13. Aku Persembahkan Rasa Sakitku, dan Berdoa (Grimgar)

…Aku mendengar sesuatu.

Suara apa itu?

Sakit.

Tubuhnya terasa perih.

Seluruhnya.

“…Urgh.”

Ada sebuah suara.

Apakah itu suaranya sendiri?

“Ahh…”

Ia mencoba bicara lagi.

Itu suaraku.

Aku mengenalinya.

Suara itu miliknya.

Yang berarti…

“Aku… masih… hi…dup…?”

Di mana ini?

Itu gelap. Nyaris pekat. Hampir. Tidak sepenuhnya gelap.

Tetap saja, tubuhnya sakit. Nyeri menjalar ke seluruh bagian. Tapi bukan hanya sakit. Ada sesuatu yang lain.

Apa itu?

Apakah tubuhnya mati rasa?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Dia tidak tahu. Bahkan posisi tubuhnya sendiri saat ini sulit dipahami.

Dia tidak sedang berdiri. Tidak juga duduk. Jadi, apakah dia terbaring? Sepertinya iya—di sisi tubuhnya. Bukan telentang, bukan tengkurap.

Mungkin sisi kirinya yang berada di bawah. Apakah itu sebabnya? Aliran darah terhenti, membuat tubuhnya mati rasa. Terutama lengan kirinya. Dia bahkan tidak yakin apakah lengan itu masih ada.

Bisakah dia bergerak? Dia tak tahu, kecuali mencoba.

Baiklah. Aku harus mencoba.

“Ngh… Nguh…”

Lengan kanannya bisa bergerak sedikit. Tapi setiap gerakan terasa seperti disayat api, membuatnya enggan untuk bergerak lagi.

Dia hanya ingin tetap diam.

“…Aku tidak bisa melakukan itu…”

Dia tahu diam saja bukan pilihan.

Uji perlahan, satu per satu.

Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya. Lalu pergelangan, siku, dan bahu. Mereka masih bisa bergerak, meski terbatas. Setidaknya untuk lengan kanannya, yang tidak terhimpit tubuh.

Tapi… apakah dia sedang terikat?

Sepertinya ya. Pergelangan tangannya seperti dijerat. Kedua tangannya berada di belakang tubuhnya, terikat dengan tali atau sesuatu yang serupa.

“…Kakiku juga…?”

Sepertinya pergelangan kakinya terikat dengan cara yang sama.

Ia merasa tidak baik-baik saja setelah terlalu lama berbaring miring ke kiri. Tubuhnya sudah sangat lelah, dan ia tak bisa merasakan apa pun. Bukan hanya lengan kirinya, tapi juga kaki kirinya.

Ia mencoba berguling telentang. Ia hanya perlu memiringkan tubuh ke kanan. Itu saja, dan ia entah bagaimana berhasil.

“Akhirnya…”

Dengan susah payah, ia dapat melakukan itu. Kini tangan yang terikat berada di bawah tubuhnya, membuatnya sangat tidak nyaman. Rasa baal mulai hilang, digantikan oleh rasa sakit. Mati rasa atau rasa sakit—mana yang lebih baik? Dua-duanya sama-sama menyiksa.

“Ini berat sekali…”

Yah, dia tak bisa banyak mengeluh. Yang penting dia masih hidup.

Itu sedikit keberuntungan di tengah kesialan, bukan begitu?

Tadi dia sungguh mengira dirinya akan mati.

Dan memang tak aneh jika ia benar-benar mati, mengingat keadaannya tadi. Setengah dirinya masih curiga kalau sebenarnya dia sudah mati. Tapi kalau benar begitu, ia tidak mungkin bisa berpikir sejernih ini. Yang artinya ia masih hidup.

Di mana ini? Ada langit-langit. Di sebelah kiri dan arah kepalanya terdapat dinding. Di sisi kanan ada jeruji besi, dan di seberangnya tampak cahaya cacing-cacing mungil itu beterbangan.

Salah satu cacing cahaya masuk menembus celah jeruji. Ia berputar perlahan di dekat langit-langit.

Apakah ini penjara? Mungkin saja. Rasanya seperti ia sedang dijebloskan ke sel isolasi.

“Ini… buruk…”

Sepatunya sudah hilang. Ia kini telanjang kaki. Bukan hanya sepatu—bahkan semua pakaiannya lenyap. Yang tersisa hanyalah pakaian dalam.

Aksi mereka untuk mengambil semua yang ia kenakan sudah termasuk dalam dugaannya. Ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ia menyembunyikan pisau-pisau tipis di seluruh pakaiannya, juga di telapak sepatu botnya. Apakah mereka menyadarinya? Atau mereka sekadar melucuti semuanya tanpa memeriksa apa di dalam mereka? Apa pun alasannya, ini mungkin hasil terburuk ketiga yang pernah ia bayangkan.

Yang paling buruk, tentu saja, adalah mati. Dibunuh oleh para goblin. Itu tampaknya berhasil ia hindari—untuk saat ini, setidaknya.

Kemungkinan terburuk berikutnya: tidak langsung dibunuh, tapi dipukuli habis-habisan hingga tak sanggup melakukan apa pun. Tampaknya hal itu juga tidak terjadi.

