12. Di Ujung Tatapan Itu (Grimgar)

Kuzaku bersandar pada dinding Kota Baru, menekuk lututnya, lalu menyatukan kedua tangannya. Kiichi memanfaatkan bahu dan kepala Kuzaku sebagai pijakan untuk memanjat dinding itu. Haruhiro menaruh kaki kanannya di telapak tangan Kuzaku, dan dalam sekejap Kuzaku mendorongnya ke atas.

Mereka menyeberangi dinding menuju Kota Baru pada malam hari, lalu bergerak menyusuri atap lorong-lorong jalan bawah. Di sinilah Kiichi benar-benar menunjukkan kemampuannya. Ia dengan mudah melompati lubang-lubang di atap, memimpin jalan, kadang memanjat gedung dengan cepat untuk mengamati keadaan sekitar, kadang pula tertinggal di belakang untuk berjaga. Haruhiro sama sekali tak perlu memberi perintah. Kiichi benar-benar nyaa yang cerdik. Itu membuat Haruhiro tak perlu banyak bicara. Ia memang lebih suka diam selama mungkin. Bukan berarti ia membenci orang lain atau semacamnya.

Tujuan mereka adalah Ahsvasin.

Mereka mencoba turun ke jalan yang mereka yakini menuju ke sana, namun seperti yang bisa diduga, lalu lintas goblin di sana terlalu padat. Sekalipun menggunakan Stealth, belum tentu mereka bisa lolos.

Haruhiro dan Kiichi pun kembali ke atap lorong jalan itu. Semakin dekat dengan Ahsvasin, gedung-gedung di sekitarnya menjulang bak tebing. Dinding-dindingnya dipenuhi lubang—atau lebih tepatnya jendela—dan bentuknya pun berbeda-beda. Hal itu membatasi jumlah dinding yang mungkin untuk dipanjat.

Ia mengambil risiko dan mencoba masuk lewat salah satu jendela. Tata letaknya cukup rumit. Beberapa ruangan memiliki pintu, sementara yang lain tidak. Sesekali, ada goblin yang tidur di ranjang—yang lebih mirip tumpukan tanah—di tengah koridor.

Entah sejak kapan, Kiichi menghilang. Namun Haruhiro tidak khawatir. Saat ia masih menjelajahi bangunan itu, si nyaa kembali. Kiichi menoleh ke arah tempat ia datang tadi, lalu sedikit mengibaskan ekornya. Haruhiro menafsirkannya sebagai isyarat untuk mengikuti.

Mengikuti Kiichi, ia sampai di sebuah ruangan yang terasa seperti gudang bawah tanah, meski sebenarnya tidak berada di bawah tanah. Di dalamnya ada deretan pot besar dan kecil, tersusun rapi maupun bertumpuk. Apa ini? pikirnya. Ruangan itu dipenuhi bau menyengat yang khas—tidak sepenuhnya menusuk hidung, tapi aneh, campuran antara apek dan manis.

Ia membuka salah satu pot, dan di dalamnya terdapat gumpalan yang hanya bisa ia duga sebagai jamur. Bau busuknya seratus kali lipat lebih parah dari yang sudah ia hirup sebelumnya. Cepat-cepat ia menutup kembali tutupnya, namun indra penciumannya tidak akan pulih dalam waktu dekat.

Di bagian atas ruangan itu terdapat sejumlah jendela. Fajar sebentar lagi menyingsing.

Sepertinya ini sebuah gudang penyimpanan. Apakah isi dalam pot itu makanan? Apakah mereka benar-benar memakannya? Jika itu hasil fermentasi, mungkin saja.

Haruhiro memutuskan untuk bersembunyi di bagian belakang gudang itu dan menunggu hingga malam tiba. Sesekali ia merasakan keberadaan goblin, namun meskipun mereka lewat di dekat gudang, tidak satu pun yang masuk. Kiichi tidur meringkuk di kakinya. Jika Kiichi—dengan indra yang jauh lebih tajam dibanding manusia—bisa tidur nyenyak di sini, berarti tempat ini cukup aman. Meski begitu, Haruhiro tidak bisa lengah. Tetap saja, bila ia terus menegangkan diri, ia tidak akan sanggup bertahan. Ia harus menjaga fokus sambil tetap beristirahat, mengarahkan perhatiannya hanya pada hal-hal yang penting. Dengan punggung menempel pada dinding, ia hampir terlelap, tapi telinganya tidak melewatkan suara sekecil apa pun.

