2. Seseorang untuk Dikejar (Grimgar)

“Aku minta maaf.”

Saat perempuan tinggi itu—Mimori—berlutut di depannya, menundukkan kepala dengan penuh penyesalan, Haruhiro malah merasa seolah-olah dirinyalah yang bersalah. Rasanya berat.

“…Ehm, kamu nggak perlu minta maaf. Kamu kan nggak benar-benar bikin masalah… Yah, mungkin aku agak basah sedikit, tapi cuma itu saja…”

“Aku minta maaf,” ulang Mimori lagi, tetap menundukkan kepala.

“Lihat kan, ini masalahnya sama kau…” Ranta menyikut pinggang Haruhiro. “Parah banget. Bikin cewek cakep begini sampai harus sujud minta maaf di depanmu. Kau iblis. Sampah manusia. Raja brengsek sejati.”

Mimori mendongak dan menatap tajam ke arah Ranta.

“Haruhiro itu bukan sampah. Kau yang sampah. Kau selalu yang jadi sampah.”

“Jahat banget!”

“Tapi benar,” gumam Kuzaku pelan.

“Dasar kau…!”

Ranta langsung menyerbu Kuzaku, mengayunkan tinjunya. Namun, Kuzaku hanya menaruh telapak tangan kanannya di kepala Ranta. Dengan tinggi badan Kuzaku, jelas lengannya jauh lebih panjang, jadi pukulan Ranta sama sekali tak bisa menjangkaunya.

“Bangsat! Sialan! Persetan kau!”

“Wah, komedi anak kecil banget! Aku mau ikutan! Aku juga! Aku juga!” seru Kikkawa—si warrior super santai yang katanya bergabung bersamaan dengan Haruhiro dan kawan-kawan—sambil ikut-ikutan menyerang Kuzaku, entah untuk alasan apa.

“Apa-apaan?!” Meski heran setengah mati, Kuzaku tetap menahan kepala Kikkawa dengan satu tangan. Tangan Kikkawa yang mengayun-ayun juga sama sekali nggak sampai padanya.

“Rasakan itu! Dan ini! Yah, yah! Wuuuh, gila, ini seru banget!”

“Hahaha!” Tokimune si paladin menyaksikan mereka ribut dengan senyum ramah.

“Heh…” Di belakang Tokimune, si gila berikat rambut kuda dan bermata satu, Inui, malah tertawa dengan nada menyeramkan. “Gwahahaha!”

“Kau sudah cukup minta maaf, ya, Mimorin.”

Perempuan mungil yang dipanggil Anna-san itu, dari jubah putihnya, jelas-jelas seorang priest.

“Sekarang, berdiri! Stand up!

Anna-san menarik Mimori dari belakang, berusaha memaksanya bangkit.

“Untuk awal, tidak ada alasan sama sekali kau harus cow toe begitu.”

“Ini bentuk penyesalanku.” Mimori tetap keras kepala menolak berdiri. “Aku siap terus cow toe sampai Haruhiro mau memaafkanku.”

Eh, maksudnya mungkin kowtow, bukan cow toe, pikir Haruhiro. Tapi sudahlah, nggak penting juga.

“…Uh, sebenarnya nggak ada yang perlu dimaafkan.”

“Faktanya, justru kau yang seharusnya minta maaf, ya! Haruhirooo!” Anna-san sampai berkaca-kaca saat mati-matian menarik Mimori dengan cara merendahkan Haruhiro. Terus terang, di titik ini Haruhiro sudah malas ambil pusing.

“…Aku minta maaf,” katanya akhirnya.

“Kau sama sekali nggak punya alasan untuk minta maaf, Haruhiro,” bantah Mimori. Haruhiro setuju, tapi kalau dia nggak bilang begitu, pembicaraan ini nggak akan maju-maju.

“Aku tahu caranya.” Tada, priest berkacamata, mengayunkan palu perangnya ke arah dia. “Aku hantam dia sampai lumat. Beres semua urusan.”

“…Tapi aku bakal mati?”

“Setidaknya masalahnya selesai, kan?”

“…Apa sih yang salah sama kalian semua?”

