Ia berhasil bertemu dengan Eliza. Meski begitu, Eliza tidak menampakkan wajahnya. Namun, setelah ia menjelaskan situasinya, Eliza setuju untuk membantu mencari Shihoru.
Meski demikian, sebagai seorang mentor di guild thief, Eliza juga memiliki tugas sendiri. Ia terikat dengan Korps Prajurit Relawan. Pekerjaannya menuntutnya untuk bolak-balik antara Altana dan Riverside Iron Fortress, yang saat ini sedang mereka kuasai. Karena itu, ada batasan pada seberapa banyak yang bisa ia lakukan di dalam Altana.
“Korps Prajurit Relawan belum tahu kalau Jin Mogis berusaha bekerja sama dengan para goblin, jadi aku harus memberi tahu mereka lebih dulu. Aku bisa membayangkan itu akan menimbulkan keriuhan. Mungkin cukup besar,” katanya.
Bagaimana reaksi Korps Prajurit Relawan jika Pasukan Ekspedisi dan bangsa goblin menjalin aliansi? Bahkan Eliza pun tidak bisa memprediksinya. Namun, Korps Prajurit Relawan juga tidak bisa membiarkan diri mereka benar-benar terisolasi. Bahkan jika Mogis benar-benar bekerja sama dengan goblin, bisa jadi mereka tetap dipaksa untuk berkoordinasi dengannya. Tentu saja, Mogis menyadari hal ini, dan semua langkahnya ia rencanakan dengan kemungkinan itu sebagai tujuan akhir.
Selain itu, mengenai apa yang dikatakan Shinohara dari Orion tentang Gunung Nestapa, tampaknya sisa-sisa Pasukan Ekspedisi Selatan memang berkumpul di sana. Meski disebut “sisa-sisa,” jumlah mereka sama sekali tidak sedikit—sekitar tiga ribu kobold dari Riverside Iron Fortress dan kurang lebih lima ratus orc dari Deadhead Watching Keep, ditambah lagi sejumlah besar undead yang memang sudah berada di gunung itu sejak awal. Kekuatan tersebut jelas bukan sesuatu yang bisa diremehkan.
“Gunung Nestapa mungkin sekarang menjadi kuncinya,” kata Eliza.
Bagi Mogis dan Korps Prajurit Relawan, kekuatan di Gunung Nestapa jelas merupakan musuh mereka. Biasanya, para goblin juga akan berada di pihak lawan, namun aliansi mereka dengan Mogis pada dasarnya berarti menarik diri dari Aliansi Para Raja.
Kemungkinan besar goblin tidak akan ikut bertempur melawan pasukan di Gunung Nestapa. Namun, ada kemungkinan besar mereka memilih bersikap netral.
Korps Prajurit Relawan ingin melenyapkan musuh yang bercokol di Gunung Nestapa karena lokasinya yang berdekatan dengan Riverside Iron Fortress. Jika Mogis turun tangan membantu mereka, hubungan di antara keduanya akan semakin erat.
Haruhiro dan Kiichi, menghindari pengawasan ketat Neal dan para Jubah Hitam, memulai pencarian di dalam Menara Tenboro. Mereka menyisir setiap sudut lantai pertama—yang terdiri dari aula masuk, gudang, dan kamar yang ditugaskan untuk mereka—serta lantai dua, yang memiliki aula besar, ruang penerimaan, ruang makan, dapur, dan ruang perapian. Mulai lantai tiga ke atas benar-benar berbentuk menara. Keamanan di sekitar kamar tidur Jin Mogis di lantai tiga terlalu ketat untuk mereka dekati, tapi mereka tetap memeriksa bagian lainnya. Nampaknya kamar-kamar lain kosong dan tidak digunakan.
Setelah itu, mereka berpencar untuk mencari ke seluruh Altana, namun tetap tidak menemukan hasil apa pun.
Altana sendiri terbagi menjadi distrik utara dan selatan, dengan Menara Tenboro berada kurang lebih di tengah. Tanah tinggi di sebelah timur disebut Kota Timur, sedangkan kawasan rendah di barat dikenal dengan Kota Barat.