Sesekali Kiichi terbangun, lalu keluar dari gudang.

Haruhiro sendiri kadang berdiri untuk meregangkan badan. Dua kali ia memakan ransum daruratnya, dan selalu berbagi dengan Kiichi.

Saat matahari terbenam dan para goblin beranjak tidur, Haruhiro dan Kiichi meninggalkan gudang.

Sepanjang siang Kiichi sudah berkeliling bangunan, jadi ia memahami tata letaknya dengan baik. Dipandu oleh si nyaa, Haruhiro berhasil menemukan jalan keluar, meski ia tidak mendekat karena ada goblin berjaga. Di saat itu juga ia menyadari alasan mengapa desain bangunan ini terasa begitu rumit. Mungkin ini memang ciri khas bangunan tersebut: tak ada tangga sama sekali. Karena itu, tidak ada batas jelas antara lantai pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Setiap ruangan berbeda ukuran dan tinggi langit-langitnya, sementara sebagian besar koridor dibuat miring. Sama sekali tidak terlihat adanya tangga. Ruangan-ruangan di atas terhubung dengan ruangan di bawah melalui lubang, dan kadang ada tali yang menjuntai dari sana.

Haruhiro memutuskan untuk terus naik, lebih tinggi lagi. Ia harus berhati-hati setiap kali melangkah, karena goblin bisa muncul kapan saja, dan itu sering memaksanya mengambil jalan memutar. Perjalanannya memakan waktu. Namun perlahan, tanpa terburu-buru, ia terus mendaki. Selalu lebih tinggi.

Akhirnya ia tak bisa menemukan jalan untuk naik lagi. Ia mencari sebuah jendela, lalu keluar lewat sana.

Tingginya kira-kira empat belas atau lima belas meter dari tanah. Angin berhembus kencang, membuat kedua kakinya sedikit gemetar. Kiichi dengan lincah memanjat dinding. Apakah mereka sudah sampai di puncak? Tempat Kiichi berada sekarang mungkin adalah titik tertinggi dari bangunan ini.

Oh. Rupanya Kiichi juga menunjukkan jalur yang bisa dipakai Haruhiro. Ia pun mencoba mengikutinya. Meski tidak semulus Kiichi, Haruhiro berhasil naik dan sampai di atap.

Atap itu tidak rata. Bentuknya mirip gumpalan adonan yang dipipihkan, tanpa tonjolan apa pun di tepinya. Jika ia sampai tergelincir, tamatlah riwayatnya. Dengan hati-hati Haruhiro berlutut, menatap ke arah Ahsvasin—Langit Tertinggi. Struktur itu menjulang megah di atas bangunan ini. Tingginya pasti lebih dari tiga puluh meter. Salah satu dari lima struktur menyerupai lengan yang tumbuh darinya menjulur tepat di atas bangunan tempat Haruhiro dan Kiichi berdiri sekarang.

“Besar sekali…!”

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Haruhiro bersuara. Kiichi menggesekkan kepalanya ke lutut Haruhiro. Ia mengelus si nyaa, yang lalu menyipitkan mata dengan ekspresi puas.

“Maaf sudah menyeretmu ikut. Kalau aku sendirian, mungkin aku sudah merasa putus asa. Kehadiranmu benar-benar menolongku.”

Seolah berkata, Jangan dipikirkan, Kiichi mengeong pendek.

Haruhiro menarik napas panjang beberapa kali.

Oke. Ayo.

Ia mulai menuruni atap, dari sisi yang berlawanan dengan tempat ia datang sebelumnya—sisi yang menghadap langsung ke Ahsvasin. Sama seperti saat ia naik tadi, tidak banyak tempat yang bisa dijadikan pijakan untuk turun. Ia terpaksa melompat dari jendela ke jendela. Bila tidak menemukan jalan untuk turun lebih jauh, ia akan masuk dulu ke dalam lewat jendela.

Kalau ia sendirian, pasti sudah menyerah. Tidak, lebih buruk lagi. Tanpa bantuan Kiichi, semua ini mungkin akan memakan waktu berkali lipat, dan sekalipun begitu, ia mungkin tetap tidak akan bisa sejauh ini.

