Di Altana, Pasukan Ekspedisi telah mendirikan beberapa tempat pembakaran darurat di sekitar kota untuk menghanguskan mayat goblin. Kota itu memang memiliki krematorium, tapi fasilitasnya tidak cukup untuk membakar begitu banyak mayat sekaligus. Selain itu, krematorium kan untuk manusia. Mungkin ini hanya perasaan buruk semata, tapi kenapa goblin harus dikremasi di tempat yang sama? Bagaimanapun, goblin juga bisa berubah menjadi mayat hidup akibat kutukan No-Life King. Jadi, mereka harus segera membasmi mayat-mayat itu.
Haruhiro dan Neal memasuki Altana lewat gerbang utara dan buru-buru menuju Menara Tenboro. Tempat pembakaran terbesar ada di halaman depan, di sana asapnya sangat pekat. Selain itu, baunya menyengat dan mengerikan. Mata, hidung, bahkan tenggorokannya terasa perih. Para prajurit yang mengurus pembakaran itu ada yang menangis dan muntah-muntah, ada juga yang menghindari tugas sambil dimarahi atasan.
Barikade yang didirikan goblin di depan Menara Tenboro belum sepenuhnya dibongkar. Barikade itu hanya dipindahkan ke samping agar lalu lintas tidak terhalang. Membersihkan bekas-bekas seperti ini memang merepotkan.
Jenderal Jin Mogis sedang berada di aula besar. Ruangan ini dulunya digunakan oleh Markgraf sebagai ruang audiensi, dengan panggung di dinding belakang yang dihiasi kursi megah. Jenderal berambut merah itu senang duduk di kursi tersebut.
Sombong sekali. Apa dia pikir dirinya raja perbatasan?
Tapi sebelum pikiran-pikiran itu benar-benar menguasai Haruhiro hari ini, ia merasa terkejut.
Jenderal itu biasanya didampingi beberapa prajurit berjubah hitam. Mereka adalah pengikut setia yang telah melayani sejak masa kepemimpinan Jin Mogis di Black Hounds, dan mereka termasuk elit langka di Pasukan Ekspedisi yang mampu bertempur dengan baik.
Ada empat prajurit berjubah hitam selain jenderal di aula besar. Itu sudah biasa. Namun, ada seseorang lain berdiri di depan panggung.
Siapa dia? Itu jelas bukan anggota Pasukan Ekspedisi. Ia mengenakan jubah putih. Tidak polos, melainkan ada lambang bintang yang disulam. Tujuh bintang membentuk pola huruf X.
Orang itu menoleh memandang Haruhiro.
“Hei,” katanya santai, lalu saat benar-benar melihat Haruhiro, matanya membelalak.
Reaksi itu berarti dia mengenal Haruhiro. Pria dengan wajah ramah dan berwibawa itu familiar ke Haruhiro.
Mereka pasti kenal satu sama lain. Jadi, Haruhiro juga tahu dia. Atau, dulu tahu. Tapi sekarang lupa.
“Uh… Hei,” Haruhiro membalas dengan membungkuk.
Neal menatap Haruhiro dengan curiga.
Siapa sebenarnya orang ini? Haruhiro sudah memaksa dirinya menghafal nama-nama yang diberitahu Merry sebagai orang-orang yang ia kenal. Nama, profil singkat, hubungan mereka dengannya dan dengan anggota kelompok lain. Ia sudah mengingatnya sebaik mungkin.
Tapi ia tidak hafal wajah. Kata-kata hanya bisa menggambarkan penampilan seseorang sebatas tertentu.
“Jenderal,” kata Neal sambil memperhatikan pria itu mendekat, lalu berlutut dan membungkuk. “Kami telah kembali.”
Jenderal mengangguk serius.
Berdiri tanpa melakukan apa-apa terasa canggung. Haruhiro sedikit tertinggal di belakang dan agak menyamping dari Neal. Ia hanya membungkuk pelan.
Pria itu masih memandang Haruhiro. Dengan senyum lebar. Ia tampak sangat ramah. Jelas orang baik.
“Jadi?” tanya sang jenderal.
Oh, hebatnya. Nggak ada penjelasan sama sekali. Gak ada pengenalan siapa pria ini. Setidaknya bisa dikenalkan… Tapi Jin Mogis bukan tipe orang yang mengikuti tata krama seperti itu. Haruhiro selalu diingatkan akan hal itu.