Lalu ada kemungkinan berikutnya: ditawan tanpa satu pun benda berguna di tubuhnya. Persis seperti keadaan yang sedang ia alami sekarang.

Di mana ini? Apakah di dalam Ahsvasin? Bagaimana kalau ternyata di luar? Itu akan jadi masalah besar.

Apa ada cara untuk memastikan kalau ini benar-benar di dalam Ahsvasin? Cacing-cahaya. Pertama kali ia melihatnya adalah di kebun bawah tanah, tepat di depan Ahsvasin. Di sini juga ada cacing-cahaya. Jadi, sel tahanan ini pasti ada di dalam Ahsvasin. Itulah yang ingin ia yakini. Tapi itu tidak lebih dari sekadar harapan optimis.

Ia tidak boleh gegabah bergerak. Ia harus menunggu. Menunggu? Untuk apa?

Sampai ia bisa benar-benar yakin bahwa, setelah semua yang terjadi, setidaknya ia berhasil masuk ke Ahsvasin.

Apakah menunggu akan memberinya kepastian? Bisa saja ia hanya menunggu untuk kemudian disiksa, lalu dibunuh. Tidak, kalau mereka memang berniat membunuhnya, pasti sudah dilakukan sejak tadi. Itu satu cara untuk memandangnya. Kalau yang ia hadapi adalah manusia, ia akan lumayan yakin soal itu.

Namun, lawannya goblin. Ia sama sekali tak bisa menebak bagaimana cara goblin berpikir. Bisa jadi mereka punya semacam ritual atau proses tertentu sebelum membunuh manusia yang mereka tangkap di dalam Kota Baru.

Untuk saat ini, tubuhnya dilanda rasa sakit, sakit yang luar biasa, tapi entah bagaimana ia masih sanggup menahannya. Meski begitu, keadaan bisa memburuk. Ia bisa kehilangan terlalu banyak darah, atau lukanya bisa membusuk hingga membuatnya tak sadarkan diri. Bisa saja ia mati seperti itu.

Luka tusukan di lengan kanan atas, paha kiri, dan bahu kirinya sama sekali tidak dangkal. Lehernya pun terasa perih luar biasa—di sanalah goblin itu mengenai dirinya dengan alat aneh itu. Wajahnya juga terasa perih. Sepertinya mereka menyeretnya ke tempat ini, karena sepanjang jalan ia penuh dengan luka lecet dan memar. Hidungnya masih berdarah—atau mungkin sempat berdarah lalu berhenti—yang pasti, itu kini tersumbat total. Ia hanya bisa bernapas lewat mulut.

Perut dan punggungnya pun mungkin sama parahnya, hanya saja rasa sakit dari luka-luka lain menutupinya. Rasa sakit itu sifatnya saling meniadakan—andai saja begitu. Nyatanya ia tak bisa benar-benar menilai seberapa parah semua luka itu. Yang jelas, rasa sakitnya masih ada.

Aku tak bisa menunggu—mungkin.

Awalnya mustahil baginya untuk bisa tenang, tapi jika ia hanya berusaha menahan rasa sakit lalu mati begitu saja, itu terlalu menyedihkan. Sulit untuk mengatakan kalau ia masih punya cadangan kekuatan, tapi ia sadar, sebaiknya ia bergerak selagi masih bisa. Atau lebih tepatnya, ia memang tidak punya pilihan lain.

Ia harus mengandalkan cara yang paling tidak ingin ia gunakan. Apa ada alternatif? Itu sudah telat, karena ia telah memutuskan untuk menggunakan cara yang paling tidak ingin ia gunakan ini. Tinggal bertindak sekarang.

Namun, ia tidak bisa melakukannya saat terbaring telentang. Jadi, ia kembali memiringkan tubuhnya ke sisi kiri. Kedua pergelangannya yang terikat jelas menyulitkan, tapi entah bagaimana ia berhasil menempatkan diri agar tangan kanannya bisa meraba sisi kanan tubuhnya.

Itu tidak mudah. Bahu kirinya yang menjadi tumpuan terasa sakit luar biasa. Napasnya terengah-engah.

Sakit. Kenapa sakit sekali? Sial, aku tidak tahan lagi. Aku ingin menyerah. Aku juga ingin menangis. Tapi aku tidak akan menangis. Entahlah… mungkin aku memang sudah menangis. Tak apa kalau menangis. Toh, tidak ada yang melihat. Tapi tetap saja, aku tidak akan menangis.

Kuku di kedua tangannya tidak terpotong rapi, melainkan sengaja diasah tajam.

Aku sebenarnya tidak mau melakukan ini. Kalau saja bisa dihindari… tapi tidak ada jalan lain.

Ia mulai mencakar pinggangnya dengan jari telunjuk. Sekeras yang ia mampu.

Tidak berhasil, ya? Cara ini tidak akan berhasil. Tidak seperti ini.

Ia mencubit kulitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya. Ia memutar—dan memutarnya semakin keras.

“Ngh…! Guh, guh, guh, nghhh…!”

Ia ingin melepaskan cengkeramannya. Tapi jelas, ia tidak akan melakukannya.

Kulitnya robek.

“Arrrrghhh…”

Sekarang ada sebuah lubang di sisi kanan tubuhnya.

