12. Tak Ada Bandingannya (Grimgar)

Butuh waktu dua hari lagi untuk mencapai Gerbang Walter. Dalam perjalanan, rombongan delegasi melihat barisan musuh yang teratur bergerak melewati hutan. Separuh dari mereka adalah orc, separuh lagi undead, jumlahnya mungkin mencapai seribu pasukan. Kebanyakan orc itu memutihkan bulu tubuh mereka hingga putih pucat, sambil membawa pedang satu tangan dengan bilah bergerigi menyerupai gergaji. Dari penampilan khas mereka, bisa dipastikan ini adalah orc yang sebelumnya berkemah di Gunung Nestapa. Mereka tampaknya berusaha bergabung dengan pasukan utama Ekspedisi Selatan yang sedang mengepung Kerajaan Ironblood.

Gerbang Walter terletak di pertengahan lereng barat Pegunungan Kurogane. Jalan menuju gerbang itu melewati sebuah ngarai, menanjak melalui lembah, lalu menyusuri celah-celah di antara bongkahan batu yang retak. Itsukushima dan Yume menemukan jejak kaki yang jelas bukan milik makhluk berkaki empat, dan mereka mencatatnya. Namun, thief seperti Haruhiro tak akan pernah menyadarinya. Tanpa ada yang menuntun, mustahil ia bisa tersesat ke tempat ini bahkan secara kebetulan.

Pintu masuk Gerbang Walter nyaris tak bisa dibedakan dari sebuah gua alami. Namun, Haruhiro dan Neal mampu melihat pos-pos pengawas yang tersebar di sekitar area masuk. Di segala arah berdiri pondok-pondok batu kecil, dengan wajah para dwarf berjanggut yang mengintip keluar—sebagian bahkan menodongkan senapan, siap menembak kapan saja.

Seorang dwarf keluar dari salah satu pos sambil membawa senapan. Pedang besar yang tergantung menyilang di punggungnya terlihat lebih mengesankan karena lebarnya daripada panjangnya. Wajahnya seakan terpuntir oleh amarah dan kebencian—sebuah raut jahat, topeng seorang penjahat. Ia benar-benar terlihat menakutkan.

Tangan Ranta refleks bergerak ke gagang katananya. Haruhiro ikut menelan ludah. Ia bisa memahami perasaan dread knight itu.

“Ugh! Seram banget…” gumam Kuzaku, sebuah pilihan kata yang jelas tidak tepat dikatakan keras-keras. Haruhiro menyikut pinggangnya dengan siku. “Ups, maaf.”

“Serius deh…” Setora menatap dingin ke arah Kuzaku.

“Willich.”

Saat Itsukushima memanggil, dwarf berwajah menyeramkan itu mengangkat kepalan tangan kanannya.

“Itsukushima. Senang kau sudah kembali,” ucapnya dengan suara yang segelap wajahnya.

“Sepertinya kalian sedang dalam masalah.”

“Memang begitu.”

Setelah jawaban singkat itu, dwarf yang ternyata bernama Willich mulai melangkah menuju pintu masuk Gerbang Walter yang mirip gua. Apakah ia ingin mereka mengikutinya?

Itsukushima menepuk kepala Poochie.

“Kau tunggu di sini, nak.”

Poochie menatap ke atas pada Itsukushima, berkedip seakan berkata, Mengerti. Poochie sempat menggesekkan tubuhnya ke Yume, lalu segera melesat menuruni lereng.

“Sampai jumpa, Poochie!” seru Yume padanya, membuat Poochie berhenti sejenak dan menggonggong pendek sebagai jawaban. Setelah itu ia tak lagi menoleh.

Rombongan mengikuti Willich. Sekitar lima puluh meter masuk ke dalam gua batu kapur, terdapat sebuah gerbang besi dengan beberapa dwarf berjaga di sana. Willich memberi isyarat pada para penjaga agar membiarkan mereka lewat, dan butuh tenaga semua dwarf kekar itu bersama-sama untuk menarik gerbang tersebut hingga terbuka. Tebalnya lebih dari setengah meter.

Di balik gerbang besi itu, suasananya berubah total. Lantai datar berlapis ubin batu. Dinding dan langit-langit pun dipahat rapi, diperkuat dengan besi. Bahkan ada penerangan—lentera yang tertanam di dinding, tampaknya menggunakan sesuatu selain api untuk menghasilkan cahaya. Bagaimana cara kerjanya? Haruhiro sempat bertanya-tanya, tapi merasa tak pantas untuk menanyakannya. Pemandu mereka, Willich, tidak mengucapkan sepatah kata pun, jadi rombongan itu hanya mengikutinya dalam diam.