“Pak,” Neal berbicara dengan suara agak tertahan tanpa mengangkat kepala, “Deadhead Watching Keep memang kosong, seperti yang kami duga.”
“Kalau begitu, kemana orc-orc itu pergi?”
“Maaf, itu… tidak jelas.”
Jenderal mengetukkan jarinya pada sandaran kursi. Setiap kali kuku jarinya menyentuh, suara keras menggema di aula. Haruhiro berpikir, kuku jenderal ini kuat sekali, walaupun itu tidak penting.
“Tampaknya Korps Prajurit Relawan punya informasi,” ujar jenderal sambil menatap pria yang belum dikenal itu.
Korps Prajurit Relawan.
Haruhiro yakin jenderal baru saja menyebut Korps Prajurit Relawan.
Neal memandang pria itu, masih berlutut.
“…Korps Prajurit Relawan, ya?”
“Aku Shinohara dari Orion.”
Pria itu memperkenalkan diri.
Shinohara.
Haruhiro tanpa sadar menyentuh lehernya.
Aku tahu dia.
Shinohara… -san, ya?
Memori itu belum sepenuhnya kembali, tapi ia tahu satu hal:
Menurut Merry, Orion adalah klan yang cukup besar dengan sekitar 30 anggota. Pemimpinnya bernama Shinohara, dan dia sangat mengenal Haruhiro. Mereka bukan sekadar kenalan biasa. Hubungan mereka sulit untuk dirangkum dalam satu kata.
Shinohara cenderung memperhatikan orang lain, dan sudah tertarik pada Haruhiro dan kelompoknya sejak mereka masih menjadi calon prajurit relawan. Sebagian alasannya adalah karena Merry sebenarnya pernah menjadi anggota Orion. Dulu, ada seseorang bernama Hayashi—rekan Merry waktu itu—yang sampai sekarang masih ada di Orion. Mungkin itu yang membuat Shinohara mulai memperhatikan mereka.
Hubungan itu agak… canggung.
Mereka cukup akrab.
Tapi nggak bener-bener dekat.
Seberapa akrab sebenarnya mereka dulu? Kalau bertemu di jalan, mungkin mereka akan saling menyapa. Tapi apakah mereka akan berhenti dan mengobrol?
Apakah Prajurit Relawan sedang bergerak? Mereka mengirim Shinohara sebagai utusan ke Pasukan Ekspedisi. Apakah ini bagian dari rencana itu? Jujur saja, Haruhiro tidak tahu. Urusan koordinasi dengan Prajurit Relawan sudah ia serahkan pada Barbara dan Eliza.
Ini terdengar seperti alasan, tapi sejujurnya, Haruhiro bahkan tidak sempat memikirkannya.
Bahwa Barbara bisa saja mati.
“Anda mungkin sudah tahu,” kata Shinohara, lalu sedikit mengangkat bahu, “belum lama ini, kami dari Prajurit Relawan berhasil merebut kembali Riverside Iron Fortress dari tangan para kobold.”
Neal mendongak dan menatap sang jenderal.
Wajah sang jenderal tanpa ekspresi. Apakah dia tidak merasa apa-apa? Apakah dia tidak memikirkan apa pun? Mustahil. Mungkin dia hanya tidak ingin orang lain tahu apa yang ia pikirkan. Itu sebabnya ia menyembunyikan emosinya, bukan?
Tiba-tiba, sang jenderal menoleh ke arah Haruhiro, membuatnya langsung berkeringat dingin. Celaka. Haruhiro buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, lalu menatap Shinohara. Apakah itu cukup? Apakah ekspresinya terlihat cukup terkejut? Ia berharap begitu. Karena kalau tidak, dia akan berada dalam masalah.
Haruhiro tahu Prajurit Relawan masih utuh. Dia juga tahu mereka memang berencana menyerang Riverside Iron Fortress secara bersamaan saat Pasukan Ekspedisi merebut Altana.
Tapi sang jenderal dan Neal tidak tahu bahwa Haruhiro tahu. Ia sengaja tidak memberi tahu mereka.
Ini seharusnya jadi kejutan total bagi Pasukan Ekspedisi. Kalau Haruhiro tak tampak terkejut, dia akan dicurigai.