Prajurit Pasukan Ekspedisi saat ini menempati bekas markas besar Pasukan Perbatasan, barak di Jalan Taman Bunga, kawasan hiburan di Gang Surgawi (Celestial), serta kota para pengrajin di distrik selatan. Rupanya, itu semua sesuai dengan perintah Mogis.
Memang ada prajurit yang berjaga di tembok, tapi di dalam kota hanya sesekali terlihat Jubah Hitam berpatroli. Kadang-kadang ada pula prajurit yang mangkir dari tugas membersihkan puing atau memperbaiki bangunan berkeliaran, tapi jumlahnya tidak banyak. Hampir tidak ada prajurit yang berani keluar dari area tempat tinggal yang telah ditentukan Mogis.
Jika di beberapa tempat tidak ada prajurit, bertolak belakang dengan dugaan awal, justru mungkin lebih mudah menjadikan tempat-tempat itu sebagai lokasi menahan Shihoru. Namun, Mogis dan Pasukan Ekspedisnya sama sekali tidak akrab dengan kota ini. Apakah mereka benar-benar bisa menemukan lokasi yang tepat dan aman untuk mengurung Shihoru?
Haruhiro sempat mencoba menyelidiki kemungkinan bahwa Anthony Justeen—mantan anggota Pasukan Perbatasan Kerajaan Arabakia—telah membantu para penculik. Namun, saat ia berpapasan dengan Anthony di dalam Menara Tenboro, sebelum Haruhiro sempat menyinggung masalah itu, Anthony sendiri sudah menunjukkan rasa curiga terhadap hilangnya Shihoru dan terlihat cemas memikirkan keadaannya. Memang ada kemungkinan Anthony hanya berpura-pura, tapi Haruhiro sulit membayangkan kalau sebenarnya Anthony diam-diam membantu sang jenderal.
Mungkin saja Shihoru sebenarnya tidak berada di distrik utara maupun selatan.
Penjarahan dan penghancuran telah menghantam keras rumah-rumah nyaman di Kota Timur, dan tidak ada harapan wilayah itu akan diperbaiki dalam waktu dekat. Setelah melakukan pencarian sepintas, Haruhiro tidak menemukan apa pun di sana selain serangga dan tikus.
Kota Barat, tempat markas dread knight dan guild thief berada, adalah daerah kumuh dengan jalan-jalan yang rumit dan saling bertautan. Bahkan jika hanya berjalan-jalan biasa, sangat mudah tersesat di sana. Haruhiro meminta bantuan Eliza untuk menelusuri bagian kota itu, meski ia sendiri tidak terlalu berharap akan menemukan sesuatu.
Empat hari setelah Haruhiro berhasil menyusup ke Ahsvasin, serah terima perlengkapan hi’irogane pun dilaksanakan.
Begini caranya. Pasukan Ekspedisi membawa perlengkapan hi’irogane ke tembok yang memisahkan Kota Lama Damuro dengan Kota Baru. Setelah itu mereka mundur. Goblin-goblin keluar dari Kota Baru untuk memeriksa barang-barang tersebut.
Tampaknya para goblin tahu persis apa saja perlengkapan hi’irogane itu, juga jumlah tiap itemnya. Jika ada satu saja yang hilang, pasti akan timbul masalah. Untungnya, semua perlengkapan hi’irogane dikembalikan, sehingga pertukaran berlangsung tanpa insiden.
Goblin kemudian mendirikan sebuah tempat pertemuan di Kota Lama, dan Pasukan Ekspedisi melakukan pemeriksaan di sana. Pada hari serah terima, mereka sudah menyelesaikan sebuah bangunan yang bentuknya mirip setengah pangsit lumpur—aneh jika dilihat dari standar arsitektur manusia.
Haruhiro dan kelompoknya diperintahkan untuk memeriksa bangunan itu dengan teliti, tetapi mereka tidak menemukan tempat di mana para goblin bisa menyembunyikan pasukan penyergap. Tidak ada pula jebakan aneh lainnya. Bangunan itu memang memiliki jendela atap, tetapi satu-satunya jalan masuk selain itu hanyalah pintu, jadi tidak ada risiko penembak jitu menyerang para peserta dari luar dengan senjata jarak jauh.