Kurasa ini cukup besar untuk dimasuki jariku. Tidak… belum cukup.

Yang artinya ia harus memperbesarnya.

Kau mengatakannya seolah itu akan mudah.

Tidak ada seorang pun yang pernah bilang begitu. Dengan paksa ia merobek lubang itu lebih lebar, lalu mendorong telunjuknya masuk. Menembus ke bawah kulitnya.

Sial. Sial. Sial. Aku benci ini. Aku benar-benar benci ini. Aku tidak mau melakukannya.

Namun akhirnya ia menemukannya.

Itu ada di sana.

Relik itu.

Benda berbentuk kuncup yang ditanamkan Hiyo ke dalam dirinya.

Ia sudah tahu memang ada di sana. Tapi apa gunanya hanya sekadar tahu? Itu sama sekali bukan sesuatu yang patut disyukuri. Sekarang ia harus mencabutnya. Ia tak bisa menjangkaunya hanya dengan telunjuk saja. Ia juga butuh ibu jari. Apa harus menyakiti dirinya lebih jauh? Ya. Tak ada pilihan lain.

“Ghhhhhhhhhhhh… Ahh… Urghhhhhhhh…”

Jari ibu jarinya berhasil masuk. Ia meraih relik itu. Sekarang hanya harus menariknya keluar. Itu sebenarnya tak sulit. Sederhana, malah.

“Auuuuuuugwarghhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…!”

Saat itu juga, sebuah jeritan menggema di seluruh ruangan.

Apa itu? Goblin?

Kemungkinan besar, ya. Terdengar suara goblin.

Dan suara lain. Bunyi-bunyian. Langkah kaki. Mendekat.

Berengsek. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Relik itu. Hampir saja dia mendapatkannya. Dia hanya perlu menariknya keluar. Apa boleh dia melakukannya? Atau tidak? Haruskah dia membiarkannya di sana?

Tapi dia berdarah. Luka lain pun ada, tubuhnya sudah berlumuran darah. Mereka tidak akan menyadarinya.

Langkah kaki terdengar semakin dekat. Sesuatu menghantam dinding atau jeruji saat mereka mendekat.

“Ya ampun… Aku benar-benar nggak tahu harus gimana…!”

Dia menarik relik itu, menggenggamnya dengan tangan kanan, lalu berbalik menghadap jeruji.

Sakit. Astaga, rasanya sakit sekali. Di bagian pinggang. Karena itu luka baru. Pantas saja sakitnya semakin menjadi-jadi.

Sesuatu datang, menghantam jeruji dengan tongkat merah yang dibawanya.

Goblin muka cacat itu.

Ada sejumlah goblin lain ikut dengannya. Empat? Lima ekor?

Sepertinya benda yang dipegang goblin cacat itu adalah senjata yang sama seperti sebelumnya. Tongkat dengan bagian berbentuk cincin di ujungnya, yang bisa dilepas lalu dilempar untuk menangkap leher musuh. Semacam laso, mungkin?

Goblin cacat itu memberi perintah pada goblin-goblin lain yang bersamanya.

Salah satu goblin maju, menyentuh jeruji. Tampaknya memang ada sebuah pintu di sana. Mereka hendak membukanya.

Tatapan Haruhiro terhenti pada goblin yang berada paling belakang.

Tunggu dulu… Apa itu benar-benar goblin?

Kulitnya pucat sekali dibandingkan goblin-goblin lain. Hampir putih, setidaknya di bawah cahaya cacing-cahaya yang beterbangan. Dari sudut pandang manusia, goblin biasanya bungkuk, dengan kepala menjorok ke depan. Tapi yang satu ini berbeda. Ia berdiri tegak, meski tingginya kurang lebih sama dengan yang lain. Tubuhnya kurus, rapuh, dan satu hal lagi yang tidak biasa—ia mengenakan jubah hitam longgar.

Pintu terbuka, dan goblin cacat itu melangkah masuk.

Goblin putih itu… apa mungkin dia seorang ugoth? Bukankah itu sejenis pertapa?

Goblin cacat itu mendekat. Lalu menginjak kepalanya.

“Yee, hee, hee, hee!”

Persetan kau.

Mustahil mengatakan Haruhiro tidak marah, tapi perhatiannya lebih tertuju pada goblin yang ia kira seorang ugoth.

Goblin-goblin lain tidak ikut masuk ke dalam sel.

“Hei…!” Haruhiro berteriak sekuat tenaga. Ugoth itu menoleh padanya. Kalau Hiyo tidak berbohong, ugoth mengerti bahasa manusia. Haruhiro hendak berteriak lagi, namun goblin cacat itu menekan kepalanya lebih keras, lalu mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan—

Huh? Apa? Mau ngapain? Mau nendang aku? Dia mau nendang aku?!

“Agah…!”

Sial, yang satu ini terasa sekali. Untuk sesaat, kesadarannya nyaris padam. Bagaimana dengan reliknya? Masih aman. Ia masih menggenggamnya. Hampir terlepas, tapi tetap ada di tangannya.

Begitu ia mencoba menyesuaikan genggamannya pada relik itu, goblin cacat menendangnya lagi. Kali ini di dagu. Kalau saja ia tidak sempat menggertakkan gigi, mungkin lidahnya sudah tergigit putus.

