Tetap saja, apa sebenarnya yang harus kulakukan?
Rasanya canggung sekali berada di dalam ruangan yang diberikan Jin Mogis kepada mereka di Menara Tenboro. Bahkan, lebih tepatnya terasa sangat tidak enak. Akhirnya, Haruhiro dan tim memutuskan untuk keluar. Cuaca hari ini suram, dengan hujan dingin yang terus-menerus sejak pagi, kadang bahkan berubah menjadi hujan beku.
Kuzaku gemetar. “Dingin banget, ya…”
“Pas sekali buat mendinginkan kepalamu,” komentar Setora yang justru merasa nyaman dengan cuaca seperti ini.
“Kayaknya sekarang ada satu masalah lagi yang harus kita hadapi, ya?” ujar Ranta dari balik masker, sambil mengangkat dua jari. “Pertama, kita harus mengembalikan Shihoru. Terus sekarang, kita juga harus menyelamatkan si pak tua, Itsukushima.”
Merry terus memandang sekeliling. Sudah jelas bahwa Neal si pengintai sedang mengikuti mereka. Asalkan mereka berbicara pelan, Neal tak akan mendengar. Namun demikian, ia tak bisa berhenti merasa khawatir.
Kuzaku mendesah sambil memiringkan kepalanya dengan ekspresi muram. “Kau pikir Shihoru-san benar-benar berada di Menara Terlarang? Maksudku, kan itu terlarang dan segala.”
“Emang aneh, kan?” Yume masih kesal karena Itsukushima dipenjara. Ekspresinya terlihat keras, setajam standarnya sendiri. “Mereka menyebutnya menara yang gak pernah dibuka, kan? Tapi kalau gak bisa dibuka, apa yang dia lakuin di dalam sana? Gimana dia bisa masuk coba?”
“Yah, iya. Itulah masalahnya,” ujar pria bertopeng sambil mengangguk. “Kita memang menyebutnya menara yang tak terbuka, tapi itu bukan berarti menara itu benar-benar tak bisa dibuka. Kalau memang begitu, tidak mungkin ada cara untuk masuk dari luar.”
“Kau cepat banget ngerti omongan Yume, ya?” kata Haruhiro, membuat pria bertopeng itu batuk kaku.
“A-A-Apa?! Ya ampun, itu kan nggak susah. Kita udah kenal berapa lama sih? Kasih aku napas, dong. Iya, aku ngerti. Ini tuh masalah buatmu. Kau punya masalah sama ingatanmu, jadi masalah kayak gini mungkin nggak masuk akal buatmu, tapi… memahami dia itu masalah yang normal, tahu?”
“Ini masalah. Itu juga masalah. Semua hal jadi ‘masalah’ buatmu, ya…” komentar Kuzaku dengan nada lelah.
“Graaahhh…!” Pria bertopeng itu langsung menerjang ke arah Kuzaku dengan kecepatan mengerikan seperti burung pemangsa yang mengincar buruannya. Lalu dia menginjak kaki Kuzaku.
“Aw?!”
“Yahoo!”
“U-Untuk apa itu barusan?!”
“Kau harusnya bisa menghindar, dasar tolol! Kalau kita harus bergantung sama orang lemot kayak kau buat jadi tank padahal satu-satunya kelebihanmu cuma badan gede, ya jujur aja, aku khawatir sama nasib kita. Cepetan jadi jago, dasar kepala batu!”
“Aku bukan lamban, kau aja yang terlalu cepat! Tapi dengar itu pasti bikin kau senang, kan? Dasar brengsek! Sampah kau itu! Dan dengerin ya, aku nggak cuma gede, tapi juga kuat!”
“Nggak bisa mikir yang lebih bagus lagi, ya?” tanya Setora dengan suara kering. Kuzaku menyilangkan tangan dan berpikir sejenak.
“Huh? Yang lebih bagus? Hrmm… apa lagi ya kelebihanku…?”
“Pasti ada kok,” kata Haruhiro, meskipun terdengar canggung, karena dia sendiri tidak langsung bisa memikirkan apa pun. “Pasti ada. Banyak. Harusnya sih… Maksudku, masa iya nggak ada sama sekali…”
“Oh, ya?” tanya Kuzaku. “Serius? Emang apa, contohnya?”