“Untuk rinciannya,” Shinohara melanjutkan, “jumlah kobold yang kami hadapi sekitar lima ribu. Sayangnya, kami tidak sempat melenyapkan semuanya.”
“Lima ribu…” gumam Neal.
“Benar,” Shinohara mengangguk sambil tersenyum. “Kami menghitung sekitar dua ribu mayat kobold. Sisanya—sekitar tiga ribu—tidak kembali ke sarang lama mereka di Tambang Cyrene, melainkan menuju sebuah kastil tua di Gunung Nestapa (Grief).”
Secara garis besar, Riverside Iron Fortress berada di dekat Sungai Jet, dan Pos Lonesome Field terletak sekitar sepuluh kilometer di timur laut dari sana. Wonder Hole berjarak sekitar satu atau dua kilometer ke barat laut Pos Lonesome Field, dan tujuh atau delapan kilometer di utara sana berdirilah Gunung Nestapa.
Haruhiro tidak tahu apa pun tentang tempat itu, selain namanya. Tapi Shinohara baru saja menyebut sebuah kastil tua. Jadi dulunya ada kastil di sana?
“Kami belum benar-benar yakin, tapi kami menduga bahwa para orc dari Deadhead Watching Keep juga telah pindah ke Gunung Nestapa. Kami sudah mengirim beberapa thief untuk menyusup ke wilayah itu. Jadi, dalam waktu dekat, kami akan tahu pasti.”
“Kalau aku percaya pada kata-katamu,” sang jenderal tiba-tiba menyela, “maka para Prajurit Relawan—dengan kata lain, kalian—adalah pasukan yang sangat terampil. Kalian berhasil merebut benteng yang dijaga oleh lima ribu pasukan, meskipun mereka hanyalah makhluk liar, dalam waktu dua hari saja. Lalu, bukannya merayakan kemenangan, kalian segera mengejar musuh yang melarikan diri, menemukan ke mana mereka pergi, dan sekarang sedang merencanakan langkah selanjutnya.”
Shinohara kembali menatap sang jenderal. Haruhiro penasaran apa yang akan ia katakan, tapi tentu saja Shinohara hanya tersenyum, dan bukannya bersikap rendah hati…
“Terima kasih,” jawabnya.
Sudah jelas, dia bukan hanya pria ramah seperti yang terlihat di permukaan. Shinohara juga bisa bersikap berani. Dia pasti cukup percaya diri dengan kemampuannya. Ia tampak tenang berdiri di depan sang jenderal yang misterius dan sulit ditebak itu.
“Kalau aku percaya pada semua yang kau katakan…” Sang jenderal sedikit memutar lehernya. “Berarti kalian menyerang Riverside Iron Fortress hampir bersamaan saat pasukanku menyerbu Altana.”
“Itu memang yang terjadi, ya,” balas Shinohara tanpa sedikit pun rasa khawatir.
“Itu terlalu kebetulan,” ujar sang jenderal, berhenti sejenak, “untuk dianggap sebagai suatu kebetulan. Kalau kalian tidak memantau pasukanku, maka kalian pasti sangat beruntung.”
“Bukan hanya kami yang beruntung, Jenderal.” Shinohara meletakkan tangan di dadanya dan menundukkan kepala. “Anda juga beruntung.”
Sang jenderal berambut merah itu tertawa, tapi tanpa nadanya meningkat. Sulit membayangkan manusia bisa tertawa seperti itu. Mungkin memang dia bukan manusia. Entahlah. Yang jelas, senyumannya benar-benar membuat merinding.
“Aku ada di sini atas perintah raja. Sekarang Markgraf telah tiada, maka kehendakku adalah kehendak Yang Mulia Raja Idelta dari Arabakia.”
“Markgraf telah… Begitu rupanya.” Dahi Shinohara berkerut. “Dia orang yang ramah. Bahkan pernah mengundangku—seorang prajurit relawan biasa—ke Menara Tenboro untuk mengobrol. Sayang sekali itu terjadi padanya. Aku sedih mendengarnya. Kapan beliau meninggal?”
“Saat kami merebut kembali Altana, dia sudah tiada,” jawab sang jenderal tanpa ragu.