Keesokan harinya, Jin Mogis akan merombak Pasukan Ekspedisi menjadi Pasukan Perbatasan, dan mengambil gelar sebagai Komandan Pasukan Perbatasan.
Setelah itu, tepat tengah hari, ia akan bertemu dengan Mogado Gwagajin di Kota Lama Damuro, untuk membentuk aliansi resmi antara Pasukan Perbatasan dan para goblin.
Apakah ia berniat merayakannya semalam sebelumnya? Mogis memanggil semua prajurit—kecuali yang sedang bertugas di tembok—ke alun-alun di depan Menara Tenboro, menyalakan api unggun besar, dan menyajikan minuman keras dalam jumlah berlimpah.
Ia menyembelih sejumlah ganaro, binatang beban berukuran besar, lalu menggorengnya utuh, sementara beras yang mereka bawa dari daratan dimasak dalam panci bersama berbagai bahan tambahan. Tong-tong minuman keras yang seolah mengundang semua orang untuk menenggak sepuasnya ternyata berisi arak encer yang dipenuhi rempah. Rasanya dan baunya benar-benar tidak enak, tapi entah bagaimana para prajurit percaya bahwa minuman itu menyehatkan.
Para prajurit dibagikan piring, mangkuk, dan cangkir dari kayu atau tembikar kasar. Haruhiro dan kelompoknya pun terpaksa duduk bersama mereka, menunggu giliran untuk disajikan. Karena Neal si pengintai dan anak buahnya terus mengawasi, mereka tidak punya pilihan selain ikut serta dalam perayaan yang hambar ini.
Di alun-alun, cukup banyak tong kosong dan peti berserakan. Rupanya benda-benda itu memang dimaksudkan untuk dipakai sebagai meja.
Haruhiro duduk melingkar di sekitar sebuah tong kosong bersama Kuzaku, Merry, Setora, dan Kiichi, sambil makan bubur aneh yang disajikan dalam mangkuk kayu. Rasanya, meski enggan ia akui, tidaklah buruk. Tusuk daging yang sedang dilahap Kuzaku juga terlihat menggugah selera. Ia memang tidak sanggup meyakinkan dirinya untuk mencicipi arak, tapi makanan itu sendiri tidak melakukan kesalahan apa pun padanya. Selama ia tidak makan sampai kekenyangan hingga mengganggu kelincahan tubuhnya, ia merasa baik-baik saja.
Mungkin, suatu kesempatan akan muncul.
Mogis memberikan pidato, dan mereka semua mengira ia akan pergi setelah itu. Namun ternyata tidak. Ia justru duduk di sebuah meja di depan gerbang Menara Tenboro, mengawasi para prajurit. Minuman sudah disiapkan untuknya, tapi sejauh ini hampir tidak disentuh. Empat orang Jubah Hitam berjaga di sekelilingnya, dan kemungkinan besar ada lebih banyak lagi di dalam menara.
Haruhiro dan Kiichi sebenarnya sudah hampir kehabisan tempat untuk diperiksa di dalam sana.
Namun hampir, bukan berarti benar-benar habis.
Mereka sama sekali belum pernah bisa masuk ke kamar Mogis di lantai tiga.
Anthony Justeen sempat mencoba mengajak mereka bicara, tapi mereka menolaknya, dan ia pun pergi dengan raut wajah murung.
“Kalian bersenang-senang, ya?” Neal datang menghampiri sambil membawa sebuah cangkir kayu. “Huh? Kalian tidak minum? Kita kan sedang merayakan malam sebelum berangkat lagi besok. Bagaimana kalau kalian coba bersantai sedikit?”
“Kau juga tidak minum, kan?” tanya Kuzaku tanpa berusaha menyembunyikan rasa muaknya pada pria itu.
Neal mengangkat cangkir kayunya ke bibir, berpura-pura meneguk isinya.
“Tidak peduli sebanyak apa aku minum, wajahku tidak pernah kelihatan mabuk. Aku ini ibarat saringan.”
“Itu benar-benar arak, atau bukan…?”
“Mau coba buktikan sendiri?” Neal menyodorkan cangkir itu ke hidung Kuzaku sambil menyeringai. “Jangan sampai kau bilang kau tidak bisa minum arakku.”