Yume menepuk dada Kuzaku. “Kamu jago banget nurutin perintah Haru-kun, kan? Oh, dan menurut Yume sih, kamu orangnya baik juga.”
“Aku baik hati? Uh, ya, mungkin. Tapi kalau perintah Haruhiro, itu udah harga mati.”
“Kau bego, ya?!” Pria bertopeng langsung menyelip di antara Yume dan Kuzaku, lalu menunjuk ke arah Haruhiro. “Menganggap kata-kata si pecundang nggak berguna ini sebagai harga mati? Itu goblok banget, aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana, dasar tolol! Goblok! Goblok bet!”
“Aku mungkin goblok, tapi aku nggak goblok bet!”
“Bukannya harusnya kau protes kebalikannya juga?” sindir Setora dengan nada menyeringai. Kuzaku menatapnya kosong.
“Oh, ya juga. Bener juga sih. Ah ha ha.”
“Oh, dan masih ada lagi,” lanjut Yume sambil menjentikkan jari. “Senyumnya tuh seger banget. Kalo liat, rasanya tuh kayak hutan lega!”
“Gimana bisa rasanya kayak hujan reda?!” Ranta langsung membentak, mengejutkan Haruhiro.
“Kau cepat juga nangkep maksudnya…” gumam Haruhiro, terkesan.
“Iya,” kata Kuzaku, mengangguk. “Hutan lega… atau apalah tadi itu. Tapi kau langsung tahu maksudnya ‘hujan reda’…”
Yume meletakkan jari di bibir dan memiringkan kepala. “Hweh?”
“N-Nggak susah, tahu!” si pria bertopeng menginjak-injak tanah dengan kesal. “Kau aja yang kurang latihan! Latihan, bro! Latihan yang gila-gilaan! Latihan apa…? Mana aku tahu!”
Haruhiro menyadari dirinya sedang sedikit bersenang-senang mempermainkan Ranta, dan ia sendiri tak yakin harus merasa bagaimana tentang itu. Ini bukan waktunya untuk bercanda. Tapi masalahnya, sekeras apa pun ia berpikir, seberapa pun ia memeras otak, apa dia benar-benar bisa menemukan jalan keluar dari masalah mereka? Dia tak bisa terus-menerus tegang dua puluh empat jam sehari. Untungnya, dia dikelilingi oleh rekan-rekan yang membuatnya bisa menurunkan kewaspadaan sejenak. Dia perlu melepas ketegangan saat ada kesempatan, fokus ketika memang harus, dan menunggu jalan keluar muncul dengan sendirinya.
Tanpa sadar, Haruhiro melirik ke arah Merry. Bukan karena mengharapkan persetujuan darinya. Hanya saja, dia sangat diam—tak seperti yang lain—dan itu membuat Haruhiro agak khawatir. Tidak, bukan agak. Cukup khawatir.
Merry sedang melamun sendirian.
Jelas sekali, pandangannya tidak tertuju pada Haruhiro ataupun yang lainnya. Matanya menatap ke atas, agak ke samping. Bibirnya terkatup rapat. Apakah dia sedang menggertakkan giginya? Rahangnya tampak tegang.
Haruhiro ragu untuk bertanya, Kau baik-baik saja? Mungkin itu berlebihan mengingat bukti yang ada, tapi ada sesuatu yang terasa aneh darinya.
“Menara Terlarang, ya…?”
Apakah itu suara Merry?
Sepertinya iya. Tapi suaranya terdengar jauh lebih berat dari biasanya.
Haruhiro menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Bahkan terasa aneh saat menelan. “Merry… barusan kamu bilang apa?”
Merry menoleh dan menatap Haruhiro.
Itu aneh. Jujur saja, rasanya tidak benar. Cara Merry menatap Haruhiro… seperti dia sama sekali tidak mengenalnya. Dan itu menyakitkan. Merry mendadak terasa seperti orang asing. Begitulah kesan yang muncul. Atau mungkin, Merry tidak tahu siapa Haruhiro? Kalau bukan karena sesuatu seperti itu, dia tak mungkin menatapnya seperti itu.
“Apakah ada jalan masuk ke dalam Menara Terlarang?”
Apakah Merry sedang bertanya pada Haruhiro?

“Huh? Uh…”
Tapi Haruhiro tidak punya jawaban. Merry seharusnya tahu itu. Atau… apakah sekarang dia tidak tahu? Apa dia bahkan peduli?