“Jangan gitu dong,” kata Tokimune sambil merangkul bahu Haruhiro. “Mereka semua cuma terlalu senang ketemu kalian lagi. Iya, kan?”

Nggak, kedipan mata itu sama sekali nggak bikin keadaan jadi lebih baik.

“Bukankah cara mereka mengekspresikannya agak terlalu… unik?”

“Yah, begitulah. Kami memang orisinal. Orang-orang sering bilang begitu.”

“Aku nggak yakin pandangan kita sama di sini…”

“Sejujurnya, kadang agak menyeramkan betapa kita punya pandangan sama,” sanggah Tokimune. “Sulit dipercaya kalian pernah kehilangan ingatan sama sekali.”

“Itu karena kalian tetap saja terus melakukan aksi konyol ini, mau kami suka atau tidak…”

“Sudah ah,” Tokimune mengacak rambut Haruhiro. “Malu juga kalau kamu terus-terusan muji kami begitu.”

“Cukup omong kosongnya,” suara seorang pria berambut perak terdengar dari jarak dekat.

Renji. Katanya, dia mendaftar jadi prajurit di waktu yang sama dengan Haruhiro dan kawan-kawan. Sulit dipercaya, sih. Penampilannya terlalu berwibawa. Wajahnya saja sudah bikin gentar, ditambah tubuhnya yang kekar. Untuk perlengkapannya, Haruhiro bahkan nggak tahu apa saja itu, tapi mereka jelas terlihat sangat mengesankan.

Oh, dan anggota kelompok Renji lainnya—Ron, sang warrior berambut cepak; Adachi, mage berkacamata; serta priest mungil yang dipanggil Chibi-chan—semuanya juga mendaftar di waktu yang sama dengan Haruhiro.

Renji dan kelompoknya tiba di Reruntuhan Pos Lonesome Field tak lama setelah kelompok Tokimune, si gerombolan aneh yang dijuluki Tokkis.

Dengan kedatangan kelompok enam orang Haruhiro, sepuluh orang Orion termasuk Kimura dan Shinohara dari Pasukan Perbatasan, enam anggota Tokkis, serta empat orang dari Tim Renji dari Korps Prajurit Relawan, pasukan beranggotakan dua puluh enam orang yang ditugaskan merebut Gunung Nestapa kini sudah berkumpul di Reruntuhan Pos Lonesome Field sesuai jadwal.

“Kamu benar!” seru Kikkawa, yang tadinya pura-pura main pukul-pukulan dengan Ranta melawan Kuzaku, langsung berhenti dan bersembunyi di belakang Tokimune. “Ya, aku juga mulai mikir gitu. Jadi ngebosenin. Kupikir waktunya berhenti juga… Renji itu menakutkan, tahu nggak? Jauh lebih menakutkan dari yang seharusnya. Dia itu terlalu menakutkan…”

“Heh!” Ranta pun berhenti mengayun-ayunkan tangannya dengan sia-sia ke arah Kuzaku. Ia berbalik ke Renji sambil membusungkan dada. “Sok banget, ya? Kalau menurutku justru kita masih kurang omong kosongnya. Kalau kau pikir sudah cukup, ya kasih kami tontonan omong kosong yang lebih berkualitas!”

“…Gimana itu bisa masuk akal?”

“Oh, diamlah. Jangan ikut campur, Parupiro!”

“Lututmu gemetaran, Bro…”

“N-N-N-Nggak, kok!”

Ranta mengangkat bahunya dan melengkungkan punggung, berusaha memasang wajah berani. Tapi tubuh bagian bawahnya gemetar. Kakinya bergetar, lututnya saling beradu satu sama lain.

“Kita berangkat sebentar lagi.” Renji bahkan tidak melirik Ranta. “Istirahatlah.”

“…B-Baik, Pak,” jawab Ranta dengan suara bergetar.

“Itu jawaban yang cepat sekali…” Kuzaku menatap dingin pada Ranta. Tapi suaranya rendah, hampir berbisik.

“…Orang itu gila menakutkannya! Kalau kau pikir bisa lebih baik, coba saja kau cari gara-gara dengan dia.”

“Mana berani, bung. Dia mengerikan…”

“Tuh kan, kau juga takut sama dia!”

“Orang itu pasti pernah jadi gangster, deh. Nggak mungkin enggak.”