“Itu memang tepatnya yang mau kukatakan.” Kuzaku melafalkan setiap suku kata dengan jelas, “Aku. Tidak. Bisa. Minum. Arakmu.”
Neal terbahak, lalu menarik kembali cangkirnya, memberi Kuzaku tepukan akrab di bahu. “Ayo lah, jangan tegang.”
“Aku nggak mau!” Kuzaku meliukkan tubuhnya dan menepis tangan Neal. Anehnya, Neal sama sekali tidak tersinggung—malah terlihat semakin geli.
“Jangan benci aku begitu, kawan. Kita ini satu perahu, kan?”
“Ya,” sahut Haruhiro cepat. “Kau benar.”
Kedengarannya mungkin hampa, tapi ia tidak peduli. Neal juga tidak mengatakannya dengan tulus.
“Nikmatilah pestanya,” ujar Neal, lalu beranjak pergi.
Pesta itu diawasi oleh Neal dan anak buahnya, total empat orang. Haruhiro mengingat jelas wajah mereka semua. Tapi para pengintai juga punya kesibukan lain—banyak yang ditempatkan di Damuro sekarang. Hanya Neal dan satu orang lain yang ada di alun-alun. Saat Neal tidak memperhatikan mereka, orang itu terus mengawasi apa yang dilakukan Haruhiro dan kelompoknya.
Saat mereka masih sibuk menghadapi Neal, Mogis sudah meninggalkan kursinya. Apakah ia kembali ke Menara Tenboro? Tidak, ternyata tidak. Ia berjalan-jalan mengitari alun-alun, diiringi oleh para Jubah Hitam.
Jin Mogis bukan tipe komandan yang bisa dengan mudah bercakap-cakap ramah dengan prajuritnya. Sebagian besar justru menghindarinya. Beberapa bahkan kabur begitu ia mendekat.
Dulu, banyak sekali prajurit yang terang-terangan meremehkan kemampuan Mogis. Namun, setelah ia berhasil merebut Altana, mereka pasti mulai menilai ulang. Memang masih ada prajurit yang sulit tunduk pada disiplin militer, tapi bahkan yang paling malas sekalipun kini gentar padanya. Membantah perintah komandan lain mungkin masih bisa mereka lakukan, tetapi menentang Mogis sendiri? Itu sama saja menyerahkan kepala mereka. Ia bukan orang yang akan ragu memenggal siapa pun yang berani melawan.
Bahkan, mulai tampak tanda-tanda dukungan nyata—bahkan penuh semangat—kepada Mogis dari sebagian pasukan.
“Hidup Jenderal Jin Mogis!”
“Bukan Jenderal lagi, sekarang Komandan!”
“Benar! Kita bukan Pasukan Ekspedisi lagi! Kita adalah Pasukan Perbatasan!”
“Hidup Komandan Jin Mogis!”
“Hormat pada Komandan!”
“Naik tahta, Komandan!”
“Jadilah raja kami!”
“Rebut Vele! Maju terus, Komandan!”
“Perbatasan ini sekarang tanah air kita!”
Apakah Mogis menikmati dikelilingi para prajurit muda yang berisik, mengangkat cawan mereka untuk menghormatinya? Ekspresinya tetap sama seperti biasanya. Namun, ia tidak berusaha menghentikan sorak-sorai itu. Ia juga tidak menunjukkan tanda-tanda tidak menyukainya. Dari sudut pandang Mogis, semuanya berjalan sesuai rencana, dan untuk saat ini ia bisa bernapas lega.
“Hhh…” Kuzaku mendengus kesal sambil menggigit sate dagingnya, mengunyah dengan berisik. “Bikin dagingnya nggak enak aja.”
“Memangnya kau mau makan berapa banyak lagi?” tanya Setora, sambil meletakkan mangkuknya di atas barel kosong yang mereka pakai sebagai meja darurat.
Kuzaku menoleh dengan kepala miring.
“Yah, kupikir mumpung ada, makan saja sepuasnya, gitu. Mungkin aku bakal ambil dua atau tiga lagi. Ada yang mau? Biar sekalian kuambilin.”