Kepalanya terasa berkunang-kunang. Ia harus berhati-hati agar tidak menjatuhkan relik itu. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleh kehilangannya. Ia harus menggenggamnya erat. Kalau sampai terlepas, habislah dia.

“Ap… kah… kau… bisa…”

Ugoth seharusnya bisa berbicara bahasa manusia. Ia ingin ugoth itu mendengarnya.

“Daaaag!”

Goblin cacat itu menghantam Haruhiro dengan alatnya. Cincin besi di ujungnya terbuka, melilit lehernya, lalu mengatup rapat. Ia tak bisa bernapas. Sakit sekali.

“Bisakah kau bicara bahasa manu—”

Terlambat. Goblin cacat itu menariknya.

Ia tak bisa berbuat apa-apa. Suaranya hanya keluar sebagai, “Gah,” dan, “Goh.” Apa sekarang saatnya?

Haruskah aku gunakan relik ini sekarang?

Goblin cacat itu tidak berhenti menariknya. Kuat sekali. Haruhiro terikat tangan dan kaki, tidak mungkin berjalan. Dengan tangan diikat di belakang, bahkan merangkak pun ia tak bisa. Tubuhnya terseret begitu saja. Sial. Lupakan soal apakah goblin itu ugoth atau bukan—ia tidak bisa bernapas. Apa dia akan pingsan? Atau lebih buruk lagi… mati?

Goblin cacat itu tidak berhenti setelah mereka keluar dari sel. Ia terus menyeret Haruhiro. Sejauh mana ia akan dibawa?

Kalau begini terus, aku harus pakai relik ini.

Tidak—tunggu dulu.

Goblin cacat itu jelas berusaha membawanya ke suatu tempat. Bersama ugoth. Kalau Hiyo tidak berbohong, ugoth itu adalah pelayan mogado. Artinya?

“Uagh, gah, guhh…”

Sakit sekali, sialan… aku tidak bisa bernapas. Aku sekarat di sini. Kau membunuhku…

Goblin cacat itu terus menyeret Haruhiro. Ke mana makhluk itu berusaha membawanya? Ia memilih untuk tidak membunuhnya.

Benar. Ya, ini sakit, dan dia benar-benar menderita, tapi Haruhiro belum mati. Mereka dengan mudah menjatuhkannya di taman bawah tanah. Pasti ini dilakukan dengan sengaja, kan? Goblin cacat  itu menahan diri dengan cara tertentu. Mungkin ia menyeret Haruhiro dengan cara agar tidak sampai membuatnya pingsan.

Ke mana sebenarnya goblin itu ingin membawanya?

Ke mogado, mungkin? Kalau begitu…

“Nguh, wah, gagh, augh…”

Dasar, diamlah.

Suara itu terus keluar begitu saja. Ia tak bisa menghentikannya. Ia sedang menderita. Apa benar goblin itu menahan diri? Mungkin tidak. Bukankah sebenarnya ia hanya menyeret sekuat tenaga? Kalau Haruhiro mati ya mati, urusan nanti dipikirkan kalau itu terjadi.

Bagaimanapun juga, perlakuan ini benar-benar kejam. Apa ini pantas disebut cara memperlakukan manusia? Ini sudah jauh melampaui kebiadaban. Sepertinya, pada akhirnya, dia hanya goblin. Salah Haruhiro juga karena berharap lebih dari itu. Sebenarnya apa yang ia harapkan? Tidak ada. Yang ada hanya rasa sakit. Ia tidak bisa bernapas. Rasanya seperti tenggelam. Tenggelam sambil diseret makhluk itu.

Aku tidak sanggup. Mustahil. Aku benar-benar sudah tamat.

Kemungkinan besar ia sudah melewati batas ketahanannya. Satu-satunya hal yang membuatnya tetap sadar hanyalah keluhannya di dalam kepala seperti ini. Oh, dan juga dengan menghina mereka. Membenci mereka. Mengutuk mereka. Kenapa dia harus melalui semua ini? Apa salahnya sampai harus menerima perlakuan seperti ini? Apa dia pernah melakukan sesuatu yang pantas mendapat hukuman sekejam ini?

Oh, benar juga. Aku pernah membunuh goblin, ya?

Katanya sebelum kehilangan ingatannya, dia sudah membantai cukup banyak dari mereka.

Mungkin sebenarnya dia tidak berhak mengeluh. Kalau ini adalah balas dendam goblin, mungkin mereka punya alasan yang sah.

Pikiran itu membuatnya ingin menyerah.

Tapi kalau ia kehilangan kehendak untuk bertahan di saat seperti ini, habislah dia. Seburuk apa pun rupa usahanya, ia harus terus mencengkeram hidup. Tanpa dorongan itu, mustahil ia bisa bertahan.

Tidak ada harapan. Semua ini sia-sia. Aku harus berhenti berusaha menahan.

Aku hanya ingin beristirahat.

Kalau memang harus mati, biarkan cepat.

Secepat mungkin.

Tolong… biarkan aku mati saja.

