Yume, Merry, Setora, Kuzaku, bahkan Itsukushima dan Neal sudah menunggu mereka di depan kediaman Bratsod.
“Haruhiro!” seru Kuzaku sambil langsung memeluknya.
“Uhhh…” Rasanya agak menyebalkan, tapi Haruhiro tidak enak hati kalau harus menolak. “Ya…” Ia menepuk-nepuk punggung Kuzaku yang terlalu lebar, dan membiarkan pelukan itu berlangsung sebentar.
Sejujurnya, kalau harus berbagi pelukan untuk merayakan keselamatannya, Haruhiro jelas lebih memilih Merry. Tentu saja, ia tidak bisa melakukannya di depan semua orang. Tapi… apakah Merry juga menginginkan hal yang sama? Dari tatapan yang ia arahkan padanya, sepertinya memang begitu.
“Yume pikir kamu bakal baik-baik aja sih, tapi tetep aja… syukurlah,” Yume menaruh tangan di dadanya sambil menghela napas lega.
Ranta menggosok hidungnya dengan ibu jari, berusaha terlihat keren. “Heh. Itu semua berkat aku!”
“Mew. Yakin begitu?”
Mau tidak mau, meski terasa pahit di hati, Haruhiro harus mengakuinya. “Yah, emang ada benarnya…”
“Pah! ‘Yah, emang ada benarnya’?! Aku pantas dapat lebih dari itu, Parupe’a! Kau seharusnya bilang, ‘Terima kasih banyak, aku bersumpah akan berhutang budi padamu sampai mati, oh Ranta yang agung dan perkasa!’ Kau sendiri tahu itu!”
“Karena sikapmu seperti ini…”
“Sikapku seperti ini kenapa, hah?!”
Axbeld, menteri kiri berjanggut merah, dengan susah payah berhasil meyakinkan Rowen, kapten pengawal kerajaan yang berjanggut hitam, untuk membiarkan dirinya membawa pasukan Red Beard dari Istana Besi menuju Gerbang Great Ironfist.
Menteri Kiri berencana untuk menyerap setiap unit dwarf yang masih hidup maupun penduduk kota yang mereka temui di sepanjang jalan, lalu bertahan di gerbang sampai titik darah penghabisan. Harapannya, mereka bahkan mungkin bisa melakukan serangan dari Gerbang Great Ironfist, menerobos kepungan musuh, dan melarikan diri.
Haruhiro hanya bisa berdoa agar gerbang itu belum jatuh. Itulah salah satu alasan ia memancing Arnold dan pasukannya ke dalam pengejaran itu. Jika Axbeld dan para dwarf berhasil mencapai Gerbang Great Ironfist, mungkin Haruhiro bisa meyakinkan dirinya bahwa semua pelarian itu untuk menyelamatkan dirinya tadi tidak sia-sia.
Rombongan itu menuju gudang tempat raja besi bersama rombongannya, Kapten Pengawal Kerajaan Rowen, Utefan sang pemandu tua, anggota Keluarga Bratsod, Tetua Harumerial dari bangsa elf, serta Eltalihi dari Keluarga Mercurian sudah berkumpul.
“Kalian terlambat!” bentak Rowen pada Haruhiro begitu melihat si thief. Dwarf itu terlihat benar-benar gelisah. Atau mungkin ia kesal karena dialah yang harus melindungi raja besi dalam pelariannya, sementara Menteri Kiri tetap tinggal di Kerajaan Ironblood.
“Rowen.” Raja besi mengenakan zirah, helm, dan jubah yang menutupi wajahnya. Namun suara yang menegur kapten pengawal kerajaan itu jelas suara sang raja. Rambut peraknya yang berkilauan keluar dari sela helmnya, tampak tak nyata. “Sekarang, mari kita berangkat.”
Begitu raja besi mengucapkan itu, anggota Keluarga Bratsod segera membuka pintu besi. Mereka bersama Utefan si pemandu tua maju paling depan, diikuti Rowen, raja besi beserta rombongannya, Tetua elf Harumerial, Eltalihi dari Keluarga Mercurian, lalu kelompok Haruhiro paling belakang. Mereka bergerak menyusuri lorong menuju Gerbang Walter.
“Bagaimana dengan Gottheld-san?” tanya Haruhiro.
Itsukushima menggeleng. “Dia pergi bersama Menteri Kiri.”
“Oh…” Haruhiro mengangguk pelan. “Tapi hebat juga kalian bisa membujuk sang raja. Aku tadinya yakin dia bakal keberatan melakukan ini.”
“Dia pasti sudah memutuskan tidak mau mati,” kata Neal sambil menyunggingkan senyum sinis.
Kuzaku langsung melotot ke arahnya. “Hei, jangan samakan dia dengan orang sepertimu…”
“Kami memang sama, bukannya? Apa bedanya?”
“Banyak. Jelas banget bedanya.”
“Entah aku atau ratu dwarf itu, kalau kami mati ya sudah selesai. Tidak ada bedanya. Aku tahu kalian tidak bakal peduli kalau aku mati. Tapi ini satu-satunya hidup yang aku punya.”
“Kalau begitu, kau harus menjaganya baik-baik, ya?”
“Itu yang sedang kulakukan. Aku nggak butuh kau yang ngingetin.”
“Jelas aja.”
“Ingat kata-kataku. Aku pasti akan bertahan hidup, sekalipun kalian semua mati.”
“Itu justru kalimat khas orang yang bakal mati, tahu nggak?” Ranta menyeringai.
Neal hanya tertawa kecil. “Ini tips, dari pengalaman pribadi. Apa pun yang kukatakan nggak penting. Yang menentukan aku selamat atau tidak adalah tindakanku.”
Setora mengangguk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. “Pendapat yang layak didengar.”
“Aku tahu, kan?” Neal menyeringai. Lalu, menundukkan pandangannya, ia menghela napas. “Tapi… apa yang harus kulakukan? Itu satu hal yang terus kupikirkan. Kalau saja aku tidak terlalu ngotot bekerja di bawah Mogis, aku nggak bakal terjebak dalam situasi ini. Seharusnya aku lebih santai sedikit. Tapi waktu itu… itulah satu-satunya yang bisa kulakukan. Aku nggak salah. Selama ini aku sudah berusaha dengan baik. Ya… karena itulah aku tidak berakhir seperti Bikki. Mati itu konyol. Setidaknya, sampai aku bisa bilang kalau aku benar-benar bersyukur pernah hidup…”
Ia mulai bergumam, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Sepertinya Neal merasa dirinya sudah terpojok.
Misi asli delegasi mereka sebenarnya hanya mengantarkan surat Jin Mogis kepada raja besi, berunding dengannya, lalu kembali dengan hasilnya. Perjalanannya memang sudah pasti akan panjang, bahkan kalau hanya sekadar pergi dan pulang. Selalu ada kemungkinan negosiasi gagal, dan semua usaha mereka jadi sia-sia. Haruhiro sudah menyiapkan diri untuk kesulitan semacam itu. Namun… mungkin penilaiannya selama ini terlalu naif? Ia sama sekali tak pernah membayangkan perjalanan itu akan seberat ini.
Mereka melangkah di sepanjang koridor batu yang diperkuat dengan besi. Lentera-lentera ditempatkan di ceruk-ceruk dinding, sehingga mereka tak perlu membawa penerangan sendiri.
“Mungh…” Yume mengerang pelan.
“Ada apa?” tanya Ranta padanya.
“Hmm? Ada apa, ya? Rasanya ada yang…”
Yume terus menoleh ke segala arah. Ada sesuatu yang mengusiknya, mungkin?
Sepanjang lorong itu, di sana-sini terdapat pintu besi. Rombongan akan membuka satu pintu, melewatinya, lalu menutupnya kembali sebelum terus maju.
Apakah mereka melewatkan sesuatu? Haruhiro memang tidak memiliki kepekaan seperti Yume, tapi perasaan aneh juga merambati dirinya. Mengingat betapa buruk situasi sekarang, mereka pasti sudah melakukan banyak kesalahan. Tapi… apakah ada di antara semua kesalahan itu yang seharusnya ia pikirkan sekarang, selagi masih ada waktu?
Merry berjalan di sisi Haruhiro. Ketika ia melirik wajahnya dari samping, ia melihat mata Merry terbuka lebar, menatap lurus ke depan dengan penuh konsentrasi.
Haruhiro berusaha memanggilnya. Namun entah kenapa, ia tidak bisa melakukannya.
Utefan tua mengetuk pintu besi terakhir. Dwarf berjanggut putih itu tampak renta dan berjalan dengan tongkat. Meski begitu, tongkatnya terasa aneh—terlalu berat untuk sekadar tongkat. Tongkat itu terbuat dari logam, dengan kepala yang menonjol besar, mirip palu. Sekarang ia mengetukkan ujungnya keras-keras ke pintu besi itu, menimbulkan suara berisik yang menggema.
Pintu besi itu perlahan mulai terbuka. Kemungkinan besar, itu adalah ulah para penjaga dwarf di sisi lain.
Saat mereka melewati pintu, Kapten Rowen bertanya pada penjaga tersebut, “Ada sesuatu yang mencurigakan?”
“Tidak ada, Pak.”
“Begitu, ya. Teruskan kerja bagusmu.” Rowen menepuk bahu penjaga dwarf itu dengan keras, sampai pria itu hampir tersungkur.
Rombongan itu melewati sebuah gua kapur dan keluar melalui Gerbang Walter. Haruhiro mendongak, melihat keadaan pos pengawas, dan memperhatikan para dwarf yang mengintip dari pos-pos batu. Salah satunya turun dari posnya. Dialah Willich, dwarf dengan wajah bengis.
“Paduka…”
Willich hampir saja berlutut di hadapan raja besi, tapi sang raja menghentikannya.
“Tidak perlu.”