“Menara Terlarang, ya…?” Merry mengulang lagi, lalu tiba-tiba mulai berjalan.
Ranta menyingkap sedikit topengnya dan melemparkan tatapan ragu ke arah Haruhiro. Ada apa dengannya? Dia kenapa? —begitulah ekspresinya, tapi justru itu juga yang ingin Haruhiro ketahui.
Kuzaku melirik punggung Merry, lalu menoleh ke Haruhiro. “Dia kenapa…?”
Mana kutahu, Haruhiro nyaris membentaknya. Tapi itu bukanlah reaksi yang dewasa, jadi dia menahan diri. Lebih dari marah, dia merasa cemas. Apa yang sedang terjadi pada Merry?
“Merry-chan, ada apa?” Yume segera menyusul Merry. Haruhiro pun ikut mengejar. Yume dengan cepat menyamai langkah sang priest, berjalan di sampingnya. “Merry-chan…?”
Saat Yume memanggil namanya, Merry hanya menoleh sekilas. Hanya itu. Sekadar memastikan siapa yang ada di sebelahnya, tanpa menunjukkan minat sedikit pun pada keberadaan Yume.
Yume dan Kuzaku tampak kebingungan. Ranta dan Setora menunjukkan ekspresi curiga yang jelas. Tapi tak satu pun dari mereka bicara. Haruhiro pun sama—semua terdiam, bingung.
Merry berjalan lurus menuju gerbang utara. Gerbang itu terbuka, dijaga oleh para prajurit Pasukan Perbatasan. Tentu saja, mereka langsung menghentikannya.
“Aku ingin memberi penghormatan pada mereka yang telah gugur,” kata Merry tanpa ragu sedikit pun. “Rekan-rekanku dimakamkan di bukit sebelah sana. Setelah aku mengunjungi makam mereka, aku akan langsung kembali.”
Para prajurit tampak bingung, tapi pada akhirnya mereka membiarkan Haruhiro dan yang lainnya lewat. Melihat betapa mudahnya mereka dilepaskan, Haruhiro malah merasa sedikit kecewa.
Sebuah pikiran melintas di benak Haruhiro. Mungkin saja ia terlalu melebih-lebihkan Jin Mogis.
Sepertinya Mogis sebenarnya tidak menangkap Shihoru. Kemungkinan besar, Shihoru berada di Menara Terlarang. Apakah dia kehilangan ingatan dan sekarang dikendalikan oleh sang penguasa menara?
Bisa diasumsikan bahwa anak buah Mogis yang menculik Shihoru. Tapi setelah itu, Shihoru diserahkan kepada penguasa menara dan kini tidak lagi berada dalam kekuasaan Mogis. Itu berarti Haruhiro dan timnya tidak punya alasan untuk mematuhi Mogis.
Memang bukan ide bagus untuk langsung melawan Mogis, karena dia memiliki relik kuat. Tapi mereka bisa saja mengabaikannya dan membelot dari Pasukan Perbatasan. Langkah pertama: membebaskan guru Yume, Itsukushima, dari penjara—lalu kabur bersama-sama.
Situasinya memang rumit, dengan banyak faksi yang memiliki tujuan masing-masing. Namun, Haruhiro dan yang lain tak peduli. Mereka bisa bertindak mandiri demi kepentingan sendiri. Itu pilihan yang paling sederhana—dan sepertinya bukan pilihan yang buruk.
Merry mulai menaiki bukit. Tadi dia bilang kepada para penjaga bahwa dia ingin mengunjungi makam, tapi jelas sekarang dia tak menunjukkan niat ke sana sama sekali.
Tak ada hujan turun, tapi langit tertutup awan tebal tanpa celah. Di kejauhan, kilatan cahaya menyambar. Petir. Beberapa detik kemudian, terdengar gemuruh rendah seperti bola besi raksasa yang menggelinding.
Jalan setapak yang menghubungkan Altana ke bukit basah dan lembek. Tapi Merry tak peduli. Dia terus menapakinya menuju puncak bukit, tatapannya terpaku pada Menara Terlarang yang menjulang angkuh di depannya.