“Aku lewat,” jawab Merry dengan sopan, sementara Setora hanya menggeleng. Kiichi, di sisi lain, mendongak menatap Kuzaku penuh harap.
“Oh, kau mau, Kiichi? Baiklah, baiklah. Kau, Haruhiro?”
“Aku…” Haruhiro hendak menjawab nggak mau, tapi tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya meremang, seolah semua rambut di tengkuknya berdiri.
“Heya.”
Haruhiro terkejut karena baru sadar ia sama sekali tidak merasakan keberadaan orang itu sebelum ia bicara.
Ia menoleh, dan melihat seorang pria mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, dengan tudung ditarik rendah menutupi mata. Bukan hanya itu—wajahnya pun tertutup semacam topeng.
“Uhh…”
Sebelum sempat bertanya, Kau siapa?, Merry sudah menelan ludah.
Haruhiro berusaha menyembunyikan rasa bingungnya, lalu melirik ke sekitar, seolah tidak ada yang aneh. Neal berada sekitar lima belas meter jauhnya, sementara pengintai yang lain sedang bersama Mogis. Keduanya mengarahkan pandangan ke arah sini.
Tapi… apa itu penting? Bukankah pria bertopeng itu berdiri di titik buta mereka? Sepertinya mereka berdua sama sekali tidak menyadari keberadaannya.
Apakah itu kebetulan? Atau dia memang sengaja mendekati sambil menghindari pengawasan?
“Kau nggak paham, ya?” Lelaki bertopeng itu terkekeh pelan. “Kudengar kau kehilangan ingatan, Haruhiro. …Ngomong-ngomong, bukankah kau butuh buang air kecil?”
Sebelum Haruhiro sempat menjawab, lelaki itu sudah berbalik.
Gerakannya begitu cepat. Dalam sekejap saja, ia menyelinap ke tengah kerumunan, lalu lenyap.
Haruhiro dan rekan-rekannya saling bertatapan.
“Ehm, aku… kayaknya harus ke belakang dulu…” gumam Haruhiro, sambil memberi isyarat dengan tangannya. Tentu saja, ia sebenarnya tidak merasa ingin buang air kecil. Teman-temannya langsung paham maksudnya.
“Ohh… Baiklah, oke!” kata Kuzaku sambil mengangguk berlebihan. Setora hanya menghela napas, sementara Merry tampak melamun, pikirannya melayang entah ke mana. Mungkin karena, berbeda dengan Haruhiro dan yang lain, ia masih mengingat.
Begitu Haruhiro meletakkan piring kayunya di atas barel kosong dan beranjak, Neal ikut bergerak. Sepertinya ia berniat menyerahkan pengawasan Kuzaku dan yang lain pada pengintai yang bersama Mogis, sementara ia sendiri membuntuti Haruhiro. Tapi Neal salah pilih orang untuk diikuti. Dengan menggunakan Stealth, Haruhiro berhasil menghilang dari ekornya.
Ia meninggalkan plaza, dan bahkan sebelum sempat berpikir ke mana harus pergi, kakinya sudah membawanya ke rumah penginapan prajurit relawan.
Di salah satu kamar, lelaki bertopeng itu sudah menunggu.
“Apa kau benar-benar tidak ingat apa-apa?”
“…Kenapa? Kenapa kau menanyakannya?”
“Karena kau datang ke kamar ini tanpa ragu sedikit pun.”
Pria itu melepas topengnya, lalu menurunkan tudungnya.
Dalam cahaya bulan yang masuk melalui jendela, Haruhiro bisa melihat jelas wajahnya.
“…Kau memang nggak ingat.”
“Uh, emang?”
Pria itu melemparkan topengnya ke atas ranjang, lalu menggaruk rambutnya dengan kesal.
“Kau tahu aku siapa, kan?”
“Ya. Kurang lebih aku bisa nebak.”
“Kurang lebih, ya? Mau kubunuh, hah?”
“Enggak ah.”
“Meski kehilangan ingatan, kau masih aja kasih jawaban bodoh dan payah kayak dulu.”
“…Ranta.”
Apa yang harus ia katakan? Bagaimana harus mengatakannya?
“Lama nggak ketemu.”