“Heh… Hik… Hek… Hacihhh…!” Tak tahan lagi dengan keheningan, Ranta melepaskan bersin aneh. Willich tetap tak memberi reaksi.

“Hey, hey,” ujar Yume, melompat kecil lalu maju berjalan sejajar dengan Willich.

Ranta berusaha menghentikannya dengan sebuah, “Hei,” tapi sudah terlambat.

“Kamu temannya Master, ya, Willup?”

“Siapa itu?”

“Oh, namamu bukan Willup, ya?”

“Itu Willich, Yume…”

Meski Itsukushima dengan ramah menyebutkan nama yang benar, hasilnya tetap saja tidak sesuai harapan.

“Mew. Ah iya. Willie maksudku. Maaf deh. Yume memang sering salah nyebut.”

“Aku sebenarnya bukan temannya Itsukushima… Lebih tepatnya, teman dari temannya.”

“Ohhh, begitu ya? Tapi, teman dari teman kan juga teman. Yume rasa kita sebaiknya berteman juga.”

“Aku kurang paham, tapi baiklah, kita teman.”

“Oh, begitu? Kalau Yume muridnya Master, dan Master itu seperti ayahnya Yume, berarti kamu itu kayak pamannya Yume, kan, Willie?”

“Terserah kau…”

“Oke deh, mulai sekarang kamu pamannya Yume. Senang berkenalan!”

“Senang berkenalan juga.”

“Tinju persahabatan!” seru Yume sambil mengulurkan kepalan tangannya. Willich pun menempelkan tinjunya pelan pada tinju Yume.

“Wow…” gumam Merry. Haruhiro tahu persis apa yang ia rasakan. Ia sendiri baru saja memikirkan hal yang sama.

“Aku tahu, kan? Yume emang punya kemampuan komunikasi yang aneh banget…” kata Kuzaku. Walau begitu, pilihan katanya sendiri terdengar cukup aneh.

Terowongan itu berliku, melewati pintu besi dan naik turun tangga, terus memanjang entah sampai sejauh mana.

Tiba-tiba, Itsukushima bertanya pada Willich, “Kau pernah ke sarang hethrang?”

“Tidak,” jawab Willich cepat, kata itu ia semburkan dengan penuh jijik. “Jangan sebut-sebut nama itu. Menjijikan.”

“Jadi memang ada, ya? Memang benar-benar ada sarang hethrang itu…”

Saat Itsukushima terus menekannya, Willich mendengus keras. Itu jelas berarti sesuatu seperti, Kau menyebalkan, hentikan.

Yume mendekat ke Itsukushima dan berbisik, “Apa itu hefferun, Master?”

“Aku juga hanya tahu sedikit. Para dwarf tidak suka membicarakannya,” jawab Itsukushima, menghindari penjelasan lebih jauh. “Dan namanya hethrang, bukan hefferun.”

“Nuh? Terus, hethrang itu apa?”

“Nanti saja,” kata Itsukushima dengan senyum kikuk, mengakhiri percakapan.

Pintu besi keempat membawa mereka masuk ke sebuah ruangan yang tampak seperti gudang. Tempat itu penuh sesak dengan zirah merah dan helm berlis perak, perisai, serta berbagai senjata seperti halberd, kapak, tombak, dan pedang. Beberapa di antaranya dipajang di dalam kotak kaca. Ada juga mesin-mesin dengan banyak bagian rumit. Lampu-lampu yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya redup ke seluruh ruangan, dan desainnya terlihat cukup rumit.

“Gerbang Walter terhubung langsung ke kediaman pribadi keluarga bangsawan Bratsod,” jelas Itsukushima menggantikan Willich yang tetap bungkam. “Menteri Kiri saat ini, Axbeld, berasal dari keluarga Bratsod. Kudengar keluarga mereka sudah ada sejak lima atau enam abad lalu, bahkan sebelum Kerajaan Ironblood berdiri.”

Willich mendengus lagi, membuat Itsukushima hanya mengangkat bahu sambil tersenyum. Tampaknya si dwarf tidak menyukai Keluarga Bratsod.

Willich mengetuk pintu yang menghubungkan gudang dengan bagian lain, dan seorang dwarf berzirah merah serta mengenakan helm membukanya. Kediaman keluarga Bratsod ternyata sangat luas, dan di dalamnya tampak lebih banyak dwarf berzirah merah berjaga. Mereka semua bahkan berjanggut merah, meski butuh waktu beberapa saat bagi Haruhiro untuk menyadari bahwa janggut itu tampaknya hasil celupan.