Dia sudah berada di tepi jurang. Ia ingin mati. Tapi ia tidak bisa mengakhiri hidupnya sendiri, dan tidak akan mati begitu saja sekarang, jadi dalam hati ia memohon agar mereka yang menghabisinya. Kalau kematiannya yang lambat dan tanpa harapan ini melangkah satu tapak lebih jauh, dengan satu kesalahan kecil saja, ia akan melepaskan keinginan untuk bertahan hidup. Apa ia masih menahan diri agar tidak jatuh sejauh itu? Atau tidak? Tidak, pasti ia masih menahan diri. Karena Haruhiro masih menggenggam relik itu di tangannya. Itu buktinya.

Tiba-tiba, alih-alih diseret, Haruhiro dilempar ke depan, lalu berguling ke samping. Entah terjadi sesaat sebelumnya, bersamaan, atau sesudahnya, cincin di lehernya terlepas.

Tenggorokannya perih, tapi bernapas jadi lebih mudah. Rasa sakit saat menarik dan menghembuskan napas begitu tajam, namun tetap saja ia hirup udara sebanyak yang bisa ia dapatkan. Meski batuk-batuk dan merasa ingin muntah, oksigen dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia bisa merasakannya.

Wajahnya berlumuran air mata, darah, ludah, dan entah apa lagi. Ia sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi. Pandangannya kabur, penciumannya hilang. Rasa sakit yang melingkupi tubuhnya membuat segalanya terasa tak masuk akal.

“Heah! Mogado! Gwagajin!”

Itu suara goblin cacat itu. Mogado. Gwagajin.

Raja goblin. Mogado Gwagajin.

Apakah ini ruang tahta, atau sesuatu yang setara dengannya?

“Mogado!”

“Gwagajin!”

“Mogado, Gwagajin!”

“Heah! Mogado! Heah!”

“Mogado! Gwagajin!”

Gema seruan itu disahut berulang-ulang oleh goblin-goblin lain. Tidak mungkin salah dengar lagi.

Haruhiro berkedip-kedip, berusaha mengatasi pandangan buramnya. Perlahan-lahan, penglihatannya mulai pulih.

Dia melihat goblin.

Banyak sekali goblin.

Mereka mengelilingi Haruhiro dan goblin cacat itu, membentuk lingkaran sepuluh hingga dua puluh baris tubuh.

Tempat itu cukup terang. Apakah dari cacing cahaya? Tidak. Cahaya itu jatuh dari atas. Sinar matahari. Ada jendela besar di langit-langit. Jadi sekarang siang, ya? Sepertinya begitu.

Di mana Mogado Gwagajin?

Di sana.

Sekitar sepuluh meter jauhnya, berdiri semacam panggung atau menara kecil berwarna emas. Dan di atasnya—apakah itu manusia? Tidak mungkin. Itu goblin. Goblin yang mengenakan pakaian indah dari kain merah, biru, dan putih, layaknya bangsawan manusia. Di tangannya sebuah tongkat merah, di kepalanya sebuah mahkota. Itu pasti sang Mogado. Raja goblin.

Mogado Gwagajin.

Di bawah menara emas itu berdiri goblin-goblin putih berjubah hitam. Jumlahnya lebih dari satu… empat. Ada empat ugoth di sana.

“Heah! Mogado! Gwagajin!”

“Mogado! Mogado!”

“Gwagajin! Heah! Mogado Gwagajin!”

Sorak-sorai goblin tak kunjung reda. Ada yang menghentakkan kaki mengikuti irama teriakan, ada pula yang memukul-mukul dada mereka sendiri. Suasana jadi semakin liar. Bahkan goblin cacat di sisi Haruhiro ikut melambai-lambaikan alatnya, berteriak memanggil nama tuannya.

Keempat ugoth itu hanya berdiri kaku. Sementara di atas menara emasnya, Mogado Gwagajin duduk di kursi yang menyerupai takhta. Tak bergerak sedikit pun. Seperti sebuah ornamen. Apakah itu benar-benar goblin hidup? Atau hanya patung yang dibuat menyerupai sang mogado?

Tidak.

Ia nyata.

Mogado Gwagajin mengangkat tongkat hi’irogane-nya.

Sekejap setelah itu, teriakan goblin meledak semakin keras.

Haruskah aku menunggu? Terus menunggu? Atau bertindak sekarang?

Jangan menunda.

Jangan gegabah.

Keduanya terdengar benar. Atau mungkin sama-sama salah.

MEreka hanya firasat. Tanpa dasar. Haruhiro harus mengakuinya.

Kepalaku tak bisa berpikir. Itu tidak bisa jalan. Isinya kosong.

Haruhiro menekan bagian bawah relik berbentuk kuncup itu. Ia harus mengerahkan tenaga besar untuk mendorongnya ke dalam. Ia menumpahkan semua kekuatan yang tersisa.

Berfungsi. Tolonglah. Aku mohon. Sekarang yang bisa kulakukan hanya berdoa.

Relik itu mulai bergetar. Sepertinya telah aktif. Haruhiro melemparkannya. Dengan tangan terikat di belakang, ia tak bisa melihat ke mana relik itu jatuh. Suara benturannya pun hilang ditelan riuh sorakan goblin.

Ini bakal berhasil, kan? Ini bakalan berjalan lancar, kan?