“Baik, Paduka,” jawab Willich, tidak sampai berlutut, tapi tetap menundukkan kepala. “Kami akan segera menyegel Gerbang Walter. Mohon segeralah tinggalkan tempat ini.”
“Kalian harus menyusul begitu selesai menyegelnya. Kita membutuhkan sebanyak mungkin orang bersama kita.”
“Baik, Paduka.”
Willich memberi isyarat pada yang lain, dan para dwarf mulai keluar dari pos batu satu demi satu. Mereka menuju Gerbang Walter, kemungkinan besar untuk memastikan pintu itu tidak akan pernah bisa dibuka lagi.
“Kita harus sebisa mungkin memperlebar jarak sebelum matahari terbenam,” gumam Setora. Karena terlalu lama berada di bawah tanah, mereka agak kehilangan rasa waktu, tapi sepertinya masih ada beberapa jam sebelum senja.
Kota bekas tambang di Gunung Spear seharusnya berada sekitar seratus kilometer di sebelah timur Pegunungan Kurogane. Namun itu hanya dihitung garis lurus. Lagi pula, Gerbang Walter berada di sisi barat Kurogane, yang berarti jarak tempuh sebenarnya akan bertambah puluhan kilometer lagi. Hutan di kaki Pegunungan Kurogane merupakan wilayah Ekspedisi Selatan, jadi rute mereka kemungkinan juga harus melewati pegunungan itu.
“Ini bakal berat…” gumam Neal sambil menghela napas.
Sejujurnya, Haruhiro merasakan hal yang sama. Tapi, sekali sudah terlanjur, tidak ada pilihan selain maju terus. Setelah mereka berhasil mengawal raja besi sampai ke bekas kota tambang di Gunung Spear, barulah mereka bisa memutuskan apakah akan kembali ke Altana atau menuju kota bebas Vele. Kalau Haruhiro ingat dengan benar, Gunung Spear berjarak sekitar tujuh puluh hingga delapan puluh kilometer dari Vele. Kota bebas itu katanya netral, tapi punya hubungan dengan Perusahaan Bajak Laut K&K. Di sana, mereka bisa beristirahat sejenak. Tergantung situasinya nanti, mungkin lebih aman bagi mereka untuk tidak kembali ke Altana, melainkan tinggal di Vele.
Tidak, itu bukan pilihan. Mereka harus melakukan sesuatu tentang Shihoru, dan Haruhiro masih khawatir soal Korps Prajurit Relawan.
Untuk sekarang, kita hanya harus sampai ke Gunung Spear.
Rombongan berjalan berbaris satu per satu melewati celah-celah di antara bebatuan besar. Haruhiro dan kelompoknya mengikuti bersama mereka.
Saat menuruni jalur di sepanjang aliran sungai pegunungan, Haruhiro memperhatikan Itsukushima yang terus-menerus melirik ke sekeliling. Yume juga tampak cemberut—atau lebih tepatnya, menggembungkan pipinya bergantian sambil menoleh ke sana kemari.
“Poochie?” Merry mengernyit, menyebut nama anjing-serigala itu.
“Yaa,” Yume mengangguk. “Poochie seharusnya ada di sekitar sini, nungguin Yume sama Master. Dia harusnya bakal nyadar dan datang kapan aja.”
“Yah, aku yakin dia akan menemukan kita pada waktunya,” kata Itsukushima. Tapi nada suaranya terdengar lebih seperti sedang menenangkan dirinya sendiri. Itu tidak seperti dirinya.
Haruhiro menoleh ke belakang. Batu-batu besar yang sebelumnya, dengan caranya sendiri, menjadi penanda lokasi Gerbang Walter, kini sudah tak terlihat lagi dari sini.
Meski wilayah ini berupa rawa, ada bagian berbatu di sepanjang sungai gunung. Dua orang bisa berjalan berdampingan di atasnya. Selama mereka tidak menyebar terlalu jauh, mereka bisa menghindari harus melangkah ke dalam aliran air—yang meskipun dangkal, tetap lebih baik dihindari.
Di sisi kiri aliran sungai pegunungan, tanah relatif datar, sementara di sisi kanan menjulang tebing curam.
“Haruhiro?” panggil Kuzaku.
“Ya,” jawab Haruhiro samar-samar.
Rombongan masih terus menuruni jalur di sepanjang sungai gunung, hanya Haruhiro yang berhenti.
“Ada yang mengganggumu?” tanya Setora, ikut berhenti dan menatap ke arah tebing curam di sebelah kanan. Merry, Kuzaku, Ranta, Yume, Itsukushima, bahkan Neal ikut berhenti juga.
“Tunggu sebentar!” teriak Ranta pada rombongan di depan. Raja besi menoleh ke belakang, dan sisanya pun ikut berhenti.
“Ada apa?!” tuntut Kapten Rowen.
Haruhiro cepat bertukar pandang dengan rekan-rekannya. Mereka kurang lebih sudah mengerti maksudnya tanpa perlu banyak bicara. “Aku mau naik ke atas untuk melihat keadaan. Sekadar berjaga-jaga,” katanya pada Rowen, sambil menunjuk ke arah tebing di sebelah kanan.
“Cepatlah kalau begitu,” kata dwarf itu singkat. Lalu, berpaling pada pasukannya, ia memberi perintah, “Semuanya, tetap waspada!”
Rowen memang orang yang tidak sabaran, tapi jelas bukan bodoh. Itsukushima ikut bersama Haruhiro saat ia bergerak menuju tebing.
“Aku ikut juga,” ujar Itsukushima.
“Itu akan sangat membantu.”
Itsukushima sepertinya juga merasakan sesuatu—dan khawatir yang terburuk. Mereka berdua tak perlu kembali menyusuri sungai. Mereka bisa langsung memanjat sisi tebing. Itsukushima mencapai dinding batu lebih dulu. Haruhiro menarik napas dalam, lalu mendongak ke puncak. Saat itulah sesuatu terjadi.
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Orc?!”
Haruhiro melihat sosok melompat turun dari tebing.
“Oooooooooshhhhhhhhhh!”
Rambut putihnya berkibar di udara, pedang tergenggam di kedua tangan. Haruhiro mengenal orc itu. Dialah Zan Dogran—komandan pasukan campuran orc, undead, dan kobold yang pernah bertahan di Gunung Nestapa.
“Sial!”
Mendengar kutukan Kuzaku, bulu kuduk Haruhiro meremang. Bahkan Renji pun kesulitan melawan Zan Dogran meski bersenjatakan relik Aragarfald. Mereka benar-benar dalam masalah, bukan?
“Kuza—”
“Ngohhh!”
Refleks, Kuzaku mencabut katana besarnya dan menghadang Zan Dogran. Apakah ia berniat menebas orc itu di udara saat jatuh?
“Zweagh?!”
Namun, entah bagaimana caranya—mata Haruhiro tak sempat menangkap dengan jelas—Zan Dogran berhasil menghempaskan Kuzaku. Tubuh besar itu terlempar dan jatuh menghantam aliran sungai.
“Personal Skill!”
Ranta langsung menyambar kesempatan, mengayunkan pedangnya ke arah Zan Dogran—atau tepatnya membuatnya seolah-olah akan menyerang, sebelum tiba-tiba berhenti di depan orc itu dan merendahkan tubuhnya cepat-cepat. Lebih rendah dari posisi berjongkok, seolah tubuhnya lenyap dari pandangan.
Terhadap orc besar seperti Zan Dogran, teknik itu seharusnya sangat efektif. Tapi nyatanya, itu tidak berhasil.
Zan Dogran mengayunkan pedang bermata satu di tangan kirinya. Jelas sekali sasarannya adalah Ranta.
“Tch!”
Ranta melompat ke samping dengan gerakan mirip katak untuk menghindar, namun pedang di tangan kanan Zan Dogran justru menebas ke arah tempat sang dread knight mencoba kabur.
“Whoa!”’
Kena dia.
Sekilas terlihat seolah-olah tubuh Ranta terbelah dua, lalu buru-buru ditempelkan kembali. Tidak, tentu saja itu bukan yang sebenarnya terjadi. Hanya terlihat seperti sang dread knight tertebas. Nyatanya, Ranta entah bagaimana berhasil menghindarinya.
“Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!”
Para orc berambut putih pucat, membawa pedang satu tangan bermata bergerigi, berlari menuruni tebing satu demi satu. Beberapa di antaranya bahkan meluncur turun. Dan bukan hanya orc—para undead yang kemungkinan mengikuti Zan Dogran dari Gunung Nestapa pun bersama mereka.
“Master!” Yume berteriak.
Itsukushima buru-buru mundur, dan Haruhiro ikut menarik diri. Kalau mereka tidak cepat, gelombang orc dan undead itu akan melahap mereka.
“Dwarf!” Kapten Rowen menghunus pedang besarnya dan menyerbu Zan Dogran dengan ayunan penuh. “Kami yang akan menahan mereka! Yang Mulia, mohon segera menyelamatkan diri!”
Dari para anggota Keluarga Bratsod, mungkin setengahnya membawa senapan, kapak, dan senjata galah. Sekitar sepuluh dwarf menodongkan senapan mereka ke arah puncak tebing, sementara sepuluh lainnya membentuk barisan rapat mengelilingi Utefan tua, raja besi, beserta para elf, saat mereka mencoba melanjutkan perjalanan menuruni aliran sungai pegunungan.
“Hurrghhh!” Rowen mengayunkan pedang besarnya secara diagonal ke bawah. Zan Dogran mundur dengan terhuyung. Pedang kapten pengawal kerajaan itu membelah tanah, menghamburkan batu dan air ke segala arah. Zan Dogran mengabaikannya dan berusaha mendekat ke arah dwarf itu, namun, luar biasanya, Rowen justru menyundul orc itu dengan kepalanya.
“Nugh?!”