Keluar dari kediaman pribadi itu, mereka tiba di sebuah jalan yang dipenuhi bengkel-bengkel pandai besi. Suasananya sangat bising dan panas. Para dwarf berteriak satu sama lain sambil menghantam besi dengan palu di tangan. Bau keringat yang menguap di atas besi panas bercampur dengan aroma alkohol yang kadang diteguk para pandai besi. Semua itu menyatu menjadi bau yang benar-benar khas dan sulit dibandingkan dengan hal lain.

Willich berhenti di depan sebuah bengkel. Seorang dwarf berambut oranye panjang, dengan janggut lebat yang disampirkan ke bahunya sambil terus memalu, menarik perhatian Haruhiro. Secara umum, dwarf memang lebih pendek dibanding manusia, namun dwarf ini adalah gumpalan otot yang luar biasa mengagumkan untuk dilihat.

“Gottheld!” Itsukushima memanggilnya, dan dwarf berotot itu menghentikan paluannya. Ia menoleh ke arah hunter itu, menatap dengan mata hijau—yang cukup mengejutkan.

“Itsukushima?”

Dwarf yang namanya tampaknya Gottheld itu meletakkan palunya dengan hati-hati di lantai sebelum berjalan mendekat. Seperti yang bisa diduga, tinggi badannya bahkan tidak sampai setara dengan Yume. Meski begitu, Haruhiro mendapat kesan bahwa orang ini tetap terlihat “besar.”

Sepertinya dia tipe keras kepala, pikir Haruhiro. Kuat kemauan, tapi sabar. Sama seperti Itsukushima.

Gottheld menggenggam lengan Itsukushima dengan tangan yang terasa sekeras logam, lalu tersenyum. “Syukurlah kau kembali dengan selamat,” katanya sebelum melirik pada Yume. Tatapannya memancarkan kasih sayang layaknya seorang ayah. “Dan ini pasti murid kesayanganmu. Jadi akhirnya kau berhasil menemuinya, ya? Aku ikut senang untukmu.”

“Iya…” jawab Itsukushima dengan senyum malu. “Pasukan yang merebut kembali Altana adalah Pasukan Perbatasan, sebagian besar terdiri dari bala bantuan dari daratan utama. Aku kembali membawa surat dari komandan mereka.”

“Kalian masuk lewat Gerbang Walter?”

“Ya. Lewat Gerbang Great Ironfist rasanya mustahil.”

“Kalau begitu, kau pasti akan menghadap raja.”

“Itu rencananya.”

“Aku ikut denganmu. Tunggu sebentar.”

Gottheld kembali masuk ke bengkel kerjanya. Ia masih mengenakan pakaian kerja, jadi mungkin maksudnya ia hendak berganti pakaian.

“Bengkel ini…” Ranta bergumam sambil melihat-lihat sekeliling. “Apa dia bikin senjata api di sini?”

“Benar sekali,” jawab Itsukushima sambil mengangguk. “Temanku, Gottheld, adalah pembuat senjata api terbaik di Kerajaan Ironblood. Konsep senjata api sudah ada sejak lama, tapi tak diragukan lagi dialah yang membuatnya jadi benar-benar praktis. Karena itu, ia dijuluki bapak senjata api.”

Ketika Gottheld kembali dengan pakaian rapi, Willich pergi entah ke mana, mungkin menganggap tugasnya sudah selesai. Rombongan itu lalu menuju Istana Besi bersama Gottheld.

Di perjalanan, Itsukushima menyinggung soal hethrang yang sempat disebut sebelumnya. “Willich menolak menjawabku, tapi bisakah kau jelaskan tentang hethrang?”

Gottheld sempat mengernyit sebelum balik bertanya, “Kenapa kau ingin tahu?” Apakah topik itu memang begitu sensitif?

“Ada sesuatu yang mengusikku,” jawab Itsukushima dengan wajah muram. “Aku melihat kelompok yang tak kukenal di pihak musuh.”

“Kau tidak sedang menyiratkan kalau mereka itu hethrang, kan?”

“Entahlah. Yang kutahu, di Kerajaan Ironblood ada orang-orang yang katanya keturunan orc, dan mereka dipakai untuk pekerjaan berat, seperti menggali tambang atau menambang bijih.”

“Apa-apaan?” Ranta langsung memerah karena marah. “Aku tahu manusia, elf, dwarf, dan orc bisa punya anak campuran. Kebanyakan orc menyebut anak-anak itu gumow, dan bahkan tak mengakui mereka sebagai bagian dari ras mereka. Apa kau mau bilang dwarf juga melakukan hal busuk yang sama?”

“Hey…” Itsukushima hendak memperingatkan Ranta agar menurunkan nada suaranya.