“Dengar deh, Renji memang sudah begitu dari awal, tahu? Dia belum melakukan apa-apa, belum tahu apa-apa selain namanya sendiri, tapi tetap saja percaya diri kayak gitu. Aku benar-benar nggak ngerti…”

“Kamu ngomong gitu, tapi Renji juga punya masalah, lho,” sela Yume. “…Kayak soal Sassa.”

“Ngh…” Ranta hanya menggerutu lalu terdiam.

Kenyataannya, Tim Renji dulunya punya lima anggota. Ada satu orang lagi: Sassa, seorang thief perempuan yang mendaftar di Korps Prajurit Relawan di waktu yang sama dengan Haruhiro dan yang lain. Itu berarti dia punya pekerjaan yang sama dengan Haruhiro dan seharusnya punya pengalaman yang setara juga.

Tim Renji adalah salah satu tim menonjol di Korps Prajurit Relawan, sementara kelompok Haruhiro hanyalah yang paling bawah, dikenal hanya karena berburu goblin di Kota Lama Damuro. Terlalu berlebihan kah kalau dibilang mereka seolah hidup di dunia yang berbeda? Faktanya, mereka jarang sekali berinteraksi. Haruhiro sendiri mungkin juga tidak terlalu mengenal Sassa.

Namun saat mendengar ada perempuan seperti itu, dan kini dia sudah tiada—mati—entah kenapa Haruhiro merasa sedih.

Rasanya tidak sepenuhnya tak ada hubungannya dengan dirinya. Memang, ia tidak terlalu mengenal Sassa, tapi kelompoknya sendiri pun pernah kehilangan kawan: Moguzo dan Manato. Lalu ada Kiichi juga, meski bukan manusia, yang tewas di tangan Jenderal Jin Mogis. Dan kemudian masih ada Shihoru, yang hingga kini belum ditemukan.

Tanpa perlu instruksi lebih lanjut, pasukan gabungan yang terdiri dari dua puluh enam orang dari Pasukan Perbatasan dan Korps Prajurit Relawan membagi diri ke dalam kelompok masing-masing, lalu duduk di sekitar Reruntuhan Pos Lonesome Field.

Matahari terbenam, namun karena masih ada pengintai musuh yang berkeliaran di Dataran Quickwind, mereka tidak menyalakan api unggun.

“Aku mau tidur. Bangunkan kalau sudah waktunya.” Ranta merebahkan diri, dan hampir seketika sudah mendengkur.

“…Bukannya itu agak terlalu cepat?” ujar Kuzaku tak percaya, lalu menguap. “Mungkin aku juga akan tidur sebentar…”

“Silakan saja,” dorong Haruhiro.

Kuzaku memberinya tatapan menyesal seakan berkata, “Maaf merepotkan,” sebelum ikut berbaring.

Yume duduk di antara Merry dan Setora, merangkul mereka berdua dan menarik mereka mendekat. Dengan mereka bertiga menempel begitu, Yume sepenuhnya menguasai keadaan. Ia melakukan yang terbaik untuk membantu keduanya agar sedikit terhibur. Saat ini, mungkin hanya dengan diam-diam bersama seperti itu jauh lebih berarti ketimbang memaksakan percakapan canggung. Tetap saja, Haruhiro tidak akan pernah bisa melakukan hal seperti itu. Jelas. Hanya Yume yang bisa. Itu cara yang hanya Yume bisa lakukan. Untunglah dia ada di sana.

Haruhiro merasakan sesuatu. Seseorang mendekatinya. Renji? Tubuhnya menegang.

“Punya waktu sebentar?”

Haruhiro hampir saja menjawab, “Tentu.”

Ayolah, aku bukan Ranta.

“Ya… tidak masalah.”

Ia berdiri dan menjauh dari yang lain. Mengejar punggung Renji. Ia tidak mengingatnya, tapi pasti sejak awal Renji sudah berlari mendahuluinya. Begitu jauh di depan, sampai rasanya tak mungkin lagi untuk mengejarnya. Perbedaan di antara mereka terlalu besar untuk dibandingkan.

Bagi Haruhiro, Renji adalah sosok yang selalu jauh di depannya.