Zan terhuyung ke belakang setelah menerima tandukan Rowen di dadanya. Tubuh Rowen berputar hampir vertikal sebelum melanjutkan dengan ayunan pedang besarnya. Tak sanggup menahannya, Zan Dogran melompat dan berguling, entah bagaimana berhasil lolos dari tebasan mengerikan itu.
Taip tak ada jalan keluar. Rowen terus mengejarnya, mengayun lagi dan lagi.
Bukan berlebihan jika dikatakan pedang besar Kapten Rowen hampir sepanjang tubuhnya sendiri—jika dihitung dengan gagangnya, itu nyaris setara. Bahkan Kuzaku, atau mungkin sebagian orc yang lebih besar daripada manusia sekalipun, mungkin akan kesulitan mengangkat pedang sebesar itu. Tapi Rowen mengayunkan monster baja itu dengan kedua tangan, bahkan kadang hanya tangan kanannya, seolah-olah ringan saja. Meski seluruh tubuhnya terbungkus zirah hitam berkilau, dwarf itu tetap gesit, bahkan lentur. Pedangnya seakan hidup, terus-menerus menekan dengan serangan tanpa henti ke arah Zan Dogran.
“Urff! Orgh!”
Zan Dogran sepenuhnya terpaksa bertahan. Rowen benar-benar menguasainya.
Para orc dan undead jelas tak menyangka hal ini, bukan? Kehebatan Zan Dogran dalam bertarung sudah mencolok saat pertempuran di kastil tua di Gunung Nestapa. Bisa dibilang, para prajuritnya menyembahnya layaknya dewa perang. Namun sekarang, ia justru dipaksa mundur oleh seorang dwarf. Hal itu jelas membuat pasukannya gelisah.
“Tembak!”
Sekejap kemudian, pasukan penembak dwarf dari Keluarga Bratsod melepaskan tembakan salvo. Suara sepuluh bedil saja sudah cukup menggetarkan nyali. Terlebih lagi, unit musuh yang datang dari Gunung Nestapa ini belum terbiasa mendengar suara tembakan. Hanya tiga atau empat orang—bahkan mungkin hanya satu atau dua—yang benar-benar terkena peluru, tetapi jelas terlihat mereka sudah hampir kabur.
“Haruhirooo!”
“Siap!”
Haruhiro sebenarnya tak butuh aba-aba dari Ranta. Kelompok itu langsung mengejar raja besi yang lari terbirit-birit. Setora sudah lebih dulu membantu Kuzaku berdiri, jadi ia baik-baik saja. Neal entah ke mana, tapi Itsukushima dan Yume ada di sisi mereka. Merry berada di depan Yume—atau lebih tepatnya, Yume sepertinya sengaja membiarkan Merry maju lebih dulu.
“Diiiiiiiiiieeeeeeeeiiiiii!”
Ada sesuatu yang berubah pada Zan Dogran. Rambutnya berdiri, sekujur tubuhnya memercik seperti dialiri listrik statis. Ia pernah tampak seperti ini saat bertarung melawan Renji juga. Pedang kembarnya memang berat, tetapi dalam kondisi seperti ini, ia mengayunkannya seolah hanya tongkat ringan.
“Gah! Urgh?!”
Tak butuh waktu lama, giliran Rowen yang berada di posisi bertahan. Namun, sekalipun ia bertahan sekuat tenaga, mungkinkah ada cara untuk menangkis dua pedang Zan Dogran yang melesat begitu cepat, penuh amarah, hingga sulit diikuti mata? Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan kapten pengawal. Begitu Zan Dogran membalikkan keadaan, musuh pun langsung kembali bersemangat.
Ranta melompat ke medan tempur dan menebas salah satu orc berambut putih yang sebelumnya mengabaikan para penembak keluarga Bratsod untuk mengejar mereka.
“Mantap!”
Namun yang lain segera datang. Orc berambut putih yang berbeda. Haruhiro langsung menghantam lututnya dengan tendangan, lalu meninju dagunya menggunakan telapak tangan kiri, dan hampir bersamaan menusukkan belati di tangan kanannya—yang ia genggam terbalik—tepat ke jantung orc itu. Setelah mendorong tubuh orc menjauh dan mencabut kembali belatinya, seekor undead menerjang ke arahnya. Haruhiro menghindar, melompat ke belakangnya, lalu menggunakan Spider. Ia merangkul undead itu, memutar belatinya untuk menggorok leher makhluk itu.
“Ranta!”
“Ya, aku tahu!”
Ia tak ingin terjebak terlalu lama dan akhirnya terputus dari rekan-rekannya. Meski berat hati meninggalkan mereka, Rowen dan keluarga Bratsod harus bertahan sendiri. Tapi lawan mereka adalah Zan Dogran. Apa mereka bisa menahan serangan itu? Ia tak tahu. Pasukan Zan Dogran kabarnya berjumlah antara beberapa ratus hingga seribu orang. Dwarf jelas kalah jumlah. Sekalipun mereka memiliki senjata api, hasilnya tak akan banyak berubah. Mereka harus lari. Itu satu-satunya pilihan.
Mereka sudah ketahuan. Ekspedisi Selatan tahu di mana Gerbang Walter berada. Kalau dipikir-pikir, Itsukushima dan Yume sempat khawatir soal jejak yang jelas bukan milik makhluk berkaki empat—pasti itu ditinggalkan oleh musuh. Begitu Zan Dogran bergabung dengan pasukan utama, Ekspedisi Selatan kemungkinan langsung menempatkan dia beserta unitnya di Gerbang Walter, lalu melancarkan serangan besar-besaran. Singkatnya, jalan keluar mereka sudah tertutup sejak awal. Mereka bagaikan tikus yang terperangkap.
Mereka terus menyusuri aliran sungai pegunungan. Medannya benar-benar buruk; batu-batu kerap bergeser atau hancur di bawah pijakan mereka. Merry hampir terjatuh, namun Yume segera menangkapnya.
“Maaf!”
“Nyaa!”
Raja Besi sudah tak kelihatan lagi. Sepertinya ia berhasil turun sampai ke ujung aliran sungai dan masuk ke hutan di sebelah kanan. Kuzaku, Setora, Itsukushima, Yume, dan Merry mengikuti. Neal sudah menghilang. Ke mana? Apa dia kabur? Kapan? Dan bagaimana? Kemampuan pria itu untuk lari, atau lebih tepatnya menghilang begitu saja, memang satu-satunya hal yang benar-benar bisa diandalkan darinya.
Haruhiro dan Ranta masuk ke dalam hutan. Jalur ini bukan yang mereka lalui saat datang. Apa ini bahkan bisa disebut jalur? Mungkin kelompok Raja Besi sengaja memilih rute baru untuk melarikan diri.
Bagaimanapun juga, yang bisa dilakukan kelompok mereka hanyalah ikut mengikuti. Haruhiro sendiri jujur sudah tak tahu arah mana yang benar. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan apakah ada musuh mengejar. Sayangnya, mereka belum berhasil melepaskan diri. Ia bisa merasakan bahaya bukan hanya dari belakang, tapi juga dari kiri dan kanan. Apa mereka sudah dikepung? Ia sempat melihat orc dan undead di beberapa tempat, namun segera kehilangan jejak mereka lagi.
Hutan. Ini bukan sekadar hutan. Ini adalah lautan pepohonan. Batang dan akar saling melilit dan berkelok, menciptakan tonjolan dan lekukan. Di beberapa tempat bahkan tampak ada celah-celah dalam. Namun, ini bukan hanya menjadi masalah bagi mereka yang melarikan diri. Bagi para pengejar pun pasti sama sulitnya. Ini bukan seperti berlari di tanah datar. Mereka dipaksa untuk merunduk dan berkelit, kadang harus memanjat, kadang melompati sesuatu, dengan berbagai gerakan dan posisi.
Bagi para dwarf yang bertubuh pendek, medan ini terasa jauh lebih berat. Raja Besi, yang wajahnya tersembunyi di balik helm, melompat-lompat tanpa suara dari akar ke akar, meraih batang pohon lalu memanjatnya. Namun, gerakannya sama sekali tidak bisa disebut anggun—bahkan jika seseorang ingin bersikap ramah sekalipun.
Yume mendongak ke atas. Apakah dia sedang menatap langit di sela cabang-cabang pohon?
“Ada sesuatu di atas sana?” tanya Itsukushima pada Yume.
Yume menggeleng. “Mmm, barusan rasanya kayak ada burung gede yang terbang lewat.”
“Burung…” gumam Ranta, sambil melirik ke sekeliling.
“Personal Skill…”
Suara siapa itu? Dari atas. Itu datang dari atas.
Apa ada yang turun? Dari pucuk pepohonan?
“Ran—”
Baru sampai di situ Haruhiro sempat bersuara. Apapun itu, benda itu tampak jatuh ke arah Ranta. Saat Haruhiro menyadarinya, serangan itu sudah terluncur ke dread knight tersebut. Ranta pun menyadarinya, tapi dia tidak menghindar. Dia justru menarik katananya dan mencoba menebas apa pun itu dari udara.
“Great Foul Waterfall! Benar, kan?!”
Apakah serangan cepat Ranta terlambat?
Tidak, mungkin tidak.
Terdengar suara katana beradu. Sosok itu—atau lebih tepatnya, pria itu—menepis katana Ranta dengan miliknya sendiri, lalu menebas. Tebasannya mengenai Ranta, lalu ia mendarat, dan seolah melayang ringan saat melompat menjauh. Saat pria bermata satu dan berlengan satu itu hinggap di atas akar pohon, ekspresi wajahnya tampak segar, seakan baru saja keluar dari pemandian, namun sekaligus terlihat sedikit lesu.
“Kau masih jauh dari kata matang, Ranta.”
“Gwogh…”
Luka yang diderita Ranta tidak dangkal. Apakah di bahunya? Tidak—di leher. Darah memancar deras. Apakah mengenai pembuluh arteri? Arteri karotis? Bahkan Ranta pun tidak bisa pura-pura kuat menghadapi luka semacam itu. Keadaannya gawat.