Namun, Gottheld berkata, “Tak apa,” lalu menoleh ke arah Ranta dan mengangguk tegas. “Kau benar. Selama ini, kami mengurung para hethrang di sarang-sarang mereka di distrik penambangan dan pemurnian, memperlakukan mereka seperti budak. Hethrang tidak dianggap sebagai dwarf. Kami hanya memberi mereka kebutuhan paling dasar, tidak membiarkan mereka benar-benar hidup, tapi juga tidak langsung membunuh mereka—tidak, sebenarnya kami memang membiarkan mereka mati karena kerja. Mereka bukan sekadar seperti budak. Mereka memang budak. Jika kau pergi ke bagian paling berbahaya dari terowongan tambang, yang akan kau temukan hanyalah hethrang, atau mayat mereka. Semua dwarf yang bukan anak-anak tahu soal ini. Tapi kami tidak membicarakan mereka. Karena kami semua tahu. Mereka adalah aib kaum dwarf.”

Mereka yang membawa aib pada kalian?!” Ranta bergemeretak giginya, menatap Gottheld dengan tajam. “Kalianlah yang seharusnya malu pada diri sendiri. Kalau kalian tahu apa yang kalian lakukan itu busuk, maka bebaskan mereka dan biarkan mereka hidup normal. Punyalah sedikit rasa manusiawi!”

“Ranta-kun, kau terlalu terbawa emosi…” Kuzaku berkata ragu. Ranta langsung berbalik ke arahnya.

“Diam kau, tolol! Aku terbawa emosi karena hal ini bikin aku muak. Apa salahnya?!”

“Hethrang…” gumam Haruhiro, teringat pada lelaki yang pernah ia lihat, Wabo. “Apakah mereka berkulit cokelat kekuningan, dengan tubuh bagian atas yang besar tak seimbang?”

Mata Gottheld melebar. Setelah terdiam sejenak, ia berkata, “Katanya memang ada hethrang yang mencoba kabur. Semua yang tertangkap dieksekusi. Kalau ada yang berhasil lolos? Aku tak bisa bilang pasti. Sejujurnya… aku tidak pernah ingin tahu. Tapi…”

“Tidak mengejutkan kalau memang ada,” ujar Setora dengan nada datarnya yang biasa. “Kurang lebih kita sudah bisa menebak apa yang terjadi sekarang. Kaum hethrang ditindas para dwarf, dipaksa melakukan kerja berat. Sebagian melarikan diri, dan sekarang mereka bekerja sama dengan Ekspedisi Selatan…”

Mungkin para hethrang menggunakan terowongan gnoll untuk kabur. Kalau benar, mereka mungkin bisa memanfaatkannya juga untuk masuk ke Kerajaan Ironblood.

“Heh. Karma berputar,” ucap Ranta dengan nada jijik yang jelas. Lalu ia mendesah, menggelengkan kepala. “Kalau saja kita tidak ada di sini, aku pasti bakal bilang para dwarf pantas mendapat balasan yang sesuai, dan selesai sudah.”

“Ayo cepat,” kata Itsukushima sambil mendorong punggung Gottheld agar bergerak.

Tak lama, rombongan sampai di jalan besar selebar sepuluh meter yang menurun, dengan langit-langit setinggi sepuluh meter juga. Di kedua sisinya berjajar kios-kios, dan para dwarf berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Ada juga sejumlah wanita mungil yang sekilas terlihat seperti manusia—setidaknya begitu yang Haruhiro kira, tapi ternyata tidak. Menurut penjelasan Gottheld, mereka semua adalah perempuan dwarf, membuat Kuzaku terkejut setengah mati.

“Huh?! Apa semua perempuan dwarf adalah anak kecil?!”

Itu mengejutkan Haruhiro juga, tapi ia berpikir bahwa sopan santunnya lebih baik daripada Kuzaku. “Tidak mungkin semuanya anak kecil, itu gila. Dan sikapmu agak kasar…”

“Oh! Ya, kurasa memang begitu, ya? Ugh. Tapi tetap saja, cukup mengejutkan. Maksudku, lihat betapa berbeda mereka dengan para pria.”

“Kau pikir wanita dwarf juga punya jenggot?” tanya Ranta dengan nada mengejek.

“Yah… sempat terlintas kemungkinan itu. Gambaran dwarf di kepalaku adalah mereka berbulu, berjenggot, dan suka minum.”

Gottheld hanya memberi senyum kecut. “Kalau terbatas pada dwarf pria saja, kau tidak sepenuhnya salah.”

Pintu hitam raksasa yang menjulang di ujung jalan itu adalah pintu masuk menuju Istana Besi. Namanya Gerbang Raja Besi Agung. Di atas gerbang itu, di semacam benteng kecil, berdiri sekelompok dwarf berjenggot hitam. Bukan hanya janggut mereka yang hitam. Armor dan perisai mereka pun dilapisi warna hitam. Para dwarf berjenggot hitam itu semua membawa tombak halberd.