Meski tanpa ingatan, saat mereka bersama seperti ini, ia bisa merasakan memang seperti itulah kenyataannya. Renji berhenti di tepi parit. Haruhiro ikut berhenti di sampingnya, tapi rasanya tidak pantas berdiri sejajar. Jadi, ia memilih berdiri selangkah di belakang.

“Rasanya bagaimana, tidak bisa mengingat?”

Pertanyaan mendadak itu membuat Haruhiro sedikit terkejut.

“Hmm… Yah… aneh, kurasa?”

“Kau juga tidak ingat Manato ataupun Moguzo, kan?”

“…Tidak, aku tidak ingat.”

“Oh, begitu ya?”

Renji mendengus. Apakah itu tawa? Tidak terdengar seperti itu. Sebenarnya apa maksud percakapan ini? Haruhiro tidak mengerti.

Namun entah bagaimana, ia merasa kematian Sassa benar-benar mengguncang Renji.

Ranta pernah bilang kalau Renji sejak hari pertama sudah penuh percaya diri. Dan nyatanya, ia memang membuktikan kalau kepercayaan diri itu tidak salah tempat. Mungkin ini hanya bayangan Haruhiro, tapi kehilangan seorang rekan seperti itu pasti menjadi frustrasi yang belum pernah dialami pria seperti Renji sebelumnya.

Namun, ini bukanlah situasi di mana ia bisa berkata, “Aku turut berduka cita,” atau, “Aku ikut bersedih,” atau ucapan serupa.

“Jadi, Renji…”

“Huh?”

Suara “Huh?” itu terdengar menakutkan. Haruhiro hampir saja ciut nyali dan berhenti bicara, tapi kalau ia melakukannya, bisa-bisa justru membuat Renji marah. Atau mungkin tidak.

“Aku cuma berpikir, uh… mungkin kau sebaiknya, entahlah… bicara lebih banyak dengan rekan-rekanmu… seperti ini, mungkin…?”

Renji tak berkata apa pun, dan itu membuat Haruhiro gelisah. Haruskah ia minta maaf? Apa itu malah aneh? Atau justru tidak? Mana yang benar?

“Memangnya apa gunanya?” tanya Renji akhirnya.

“Gunanya?” Haruhiro mengusap wajahnya. Apa Ron, Adachi, dan Chibi-chan baik-baik saja diperlakukan dengan sikap seperti ini? “Kau bisa lebih saling mengerti… dan semua orang bisa berbagi pendapat. Kurasa ada manfaatnya juga… mungkin…?”

“Kau hanya menipu diri sendiri kalau mengira sekelompok orang asing bisa saling mengerti. Kalau kau berpikir aku memahami siapa pun, itu cuma ilusi. Tak ada yang benar-benar mengerti aku.”

“Yah… itu juga salah satu cara melihatnya, kurasa. Ilusi, ya? …Aku menipu diri sendiri. …Ya. Semacam itu…”

“Aku memang meminta pendapat mereka. Aku bukan orang yang serba tahu. Kalau harus mengambil keputusan, makin banyak informasi, makin baik.”

“…Oh. Jadi kau bukan orang yang serba tahu?”

“Apa maksudmu?”

“N-Nggak… bukan apa-apa…”

“Tentu saja tidak. Kalau aku memang serba tahu, maka…”

Renji menggeleng dan menghela napas.

“Haruhiro.”

“…Apa?”

“Apa pendapatmu?”

“…Huh?”

“Tentang lelaki itu.”

Renji mengarahkan pandangan matanya ke suatu arah. Bukan ke arah kelompoknya sendiri, bukan juga ke arah kelompok Haruhiro. Mungkin juga bukan ke arah para Tokkis.

Renji menatap ke arah Shinohara dan sepuluh anggota Orion yang mendirikan kemah mereka.

Oh, jadi begitu maksudnya. Renji memang bilang kalau dia menanyakan pendapat orang lain. Jadi sekarang dia bertanya pada Haruhiro. Apa pendapatnya tentang Orion? Tidak, lebih tepatnya ia membatasi pertanyaannya hanya pada “lelaki itu.”