Akhirnya ia hanya mengeluarkan kalimat aman. Memang terdengar hambar, tapi itu kenyataan. Ia harus terima kalau dirinya memang membosankan.
Ranta menunduk.
“Apa itu kalimat yang pantas diucapin orang yang udah lupa segalanya? Dasar tongkol…” katanya, tapi kemudian suaranya melemah, seakan kehilangan tenaga.
Sepertinya hubungan mereka dulu tidak bisa dibilang baik. Malah cenderung buruk. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berpisah.
Ranta jelas punya mulut besar—baru sebentar ngobrol saja Haruhiro sudah bisa merasakannya. Mungkin itu sebabnya ia dulu nggak suka dengan Ranta. Tapi pasti bukan hanya sesederhana itu. Ada hal-hal dalam diri mereka berdua yang tidak bisa diterima satu sama lain.
Namun, bagaimanapun juga… mereka pernah jadi kawan seperjuangan.
Mereka pernah melewati banyak kesulitan bersama, sebelum akhirnya berpisah jalan.
“Jangan panggil aku tolol, dasar bego.”
Entah kenapa, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Ranta menoleh, matanya sempat melebar sebentar, lalu ia kembali menunduk.
“Aku nggak bilang kau tolol. Aku bilang kau tongkol. Bedain itu.”
“…Bukannya sama aja?”
“Beda, lah. Mereka kan tongkol dan tolol.”
“Menurutku bedanya terlalu sepele.”
“Justru perbedaan kecil kayak gitu penting banget, bro. Ngerti nggak? Ya jelas nggak lah. Kau itu ceroboh, Parupiro. Itu masalahnya sama orang kayak kamu.”
“Dengar… aku nggak ngerti apa pentingnya perbedaan itu. Tapi, kurasa sekarang aku bisa lihat kenapa dulu aku nggak akur sama kamu.”
“Itu karena aku orangnya peka, dan kau ceroboh. Kita kayak air sama minyak. Atau enggak, lebih kayak bulan dan kura-kura. Oh iya, dalam perumpamaan ini, aku bulannya, dan kau kura-kuranya.”
Kalau Haruhiro bilang satu hal, Ranta bisa membalas sepuluh.
Beda dengan Setora, yang suka berdebat tapi tajam. Ranta lebih ke tipe yang nggak bisa berhenti ngoceh. Kalau Haruhiro menanggapi semua ocehannya, dia bisa habis tenaga sendiri.
“Aku dengar kau sempat gabung Korps Prajurit Relawan.”
Lebih baik ia abaikan ocehan itu dan langsung melanjutkan ke inti.
“Kau keluar secara sukarela kesini?”
“Mana mungkin. Aku dengar Shihoru diculik, dan… yah, sebenernya aku sih nggak peduli, tapi, kau tahu kan, dia peduli, jadi—”
Baru saja Haruhiro hendak bertanya siapa yang dimaksud Ranta dengan dia, tiba-tiba sesuatu menerjangnya dari belakang.
“Haru-kun…!”
“Whaa?!”
Apa ini? Tunggangan gendong? Haruhiro sedang menggendong seseorang?
Seseorang yang tiba-tiba melompat ke tubuhnya?
Bukan, bukan begitu. Orang itu hanya menempel sendiri padanya. Haruhiro sama sekali tidak menaruh tangan ke belakang untuk menopang. Ia hanya berusaha menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Haruskah dia melepaskannya? Tapi… Haru-kun? Apa maksudnya?
“Haru-kun! Ini Haru-kun! Bau Haru-kun! Ini Haru-kun…!”
“Eh, tunggu, hei…!”
Orang itu sedang membauinya. Menempelkan hidung ke lehernya, tepat di belakang telinga, lalu mengendus-ngendus keras. Anjing? Tidak. Jelas bukan.
“Hei, Yume, berhentiiiii…!” Ranta mencoba menarik orang itu dari tubuh Haruhiro. “Apa-apaan sih yang kau lakuin, bego?! Lepas!”
“Enggak mauuu! Yume udah lama nggak nempel sama Haru-kun!”
“‘Nempel’? Hei, kalau ngomong begitu orang bisa salah paham, tahu nggak?! Lagian, emang pernah kau nempel ke Haruhiro kayak gitu sebelumnya?!”