“Pengawal kerajaan,” jelas Itsukushima. “Mereka kaum tradisionalis dwarf. Seperti yang bisa kalian lihat, para elit penjaga Istana Besi tidak membawa senjata api. Mereka bukan penggemar Gottheld, dan juga benci orang luar. Aku tidak mengira mereka akan terang-terangan berbuat sesuatu pada kita, tapi tetaplah waspada.”

Gottheld meminta izin masuk, dan para dwarf berjenggot hitam itu membuka Gerbang Raja Besi Agung tanpa sepatah kata pun. Tidak ada sapaan, bahkan anggukan sekalipun. Namun Gottheld tampak tidak mempermasalahkannya. Mungkin ia sudah sering diperlakukan seperti ini.

Mereka tidak menyebutnya Istana Besi tanpa alasan. Lantai, dinding, hingga langit-langit semuanya dilapisi pelat baja yang dipoles hingga berkilau layaknya cermin.

“Wah, kinclong-kinclong, ya?” komentar Yume sambil menatap lantai. “Kalau ini rok, orang bisa saja lihat celana dalam Yume.”

“Benar juga…” Merry buru-buru menurunkan tangannya menutupi bagian depan roknya.

“Oh…?” Kuzaku mencoba mengintip dari bawah, tapi Haruhiro langsung menepuk keras belakang kepalanya.

“Jangan begitu.”

“Duh! Maaf, refleks saja…”

“Gak ada kerugian asli kalaupun dia sampai melihatnya,” ucap Setora dengan wajah datar.

“Huh? Jadi kamu nggak keberatan kalau aku melihatnya?” tanya Kuzaku, yang justru membuat Setora tersenyum tipis.

“Kalau kau ingin melihat, silakan. Tidak ada ruginya bagiku. Hanya saja, aku menganggapnya menjijikkan.”

Deputi Neal, yang tadi menunduk memperhatikan kaki Setora, segera mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Siapa tahu apa yang akan dilakukan Setora padanya nanti kalau sampai ia membuatnya tersinggung? Ucapan Setora jelas bermakna: siapa pun yang berani mencoba, silakan tanggung akibatnya.

Setelah berjalan cukup lama menyusuri lorong baja itu, rombongan mereka berpapasan dengan sekelompok dwarf berjanggut hitam dari arah berlawanan. Dwarf yang berjalan paling depan tubuhnya begitu tinggi, sampai-sampai tidak tampak seperti dwarf. Ia memang tidak setinggi Kuzaku, tetapi kemungkinan lebih tinggi daripada Haruhiro.

Gottheld, yang memimpin di depan, berhenti sejenak.

“Wah, bukankah ini Tuan Rowen, kapten pengawal kerajaan.”

Dwarf tinggi yang disebut sebagai Rowen itu tidak membuka mulutnya sampai ia berdiri tepat di depan Gottheld.

“Master Gunsmith. Ada urusan apa kau di Istana Besi?”

“Itsukushima sudah kembali dari Altana.”

Gottheld terpaksa mendongak untuk menatap Rowen. Perbedaan tinggi badan membuatnya tak punya pilihan. Kalau jarak mereka sedikit lebih jauh, mungkin dia tak perlu menengadahkan wajahnya begitu tinggi. Intinya, Rowen memaksanya untuk mendongak. Dasar menyebalkan.

“Aku datang untuk meminta audiensi. Bisa kau antarkan kami masuk?”

“Jadi kau memintaku untuk memandu kalian?”

“Memang begitu.”

“Kau membawa segerombolan manusia yang belum pernah kulihat sebelumnya, lalu berharap bisa langsung dihadapkan pada Yang Mulia?”

“Segerombolan manusia, katanya,” gumam Ranta sambil mendecakkan lidah dengan jijik. Haruhiro menyikut Deputi Neal pelan di sisi tubuhnya.

“Kau sebaiknya memperkenalkan diri.”

Neal cemberut, tapi dengan enggan maju selangkah. “Uh, aku, eh, maksudku, aku Neal. Seorang utusan… itu istilahnya, kan? Ya, utusan yang dikirim oleh Yang Mulia Jin Mogis, Jenderal Pasukan Perbatasan.”

“Pasukan Perbatasan, kau bilang?”

Kapten pengawal kerajaan menatap tajam ke arah Neal, membuatnya mundur setengah langkah. “T-Tadi juga sudah kukatakan, kan?”

“Maksudmu kau adalah utusan dari Margrave Garlan Vedoy? Siapa itu Jin Mogis?”