“Aku mengerti.” Shinohara menyilangkan tangan dan mengerutkan alis. “Sebenarnya, ada satu prajurit relawan yang bertahan cukup lama di Altana. Ketika dia akhirnya berhasil melarikan diri dengan nyawanya, dia mengatakan bahwa Markgraf ditawan para goblin, disiksa dengan kejam, dan dipermalukan di depan umum. Aku sempat berharap bisa menemukan cara untuk menyelamatkannya. Sayang sekali.”
“Garlan Vedoy. Dari Keluarga Vedoy yang terkenal.”
Sang jenderal menyandarkan kepala ke belakang kursinya, pandangannya menerawang jauh. Seolah-olah ia sedang mengingat—atau mungkin menikmati—momen ketika ia membunuh Margrave. Tapi mungkin Haruhiro hanya terlalu banyak berpikir.
“Aku sungguh menyesal tak bisa menyelamatkannya. Tapi dia sudah mati.”
“Di mana jenazahnya?”
Ketika Shinohara menanyakan itu, sang jenderal tidak ragu sedikit pun.
“Dia sudah dikremasi,” jawabnya.
“Sang Markgraf…” Shinohara terdiam sejenak, seolah agak kesulitan untuk melanjutkan, “apakah dia sempat bergerak?”
“Di bawah kutukan No-Life King?”
“Ya.”
“Aku yang menghabisinya sendiri. Keadaannya terlalu menyedihkan untuk dibiarkan begitu saja.”
Fakta bahwa sang jenderal bisa menyatakan itu dengan begitu tenang menunjukkan betapa tidak biasanya dirinya.
“Aku mengerti.” Raut sakit di wajah Shinohara… sungguh, itu luar biasa.
Hanya segelintir orang yang mengetahui kebenaran di balik kematian Markgraf. Hanya sang jenderal, Haruhiro dan kelompoknya, serta Komandan Prajurit Resimen, Anthony Justeen. Shinohara sepertinya hanya tahu bahwa Markgraf pernah menjadi tahanan di Menara Tenboro.
Namun… apakah dia telah menyadari yang sebenarnya lewat percakapan barusan?
Ketika Altana direbut kembali, Markgraf masih hidup. Namun Jenderal Jin Mogis membunuhnya. Bagi sang jenderal, Markgraf — penguasa sah Altana dan bahkan berdarah lebih tinggi — hanyalah penghalang. Meski kini sepertinya ia memahami apa yang sebenarnya terjadi, Shinohara tetap tenang.
“Aku dengar sebagian orang menyebutnya raja perbatasan,” ucap sang jenderal, menatap Shinohara. “Aku tahu itu hanya kiasan. Tapi sekarang, akulah yang duduk di tahtanya.”
Tunduklah padaku — itu yang tersirat dari ucapan sang jenderal. Tapi mengapa dia hanya memberi isyarat, bukannya menyatakannya secara langsung?
Pasukan Ekspedisi kehilangan sekitar seratus orang dalam pertempuran merebut Altana. Termasuk di antaranya banyak anggota jubah hitam dalam tim yang dipimpin Dylan Stone saat menyerbu Menara Tenboro. Mereka adalah orang-orang kepercayaan sang jenderal, prajurit yang dibesarkannya sendiri. Pasukan Ekspedisi masih memiliki lebih dari sembilan ratus orang, tapi sebagian besar hanyalah para bajingan dan pembelot yang dikumpulkan secara sembarangan.
Berdasarkan cerita dari Barbara dan Eliza, jumlah total Korps Prajurit Relawan kurang dari seratus lima puluh orang. Tapi bahkan dengan jumlah sekecil itu, mereka berhasil merebut Riverside Iron Fortress yang dijaga oleh lebih dari lima ribu kobold. Para prajurit relawan bukanlah prajurit biasa. Mereka adalah petarung elit, juga penyihir yang sangat terampil.
Bisa jadi Jin Mogis sedang mempertontonkan kepercayaan diri palsu. Mungkin sebenarnya dia gentar terhadap Korps Prajurit Relawan. Dan bahkan jika tidak sepenuhnya takut, dia mungkin sadar bahwa dia tidak bisa memaksa mereka tunduk dengan mudah.
Shinohara pun yakin bahwa meski jumlah mereka jauh lebih sedikit, kekuatan Korps Prajurit Relawan setara dengan Pasukan Ekspedisi.
Jika sang jenderal bersikeras memberi perintah, Shinohara mungkin akan menolak. Sangat kecil kemungkinan dia akan dengan suka rela menjadi bawahan sang jenderal.