Ketika langit mulai terang, ia hampir mencapai permukaan tanah. Setelah Kiichi memastikan keadaan sekitar aman, Haruhiro masuk lewat sebuah jendela. Ia menyipitkan mata, menatap ke arah Ahsvasin.

Aku tak menyangka areanya akan seperti itu…

Daerah yang dikelilingi struktur raksasa itu pastilah kawasan Ahsvasin. Itu berupa tanah lapang dengan pagar, tembok, serta jalan lorong yang menuju ke dalam bangunan—atau, begitulah dugaan Haruhiro. Namun ternyata, tidak demikian.

Sebuah parit dalam menganga di tanah.

Apakah itu parit pertahanan? Tampaknya tidak berisi air. Parit kering? Atau mungkin mereka menggali lubang raksasa, lalu membangun Ahsvasin di dasar lubang itu?

Parit itu kedalamannya sekitar sepuluh meter. Lebarnya bahkan lebih besar lagi—Haruhiro memperkirakannya sekitar dua puluh meter.

Bukan tidak mungkin untuk menyeberanginya, pikirnya. Karena ini parit kering, aku bisa turun ke dasarnya lalu berjalan melintasinya. Masalahnya adalah setelah itu. Bagaimana aku masuk ke dalam Ahsvasin?

Haruskah aku langsung turun dan lihat saja apa yang terjadi? Tidak, sekarang bukan saatnya berjudi. Matahari sebentar lagi terbit. Lebih baik aku menahan diri dulu.

Haruhiro memutuskan untuk bersembunyi di salah satu bangunan sampai malam tiba. Kiichi sepertinya mengerti, dan menuntunnya ke tempat yang aman. Kali ini berupa ruangan kecil mirip gudang, penuh dengan barang-barang acak. Berdebu, memang, tapi jauh lebih nyaman dibanding tempat persembunyian sebelumnya. Hampir tidak ada tanda-tanda goblin di sekitar, sampai-sampai Haruhiro berani berbaring dan tertidur.

Siang itu terasa panjang. Ia punya banyak waktu untuk berpikir.

Ketika malam kembali menyelimuti, Haruhiro memutuskan untuk memeriksa seberapa jauh ia bisa turun di dalam bangunan yang dihinggapinya. Ada firasat samar bahwa mungkin terdapat ruang di bawah parit tersebut. Jika memang ada, mungkinkah ia bisa masuk ke sana lewat bangunan ini?

Setelah menuruni jalan cukup jauh, akhirnya ia menemukan sebuah pintu keluar. Tak ada goblin di sekitar. Ia sempat ragu sejenak, lalu menguatkan tekadnya.

Ia melangkah mendekati pintu. Ia coba menarik dan mendorong gagangnya, tapi itu tidak bergeming. Lalu ia memutar gagang itu. Barulah pintu bergerak. Perlahan-lahan terbuka. Haruhiro sudah berusaha sekuat mungkin agar tidak menimbulkan suara, namun mustahil membukanya tanpa bunyi. Suaranya bahkan lebih menyakitkan telinga daripada sekadar berderit.

Ia mengintip lewat celah yang terbuka. Kiichi dengan gesit menyelinap keluar lebih dulu.

Di luar ternyata sebuah lorong. Remang-remang, namun tidak begitu gelap juga. Tidak jauh dari sana ada percabangan berbentuk huruf T. Sepertinya ada cahaya lampu di baliknya.

Tiba-tiba ia mendengar sesuatu bergerak di belakang. Gob? Ada goblin yang sedang mendekat dari dalam bangunan.

Kalau ia kembali ke dalam sekarang, justru bisa lebih berbahaya. Haruhiro membuka pintu lebih lebar dan segera keluar. Ia menutupnya kembali. Suaranya begitu keras sampai membuatnya mandi keringat dingin. Apa goblin di dalam bangunan itu mendengar tadi? Ia tidak tahu. Pintu sudah tertutup, jadi tidak ada cara untuk memastikan.

Mungkin tadi ia terlalu tergesa, meski tak bermaksud demikian. Bagaimanapun, ia sudah menyeberangi jembatan berbahaya.

Kiichi menghilang di balik persimpangan T. Ke kiri. Kiichi belok ke kiri.

