besar mereka akan menerima permintaan Shinohara. Mereka tak akan menolaknya.

Bukan pilihan buruk. Maksudku, ini mungkin satu-satunya pilihan yang kita punya.

Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa ganjil.

Apa itu?


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x