“Ah!”
Merry berlari mendekat. Tangannya sudah membentuk tanda hexagram, bersiap melantunkan mantra. Ia berniat mengucapkan Sacrament. Kalau tidak, Ranta takkan sempat tertolong—itulah yang dipikirkannya.
Apa yang harus dilakukan Haruhiro dan yang lain? Jangan biarkan musuh mengganggu Merry. Mereka harus melindunginya. Mungkin mereka takkan mampu mengalahkan pria itu, Takasagi, tapi setidaknya mereka bisa menahannya. Yume sudah lebih dulu memasang anak panah pada busurnya.
“Mew!”
“Kurasa daripada menahan diri, akan sedikit ku tunjukkan kebolehanku,” kata Takasagi sambil menggoyangkan katana yang digenggam tangan kirinya. “Teknik Rahasia, Autumnal Illusion.”
Aku nggak ngerti. Apa maksudnya itu?
Takasagi hanya berdiri di sana, menggoyang-goyangkan pedangnya. Hanya itu? Tubuh Takasagi pun bergerak seolah ikut bergoyang.
Yume melepas anak panahnya. Ia langsung menyusul dengan panah kedua, lalu ketiga secara beruntun. Itsukushima juga menembak.
Namun, tak ada yang mengenai sasaran.
Padahal kedua hunter itu tidak berada pada jarak yang biasanya membuat mereka meleset. Jaraknya tak sampai sepuluh meter. Kenapa mereka tidak bisa mengenainya? Apa Takasagi menghindar? Tapi pria satu tangan itu tampak hanya berdiri di tempat. Seakan-akan Yume dan Itsukushima sengaja meleset tipis darinya. Apakah itu teknik rahasia Takasagi?
Itu tidak masuk akal. Apa-apaan ini?
Jangan hilang kendali. Putuskan dirimu dari emosi, Haruhiro menegaskan pada dirinya sendiri, menenggelamkan kesadarannya. Pikirannya turun ke dasar, sementara penglihatannya naik tinggi. Ia melihat segalanya dari sudut pandang miring, seolah menatap dari atas.
Merry akan segera sampai di sisi Ranta. Setora sudah menyiapkan tombaknya, berusaha melindungi mereka berdua. Kuzaku menebaskan katana besarnya ke arah Takasagi. Bukankah itu terlalu gegabah, menyerbu begitu saja? Kuzaku memang orang yang cukup lurus, tapi kali ini dia benar-benar terlalu lurus.
Utefan tua dan para dwarf lain berfokus melindungi sang raja besi, rombongannya, serta kedua elf. Semuanya menatap Takasagi, namun tak ada satu pun yang mencoba menyerang. Beberapa dwarf sempat ragu apakah mereka perlu mengarahkan senjata api pada Takasagi, tapi sebatas itu saja.
Haruhiro bergerak memutar, mencoba mengitari Takasagi dari belakang.
“O Cahaya, semoga perlindungan suci Lumiaris menyertaimu…” tangan Merry menyentuh bahu Ranta.
“Hahhhh!” Kuzaku melompat menerjang Takasagi. Katana besarnya terangkat tinggi di atas kepala, siap ditebaskan. Namun, dari manapun kau melihatnya, Kuzaku seharusnya tidak sebodoh dan seceroboh itu melakukan serangan lurus seperti ini. Kelihatannya seolah-olah ia sengaja dipancing. Apa ada rahasia tersembunyi di balik gerakan Takasagi yang tidak teratur dan tidak stabil itu?
“Sacrament!”
Merry melafalkan mantranya. Cahaya menyilaukan memancar, dan luka-luka Ranta mulai sembuh.
Tebasan dari atas yang dilancarkan Kuzaku meleset dari Takasagi, persis seperti yang diduga. Takasagi berputar ke samping, dan pedang Kuzaku hanya melintas di depan hidungnya. Dalam waktu bersamaan, katana Takasagi menebas sisi tubuh Kuzaku.
“Oh, kau cukup tangguh juga.”
“Gwagh?!”
Kuzaku spontan melompat ke samping dan berguling. Tampak jelas ia terkena luka cukup dalam, meski untungnya tidak sampai terbelah dua. Pertanyaannya, apakah ia masih bisa bangkit kembali?
Haruhiro memusatkan pandangan pada punggung Takasagi dari jarak sekitar tiga meter. Ia berhasil berada tepat di belakang lawannya. Dari sini, ia bisa merasakan napas Takasagi. Begitu tenang dan teratur, meski pria itu baru saja menebas Kuzaku.
Takasagi tampak seperti hanya berdiri diam di tempat. Namun, sebenarnya tidak begitu. Ia terus bergerak, pusat gravitasinya senantiasa berubah. Tidak jelas bagian mana dari tubuhnya yang menegang, dan bagian mana yang mengendur. Jika Haruhiro mencoba berdiri seperti itu, ia pasti langsung ambruk. Untuk sekadar berjalan saja sudah sulit, apalagi menggunakan katana. Sekilas, Takasagi mungkin tidak terlihat melakukan sesuatu yang luar biasa, tetapi sebenarnya ia sedang menampilkan teknik yang sangat menakutkan. Bagaimanapun ia bergerak, itu jelas berbeda dari gerakan manusia pada umumnya.
“Drahhhhhh!”
Luka-luka Ranta sudah pulih. Ia meledak dalam gerakan penuh amarah, jelas berniat membalas Takasagi. Merry tengah berusaha menyembuhkan Kuzaku. Setora ikut bersamanya.
Sementara itu, Haruhiro mendekat ke arah Takasagi dalam keadaan Stealth. Bahkan teman-temannya sendiri tak menyadari keberadaannya. Sampai-sampai Haruhiro sendiri hanya samar-samar merasa kalau dirinya benar-benar ada di sini.
Ia tidak berpikir, Aku bisa melakukannya. Ia tidak berpikir, Aku akan melakukannya.
Pikirannya nyaris kosong.
Haruhiro akan menusukkan belatinya ke punggung Takasagi. Dari posisi ini, dengan sudut seperti ini, belati itu akan menembus ginjalnya. Itu akan segera membuatnya tak sadarkan diri, lalu tak lama kemudian mati. Serangan yang mematikan.
“Ups…”
Ia merasakan belatinya merobek pakaian Takasagi dan menembus kulitnya, tetapi seketika Haruhiro mendapati dirinya sudah terangkat di bahu pria itu.
Apa yang baru saja terjadi?
Ia tidak mengerti trik apa yang digunakan, atau dari mana kekuatan sebesar itu berasal.
Apakah ada teknik yang memungkinkan itu?
“Dan jatuhlah kau…”
Takasagi melempar Haruhiro dengan bantingan bahu. Bagaimana dia bisa melakukannya hanya dengan tangan kiri, sementara ia masih memegang katana di tangan itu?
“Urgh!” Haruhiro gagal melakukan jatuhan dengan benar.
Secara refleks ia menundukkan kepala, berhasil melindungi bagian belakangnya, tapi benturan punggungnya pada akar keras membuatnya sulit bernapas.
“Begini, aku punya mata di belakang kepala,” ucap Takasagi sambil menatap Haruhiro dari atas. “Jadi meski kehilangan satu, aku masih punya dua.” Ia mengedipkan mata kanannya. Pria itu tampak tenang dan percaya diri, memainkan sisi datar katananya di atas bahu.
“Personal Skill!” Ranta menerjang turun seperti tupai terbang, atau sesuatu yang mirip, sambil menebas Takasagi.
“Oh, hentikan omong kosong soal personal skill itu.”
Takasagi memutar pergelangan dan sikunya, membuat katananya meliuk seperti ular. Bilah itu menangkis katana Ranta.
“Ah?!”
Apakah Ranta tak punya pilihan selain melepaskan senjatanya? Atau tanpa sengaja ia melakukannya? Entah bagaimana, pedangnya terlepas dan terpental, lalu menancap di batang pohon agak jauh dari sana.
“Kau selalu mengandalkan trik-trik kecil. Itulah masalahnya.” Ujung katana Takasagi kini menempel di leher Ranta. “Bagi orang biasa seperti kita, hal paling mendasar yang harus dilakukan adalah membongkar diri kita sendiri, lalu membangunnya kembali dari awal. Intinya, kalau berhenti berusaha, tamatlah riwayatmu. Dengan caramu yang hanya mengandalkan naluri dan kilatan inspirasi, pada akhirnya, kau hanyalah bocah manja yang sok hebat.”
Ranta mencoba membalas, tapi yang keluar hanya desahan lemah penuh frustrasi, giginya bergemeletuk menahan marah.
Kenapa kau membiarkan dia meruntuhkan semangatmu?
Haruhiro berusaha bangkit, namun Takasagi menindih lehernya dengan kaki tanpa repot menoleh. Lalu, sebilah katana menembus pergelangan tangan kanannya.
“Agh! Guh…”
“Jangan bergerak. Aku sedang memberi kuliah di sini. Bisa jadi ini kesempatan terakhirku untuk melakukan ini.”
Takasagi tersenyum. Baru saja, dia bisa dengan mudah menghabisi Haruhiro. Bahkan sekarang, dia juga bisa membunuh Ranta. Tapi dia tidak melakukannya. Bukan berarti dia tidak mampu—dia memang tidak berniat melakukannya. Itu pasti alasannya, pikir Haruhiro.
“Berhenti!” seru Merry. Rupanya dia sudah selesai menyembuhkan Kuzaku, dan paladin itu mulai bangkit.
Takasagi mengangkat bahu. “Mungkin kami tidak melakukan ini karena keinginan sendiri, tapi moto kami: kalau kau melakukan sesuatu, lakukan sampai tuntas. Kalau tidak serius, tidak ada serunya, bahkan saat hanya bermain. Itu sedikit kebijaksanaan orang dewasa untuk kalian.”
“Menyerahlah.”