Haruhiro ikut menatap menara itu. Setelah diperhatikan dengan saksama, ada sesuatu yang terasa tak wajar darinya. Apakah karena susunan batunya? Menara itu jelas-jelas dibangun dari balok-balok. Tapi, apakah itu benar-benar batu? Ukuran, bentuk, dan teksturnya terlalu seragam. Mungkin saja balok-balok itu bukan dipahat dari batu alam. Apakah mereka sesuatu seperti beton? Atau mungkin—meski tak berkilau—mereka sebenarnya sejenis logam?
Menara Terlarang berdiri lebih tinggi dibandingkan Menara Tenboro di Altana. Tak seperti bekas tempat tinggal markgraf yang penuh kemewahan, menara ini tak tampak mencolok. Karena itu, ia tidak meninggalkan kesan sebagai bangunan yang mengagumkan, namun sangat kokoh.
Menara Tenboro tampak seperti sesuatu yang bisa dibangun jika seseorang memiliki cukup tenaga kerja, pengetahuan, dan peralatan. Tapi bagaimana dengan Menara Terlarang? Rasanya menara itu bukan sesuatu yang dibangun oleh tangan manusia. Lebih masuk akal jika seseorang berkata menara itu sudah ada sejak dulu, begitu saja.
“Ini relik,” kata Merry. Tentu saja Haruhiro terkejut.
Relik. Itu dia, pikir Haruhiro. Menara Terlarang adalah relik berukuran raksasa. Tapi… kenapa? Kenapa Merry bisa mengatakan hal itu?
Haruhiro seharusnya menanyakannya. Jelas ada yang aneh dengan Merry. Namun, tak peduli bagaimana pun dia tampak, Merry tetaplah Merry. Tidak ada orang lain selain dirinya. Ia telah bersama mereka melewati suka dan duka, baik sebelum maupun sesudah mereka kehilangan ingatan. Seorang rekan yang berharga, pantas untuk mereka percaya. Jika Haruhiro meragukannya, ia bisa bertanya langsung. Itu seharusnya bukan hal yang sulit. Lalu kenapa? Kenapa bukan hanya Haruhiro, tapi juga Yume, Kuzaku, dan Ranta, semuanya terdiam?
Guruh kembali terdengar menggelegar di kejauhan. Hujan dingin mengguyur pipi Haruhiro.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Setora, memecah keheningan.
Itu mungkin pertanyaan yang tepat—pertanyaan yang langsung menuju inti persoalan. Justru karena itulah Haruhiro tidak bisa mengatakannya. Ia yakin bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya diucapkan.
Tapi kenapa? Merry jelas-jelas adalah Merry. Namun, entah kenapa, ia juga terasa bukan dirinya. Kalau, dalam kemungkinan yang sangat kecil, Merry memang bukan Merry… lalu siapa dia? Bukankah itu justru hal yang ingin Haruhiro ketahui?
Apakah ia takut? Mungkin saja Haruhiro memang merasa takut. Jelas, ia merasakan ada yang tidak beres.
Yume dan Ranta memang bertindak terpisah, tapi Haruhiro, Shihoru, Kuzaku, Merry, dan Setora telah melewati dunia lain bersama-sama. Haruhiro tak tahu apa yang terjadi di sana, tapi pada akhirnya mereka kembali ke Grimgar. Di Menara Terlarang, sesuatu telah dilakukan kepada mereka hingga membuat ingatan mereka terhapus, menyisakan hanya nama mereka masing-masing.
Merry adalah satu-satunya pengecualian. Ingatannya kabur tentang apa yang terjadi di dunia lain—seolah hanya samar-samar mengingatnya—namun ingatan lainnya tetap utuh. Kenapa bisa begitu? Merry sendiri mengaku tidak tahu. Entah itu akibat relik atau sebab lainnya, tetap saja aneh bahwa ia hanya kehilangan sebagian ingatannya. Apakah itu murni kebetulan? Tidak sepenuhnya mustahil.
Tapi, ini bukan cuma soal ingatan. Ada hal lain yang lebih besar dari itu.
Merry pernah menggunakan sihir. Magic Missile. Hiyomu kala itu terkejut.
“Kau seorang priest, tapi barusan kau pakai sihir.”