Di Orion ada beberapa figur penting—bisa dibilang komandan. Misalnya Kimura yang berkacamata, atau Hayashi, rekan lama Merry. Saat ini, Hayashi berada bersama pasukan utama Pasukan Perbatasan, memimpin sekelompok lebih dari sepuluh anggota Orion.

Kimura punya kepribadian khas, agak eksentrik, tapi tetap saja dia hanya wakil komandan.

Lalu siapa sebenarnya orang yang dimaksud Renji? Tentu saja, Shinohara.

Tapi Shinohara sendiri pernah bertindak sebagai anggota Korps Prajurit Relawan. Sama seperti Renji. Dari keduanya, seharusnya Renji punya lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan Shinohara ketimbang Haruhiro. Lagi pula, berbeda dengan Haruhiro, Renji masih mengingat masa lalu. Dia pasti tahu lebih banyak soal Shinohara daripada Haruhiro.

Haruhiro justru ingin bisa balik bertanya padanya. Apa sebenarnya pendapat Renji tentang Shinohara?

Namun, meski Renji mau mendengar pendapat orang lain, dia sama sekali tidak merasa perlu mengungkapkan pikirannya sendiri. Barusan dia juga sudah menegaskan hal itu. Haruhiro mungkin tidak setuju dengan cara pandang itu, tapi pada akhirnya, setiap orang punya jalannya sendiri. Apa Haruhiro berhak mengatakan Renji salah, atau menasihatinya untuk mengubah sikapnya? Mereka bukan teman dekat, bahkan bukan benar-benar rekan seperjuangan. Lagi pula, apakah Renji memang salah? Mungkin tidak.

Dia memang berbeda dari Haruhiro. Sangat berbeda, begitu yang dirasakan Haruhiro. Apakah karena mereka begitu jauh berbeda dalam segala hal itulah alasan mereka tak pernah menjadi teman atau bekerja sama?

Namun tetap saja, mereka mendaftar pada waktu yang sama.

Aneh rasanya. Meski tanpa ingatan, Haruhiro sulit menganggap Renji hanya sebagai orang asing yang tak penting dan tak punya kaitan dengannya. Entah kenapa, dia merasa Renji bisa dipercaya.

Dan menakutkan.

Bukan mau terdengar seperti Ranta, tapi dia benar-benar terlalu mengintimidasi.

Renji bukan tipe orang yang suka mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Tapi bukan berarti dia menyembunyikan sesuatu juga. Dia mungkin tidak sedingin dan seacuh yang terlihat, dan jelas bukan tipe yang akan mengkhianati orang lain. Walau kadang bersikap seperti seorang diktator, Renji bukanlah orang yang akan mengorbankan rekannya demi keuntungan pribadi.

Tim Renji sudah bertahan lama sebagai tim lima orang. Mengenal Renji, ada kemungkinan mereka pernah melakukan hal-hal yang cukup nekat, tapi tak ada seorang pun yang tewas. Sampai akhirnya mereka kehilangan Sassa. Kematian Sassa benar-benar memukulnya. Itulah kesan yang ditangkap Haruhiro.

Aku bisa mengandalkan Renji.

Itu lebih banyak suara hatinya yang berbicara, tapi Haruhiro memilih untuk mempercayai nalurinya.

Orang yang tidak bisa ia percayai di sini justru Shinohara.

“…Aku ingin ini tetap di antara kita. Karena semua ini hanya perasaan samar, dan aku juga tidak yakin apa-apa.”

“Baiklah.”

“Kita terbangun di bawah Menara Terlarang dan kehilangan ingatan kita.”

“Aku dengar Hiyomu juga ada di sana, mencoba memanipulasimu.”

“Hiyomu… sepertinya sedang mengikuti perintah seseorang. Dia memanggilnya master.”

“Dan masternya itu bukan Jin Mogis?”

“Bukan. Tidak mungkin. Jadi aku membicarakannya dengan Shinohara, dan dia menggambarkan orang itu sebagai…” Haruhiro menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara dengan sangat jelas. “‛Master dari Menara Terlarang.’ Itu yang dia katakan.”

“‛Master dari Menara Terlarang’?” Renji mengulanginya. Dia jelas terkejut. “Siapa…itu?”