Suara itu bukan dari Takasagi. Suara lain.
“Jumbo…” Ranta menoleh ke belakang. Haruhiro pun menoleh.
Yume tadi bilang ada seekor burung besar terbang lewat. Mungkinkah itu yang dimaksud? Sahabat Jumbo, elang hitam raksasa itu?
Seekor orc berjalan mendekat. Dia jelas-jelas orc, tapi memberi kesan berbeda dari kebanyakan kaumnya. Mungkin karena rambut hitam panjangnya yang mengilap, kulit hijaunya berlapis semburat abu, mata oranye terang yang indah, dan wajah tampan penuh wibawa. Ia mengenakan kimono biru tua bermotif bunga perak, dengan katana tergantung di pinggang. Tubuhnya relatif kecil untuk ukuran orc, membuat elang hitam besar yang hinggap di bahunya tampak semakin mencolok. Tidak seperti Zan Dogran, dia tidak terlihat seperti pria yang menindas dengan kekuatan semata. Namun ada aura darinya yang membuat siapa pun tak bisa mengabaikannya.
“Kalian sudah tidak punya secercah harapan pun. Menyerahlah sekarang juga. Jika menolak, aku akan terpaksa membunuh kalian semua.”

“Menyerah…bukanlah pilihan,” ucap raja besi. “Aku tak mungkin bertekuk lutut pada kekuatan jahat yang begitu kejam membantai rakyatku hanya demi menyelamatkan nyawaku sendiri.”
Sang ratu dwarf berdiri tegak, kepalanya terangkat tinggi. Suaranya jernih luar biasa—penuh keteguhan, tanpa sedikit pun keraguan.
Oh, persetan denganmu.
Haruhiro benar-benar kesal. Amarahnya membuncah, sampai-sampai ia merasa hampir kehilangan kendali.
Namun, di sisi lain, ia bisa memahami. Awalnya, Kerajaan Ironblood mampu menahan musuh dengan senjata api. Kini senjata itu telah dirampas, dan bukan hanya keadaan berbalik, mereka pun berada di ambang kehancuran. Pilihan yang tersisa hanyalah bertempur sampai mati demi harga diri, atau membiarkan para dwarf yang selamat berkumpul di sekitar raja besi, lalu menjalani sisa hidup mereka yang hina.
Keputusan raja besi untuk meninggalkan Kerajaan Ironblood bukanlah hal yang mudah. Namun, jika ia menolak rencana Menteri Axbeld, itu berarti para dwarf akan dimusnahkan sampai orang terakhir. Ia kemungkinan besar tidak melarikan diri demi keselamatan dirinya. Justru mungkin akan lebih mudah baginya untuk mengangkat pedang dan gugur bersama bangsanya. Kepergiannya menuju Gunung Spear semata-mata demi kaumnya, demi kelangsungan ras dwarf.
Jika Haruhiro berada di posisinya, sanggupkah ia melakukan hal yang sama? Mungkin ia sudah menyerah pada keputusasaan, memilih berbagi takdir dengan yang lain. Bertarung dengan gagah, lalu mati. Jika kerajaannya harus runtuh, jika seluruh rasnya harus punah, maka itu tak begitu menakutkan selama mereka menghadapi akhir bersama-sama.
Lebih sulit untuk menjadi seorang yang bertahan hidup, namun raja besi telah memilih jalan itu.
Jelas, dia tidak menempuh jalur ini hanya untuk menyerah sekarang. Tidak ada jaminan musuh akan membiarkan mereka hidup. Ia bisa saja menghadapi penghinaan yang tak tertahankan. Namun lebih dari itu, rasa malu karena ditawan musuh terlalu berat bagi sang raja besi. Sekalipun ada para dwarf yang berhasil lolos dari Kerajaan Ironblood, cepat atau lambat mereka akan tahu apa yang terjadi padanya. Bahwa ratu mereka telah meninggalkan rakyatnya, lalu menyerah pada musuh.
Menyerah bukanlah pilihan. Haruhiro paham itu. Namun ia juga tahu apa yang akan terjadi jika sang raja besi mengucapkan kata-kata itu sekarang.
“Aku mengerti.” Jumbo mengangguk.
Elang hitam raksasa itu terbang lepas dari bahunya.
Utefan tua segera mengangkat tongkatnya yang mirip palu. Mungkin ia hendak memberi perintah pada para dwarf dari Keluarga Bratsod. Bertarung, tembak Jumbo. Beberapa di antara mereka memang mengarahkan senjata ke arah orc itu. Namun tak satu pun sempat menembakkan pelurunya.
Jumbo melesat. Langkah pertamanya terlihat santai, tetapi setiap langkah berikutnya bagaikan hembusan angin topan. Para dwarf beterbangan di udara, termasuk pengiring sang raja besi. Satu per satu, atau lebih tepatnya hampir bersamaan, mereka terhantam ke tanah dengan bunyi gedebuk berat.
Apa yang dilakukan Jumbo? Itu tak jelas. Ia tidak mencabut katananya. Apakah dengan tangan kosong? Apakah ia memukul mereka? Atau melempar lawannya? Ataukah kakinya? Apakah ia menendang mereka? Bahkan itu pun tak bisa dipastikan. Jumbo melakukan sesuatu. Itu saja yang bisa dia simpulkan.
“Tetua!” Eltalihi, kepala Keluarga Mercurian, berusaha mencabut pedangnya untuk melindungi Tetua Harumerial dari kaum elf. Ia gagal. Sebelum sempat melakukannya, tubuhnya terlempar jauh, kepalanya terpelintir hingga berputar penuh. Lehernya pasti patah.
Jumbo meraih tenggorokan raja besi dengan tangan kanannya, dan tenggorokan Harumerial dengan tangan kirinya, lalu mengangkat keduanya tinggi-tinggi.
Para dwarf yang sebelumnya beterbangan di udara berjatuhan di sekelilingnya, tak ubahnya seperti rintik hujan yang tak berarti.
“Mungkin saja…”
Apa itu? Perasaan apa yang merembes dari dalam suara Jumbo yang begitu dalam? Rasa iba? Walaupun tindakannya sekejam dan seganas vonis langit?
“Itu mungkin pilihan yang lebih bijak. Jika kalian menyerah pada kami, kami tak punya pilihan selain menyerahkan kalian pada Raja Agung Dif Gogun. Nasib yang menanti kalian di tangannya pasti lebih buruk dari kematian. Karena itu, biarlah aku sendiri yang memikul dosa membunuh kalian. Selamat tinggal.”
Siapa sebenarnya orc ini menganggap dirinya? Tak ada kebencian dalam dirinya. Tidak seujung kuku pun permusuhan bisa dirasakan. Ia melampaui logika, akal sehat, emosi—semua hal itu—seakan berada di suatu tempat yang jauh di atasnya. Jika begitu, tak ada gunanya bertanya bagaimana ia bisa melakukan semua ini. Haruhiro bisa saja membakar semangatnya, melontarkan pidato panjang penuh kritik padanya, dan orc itu tak akan terusik sedikit pun.
Dengan mudah, Jumbo menghancurkan tenggorokan raja besi dan Tetua Harumerial.
Ia tidak langsung melepaskan mereka setelahnya. Ia tetap menggantungkan tubuh mereka di udara untuk beberapa saat—mungkin cukup lama hingga keduanya benar-benar mati.
Lalu ia menekuk lutut, berjongkok, dan dengan lembut meletakkan jasad mereka di tanah.
“A-Apa yang kau… lakukan?”
Kuzaku gemetar. Haruhiro tidak mengerti mengapa, tapi entah kenapa sang paladin tampak dipenuhi amarah.
Kenapa harus marah? pikir Haruhiro. Apa gunanya meluapkan emosi pada seseorang seperti Jumbo? Dia bukan seperti kita. Jauh dari kita. Katakanlah ada dewa yang mahakuasa dan maha mengetahui di luar sana. Jika ia tahu segalanya dan mampu melakukan apa saja, kenapa ia tidak menolong kita?
Haruhiro bisa mengeluh sesukanya, tapi Tuhan takkan peduli dengan apa yang dipikirkan manusia lemah sepertinya. Bahkan takkan sudi memberi jawaban. Seolah berkata, Tidak menolongmu adalah intinya. Begini lebih baik. Bukan berarti kau akan bisa memahaminya, dasar bocah dungu.
Saat itu, Haruhiro masih terinjak kaki Takasagi di lehernya, dengan sebilah katana menembus pergelangan tangan kanannya. Kalau ia mencoba meraih belati api dengan tangan kiri, Takasagi pasti langsung menyadarinya. Namun, pria itu bahkan tidak menoleh sedikit pun padanya. Ia hanya menarik bilah itu dari pergelangan kanan Haruhiro dengan malas, lalu menusukkannya ke tangan kirinya.
“Gaaaghhh!”
Haruhiro lebih membenci Takasagi daripada Jumbo. Isi kepalanya dapat ia pahami—atau setidaknya ia merasa begitu. Takasagi adalah tipe yang sama dengannya. Mengamati. Menganalisis. Menyelidiki. Mempelajari. Mengasah kemampuan. Dengan kerja keras dan pengulangan tanpa henti, ia telah menapaki jalan hingga ke ranah para ahli. Namun, ia tidak bisa melangkah lebih jauh. Ia terhenti di sebuah dinding. Dan di balik dinding itu, ada Jumbo sang orc—berada di tempat yang tak bisa ia capai.
Takasagi telah menyerah pada kenyataan itu, terpesona oleh keunggulan yang melampaui nalar, dan kini mengabdi pada orc itu, nyaris menyembahnya layaknya seorang dewa.