“Uh, bukan, Tuan Margrave sudah mati, eh, maksudku, wafat. Pasukan bantuan kita dari daratan Kerajaan Arabakia merebut kembali Altana. Jenderal Jin Mogis yang memimpin pasukan bantuan itu, dan sekarang dia telah menjadi komandan baru Pasukan Perbatasan.” Neal membusungkan dadanya seolah ingin berkata, Lihat, kan? Aku mengatakannya dengan benar. Walau mungkin sebenarnya ia hanya mencoba menguatkan dirinya agar tidak kalah oleh tekanan dari Rowen.

“Dan kau membawa utusan mereka sejauh ini, Tuan Itsukushima.” Rowen melirik Itsukushima, lalu tertawa kecil. “Aku yakin itu tidak mudah. Tapi siapa yang bisa memastikan apakah wakil dari pasukan bantuan itu, atau Pasukan Perbatasan, atau apa pun mereka menyebut dirinya, benar-benar ada gunanya bagi kita…”

Itsukushima menatap ke langit-langit dengan wajah lelah. Sepertinya ia sudah sering jadi sasaran olok-olok kapten pengawal kerajaan ini, dan yang ada di pikirannya pasti, Jangan lagi-lagi begini…

Ranta melirik Haruhiro, bibirnya bergerak tanpa suara. 

“Apa kita bunuh saja dia?”

Kurang lebih itu maksudnya.

“Kau tolol…” 

Haruhiro membalas dengan gerakan mulut juga.

“Aku paham,” kata Gottheld sambil mengangkat bahu. “Aku tak ingin menyusahkan komandan pengawal kerajaan kita. Akan ku minta menteri kiri saja untuk menemani kami.”

Mata Rowen memancarkan amarah. Rupanya dia cukup mudah tersulut emosi. “Kami, para pengawal kerajaan, adalah orang-orang yang diberi amanah untuk melindungi Istana Besi dan raja besi. Berani sekali kau mengesampingkanku, kapten mereka?!”

Si dwarf bisa terlihat cukup menakutkan ketika marah. Dia tidak hanya meraih gagang pedang besar di punggungnya, tapi benar-benar menggenggamnya erat, memberikan kesan bahwa jika dia benar-benar mencabutnya, ini tidak akan berhenti hanya pada ancaman belaka. Mungkin itu hanya akting. Tapi bisa juga dia serius. Mana yang benar? Jujur saja, Haruhiro tidak bisa memutuskan.

Entah sejak kapan, Neal sudah bersembunyi di belakang Haruhiro dan yang lainnya. Dasar pengecut bajingan, Haruhiro ingin meledekinya, tapi dia tak punya waktu untuk mengutuk wakil tak berguna itu. Aku benar-benar ingin mengakhiri ini dengan damai. Tapi bagaimana caranya?

“Bisakah kau hentikan ini?” suara Merry begitu dingin, seakan bisa membekukan gendang telinga. “Musuh sudah ada di gerbang. Apa ini saatnya untuk bertengkar sendiri? Jangan bercanda.”

Haruhiro hampir lupa. Merry bukan hanya baik, cantik, serius, dan paling perhatian pada rekan-rekannya dibanding siapa pun. Dia juga bisa sangat menakutkan kalau marah. Dan dia sama sekali tidak segan mengutarakan pikirannya ketika ia menginginkannya.

Janggut hitam Rowen bergetar. Apa dia sedang memikirkan apa yang ingin dia lakukan pada perempuan manusia yang berani melawannya ini? Wajahnya tampak begitu terkejut sampai-sampai dia sendiri tak tahu harus bereaksi bagaimana.

“Nyaa!” Yume tiba-tiba melompat.

“Kamu kucing sekarang?!” Ranta menyahut cepat.

“Mweh? Nfuh!” Yume memiringkan kepalanya, mengeluarkan suara-suara aneh lagi, lalu akhirnya mendekati Rowen dan mulai memukuli armornya.

“Kami sedang terburu-buru, oke? Musuh bawa hetsun. Mereka bakal muter-muter di terowongan, dan mungkin keluar di Kerajaan Ironpot.”

“Banyak yang salah dari ucapannya…” Setora menghela napas. “Di Kerajaan Ironblood ada yang disebut hethrang, bukan? Sepertinya mereka sudah berbalik melawan kalian. Satu unit musuh yang membawa senjata api hasil curian dari kalian kemungkinan berencana menyerang lewat terowongan para gnoll. Itulah informasi yang ingin kami sampaikan pada raja besi. Menurutku itu seharusnya jadi masalah mendesak bagi kalian.”