“Jenderal,” Shinohara mulai berbicara. Jin Mogis bukanlah raja perbatasan. Setidaknya bagi Shinohara dan Prajurit Relawan, mereka tidak punya alasan untuk bertekuk lutut di hadapannya. “Jika para kobold dan orc berkumpul di Gunung Nestapa, kita tak bisa tinggal diam. Para goblin di Damuro juga membuatku khawatir. Prajurit Relawan tidak akan bisa bergerak dari Riverside Iron Fortress dalam waktu dekat.”
Sang jenderal tidak langsung menjawab. Ia diam cukup lama.
Secara kekuatan relatif, sebenarnya sang jenderallah yang dalam posisi lemah, bukan Shinohara. Namun jenderal berambut merah itu mampu mendominasi ruangan hanya dengan diam yang tegang ini. Tidak ada yang tahu apa yang akan dia lakukan. Selalu terasa seperti dia bisa saja melakukan sesuatu yang tak terbayangkan kapan saja.
“Aku mengerti situasimu. Shinohara, bukan? Beristirahatlah di Tenboro hari ini. Akan kubawakan makanan nanti.”
“Terima kasih atas kebaikanmu, Jenderal Mogis.”
Shinohara membungkuk dengan senyum yang tampak begitu alami.
Entahlah. Sulit untuk melihat ini tanpa rasa tak nyaman.
Haruhiro tidak bisa menyangkal bahwa itulah yang ia rasakan. Napasnya terasa berat, dan bahunya tegang. Bukan hanya bahu — seluruh tubuhnya terasa kacau.
Sang jenderal melambaikan tangannya sedikit. Mungkin itu artinya, Keluar. Neal langsung berdiri dan berbalik untuk pergi.
“Kalau begitu, sampai jumpa.”
Shinohara pergi, jadi seharusnya Haruhiro pun ikut — atau begitulah pikirnya. Tapi ternyata tidak semudah itu.
“Kau tetap di sini,” seru sang jenderal padanya.
Uh, tadi dia bilang apa?
Kau?
Siapa?
Namanya tidak disebut. Dia bisa saja pura-pura tidak tahu, tapi… tidak, mungkin tidak sebaiknya ia lakukan. Sang jenderal sedang menatap Haruhiro. Tatapan tajam dan penuh maksud. Jelas sekali, itu ditujukan padanya.
“…Baik, Jenderal.”
Ia harus tetap tinggal, meski tidak mau. Dan ia sungguh, sungguh tidak mau. Tapi keadaannya malah memburuk. Setelah Neal dan Shinohara keluar dari aula utama, sang jenderal bahkan menyuruh para jubah hitamnya keluar juga. Haruhiro benar-benar berharap mereka tetap tinggal.
Sekarang hanya mereka berdua.
Rasanya sangat tidak nyaman.
Entah mengapa sang jenderal tidak mengatakan apa-apa. Menyuruh Haruhiro tetap tinggal, lalu diam saja? Apa maunya sebenarnya? Ini sungguh tak masuk akal.
Akhirnya, karena tak tahan, Haruhiro bertanya, “…Ada apa?”
Dia membiarkan dirinya dikuasai, ya?
Ucapan, sikap, kekuasaan — sang jenderal menggunakan segala cara untuk mengendalikan orang lain. Haruhiro tidak suka orang seperti itu. Tapi meskipun mengesampingkan soal pribadi, ia harus tetap berhati-hati menghadapi orang seperti ini. Kalau tidak menjaga tekadnya kuat, dia akan dengan mudah terseret mengikuti kemauan orang lain.
“Orang itu, Shinohara.”
Sang jenderal masih menatap Haruhiro, tapi sorot matanya kosong. Jelas ia sedang memikirkan Shinohara.
“Kau tampak akrab dengannya. Apa dia bisa dipercaya?”
“Yah…” gumam Haruhiro. “Aku mengenalnya, ya. Kami sama-sama prajurit relawan. Dan Shinohara-san itu pemimpin klan besar bernama Orion. Bisa dibilang, dia cukup terkenal.”
“Kau akan berpihak pada siapa?”
“…Maaf?”
Nada suaranya terdengar tak terlalu merendahkan, malah nyaris terdengar akrab. Sang jenderal melanjutkan,
“Jika kau memilih berpihak padaku, aku akan pastikan kau diperlakukan dengan baik. Kemungkinan besar, kau akan diberi komando atas satu unit di dalam pasukan ekspedisi milikku.”