Tiba-tiba terdengar suara keras twoooooooooooooong yang membuat para goblin menoleh ke atas. Mereka menelan ludah, ada yang menjerit, lalu buru-buru melompat mundur.

Haruhiro menoleh ke belakang. Ia memang sudah diberitahu apa yang akan terjadi, tapi belum pernah ditunjukkan secara langsung bagaimana relik itu bekerja. Untuk sesaat ia hanya bisa terdiam, terpaku dalam kekaguman. Mereka tidak punya kesempatan untuk mencobanya terlebih dahulu. Relik ini hanya bisa digunakan sekali, dan selalu bekerja berpasangan. Begitu satu diaktifkan, yang lain pun ikut terpicu.

Apa yang dilihat Haruhiro hanya bisa ia sebut sebagai sesuatu yang menakjubkan. Sebuah lubang lonjong terbuka di udara, kira-kira sebesar pintu yang setengah terbuka. Di sisi lain lubang itu terbentang tempat yang sama sekali berbeda—terhubung dengan reruntuhan di Kota Lama.

Salah satu relik itu tertanam di sisi kanan tubuh Haruhiro.

Hiyo membawa yang satunya lagi.

Idealnya, Haruhiro masuk ke Ahsvasin tanpa tertangkap. Itulah yang ia coba lakukan, namun ia gagal. Pilihan terbaik berikutnya adalah masuk sejauh mungkin, lalu menggunakan relik tersebut. Atau, menggunakannya saat ia ditawan.

Seharusnya Kiichi sudah memberi tahu rekan-rekan mereka bahwa ia tertangkap. Mereka pasti sedang menunggu saat ini terjadi.

Orang pertama yang melompat keluar dari celah itu adalah Kuzaku.

“Hoo-rahhhhh…!”

Kuzaku meraung seperti orang tolol, menghempaskan goblin cacat jauh ke belakang, lalu mengayunkan katana besarnya, membuat para goblin gentar.

“Menyingkir semua! Sekarang juga! Mau mati, hah?! Gwaarrrgh?!”

Kenapa kau bertingkah kayak semacam preman sekarang?

Haruhiro hampir saja melontarkan komentar itu. Penampilan Kuzaku benar-benar menyejukkan mata. Sedikit memalukan untuk mengakuinya, tapi begitulah adanya. Meski begitu, ia tak punya waktu untuk sekadar merasa lega.

“Haru…!”

Merry datang sesaat kemudian, lalu Setora dan Kiichi menyusul hampir bersamaan.

Sepertinya Merry sudah memikirkan berbagai kemungkinan situasi, lengkap dengan keputusan yang akan diambil untuk masing-masingnya. Begitu melihat Haruhiro, matanya terbelalak, dan ia segera membentuk tanda hexagram.

“O Cahaya! Semoga perlindungan suci Lumiaris menaungimu… Sacrament!”

Cahaya itu benar-benar sebuah mukjizat. Jujur saja, Haruhiro sudah berada di ambang kematian. Ia takkan bertahan lebih lama lagi. Rasanya seperti setengah tubuhnya sudah mati. Rasa sakit yang membuatnya berpikir lebih baik mati, penderitaan tanpa harapan itu, mendadak mereda, lalu lenyap sepenuhnya dalam waktu singkat.

Kiichi dengan cekatan menggunakan sebilah pisau kecil untuk memotong tali yang mengikat tangan dan kaki Haruhiro.

Setora memutar tombaknya, menghantam goblin yang masih ada di dekat mereka. Ia lalu melemparkan belati yang selalu terselip di pinggangnya ke arah Haruhiro.

“Haruhiro!”

“Siap!”

Memang agak mengganggunya karena ia hanya mengenakan pakaian dalam, tapi ini bukan saatnya mengeluh. Haruhiro meraih belati itu dan berdiri, menatap Mogado Gwagajin. Ia masih berdiri di atas menara emas. Tidak bergerak. Begitu pula dengan para ugoth.

Tepat setelah Neal dan Hiyo melompat ke sisi ini, lubang di ruang yang tercipta akibat relik itu menyusut, mengeluarkan suara melengking aneh, lalu lenyap tanpa jejak.

Tidak ada jalan untuk kembali.

Bahkan bagi Hiyo, orang yang merancang rencana ini, semua ini adalah pertaruhan sekali jadi.

“Dengarkanlah aku, wahai para ugoth bijaksana!”

Meski begitu, sulit dipercaya ia bisa terdengar begitu berwibawa.

“Aku mengajukan usulan rendah hati kepada Yang Mulia, Mogado Gwagajin yang gagah berani dan agung!”

Pakaian aneh yang ia kenakan memang tidak berubah, tetapi bagi para goblin, Hiyo hanyalah manusia biasa. Mereka tidak melihat sesuatu yang aneh dari cara berpakaiannya. Hiyo melangkah maju tanpa ragu, merentangkan kedua tangan, membusungkan dada, dan mendongak menatap Mogado Gwagajin.

Para goblin menatap Hiyo, seolah berpikir, Apa-apaan ini? Ada apa dengan perempuan manusia itu? Keempat ugoth terlihat begitu artifisial, sulit dipahami, namun mereka mengalihkan pandangan ke arah Hiyo, seakan-akan tengah mendengarkannya.