“Yume pernah!”
“Kau pernah?! Serius?! Kapan?!”
“Udah lama banget, tapi waktu itu Haru-kun peluk Yume erat-erat!”
“Ya, ya, terserah! Itu kan udah lama banget! Dan biar kuberitahu ini, si brengsek ini udah lupa total soal itu! Kau ngerti nggak?!”
“Meski Haru-kun lupa sama Yume, mungkin tubuhnya masih ingat!”
“Kan dah kubilangin, orang bakal makin salah paham kalau kau ngomong begitu…!”
“U-Uhm…” Haruhiro berusaha bicara.
Sakit…
Ranta sibuk mencoba melepaskan Yume — dan benar, itu memang Yume — yang masih menempel erat pada Haruhiro. Tangannya melingkar kuat di lehernya, menekan begitu keras sampai Haruhiro nyaris tak bisa bernapas.
“T-Tolong…! L-Lepaskan aku…!”

“W-Whaa! Maaf!”
Yume meloncat mundur darinya, tepat di saat terakhir sebelum Haruhiro benar-benar kehabisan napas.
Haruhiro berjongkok, terengah-engah, berusaha mengatur pernapasan. Yume menepuk-nepuk punggungnya.
“Kamu baik-baik aja? Maaf ya. Yume cuma terlalu senang ketemu Haru-kun.”
“Apa yang perlu disenengin ketemu si tolol ingusan ini, bego? Jangan lebay begitu, dasar cewek lembek.”
Ranta tampak benar-benar kesal. Yume langsung membalas dengan nada tinggi.
“Yume bukan cewek lengser!”
“Aku nggak bilang lengser! Aku bilang lembek!”
“Hrrm?” Yume memiringkan kepala. Rambut panjangnya—meski dikepang—masih sampai menyentuh lantai. “Maksudnya apa itu? Yume kan penuh otot, jadi kalaupun ada, harusnya malah kenceng, kan?”
“Argh, sudahlah! Aku juga nggak ngerti lagi!”
“…Kalian berdua memang selalu seperti ini?” tanya Haruhiro sambil berdeham. Ranta langsung panik.
“S-S-S-Seperti apa maksudmu, hah?!”
“Yah, kami emang selalu begini.” Yume menghela napas panjang sambil mengangguk. Ranta tampak agak malu.
“…Iya sih, memang kami begini. Cuma bercanda, ribut-ribut nggak jelas, gitu. Jadi jangan salah paham yang aneh-aneh, oke?!”
“Iya, iya…” balas Haruhiro datar.
“Satu ‘iya’ cukup! Satu! Dari sejak alam semesta lahir, semua orang tahu itu—”
“Oh ya!”
Yume tiba-tiba melompat berdiri. Ranta sampai menjerit kecil dan refleks mundur menjauh darinya.
“A-Apa lagi sekarang, tiba-tiba begitu?!”
“Shihoru diculik, kan? Awalnya kami datang ke sini buat ketemu Haru-kun dan yang lain, tapi kami juga ke sini buat nyelametin Shihoru, kan? Ya, kan?”
“…Y-Ya. Benar. B-Benar begitu!”
Ranta langsung menunjuk Haruhiro.
“Itu dia, Parupororon!”
“Parupororon itu siapa lagi…?”
“Siapa lagi kalau bukan kau? Nggak ada, kan? Masih nggak ngerti juga? Kosong banget sih kepalamu?”
“…Bukannya kita harusnya ngomongin Shihoru?”
“Ya jelas! Nggak usah kau kasih tahu aku! Maksudku, kau yang ngomong! Jelasin situasinya. Ringkas, jelas, cepat!”
Kalau hanya Ranta yang ada di sana, mungkin Haruhiro bakal malas bicara hanya karena kesal. Untungnya Yume juga hadir.
Dari Merry, Haruhiro tahu kalau Yume dan Shihoru cukup dekat. Shihoru sudah kehilangan ingatannya, itu saja pasti jadi pukulan besar bagi Yume. Dan sekarang, Shihoru hilang. Yume sampai keluar dari Korps Prajurit Relawan dan datang ke Altana karena nggak bisa diam saja. Ranta hanya ikut-ikutan bersamanya.