Itu terjadi tak lama setelah mereka kembali ke Grimgar tanpa ingatan. Saat itu, hal tersebut tak berarti apa-apa bagi Haruhiro. Tapi sekarang, semuanya mulai masuk akal. Merry menjadi prajurit relawan sebagai priest. Sejak awal, perannya selalu itu. Seharusnya tidak mungkin ia bisa menggunakan mantra milik seorang mage.
Selain itu, waktu itu pun Merry tampak aneh. Setelah melepaskan Magic Missile, ia terlihat kesakitan.
Merry tiba-tiba menelan ludah, matanya melebar. Haruhiro langsung paham. Ia bisa merasakannya dengan sangat jelas. Ini bukan perubahan yang halus. Bahkan saat hanya berdiri diam pun, setiap orang punya kebiasaan khas—seperti lebih sering bertumpu pada salah satu kaki, atau bahu yang sedikit lebih tinggi sebelah. Dan sekarang, semuanya itu hilang. Ia benar-benar berubah. Apa yang berubah, dan sejauh mana? Sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tapi perubahannya jelas. Sangat nyata. Cukup signifikan untuk membuat Haruhiro yakin.
“Merry…?” suara Haruhiro terdengar tinggi dan pecah.
Merry menoleh ke arahnya. Lalu berkedip. Ia menatap Haruhiro seolah tak mengerti apa yang sedang terjadi. Haruhiro tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia akan mencoba bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Dan benar saja. Merry segera menoleh ke sekeliling, mungkin berusaha memahami di mana dirinya berada.
“Eh… Apa?” Nada suaranya seperti ingin berkata, Maaf, barusan aku agak linglung, semacam itu. Kalau Haruhiro bertanya, Kau kenapa?, sudah pasti itulah jawaban yang akan ia berikan.
Yah, hal seperti itu bisa terjadi. Memang kadang-kadang terjadi. Ya… memang bisa.
Aku tidak bisa bilang itu tidak mungkin—atau seharusnya aku tidak bisa.
Haruhiro sedang berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri. Di hadapannya ada sesuatu seperti sebuah sumur. Saat ia mengintip ke dalamnya, airnya tak terlihat. Yang ia rasakan justru sesuatu yang tak bisa diidentifikasi. Apa itu benar-benar sumur? Haruhiro bahkan tak ingin memastikannya. Ia lebih ingin menutupnya rapat. Kalau ia menutupinya, maka itu takkan terlihat lebih dari sekadar sumur yang tertutup rapat. Meskipun itu bukan sumur, asal ditutup, takkan ada yang tahu apa sebenarnya isi di dalamnya. Ia tak perlu tahu.
“Jangan pura-pura nggak ngerti,” kata Setora dengan suara datar. Ia tampak cukup tenang. Tapi justru karena itu, reaksinya terasa aneh. Terlalu tenang. Mungkin sebenarnya ia juga terguncang dan hanya berusaha menyembunyikannya.
“Barusan kau benar-benar jadi orang yang berbeda. Kenapa kita ada di sini? Karena kau, Merry. Kau yang membawa kami ke tempat ini. Lebih tepatnya, kau berjalan sendiri menuju menara ini. Kami hanya mengikuti dari belakang.”
“Uh, S-Setora-san, tunggu sebentar. Mungkin bisa disampaikan dengan cara yang lebih halus? Jangan terkesan menyudutkan begitu…” ucap Kuzaku, mencoba menengahi.
“Menyudutkan?” Setora menyipitkan mata. “Aku sama sekali tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin memperjelas. Apa Merry memang selalu seperti ini? Atau… ada yang berubah dulu? Aku tidak tahu. Karena aku sendiri tidak ingat apa-apa, dan aku juga bukan prajurit relawan sejak awal. Jadi aku tak mungkin sudah lama mengenal kalian. Bagaimana denganmu, Yume?”
“Fwhuh?!” Yume mengeluarkan suara aneh.
Setora menatapnya lekat-lekat. “Kau tidak kehilangan ingatan, dan kau juga tidak meninggalkan party seperti Ranta.”
“Y-Ya… Itu sih benar, tapi…”
“Menurutmu, apakah Merry berubah?”
“Dia… Umm… Yah… Hrmm…” Yume menunduk dan memegangi kepalanya. “Dia berubah… Mungkin? Apa iya? Uhhh. Ya…”
Sungguh tak tega melihatnya. Tapi kalau Haruhiro memalingkan pandangannya dari Yume yang kesulitan menjawab, ke mana seharusnya ia menatap? Apa yang harus ia lihat?