“Betapa pahlawannya,” gumam Neal. Mungkin ia sedang membicarakan Haruhiro, meski Haruhiro hanya bisa mengira-ngira kalau ucapannya itu tidak tulus.

“Ugoth bijaksana! Kumohon! Sampaikan maksud kami kepada Yang Mulia, Mogado Gwagajin!”

Hiyo meninggikan suaranya lagi. Lebih dari itu, ia maju satu dua langkah.

“Kami tidak menginginkan pertikaian lebih jauh dengan bangsa goblin! Kami ingin menjalin perdamaian dengan rakyat kalian!”

Tanpa melepaskan pandangan dari Hiyo, Mogado Gwajin berteriak sesuatu seperti, “Rah! Dashah!” Mungkin ditujukan kepada para ugoth di bawah menara. Haruhiro tidak tahu pasti, tapi ia menduga artinya, Apa yang manusia itu katakan?

Salah satu ugoth menengadah pada Mogado Gwagajin dan mulai berbicara. Haruhiro tak bisa menangkap perkataannya karena riuh suara goblin lainnya. Rupanya Mogado Gwagajin juga tak bisa mendengarnya, sebab ia membentak keras sambil menghentakkan ujung tongkatnya ke lantai menara emas dengan geram. Itu sepertinya berarti, “Diam!” Seketika semua goblin bungkam.

Haruhiro menyelinap di antara para goblin, semakin dekat ke menara emas. Ia menggunakan Stealth, jadi tak seorang pun menyadarinya.

Para goblin berkerumun di sekitar menara emas, mengepung Hiyo dan kelompok lainnya. Empat ugoth berdiri di empat sudut menara.

Ada jarak sekitar lima hingga enam meter antara menara dan dinding. Haruhiro berhasil mencapai sana. Mogado Gwagajin pasti biasa naik turun dari situ. Sebuah tangga telah dipasang di sana.

Mogado Gwagajin dan para ugoth masih terlihat berunding.

Haruhiro mulai memanjat tangga itu.

Menara emas itu benar-benar mengesankan. Rangka penopangnya tampak terbuat dari logam. Meski hiasan emas yang berlebihan terasa norak dan tidak sedap dipandang, pola-pola berukir yang memancarkan kekuatan menghiasi permukaannya. Jelas menara itu dibangun dengan penuh ketelitian.

Haruhiro pun sampai di puncak menara.

Mogado Gwagajin duduk tepat di depan matanya. Ada kursi kecil di sana, tetapi goblin itu pada dasarnya sedang menungganginya. Ia benar-benar besar untuk ukuran goblin. Bahkan tanpa mahkota hi’irogane miliknya, tinggi badannya dengan mudah lebih dari 150 sentimeter. Berkat itu, Haruhiro bisa bersembunyi di balik tubuhnya jika ia menundukkan badan cukup rendah.

Dari menara emas itu, barulah ia benar-benar merasakan betapa luasnya ruangan ini, dan betapa banyaknya goblin yang ada di dalamnya.

Ruang ini, yang sepertinya merupakan aula audiensi Mogado Gwagajin, tidak berbentuk persegi, melainkan agak bundar dengan diameter lebih dari tiga puluh meter. Langit-langitnya juga cukup tinggi, sekitar lima atau enam meter. Ada banyak jendela cahaya berbentuk lonjong di atas, tampak dilapisi kaca.

Jumlah goblin di aula itu tidak kurang dari seribu. Mungkin bahkan dua kali lipatnya.

Dekat menara emas, ada goblin-goblin dengan perlengkapan hi’irogane. Mereka adalah para pengikut dekat Mogado Gwagajin yang Barbara-sensei sebut sebagai Seratus (Hundred).

Dengan begitu banyak goblin mengepung mereka, Hiyo, Kuzaku, dan yang lain terlihat begitu kecil dan tidak berarti. Jika Mogado Gwagajin memberi perintah, seluruh goblin itu akan langsung menerkam para manusia. Tidak peduli seberapa hebat mereka bertarung, paling banyak mereka hanya bisa menyeret seratus goblin bersama mereka. Bahkan jika berhasil membantai dua atau tiga ratus, hampir mustahil untuk meloloskan diri dari aula ini.

Nyawa mereka semua sedang dipertaruhkan.

Ia tidak menyukainya, tetapi keselamatan mereka bergantung pada pidato Hiyo.

“Mogado Gwagajin!”

Hiyo mengeluarkan sebilah pedang dari dalam tasnya. Pedang itu jelas terlalu panjang untuk bisa muat di sana. Namun yang lebih penting—setidaknya bagi para goblin—adalah kenyataan bahwa pedang itu terbuat dari hi’irogane.

“Aku telah membawa pedang tangan kananmu, Yang Mulia, Mod Bogg! Kami juga sudah mengumpulkan banyak peralatan hi’irogane lainnya! Kami akan mengembalikannya padamu sebagai bukti persahabatan kami!”

“Dasshah!” teriak Mogado Gwagajin.

Para ugoth mulai berkata-kata dalam bahasa mereka.