Takasagi cukup maju, setidaknya bila dibandingkan dengan Haruhiro dan kelompoknya. Namun, tetap ada sesuatu yang terasa biasa darinya, sesuatu yang tersembunyi tapi tidak sepenuhnya tertutupi. Takasagi pandai memanfaatkan sifat biasa yang tak terhindarkan itu saat bekerja untuk Jumbo. Kebanyakan orang—tidak, hampir semua orang—adalah orang biasa. Jadi, dalam kelompok seperti Forgan, pasti akan ada masalah yang bahkan pria sehebat Jumbo pun tak mampu selesaikan. Takasagi sudah melakukan lebih dari cukup untuk membantu orc itu. Mungkin itu membuatnya merasa puas. Dan kau tahu? Hidup seperti itu sepenuhnya sah. Mungkin memang itu satu-satunya cara orang biasa bisa hidup.
Haruhiro memahami hal itu, dan justru itulah yang membuatnya semakin membenci Takasagi. Beri dia satu dekade lagi—tidak, lima tahun saja, bahkan tiga tahun pun cukup—dan ia yakin bisa melampaui Takasagi. Ia bisa membunuh pria itu dengan tangannya sendiri. Sekarang, memang ia tidak sepenuhnya yakin akan hal itu. Tapi ia juga tidak sepenuhnya yakin kalau ia tidak bisa. Dan itulah yang membuatnya begitu frustrasi. Tidak mampu melakukan apa-apa saat ini. Haruhiro membenci kelemahannya sendiri.
“Dasar bodoh—!” Ranta berteriak pada Kuzaku. Padahal Haruhiro sendiri tidak dalam posisi untuk bicara, mengingat ia sedang tergeletak di tanah dengan sepatu menekan lehernya, tapi suara Ranta terdengar cukup lemah.
“Brengsek kau!” Kuzaku menerjang Jumbo. Setora dan Merry berusaha menghentikannya. Tapi Kuzaku terlalu cepat.
Dia pria yang baik. Lebih baik dari siapa pun—itulah Kuzaku. Benar-benar pria yang menyenangkan. Seorang pemuda biasa, dengan hati yang tulus. Itu yang membuatnya disukai. Dia adalah anggota termuda kelompok yang menggemaskan, sekaligus rekan seperjuangan yang bisa dipercaya, seseorang yang benar-benar bisa mereka andalkan. Bukan hanya karena tubuhnya tinggi, kemampuan fisiknya secara keseluruhan juga sangat baik. Haruhiro hanya berharap andai saja dia sedikit lebih pintar. Maksudnya, licik dan penuh perhitungan. Kalau saja tubuh besarnya bisa ia gerakkan dengan lebih cerdik, dia pasti akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Tapi bahkan tanpa itu pun, Kuzaku punya ledakan kekuatan yang menakjubkan. Kalau dia mengerahkan segalanya, tidak banyak hal yang bisa menghentikannya.
“Zwaaah!”
Katana besar Kuzaku terayun begitu cepat hingga mata Haruhiro tak mampu mengikutinya. Dengan ayunan itu, bahkan batu pun bisa terbelah. Tebasan itu menembus jantung si thief—tebasan paling mengesankan yang pernah Haruhiro lihat. Sebuah tebasan yang tak mungkin tercipta tanpa semua kondisi yang berpadu sempurna. Benar-benar satu tebasan sekali seumur hidup.
Mungkin bahkan cukup untuk mengejutkan Jumbo. Itu justru hal terakhir yang mereka butuhkan sekarang. Kenapa dia harus pamer dengan tebasan sehebat itu? Jelas karena Kuzaku sedang benar-benar marah. Dia tak akan mundur, bahkan menghadapi sifat transenden Jumbo. Orc itu berada jauh di atas mereka, di tempat yang tak akan pernah bisa mereka raih, jadi apa pun yang dicoba pasti akan sia-sia. Tapi Kuzaku tak memikirkan itu. Dia terbawa emosi, seperti orang biasa. Dia tak bisa membiarkan Jumbo lolos begitu saja. Itu saja yang ada di pikirannya. Sebuah reaksi yang sangat wajar, sangat manusiawi.
Jumbo mencabut katananya.
Mengayunkannya sambil mencabut, orc itu bukan hanya menangkis pedang Kuzaku, tapi langsung mematahkannya jadi dua. Andai bisa melakukannya tanpa harus mematahkannya, ia pasti melakukannya. Tapi ini Jumbo.
Lalu, dalam ayunan baliknya, ia menebas katananya secara diagonal ke bawah.
Ia membelah tubuh Kuzaku dengan garis lurus dari bahu kiri hingga pinggul kanan.
Kuzaku.
Ohhh, Kuzaku.
Kau merosot.
Merosot di sepanjang garis tebasan itu.
Kau akan terpisah.
Dia sudah membelahmu jadi dua, Kuzaku.
“Bangsat kau!” Setora meledak dalam amarah. Setora yang biasanya tenang, dingin, dan penuh perhitungan itu. Rupanya dia benar-benar peduli pada Kuzaku, ya? Meski sering bertingkah seolah Kuzaku hanya merepotkannya, nyatanya ia menyayanginya. Tapi… apakah hanya itu alasannya? Ini Setora. Mungkin saja ia sengaja menarik perhatian agar Haruhiro bisa melakukan sesuatu. Tapi apa? Apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa ia lakukan? Atau… jangan-jangan Setora memang benar-benar terpancing emosi dan hilang kendali.
Setora menerjang Jumbo, melemparkan tombaknya. Orc itu menepisnya dengan tangan kiri. Pada saat itu juga, Setora sudah mencabut pedang dan menutup jarak dengannya.
“Ngh! Ah!”
Secepat dan setajam apa pun tebasannya, pedang itu sama sekali tak bisa menyentuh Jumbo. Ia dengan mudah menghindar, seakan sedang menari ringan di sekelilingnya.
“Sulit juga nonton ini,” Takasagi terkekeh.
Kenapa aku harus membiarkan bajingan ini menertawakan kami? pikir Haruhiro. Tepat ketika ia berpikir begitu, Takasagi menekan tenggorokannya dengan berat tubuh. Bahkan untuk sekadar bernapas saja, Haruhiro tak diberi kebebasan. Takasagi seakan sengaja mengingatkannya akan hal itu.
“Sialan!” Ranta meraih katananya dan bersiap untuk membantu.
Namun Takasagi tak membiarkannya. Ia melompat, menekan keras kakinya ke tenggorokan Haruhiro sambil mengayunkan serangan ke arah Ranta.
Haruhiro hampir kehilangan kesadaran, jadi ia tak sempat melihat jelas apa yang terjadi pada saat itu. Tapi wajah Ranta tampak memiliki luka baru.
“Ngah! Guh!”
Apa yang sedang dilakukan Itsukushima dan Yume? Apakah Haruhiro berharap mereka berbuat sesuatu? Kalau begitu, sepertinya harapannya salah tempat. Lagipula, apakah Haruhiro punya hak untuk mengharapkan sesuatu dari orang lain, sementara dirinya sendiri tak mampu melakukan apa pun?
“Dasar keparat!” Setora pasti sudah sadar, sekeras apa pun ia mengayunkan pedang itu, tak akan ada hasilnya. Dengan kepandaiannya, tak mungkin ia belum menyadari hal tersebut. Namun, ia tetap tidak bisa berhenti sekarang. Apa lagi yang bisa ia lakukan kalau melepaskan pedang itu? Ia hanya bisa terus bertarung sampai benar-benar habis terbakar. Oh, kini Haruhiro mengerti. Seseorang harus memaksanya berhenti.
“Ahhh!” Merry jatuh ke tanah, menatap langit. “Tolong… Tolong… Tolong…!”
“Sudah cukup,” kata Jumbo sambil merebut pedang Setora. Gerakannya hampir membuatnya tampak seolah Setora sendiri yang menyerahkan pedang itu padanya.
“Kh!”
Itu tidak menghentikan Setora untuk terus menyerang. Ia merangkul orc itu dari belakang, kedua lengannya melingkar erat di lehernya, mencoba mencekiknya. Bahkan ia berusaha menggigit telinga kanan Jumbo. Dari mana datangnya kegigihan seperti ini? Kenapa Haruhiro sudah menyerah, sementara Setora masih sampai sejauh itu?
“Berhenti.” Jumbo melemparkan pedang yang tadi direbutnya dari Setora, lalu mengulurkan tangan kiri ke wajahnya untuk menahannya. Sesaat kemudian, ia melempar Setora begitu saja.
“Argh! Kuh!”
Setora langsung bangkit berdiri, tapi seekor elang hitam raksasa sudah menukik ke arahnya.
Burung itu mencengkeram kepala Setora dengan cakarnya, mengepakkan sayap untuk mengangkat tubuhnya sedikit dari tanah. Lalu, ia melepaskan cengkeramannya dan segera menekannya ke tanah, mematukinya dengan buas.
“Uaghhhhhhhhhh!”
“Forgo!” Jumbo menegur elang hitam itu, dan burung itu segera berhenti memangsa Setora. Ia kembali terbang, lalu hinggap di bahu Jumbo lagi.
Yume sudah memasang anak panah, membidik ke arah elang milik Jumbo. Namun busurnya bergetar—tidak, bergoyang. Dengan begitu ia tak mungkin bisa menembak dengan benar.
“Dia menerimaku,” sebuah suara berkata.
Yume menurunkan busurnya, menoleh ke samping.
Ke arah Merry.
Merry tadinya duduk. Tapi kini tidak lagi—ia sudah berdiri.
“Mungkin bukan sepenuhnya atas kehendaknya sendiri, tapi karena ia mencari pertolongan, aku tidak punya pilihan selain menjawab panggilannya. Aku ada di sini, tapi bukan atas kehendakku sendiri.”
Itu… bukan Merry.
Cara bicaranya, cara ia berdiri—semuanya bukan Merry.
“Siapa… kau?” Haruhiro bangkit duduk. “Apa… kau?”
“Aku tidak punya nama. Hanya sebutan yang orang-orang berikan padaku.”