Haruhiro buru-buru mengejarnya. Namun demi berjaga-jaga, ia berhenti tepat di persimpangan itu, hanya menyorongkan wajahnya sedikit untuk melihat ke kedua arah. Jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Di sebelah kanan ada goblin. Tak jauh, mungkin hanya lima meter. Mereka menaruh sebuah lampu di lantai, dan kini berjongkok mengelilinginya, sibuk dengan sesuatu. Mereka belum menyadari keberadaannya. Malah, pandangan mereka tertuju ke tanah. Mereka mengenakan zirah tembaga, helm, perisai di punggung, dan tombak yang disandarkan ke dinding lorong. Mereka bersenjata lengkap. Goblin penjaga yang sedang berpatroli, ya?

Haruhiro segera menarik wajahnya kembali. Kiichi tadi sudah berbelok ke kiri. Goblin penjaga itu belum menyadarinya. Yah, dari tingkah mereka, sepertinya mereka juga tidak akan memperhatikan Kiichi. Kalau mereka tidak curiga ada sesuatu di sana, mungkin saja mereka juga akan gagal menyadari keberadaan Haruhiro.

Ia mengintip sekali lagi ke arah para goblin penjaga. Mereka masih berjongkok di tempat, melakukan entah apa, sambil berbicara dengan suara pelan.

Tak ada yang tahu kapan goblin di dalam bangunan itu keluar lewat pintu di belakangku.

Aku harus menenggelamkan diriku.

Menyelam.

—Stealth.

Haruhiro lalu berbelok ke kiri di persimpangan T. Tanpa menoleh ke belakang pun ia bisa menebak apa yang dilakukan goblin penjaga itu. Mereka masih saja berjongkok.

Jalan lorong segera berakhir, lalu berbelok ke kanan. Tidak ada tanda-tanda Kiichi. Dari belakang, ia mendengar langkah kaki. Goblin penjaga itu tampaknya mulai bergerak.

Haruhiro terus maju menuruni lorong itu. Ada lagi persimpangan berbentuk T. Dari arah kiri, Kiichi menyembulkan kepalanya sebentar, lalu menghilang lagi ke jalan itu. Haruhiro pun mengikuti. Lorong itu berbelok ke kanan dan menurun curam. Ia sempat merasa sudah berhasil menyusul Kiichi, tapi si nyaa itu terlalu cepat. Di ujung jalan, tampaknya terbuka sebuah ruang besar.

Ruangan itu luas.

Benar-benar luas.

Dan langit-langitnya pun sangat tinggi.

Tidak ada lubang sama sekali, tapi anehnya tempat itu terang. Tidak, kalau dilihat dari banyaknya cahaya sebenarnya, justru redup. Namun entah kenapa, terasa cukup terang.

Ada makhluk-makhluk bercahaya yang beterbangan di sekitarnya. Bukan hanya satu atau dua, tapi banyak sekali.

Apa sebenarnya mereka itu? Bentuknya mirip tali. Atau ular. Tapi ular tidak bisa terbang. Serangga, mungkin? Namun mereka tidak tampak punya sayap. Tubuhnya tipis dan pipih, memancarkan cahaya kekuningan samar. Mereka melayang dengan gerakan berpilin, berputar perlahan. Panjangnya bervariasi, ada yang sekitar sepuluh sentimeter, ada juga yang mencapai tiga puluh. Sebagian bahkan sangat tipis.

Apakah mereka hidup? Entahlah. Mungkin mereka bisa disebut cacing cahaya. Tapi belum tentu juga mereka benar-benar cacing.

Mengesampingkan itu, berkat cacing-cahaya, Haruhiro bisa melihat cukup jelas keadaan tempat ini, meski pandangannya tidak sepenuhnya terang.

Sepertinya ini adalah taman bawah tanah di depan Ahsvasin. Berbaris patung-patung yang tampaknya bisa dilewati di sela-selanya. Patung-patung itu berbentuk goblin. Bukan berukuran asli, melainkan dua kali lipat—tidak, mungkin tiga kali lipat—dari tinggi goblin biasa.

Namun patung-patung itu bukan sekadar hiasan. Mereka bisa dipanjat, dan di atas tiap patung selalu ada goblin bersenjata yang berjaga. Ada yang berdiri, ada yang duduk, semuanya menatap waspada mencari penyusup. Satu terlihat berdiri di kaki patung goblin yang duduk bersila, sementara yang lain nongkrong di pundaknya dengan satu lutut tertekuk.