“Aku tidak tahu. Tapi dia benar-benar mengatakannya. Dan, ‘Aku tak bisa membayangkan Master dari Menara Terlarang akan mengundang Ekspedisi Selatan masuk.’”

“Ada hal lain?”

“…Di sini mulai agak kabur. Shinohara, dan Hiyomu… aku tidak tahu apa tepatnya, tapi mereka tampaknya tahu banyak hal. Lebih banyak dari yang kau atau aku tahu, bahkan sebelum aku kehilangan ingatanku…”

“Itu tidak terlalu aneh. Orang itu sudah lebih lama jadi prajurit relawan daripada kita berdua.”

“Ya, memang, tapi… tetap saja, aku rasa Jin Mogis telah menjalin kontak dengan Maste dari Menara Terlarang melalui Hiyomu. Aku yakin mereka sempat bekerja sama.”

“Dan kau pikir Shinohara terlibat juga?”

“Kalau iya, itu menjelaskan bagaimana Orion bisa bergabung dengan Pasukan Perbatasan begitu lancar.”

“Jadi alasan dia disebut sebagai penghubung dengan Korps Prajurit Relawan hanyalah cerita penutup, begitu?”

“…Aku rasa itu mungkin. Meski tidak ada buktinya.”

“Bukti, maksudmu sekarang.” Renji menyentuh bibirnya pelan dengan ibu jari kanannya. “Dia tidak akan membiarkan dirinya ketahuan semudah itu. Tapi orang selalu bisa membuat kesalahan.”

“…Sepertinya dia sudah banyak berbuat untukku di masa lalu. Bahkan lebih banyak lagi untuk Merry.”

“Orang itu populer. Punya banyak koneksi. Banyak orang menilainya tinggi.”

“Kalau aku tidak kehilangan ingatan, mungkin aku tidak akan pernah curiga padanya.”

“Aku tidak pernah suka padanya. Tidak ada alasan jelas, tapi kami memang tidak pernah cocok.”

“Kau dan dia memang tipe orang yang sama sekali berbeda.”

“Itu benar.”

“Kau sendiri mengakuinya, ya?”

“Aku tidak pernah berusaha membuat orang menyukaiku.”

Hei, itu dirimu sendiri yang kau bicarakan.

Bisakah Haruhiro bercanda tentang itu? Renji sepertinya bukan tipe orang yang akan menertawakannya begitu saja.

“…Menurutmu dia bersikap begitu supaya orang menyukainya?” tanya Haruhiro sebagai gantinya.

“Begitulah kelihatannya.”

“Jadi… dia sebenarnya tidak benar-benar seperti itu, hanya berpura-pura?”

“Itu karena matanya.”

“Matanya… tidak ikut tersenyum?” Haruhiro merasa aneh. Shinohara memang sering tersenyum. Ia tak pernah sekalipun merasakan ada yang janggal.

“Tidak,” Renji menggeleng. “Matanya tidak bergerak. Bahkan saat tersenyum, matanya tetap terpaku pada satu titik. Itu artinya dia sedang mengamati orang lain.”

“…Kau sendiri cukup jeli memperhatikan orang, Renji.”

“Cukup perhatikan saja,” kata Renji, lalu segera berbalik dan berjalan pergi. Gerakannya tampak ringan, namun setiap langkah terasa penuh tujuan.

Haruhiro tak bisa menahan diri untuk berpikir, Bahkan untuk hal sesederhana berjalan, dia sudah di tingkat yang berbeda dariku. Itu konyol, merasa rendah diri hanya karena hal itu. Pikiran itu membuatnya mendongak menatap langit.

Tiba-tiba, Renji berhenti.

“Meski kau sudah melupakan banyak hal, kemampuanmu tidak banyak berkurang.”

Lalu, berbalik menatap Haruhiro, ia berkata, “Lebih dari itu, aku nyaris tak mengenalimu lagi. Aku akan mengandalkanmu.”

Wajah Haruhiro terasa kaku. Bagaimana ia harus merespons itu? “Terima kasih. Aku akan berusaha sebaik mungkin”? Bukankah itu terlalu merendahkan diri?

Pada akhirnya, yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk. Ia berharap bisa mengucapkan sesuatu yang cerdas, tapi itu jelas di luar kemampuannya.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x