“Hethrang, kau bilang? Lewat terowongan gnoll…”

Rowen menggeram seperti binatang buas. Meski si dwarf itu sombong dan mudah tersulut emosi, ia jelas percaya diri dengan kekuatannya. Ia juga cepat menangkap maksud lawan bicara. Walau sebelumnya begitu terang-terangan bersikap bermusuhan, ia bisa langsung melupakan hal itu dalam sekejap, bahkan tersenyum tipis sambil mengangguk.

“Itu memang terdengar seperti masalah yang mendesak. Tuan Utusan, aku akan mengantarmu beserta rombongan menemui Raja Besi. Ikuti aku.”

Begitu menerima tugas itu, kapten berjanggut hitam dari pengawal kerajaan langsung bergerak cekatan. Ia menyuruh anak buahnya menghubungi pihak yang berwenang, lalu meminta rombongan delegasi menunggu di ruangan lain sekitar lima menit. Setelah itu, Rowen sendiri yang memimpin mereka menyusuri aula besi, hingga akhirnya mereka menaiki sebuah elevator megah yang begitu megahnya sampai terkesan berlebihan.

“Elevator ini, yang akan membawa kita ke ruang audiensi, dirancang oleh penemu agung Duregge untuk raja besi pada masanya, dan digerakkan oleh sebuah mekanisme yang dikenal sebagai mesin uap,” jelas Rowen dengan fasih meski tak ada yang bertanya. Sikapnya saat ini terasa benar-benar berbeda dari sebelumnya. Sedikit menyeramkan, malah.

“Kerajaan Ironblood kita telah diperintah oleh banyak generasi raja yang bijaksana dan pemberani. Namun, raja besi saat ini adalah penguasa agung yang jarang ditemukan. Tuan Utusan, kata-kata Anda akan diterima dengan ramah. Namun sebagai seorang abdi, izinkan saya meminta Anda agar tidak terlalu bersandar pada kemurahan hati beliau. Dalam keadaan normal, tak seorang pun selain mereka yang telah bersumpah setia kepada sang raja yang diperkenankan masuk ke ruang audiensi.”

Namun, cara Rowen berbicara seakan hanya sopan di permukaan, sementara dalam hatinya ia tak menyimpan apa-apa selain penghinaan.

Akhirnya, elevator itu berhenti. Begitu mereka keluar, tampaklah sebuah aula luas. Dan itu hanyalah ruang depan. Para dwarf berjanggut hitam dari pengawal kerajaan berjaga di depan sepasang pintu baja. Dilihat dari ukuran aula, pintu itu tak bisa dibilang besar. Tidak pula tampak megah, bahkan terkesan kasar dan kaku.

Rowen mengangguk pada para dwarf berjanggut hitam itu, lalu jalan pun dibukakan. Pintu geser ganda itu terbelah dengan mulus.

Ruang audiensi besi terbentang panjang. Di sisi paling jauh, lantainya ditinggikan dengan beberapa anak tangga, dan sebuah tirai menutupi sebagian panggung di atas sana.

Ruang audiensi itu tidak hanya dipenuhi para dwarf berjanggut hitam. Ada juga seorang dwarf berjanggut merah dengan zirah merah, serta dua elf. Salah satunya tampak seperti pria paruh baya, meski sulit menebak usia sebenarnya seorang elf. Sedangkan yang satu lagi, Haruhiro bahkan tidak yakin apa jenis kelaminnya. Wajah elf itu begitu simetris sempurna hingga, meskipun jelas indah, rasanya ia bukan lagi makhluk hidup.

“Itu tetua kaum elf, yang terhormat Harumerial Fearnotu, dan kepala Keluarga Tujuh Pedang Mercurian, yang terhormat Eltalihi Mercurian,” bisik Itsukushima dengan suara rendah. Elf paruh baya itu kemungkinan Mercurian, sementara elf berwajah ambigu tadi adalah sang tetua.

“Tuan Redbeard,” ucap Gottheld sambil mengangguk ke arah dwarf berjanggut merah.

“Namanya Axbeld, menteri sayap kiri—disingkat menteri kiri,” jelas Itsukushima, melirik Rowen sebelum menambahkan, “Saingan kapten pengawal kerajaan.”

Rowen maju mendekati panggung dan berlutut. Gottheld pun melakukan hal yang sama. Menteri sayap kiri, Axbeld, serta elf paruh baya itu juga menirukan gerakan tersebut. Tetua elf menoleh ke arah panggung, wajahnya sedikit menunduk. Para pengawal berjanggut hitam sama sekali tak bergerak.

Neal berdeham, lalu ikut berlutut. Haruhiro, Ranta, dan yang lain saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dan ikut berlutut.

Keheningan mutlak menyelimuti ruangan tanpa terdengar sedikit pun suara.

“Itsukushima, senang kau sudah kembali,” terdengar suara seorang wanita dari balik tirai.