Haruhiro tahu ia bisa saja menjatuhkan Mogado Gwagajin kapan pun. Bahkan mungkin membunuhnya. Namun itu adalah pilihan terakhir.

“Aku yakin, Yang Mulia Mogado Gwagajin yang agung, beserta para ugoth yang bijaksana, sudah mengetahui hal ini. Dahulu, kami pernah mengikat perjanjian rahasia dengan bangsa goblin, dan memilih menapaki jalan menuju kemakmuran bersama!”

Para ugoth menerjemahkan ucapan Hiyo untuk Mogado Gwagajin.

“Memang sudah lama janji itu tidak lagi ditepati, namun kami percaya bangsa goblin bisa bekerja sama dengan kami! Tak diragukan lagi, dengan bergandeng tangan, bangsa goblin akan meraih keuntungan besar—”

Mogado Gwagajin mengarahkan tongkatnya pada Hiyo. Sepertinya ia memerintahkan agar Hiyo diam. Hiyo pun menanggapinya demikian, dan menutup mulutnya.

Para ugoth meneruskan terjemahan kata-kata Hiyo untuk Mogado Gwagajin. Ia mengangguk, lalu mengangguk sekali lagi. Para penerjemahnya tidak mampu mengikuti kecepatan Hiyo. Apakah itu sebabnya Mogado Gwagajin menyuruhnya berhenti di tengah jalan? Apakah hanya itu alasannya?

Salah satu ugoth akhirnya menyelesaikan terjemahan.

Mogado Gwagajin menghantamkan tongkatnya ke lantai menara emas.

Ada sesuatu yang terasa mengancam dari suara itu.

Saat menyadarinya, Haruhiro sudah bergerak.

Mogado Gwagajin mungkin hendak memberi perintah pada para goblin. Sesuatu seperti, Bunuh semua manusia ini, mungkin. Haruhiro harus menghentikannya. Tidak ada jalan lain.

“Keah—”

Mogado Gwagajin hampir saja berteriak, namun tiba-tiba menoleh ke belakang. Hal itu membuat Haruhiro terkejut bukan main. Apakah dia menyadarinya?

Apakah dia berhasil mendeteksi Haruhiro? Goblin mogado ini memang berbeda.

Karena kaget, gerakan Haruhiro jadi agak kasar dan terburu-buru. Tapi ia berhasil meraih tubuh Mogado Gwagajin, lalu menempelkan belati ke lehernya. Mogado Gwagajin memang besar untuk ukuran goblin, tapi Haruhiro masih lebih besar. Goblin itu tampak keras kepala dan kuat, namun jika ia menunjukkan tanda-tanda melawan, Haruhiro tidak akan ragu bertindak.

Apa yang akan terjadi bila ia benar-benar membunuh Mogado Gwagajin di sini? Sayang sekali ia tidak punya waktu untuk memikirkannya. Mau tak mau, inilah satu-satunya pilihan.

“Fuuungh… Fungh… Fuuumh…”

Mogado Gwagajin terengah marah bercampur penyesalan. Ia mendengus kasar, menggeretakkan giginya, dan menatap Haruhiro dengan tatapan penuh amarah.

Aula itu mendadak hening. Para goblin sama sekali tak bersuara. Mereka pasti percaya bahwa satu suara saja bisa berarti kematian bagi tuan mereka.

“B-Berhenti! Jangan!” salah satu ugoth di bawah menara emas berteriak.

“Kami ingin kalian mendengarkan semua yang ingin kami katakan. Sampaikan itu pada Gwagajin,” kata Haruhiro.

Ugoth itu pun mulai menerjemahkannya.

Mogado Gwagajin hanya menggertakkan giginya, tanpa memberi jawaban.

Kurasa ini setengah-setengah, pikir Haruhiro. Ia jelas tidak sedang berpikir dengan tenang. Jantungnya berdebar kencang, kakinya terasa lemas, dan tangannya bergetar karena takut. Menganggap peluangnya setengah-setengah hanyalah cara untuk berpura-pura tenang.

Mogado Gwagajin bisa saja tetap berkata, “Bunuh mereka.” Kalau itu yang terjadi, Haruhiro akan langsung mengakhiri hidupnya. Asalkan ada satu saja dari mereka yang bisa keluar hidup-hidup dari kekacauan yang akan terjadi, itu sudah cukup bagus.

Atau mungkin Mogado Gwagajin memilih untuk bernegosiasi. Bisa jadi ia benar-benar berniat begitu, atau sekadar berpura-pura sambil mencari celah untuk kabur dari keadaan sekarang.

Kalau begitu… di mana letak lima puluh banding lima puluhnya?

“Altana!”

Hiyo pun sama terdesaknya. Nada dan ekspresinya tegang, sesuatu yang belum pernah Haruhiro lihat sebelumnya. Sulit membayangkan kalau itu hanya sandiwara.

“Wahai Mogado Gwagajin! Kami siap menyerahkan Altana kembali kepada bangsa goblin!”

Haruhiro hampir saja berseru, “Huh?!” Kebingungan menyeruak. Ia berusaha keras menahannya agar tidak terlihat jelas.

Menyerahkan Altana…? Tunggu, apa maksudnya?

Apa-apaan ini?

Tidak ada yang pernah memberitahuku soal ini.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x