“…Dan, kurasa itu semua. Untuk saat ini.”
Begitu Haruhiro selesai menjelaskan keadaan Shihoru, Yume harus duduk di tepi ranjang, seolah lututnya tak sanggup menopang. Ranta menyilangkan tangan, menggigit jarinya sambil berpikir.
“…Oh, situasinya seru banget nih. Eh, Yume, jangan salah paham. Aku nggak serius. Jangan serang aku! Aku cuma mau keliatan keren. Eh, tapi kalau aku jelasin gini, jadi nggak keren lagi…”
Yume masih menunduk. Ia bahkan tak mendengar ocehan Ranta. Ranta mendecakkan lidahnya kesal, lalu menatap Haruhiro tajam.
“Jadi? Kau mau ngapain?”
“Mau… ngapain?”
Haruhiro menunduk, mengalihkan pandangannya.
“…Menunggu kesempatan, lalu menggeledah kamar tidur Jin Mogis.”
“Dan kalau Shihoru ternyata nggak ada di sana juga? Rasanya aneh kalau dia menyembunyikan sandera di tempat yang begitu jelas.”
“Yah… mungkin kau benar.”
“Gimana kalau di Menara Terlarang?”
“Huh?”
“Mogis kerja sama dengan Hiyomu… atau sebut saja Hiyo. Pokoknya, dia kerja sama dengan tuannya. Kalau benar tuannya itu pemilik Menara Terlarang…”
“…Oh. Jadi kalau dia menitipkan sandera… Shihoru… pada tuan Menara Terlarang untuk diamankan…”
“Mustahil bisa masuk ke menara itu. Maksudku, mungkin ada caranya, tapi kita nggak tahu. Artinya, sejak awal, mencari dan menyelamatkannya mustahil.”
“Aku…” Haruhiro duduk di samping Yume. “…Aku sama sekali nggak kepikiran.”
“Itu karena otakmu busuk, tolol.” Ranta menyeringai. “Kau selalu payah, mikirnya selalu ke arah negatif. Emang jadi lebih gampang, ya? Rasanya cuman seolah-olah bikin alasan buat dirimu sendiri.”
“Bisa nggak jangan ngomong seakan-akan kau ngerti? …Serius, rasanya nggak enak.”
“Emangnya aku dapat untung apa kalau bikin kau merasa enak?”
“Kalau begitu, apa untungmu meledekku terus?”
Ranta mengangkat bahu. “Rasanya enak aja. Walau cuma sedikit.”
“Ranta.”
Suara itu terdengar rendah. Setidaknya bagi Yume. Yang lebih membekas justru dinginnya nada itu. Menyeramkan. Bukan hanya Haruhiro yang merinding karenanya.
“…Uwah!” Ranta berseru, jelas ketakutan.
“Uwah,” serius?
Haruhiro ingin mengejeknya, tapi memutuskan lebih baik tidak.
“Kalau kamu nggak berhenti ricuh, Yume bakal hukum kamu, ngerti?”
“Maksudmu—”
Ranta mungkin hendak berkata, Maksudmu ribut, bukan ricuh? Tapi ia menelan kata-katanya. Mungkin Yume pernah menegurnya dengan serius sebelumnya. Katanya, Yume bisa sangat menakutkan kalau marah.
“…P-Pokoknya. Kalau ada waktu buat berdebat, bukankah lebih cepat kalau kita hajar saja si Mogis itu, paksa dia melepas Shihoru?”
“Hajar dia?”
Kalau Haruhiro terlalu mempermasalahkan setiap kata yang dipakai Ranta, mereka tak akan pernah sampai pada kesimpulan. Kurang lebih, Haruhiro tahu apa yang ia maksud.
“…Aku memang sempat kepikiran buat nyandera Mogis. Tapi nggak semudah itu. Dia juga sudah berjaga-jaga terhadap kita.”
“Meski ada aku dan Yume di sini?” Ranta menyeringai dan mengacungkan jempol. “Aku yakin kau udah lupa, tapi aku ini lebih bisa diandalkan daripada seratus orang biasa, tahu?”
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)