“Ohhh…” seseorang berseru pelan. Mungkin Gottheld? Rowen dan Axbeld segera menundukkan kepala mereka lebih dalam lagi.

“Huh…?” gumam Kuzaku. “Tunggu dulu, itu ratu?!”

“Betapa kurang ajarnya kau…” gumam Rowen, suaranya penuh kejengkelan.

“Kau bego, ya?” Ranta mendecakkan lidah dengan nada muak. “Dia mungkin cuman juru bicara sang raja atau semacamnya.”

“Oh, iya juga,” balas Kuzaku sambil terkekeh.

Itsukushima menghela napas. “Bukan. Itu memang dia sendiri.”

“Inilah masalah dengan kalian, manusia…” kata Rowen, jelas sekali kesal. Haruhiro berharap rekan-rekannya bisa diam, meski bukan karena rasa hormat. Sebesar apa pun sang raja besi, ia bukanlah penguasa mereka.

“Aku sudah mendengar intinya.”

Namun, begitu ia merasakan pemilik suara itu berdiri di balik tirai, Haruhiro entah kenapa ikut menegang. Ia mengangkat pandangan dengan mata, sementara wajahnya tetap menunduk, dan melihat tirai itu perlahan terangkat.

“Y-Yang Mulia…”

Rowen tampak jelas terguncang. Itu mungkin berarti sang raja besi jarang menampakkan diri. Bisa juga jarang berbicara dengan suaranya sendiri. Ranta tadi memang sempat menyinggung soal juru bicara sang raja. Di atas panggung, ada sebuah takhta yang tampak seperti gumpalan besi, dan seorang wanita berdiri di depannya. Di belakang takhta, agak ke samping, berdiri seorang gadis berambut hitam. Mungkinkah gadis itu selir istana yang biasanya berbicara menggantikan sang raja?

Itu sang raja?

Raja kaum dwarf.

Raja besi.

Katanya, nama sesuatu mencerminkan wujudnya…

Eh, darimananya?

Sang tetua elf memang tampak tak duniawi, namun ratu para dwarf berada di dimensi yang sama sekali berbeda. Kata berkulit putih seolah diciptakan hanya untuk mendeskripsikan dirinya. Rambut peraknya yang berkilau bagaikan karya seni paling agung, dan mata biru itu—permata tiada banding, yang mustahil dimiliki siapa pun selain dirinya.

Haruhiro pernah melihat para perempuan dwarf di luar Istana Besi. Ia pun melihat selir istana yang berdiri di belakang sang ratu. Selir itu memang ramping, dan penampilannya jauh melampaui para dwarf biasa. Namun, ratu ini berada di level yang bahkan lebih tinggi dari itu.

Dia tak ada bandingannya, pikir Haruhiro. Pastilah tak ada wanita lain sepertinya di seluruh Grimgar. Postur tubuhnya, bentuk wajahnya, semuanya begitu istimewa. Benarkah dia seorang ratu? Lebih masuk akal kalau mereka bilang dia sebenarnya dewi. Bukankah dia seorang dewi?

Haruhiro diliputi emosi. Singkatnya, ia hanya bisa berpikir, “Wow, aku beruntung bisa melihat ini.” Pemandangan seperti itu mungkin hanya bisa dilihat sekali seumur hidup—jika beruntung. Banyak orang bahkan takkan pernah mendapat kesempatan seperti ini. Begitu menakjubkannya sang ratu dwarf.

Kalau saja, secara teori, ratu itu berkata, “Kau di sana, bersumpahlah setia kepadaku dan serahkan hatimu,” sanggupkah ia menolak? Haruhiro tak yakin. Sementara Ranta dan Kuzaku, pastilah mereka langsung menjawab, “Dengan senang hati,” tanpa ragu sedikit pun.

“Aku tak hanya ingin mendengar langsung dari kalian, tapi juga mendengar pendapat kalian. Kita harus segera mengadakan dewan.”

Mata sang raja besi menyipit sedikit. Itu saja sudah cukup menyiratkan bahwa ia sedang berpikir dalam-dalam tentang masa depan, sekaligus menunjukkan kepeduliannya pada kondisi rombongan delegasi yang lelah setelah perjalanan panjang.

“Gottheld, Itsukushima, dan kalian semua dari utusan Pasukan Perbatasan. Bisakah kalian hadir?”

Haruhiro hampir saja menjawab, “Dengan senang hati,” namun buru-buru menelan kata-kata itu dan hanya menundukkan kepala.

“Oke…”

Suaranya malah terdengar seperti Kuzaku. Mungkin seharusnya ia benar-benar menjawab, “Dengan senang hati,” sejak awal.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x