Ranta melepaskan topengnya dan menatap ke arah Menara Terlarang. Tetesan hujan dingin menghantam wajahnya satu per satu, membasahinya dalam sekejap.
“Yume,” ucap Ranta dengan suara rendah, nada yang sangat tidak biasa darinya. “Kau sudah cerita banyak tentang apa yang terjadi waktu aku nggak ada. Tapi masih ada hal-hal yang belum kau ceritakan, kan?”
Yume menatap Ranta dengan tajam. Matanya penuh tuduhan. “Ya, Ranta… Itu karena kamu pergi, kan? Kamu yang salah di sini, oke? Mungkin ‘salah’ bukan kata yang paling pas, tapi tetap aja, kalau waktu itu kamu bersama kami, Merry-chan nggak akan—”
“Apa maksudmu…?” Ranta mengusap wajahnya, lalu menatap Yume lagi. “Apa… yang terjadi sama Merry?”
“M-Merry-chan…”
Yume memegangi bahu kirinya dengan tangan kanan. Satu tangannya lagi sudah lebih dulu mencengkeram pinggangnya.
“M-Merry-chan, dia… m-m-m—”
Yume terus tergagap. Apa yang sedang ia coba katakan? Kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya, tak mau keluar.
Mati.
Mati?
“Ahhh…!”
Ia ingat sekarang.
Apa yang pernah ia lihat saat itu. Suaranya. Baunya. Semuanya membuncah dari dalam diri Haruhiro.
“Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…!”
Ada makhluk besar seperti gorila, tubuhnya dilapisi karapas keras berwarna cokelat gelap, berdiri di atas tubuh Merry. Haruhiro mencoba melakukan sesuatu. Tapi dia tak punya kekuatan.
Namun dia harus menyelamatkan Merry. Harus cepat. Segera.
Merry hanya bisa membuka matanya setengah. Tubuhnya gemetar. Menggigil. Ia terbatuk. Darah keluar dari mulutnya.
“Mantra,” Haruhiro memanggilnya. “Merry, gunakan mantramu. Kamu harus menyembuhkan dirimu. Cepat. Merry.”
Benar. Merry adalah seorang priest. Satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka. Satu-satunya. Merry pasti tahu itu juga. Karena itu dia berusaha mengangkat tangan kanannya. Dia harus membuat simbol bintang bersudut enam. Tapi tangannya tak bisa terangkat.
Tak apa. Jangan khawatir. Aku akan membantumu.
Haruhiro menggenggam tangan Merry, mencoba membantunya. Merry mengerang. Ia menggeleng lemah.
Itu menyakitkan. Terlalu menyakitkan untuk ditahan.
“Merry? Merry?!” serunya. “A-Aku harus… harus bagaimana…?”
Sesuatu. Merry sedang mencoba mengatakan sesuatu. Haruhiro mendekatkan telinganya ke bibir Merry.
“Merry? Apa? Apa yang ingin kamu katakan?!”
Aku tak bisa mendengarmu, Merry. Suaramu terlalu lemah. Terlalu pelan.
“Ha…”
“Ya? Apa?”
“…Haru…”
“Huh?”
“Aku…”
“Apa?”
“Haru… kamu adalah pria… yang aku…”
“Aku apa? Aku apa, Merry…?”
“…!”
Merry mencoba mengatakan sesuatu. Menyampaikan sesuatu. Tapi… mungkin ia sudah tak mampu bicara?
Haruhiro menjauhkan wajahnya sedikit. Menatap Merry. Saat mata mereka bertemu, Merry tersenyum.
Aku tak mengerti. Kenapa? Bukankah kamu sedang kesakitan? Bukankah kamu sedang menderita? Kamu menakutkanku.
Kenapa kamu tersenyum, Merry?
Tak ada jawaban. Dan tak akan pernah ada lagi. Saat itu juga, Haruhiro menyadarinya. Jelas sekali.
Pupilnya membesar, tak terfokus. Merry tak lagi melihat apa pun. Mungkin dia juga tak bisa mendengar. Tak bisa berpikir. Tak bisa merasakan.
Aku apa, Merry? Apa yang ingin kamu katakan padaku?
Ah, sekarang dia ingat.
Merry pernah mati sebelumnya.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)