Sosok yang tampak seperti Merry, namun jelas bukan, menoleh perlahan dan mengedarkan pandangan. Ia mengangkat dagunya, menatap dengan mata yang menunduk. Haruhiro tahu betul, itu adalah kebiasaan milik sesuatu yang bukan Merry.
“Bos…” Takasagi sedikit menekuk lututnya, seakan bersiap. Sepertinya ia bisa merasakan firasat buruk.
“Mm.” Dan Jumbo tetap terlihat tenang, penuh kendali seperti biasa. Atau setidaknya, itulah yang tampak di luar.
Sosok yang bukan Merry mengangkat tangan kanannya, menunduk menatap telapak tangannya sendiri.
“Aku hanyalah sesuatu yang menjadi hidup setelah melalui proses panjang penuh percobaan dan kegagalan.”
Ia perlahan menggenggam tangannya menjadi kepalan.
“Aku bukanlah hidup. Aku adalah sesuatu yang lain. Namun kebetulan aku mengambil rupa kehidupan… dan menjadi hidup. Itulah diriku. Aku memiliki sebuah keinginan—agar kita bisa hidup bersama, selamanya. Hanya itu yang kuinginkan. Namun aku dibenci… atau mungkin ditakuti. Orang-orang menjulukiku…”
No-Life King.
Nama itu muncul di benak Haruhiro bahkan sebelum sosok yang bukan Merry sempat mengucapkannya.

Sejak awal, ia sudah menduga. Bahwa mungkin itulah identitasnya. Oke, tidak, sebenarnya ia tidak benar-benar menduga. Tapi semua ini terlalu aneh. Merry sudah mati. Orang yang mati tidak bisa kembali hidup. Namun, kenyataannya, ia kembali. Tidak, mungkin sebenarnya tidak, setidaknya tidak dalam arti yang sesungguhnya. Apa pun yang disebut orang-orang sebagai No-Life King itu, ia telah memasuki tubuh Merry setelah fungsi vitalnya berhenti. Lalu ia membentuk ulang sel-sel yang sudah mati. Ia meminjam tubuh itu, sehingga ingatan dan kepribadian Merry masih tersisa. Namun, bisa jadi Merry sebenarnya telah tiada, dan yang ada hanyalah No-Life King.
Tidak. Itu Merry.
Merry.
Dia hidup kembali.
Merry masih hidup.
No-Life King pernah berkata, Dia menerimaku.
Bahwa ia menanggapi jeritan Merry yang meminta pertolongan.
Memang benar, Merry terus-menerus berkata, Tolong. Haruhiro tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Bahkan saat itu Merry sudah tidak lagi melihat ke arahnya. Ia telah berpaling pada No-Life King di dalam dirinya untuk mencari keselamatan. Dan No-Life King menjawabnya. Itulah sebabnya ia ada di sini.
Lalu, bagaimana dengan Merry?
Ke mana dia pergi?
Apakah Merry menyerahkan tubuhnya pada No-Life King?
Kalau iya, di mana dia sekarang?
“Meski aku disebut sebagai kehidupan itu sendiri…”
No-Life King menundukkan kepala saat berbicara. Ia bukan hanya menunduk. Bahunya pun jatuh merosot. Seolah sedang meratapi luka dan kesedihan yang mendalam.
“Manusia berkata keberadaanku bukanlah kehidupan.”
“Mereka menyebutku monster.”
“Manusia takut. Mereka tak berusaha untuk menerimaku.”
“Aku bukan pihak yang mencari pertikaian. Manusialah yang mencoba menghancurkanku.”
“Jika aku punya satu kesalahan, itu adalah memilih Enad George sebagai wadahku. Lelaki yang pernah menjadi raja bangsa manusia Arabakia. Seorang penguasa jatuh, dikhianati oleh sahabat dan sekutunya. Lelaki itu menemukan aku ketika aku akhirnya menjadi hidup.”
“Saat itu ia berada di ambang kematian. Aku mencoba menyelamatkannya. Ia pun menerima keberadaanku.”
“Aku tidak ingin sekadar ada sebagai sebuah kehidupan.”
“Enad tidak ingin mati dan membuat ingatan serta kehendaknya lenyap.”
“Kepentingan kami sejalan.”
“Aku, dalam arti tertentu, menjadi Enad, dan Enad pun menjadi bagian dariku.”
“Enad membenci orang-orang yang memberontak melawannya, yang berusaha membunuhnya lewat tipu muslihat. Namun, ia tak berniat membinasakan mereka semua. Enad seorang raja. Ia merasa seharusnya disambut sebagai raja di negeri yang telah ia dirikan. Setelah mempelajari seluk-beluk hati manusia dari Enad, aku merasa itu mungkin sebuah harapan yang terlalu berlebihan, tapi…”
Apa maksudnya?
Bukan berarti Haruhiro tidak memahami apa yang dikatakan No-Life King. Ia teringat pernah mendengar legenda tentang berdirinya Kerajaan Arabakia, atau sesuatu yang mirip dengan sejarahnya, dari Hiyomu.
Manusia dahulu percaya pada sebuah surga bernama Arabakia. Seorang pria bernama Theodore George berangkat dan menetap di tanah yang subur, lalu mendirikan sebuah negeri. Keturunannya, Enad, menjadi raja pertama Arabakia. Namun, Raja Enad melarikan diri setelah dikhianati oleh orang dekatnya, Ishidua Zaemoon. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi.
Enad lalu menjadi No-Life King. Apakah itu yang sebenarnya terjadi? Atau mungkin Enad hanyalah makhluk hidup pertama, manusia pertama, yang kemudian dirasuki oleh entitas yang kelak dikenal sebagai No-Life King? No-Life King barusan menyebut lelaki itu sebagai wadah. Mungkin dengan menggunakan raja yang telah tumbang sebagai wadah, ia lalu mengambil rupa dan wujud sebagai No-Life King, atau sesuatu semacam itu.
Kenapa No-Life King membicarakan semua ini sekarang?
Kenapa mereka semua mendengarkan kisah yang dituturkan oleh No-Life King?
Karena kisah itu memang pantas untuk didengar? Haruhiro tak bisa menahan rasa penasarannya. Dia adalah No-Life King. Riwayatnya sedang diungkapkan kepada mereka. Dan bukan oleh orang lain—melainkan dari mulutnya sendiri. Mulut yang, setidaknya dari luar, tampak seperti milik Merry.
Ada ketegangan aneh di udara, semacam suasana yang membuat tubuh sulit bergerak.
Tidak, ini bukan soal udara. Masalahnya adalah suara. Atau tepatnya, ketiadaan suara. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga, tak ada desiran dedaunan. Kesunyian ini tidak wajar. Apakah itu sebabnya udara terasa begitu menekan?
“Aku bukanlah musuh umat manusia. Umat manusialah yang memutuskan aku adalah musuh mereka.”
“Enad ingin menjadi raja umat manusia.”
“Aku tidak.”
“Kalian manusia punya sebuah kata yang terasa jauh lebih sesuai bagiku…”
Awalnya Haruhiro mengira No-Life King hanya sedang fasih menuturkan kisahnya.
Kapan hal itu berubah?
Haruhiro baru menyadarinya sekarang.
No-Life King menekuk siku kanannya, membalikkan punggung tangannya ke bawah. Tangan kanannya mengepal ringan.
Apakah itu mengalir keluar dari pergelangan tangannya?
Benang tipis, nyaris seperti serat halus, menetes dari pergelangan tangan Merry—atau tepatnya, No-Life King. Apakah itu cairan? Darahkah?
“Aku hanya ingin menjadi teman mereka.”
Tiba-tiba, di bahu Jumbo, Forgo mengepakkan sayapnya. Elang hitam raksasa itu mengeluarkan jeritan nyaring, parau, dan penuh kegelisahan.
Darah No-Life King—cairan yang mengalir dalam tubuh Merry—bukanlah sesuatu yang manusia pada umumnya sebut sebagai darah. Zat menyerupai darah itu, yang pernah keluar dari Jessie lalu meresap ke dalam jasad tak bernyawa Merry, adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Bisa jadi, zat itu adalah No-Life King itu sendiri.
Dan kini, No-Life King membiarkannya menetes keluar dari tubuhnya, meski hanya sedikit.
Untuk apa?
Apa yang sebenarnya ingin ia lakukan?
“Gwah!”
Haruhiro sama sekali tak menyangka akan mendengar suara itu. Suara Kuzaku.
Tapi tidak mungkin.
Kuzaku sudah ditebas Jumbo. Terbelah dua. Ia mati. Haruhiro tak ingin menerima kenyataan itu, maka ia mencoba memalingkan mata darinya, tetapi tetap saja: Kuzaku telah mati. Ia sudah kehilangan satu lagi kawan seperjuangan. Seseorang yang lebih baginya daripada sekadar rekan senasib.
“Gagh! Mwargh! Oaugh! Hah! Wahhhhh!”
Namun kini Kuzaku menggeliat kesakitan. Bagaimana bisa? Mengapa? Seharusnya ia tak lagi mampu bergerak. Mustahil baginya untuk bangkit kembali. Dan kenyataannya—ia sedang merintih, tubuhnya tersentak. Kepalanya terangkat lalu menghantam tanah, lengan kanannya meronta. Tidak, bukan hanya kepala dan lengan kanan. Lengan kiri dan kedua kakinya pun ikut bergerak.
“Ti… tidak… mungkin!” Apa kaki Ranta sudah menyerah? Haruhiro juga terkejut.
“No-Life King…” gumam Takasagi.
No-Life King adalah raja para mayat hidup, tapi lalu apa? Memangnya itu penting? Semua ini gila, bukan? Kuzaku sudah ditebas dari bahu kiri hingga pinggang kanan. Haruhiro tidak bisa benar-benar yakin, tapi bukankah jalur tebasan itu melewati jantungnya? Seharusnya dia mati seketika. Terbelah dua. Itulah yang seharusnya jadi sisa-sisa tubuh Kuzaku. Terpisah antara bagian atas—yang termasuk lengan kanannya—dan bagian bawah—yang punya lengan kirinya. Begitulah seharusnya. Jadi kenapa?