Lalu kalau menolak?
Haruhiro tahu, secara naluriah, bahwa lebih baik ia tidak menanyakan itu.
Berpihak pada Jin Mogis… Sejujurnya, itu tidak mungkin. Haruhiro memang kehilangan ingatannya, tapi bahkan tanpa memori pun, jika harus memilih antara sang jenderal atau Korps Prajurit Relawan, ia tak akan ragu memilih yang terakhir.
Apa jenderal itu tidak mengerti?
Ia pernah mengancam Haruhiro, memaksanya tunduk, dan memperlakukannya seperti pion yang bisa dimanfaatkan sesuka hati.
Jadi, kemungkinan besar, jenderal itu bukannya benar-benar ingin tahu niat Haruhiro. Yang ia lakukan adalah menyampaikan tuntutannya dalam bentuk pertanyaan.
Diam, dan berpihaklah padaku. Kalau tidak, aku akan dipaksa bertindak.
Itulah maksud tersiratnya.
Singkatnya, Haruhiro sedang diancam.
Ia memang merasa tertekan secara psikologis, tapi ia bertanya-tanya—apakah rasa takut yang ia rasakan ini benar-benar masuk akal?
Memang benar, ia tak tahu apa yang mungkin dilakukan sang jenderal.
Tapi itu saja. Jenderal itu, sekuat apapun posisinya, tetaplah manusia biasa. Bukan berarti ia bisa melakukan segalanya.
Misalnya, bayangkan kalau sang jenderal menyerangnya sekarang. Haruhiro tidak ingin bertarung, tapi dia juga tidak akan membiarkan dirinya ditebas begitu saja. Dia akan melawan. Apakah dia bisa menang? Itu belum tentu. Tapi bukan berarti dia tak punya peluang. Lagi pula, Haruhiro adalah seorang thief. Ia tak perlu adu pedang langsung. Kalau tujuannya hanya melarikan diri, rasanya dia sanggup.
Selain itu, walaupun jenderal itu bisa saja menggerakkan seluruh pasukan ekspedisinya, kekuatan inti mereka sebenarnya hanyalah para jubah hitam, Neal, dan para pengintai lainnya. Karena kerugian besar yang mereka alami, jumlah mereka sekarang tinggal kurang dari lima puluh orang. Bukan berarti mereka tak berbahaya, tapi juga bukan sesuatu yang perlu terlalu ditakuti.
Haruhiro mulai merasa sedikit lebih tenang sekarang.
Ia tak punya alasan untuk tunduk pada ancaman jenderal itu. Ia hanya tak ingin memberikan penolakan langsung sekarang dan merusak hubungan sepenuhnya. Jujur, melakukannya akan terasa memuaskan, tapi tidak ada alasan logis untuk itu.
“Menurutku, kita sesama manusia tak bisa terus saling berseteru saat ini.”
Jenderal itu diam. Tekanan yang bisa ia berikan hanya dengan kehadirannya saja masih luar biasa.
Tapi… bukankah itu hanya tekanan?
Jenderal itu mungkin tak lebih dari harimau kertas. Haruhiro menduga begitu, tapi dia juga tahu bahwa jika ia meremehkan orang ini, dia bisa saja tersandung karenanya.
“Mungkin Pasukan Ekspedisi dan Korps Prajurit Relawan sebaiknya bekerja sama. Aku ingin melakukan apa pun yang bisa kulakukan demi mewujudkan itu. Dalam situasi kita sekarang, kupikir itulah yang harus kita lakukan.”
“Begitukah?”
Sang jenderal tersenyum.
Ya, dia menyeramkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang sulit ditebak. Haruhiro tidak tahu bagaimana harus menafsirkan senyuman itu.
“Pergilah.”
Sang jenderal melambaikan tangannya.
Haruhiro mengangguk pelan, lalu membalikkan badan.
Tepat sebelum ia meninggalkan balairung, ia sempat melirik ke belakang.
Sang jenderal masih tersenyum. Jarak mereka cukup jauh, jadi Haruhiro tak bisa benar-benar memastikan, tapi ia merasa pandangan mereka sempat bertemu. Tanpa sadar, Haruhiro menundukkan kepala.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)