Kenapa tubuhnya bisa menyatu kembali?
“Warghhhh! Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!”
Kuzaku akhirnya bangkit. Ia menekuk lututnya, mengangkatnya dari tanah, lalu—tanpa bertumpu dengan tangannya—ia berdiri, seakan diangkat oleh kekuatan tak terlihat.
“Ahhhhhhhhhhhh! Huh?”
Kuzaku meraba luka itu dengan kedua tangannya. Bekas darah tebal jelas masih ada, dan bukan hanya luka yang Jumbo berikan itu tidak hilang, luka itu tetap tampak jelas. Berwarna merah kehitaman, berdenyut, menggelembung—sisi-sisi yang terbelah itu terus menyatu.
“Ha ha!” Kuzaku mulai tertawa. Ia menggeleng, meninju keningnya sendiri, lalu merobek-robek rambutnya. Kepalanya ia lempar ke belakang ke depan, bahunya berguncang keras.
“Ha ha hah! Wuh ha! Wa ha ha ha ha! Ha ha ha ha ha ha ha! Gyah ha ha ha ha ha ha ha ha! Uh-hyuh! Fwoh ha ha ha ha! Dobyah ha ha! Bwah ha! Gwah ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha!”
Tampaknya seakan ada sesuatu yang patah di dalam dirinya. Tawa macam apa itu? Dia terbahak seperti orang bodoh.
“Kuzakkun!” Yume berteriak.
“Aha aha aha aha! Weh heh aha oho! Bwaha! Doh ha ha ha ha! Gweeheh hoh oho ho!”
Kuzaku sama sekali tidak mendengarkan. Apa dia tidak bisa mendengar Yume? Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mendongakkan kepala ke belakang sambil terus tergelak. Apa yang lucu? Apa dia sudah gila? Kalau memang begitu, bagaimana bisa dia menertawakannya? Haruhiro jadi sepenuhnya teralihkan oleh Kuzaku.
Entah sejak kapan, Setora juga sudah berdiri. Lebih dari itu, ia berjalan mengitari sesuatu.
“S-Setora…?” suara Haruhiro bergetar, pecah.
“Gee-hee! Eh hyah ha ha ha ha! Do-hee! Oo-hee ha ha ha! Goh ha! Zwee ah ha fwee hee hee!” Kuzaku masih terus tertawa.
Setora pun bertingkah aneh. Ia berjalan. Berputar-putar-putar dalam lingkaran yang sangat sempit, mungkin hanya empat puluh sampai lima puluh sentimeter diameternya, sambil bergumam cepat tak jelas di bawah napasnya.
Forgo, elang hitam besar itu, telah melahap wajah Setora. Burung itu memang besar. Dari bagian sekitar mata kanan hingga hidung dan bibir atasnya, kulit, otot, tulang, bahkan bola matanya rusak parah. Mengakui ini menyakitkan, tapi sampai detik itu Haruhiro belum benar-benar bisa melihat seberapa parah luka Setora, atau apakah dia masih hidup. Bisa jadi serangan Forgo telah memberinya luka mematikan. Mungkin saja dia sudah mati, sama seperti Kuzaku.
Wajahnya rusak parah, namun bagian-bagian yang hancur itu kini tertutup oleh cairan berwarna merah kehitaman. Haruhiro hanya bisa berasumsi bahwa itu sama persis dengan zat yang telah menyatukan kembali tubuh Kuzaku, dan kini sedang menutup luka Setora.
“Ahhh…” Yume jatuh terpuruk. Itsukushima berusaha menopangnya, tapi mereka malah ikut terjatuh bersama.
“Sudah lama aku tidak melakukan ini,” ucap No-Life King, sambil memegangi pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiri. “Butuh waktu bagi mereka untuk menyesuaikan diri. Kuharap ia bisa menganggap keinginannya telah terkabul dengan ini. Sayangnya, inilah satu-satunya cara yang bisa kulakukan.”
“Kau…” Jumbo mengangkat katana, sementara elang hitamnya, Forgo, terbang melesat meninggalkan pundaknya. “Apa yang sudah kau lakukan?”
“Aku membagikan darahku pada mereka.” No-Life King menundukkan pandangannya.
“Ohah! Oh ho fwoh ha ha! Go-hee! Gwee hee hee fwee! Ga hee ga hee ga hee! Gwoh ha ha ha!”
Kuzaku masih tertawa. Setora masih terus berjalan melingkar.
“Tidak seperti Enad, aku tidak menyimpan dendam pada manusia. Aku tak pernah berniat memerintah mereka. Yang kuinginkan hanyalah menjadi teman mereka. Tapi mereka takut, mereka membenciku. Karena kebencian itu, mereka berusaha memusnahkanku. Aku dipaksa untuk melawan.” No-Life King mengangkat wajahnya—atau lebih tepatnya dagunya—dan dengan tatapan khasnya yang menunduk, ia memandang satu per satu: Jumbo, Takasagi, lalu Haruhiro, Ranta, Yume, dan Itsukushima.
Itu bukan Merry. Tapi juga Merry. Bukan dalam artian suaranya menggema langsung di dalam kepala mereka, atau matanya berkilau aneh, tidak seperti itu. Ia masih Merry, namun bukan. Karena itulah, bahkan sampai sejauh ini, Haruhiro masih berpikir, Apa benar ini bukan Merry? Apa aku benar-benar yakin tidak ada kesalahan?
Forgo menjerit nyaring di langit atas. Napas Haruhiro terasa sakit, dangkal, dan terburu-buru. Dia sendiri tidak tahu bagaimana paru-parunya masih bisa bekerja sekeras itu. Pandangannya kabur. Ada yang aneh juga dengan pendengarannya. Ia terus mendengar suara berat, rendah. Suara? Atau getaran? Entah, bisa jadi semua indranya sudah kacau. Kalau dia sudah gila, siapa yang bisa menyalahkannya? Situasi ini sudah benar-benar sinting. Malah akan lebih gila kalau dia tidak ikut gila.
Tapi bukan hanya Haruhiro. Jumbo dan Takasagi, Ranta, juga Yume dan Itsukushima tampaknya merasakan sesuatu. Semua orang melirik ke sana kemari.
“Bukan hanya manusia,” ucap No-Life King sambil mengernyit. “Dunia pun membenciku.”
Itu mendekat. Sesuatu sedang datang. Hal yang dirasakan Jumbo dan Takasagi. Haruhiro juga merasakannya. Ia tidak tahu apa itu, tapi ia bisa merasakannya. Tidak ada pilihan selain merasakannya. Dari mana asalnya? Arah tertentu? Ia tidak bisa memastikan. Atau lebih tepatnya, rasamya seolah datang dari segala arah. Ada suara berdengung. Tidak, lebih seperti—NNNNNNNNNNNNN… Suara berat, menekan. Begitu rendah hingga mustahil makhluk hidup bisa menghasilkannya. Getaran itu datang dari depan, kanan, kiri, belakang. Suara rendah itu—atau getaran—mengurung mereka dari segala sisi. Jaringnya menutup.
“Aku ditolak dunia. Sekaishu akan berusaha melenyapkanku.”
Kata itu. Sekaishu. Benar. Sekaishu. Dari waktu itu.
Hitam. Ia bisa melihat sesuatu yang hitam. Di balik pepohonan. Hanya hitam. Tanpa bentuk. Sebuah massa hitam. Itu mendekat. Sekaishu. Menekan ke arah mereka. Mereka harus lari. Tidak ada gunanya melawan. Mustahil menahan sekaishu.
Kita harus lari. Lari, lalu menghilang darinya. Ayo lari. Kabur. Tapi ke mana? Sekaishu datang dari segala arah.
“Wa ha! Aha aha aha! Eheh heh heh! Ga ha ho! Gu-hee! Gya ha ha ha ha ha!”
Selain itu, mereka tak bisa lari selama Kuzaku masih tertawa seperti orang gila. Setora pun masih terus berjalan melingkar kecil, berputar tanpa henti.
“Bos, ini gawat,” kata Takasagi. Jumbo langsung menyarungkan katananya, lalu berlari. Takasagi segera mengikutinya.
Haruhiro hampir berteriak, Tunggu. Mau ke mana? Mau kabur? Kalian pikir bisa lolos dari mereka?
Jangan tinggalkan kami.
Thief itu terkejut pada dirinya sendiri. Ia belum pernah begitu kecewa pada dirinya. Ia mencoba bergantung pada Jumbo dan Takasagi. Padahal jelas tak mungkin mereka akan menolongnya. Mereka tak punya kewajiban apa pun.
“Kuzaku, hey, ayolah!” Ranta mencoba menarik lengan Kuzaku. Tapi Kuzaku tidak menyingkirkan tangan dread knight itu. Ia justru mendekat dan tertawa tepat di wajah Ranta.
“Uweh heh heh! Guh ha! Bo ho fwah! Ahyah hyah hyah hyah hyah! Dohyeh hyeh heh!”
“Orang ini sudah tidak bisa diselamatkan!”
“Setoran! Hei, Setoran!” Yume memeluk Setora erat-erat, tapi Setora hanya terus berjalan, sama sekali tak peduli.
“Yume!” Itsukushima mencoba menarik Yume menjauh dari Setora.
Haruhiro tidak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya ia bisa membantu Ranta atau Yume. Kenapa tidak? Kenapa ia hanya diam dan menonton?
Benda hitam itu—massa hitam, gelombang hitam—sekaishu semakin mendekat.
No-Life King pernah berkata, Dunia membenciku.
Jelas dunia juga tidak punya sedikit pun rasa sayang pada Haruhiro.
Yah, terserah. Aku juga membencinya.
Ia benar-benar merasakan itu.
Aku benci.
Aku benci dunia ini.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)