Pada umumnya, tiap patung dijaga oleh satu atau dua goblin, kadang lebih—bahkan sampai lima sekaligus. Jumlah patung memang tidak sebanyak cacing-cahaya yang tak terhitung, tapi jelas lebih dari sekadar puluhan.

Kiichi tidak melangkah masuk ke taman depan bawah tanah itu. Tentu saja, Haruhiro juga tidak.

Bukan berarti penjagaannya begitu ketat, tapi tetap saja, ia tidak yakin bisa menembusnya.

Jarak antarpatung gob berbeda-beda—kadang hanya satu meter, kadang bisa sampai tiga. Sesekali ia melihat gob berjalan di antara patung-patung itu.

Kalau saja ada pertempuran, atau sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian mereka, mungkin masih ada peluang. Namun kenyataannya, meski sebagian tampak santai, goblin bersenjata itu tetap waspada.

Kesimpulannya: ini akan sulit. Setidaknya untuk saat ini. Mungkin, kalau menunggu cukup lama, ia bisa menemukan celah. Tapi rasa percaya dirinya hampir tak ada. Sejujurnya, lebih baik menganggap ini mustahil.

Tak peduli seberapa hati-hati ia bergerak, cepat atau lambat gob-gob itu pasti akan menemukannya. Dan kalau satu saja menyadarinya, puluhan lainnya akan menyerbu, mengepung dari segala arah. Dari sini saja ia bisa melihat cukup banyak yang membawa busur silang. Itu juga harus diperhitungkan.

“…Tidak ada pilihan lain,” bisik Haruhiro nyaris tanpa suara. Ia berjongkok, lalu menepuk kepala Kiichi.

Kiichi mendongak, menatapnya.

“Aku mengandalkanmu. Kembalilah pada yang lain.”

Kiichi mengeong lirih, seakan mengerti.

Haruhiro mengangguk tiga kali. Semua sudah siap. Ia menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan, lalu meregangkan tubuh. Dari sarungnya, ia menghunus sebilah belati—bukan miliknya. Pisau itu berwarna merah. Hi’irogane. Pisau milik Viceroy Bogg.

Setelah mengangguk sekali lagi, ia menyarungkan kembali belati hi’irogane itu.

“Aku berangkat.”

Haruhiro melangkah masuk ke taman depan bawah tanah.

Alih-alih menghapus keberadaannya, ia justru melebarkan indranya sejauh mungkin, sampai batas terakhir. Rasanya seperti dirinya sudah tidak lagi berada di sini—seolah ia sedang melihat dirinya sendiri dari tempat lain. Hampir seakan-akan ia adalah orang yang berbeda.

Yang pertama menyadarinya adalah gob bersenjata yang duduk di bahu kiri patung gob terdekat.

Gob itu segera sadar ada sesuatu—dan bukan salah satu dari mereka. Ia berdiri dengan cepat, memutar lehernya, dan mengeluarkan suara seruan, “Wohw.” Lalu, seakan berpikir, Astaga, itu manusia?, ia berteriak, “Fauh!” sambil mengangkat busur silang.

Itulah awal dari rangkaian reaksi berantai. Suasana pun mendadak ramai oleh teriakan goblin-goblin bersenjata di atas patung-patung.

Gob pertama melepaskan tembakan panah silang. Namun, selama Haruhiro tahu tembakan itu akan datang, ia tidak perlu terlalu takut. Ia memutar tubuh, menghindari proyektil itu. Tapi ia tidak lari. Belum. Ia menunggu. Sabar.

Gob pertama melompat turun dari tempatnya.

Pada saat yang sama, sedikit lebih jauh, gob lain melepaskan tembakan busur silang dari atas patung lain. Haruhiro sudah membacanya, sehingga ia bisa menghindar dengan mudah.

Gob pertama mendarat di tanah. Tepat sebelum kakinya menyentuh lantai, Haruhiro langsung menerobos di antara patung-patung.

Empat… tidak, lima gob bersenjata menghadangnya. Ada yang mengacungkan busur silang, ada pula yang sudah menyorongkan tombak. Meski begitu, mereka masih diliputi kebingungan.

Haruhiro menerjang para gob bersenjata. Hanya satu di antara mereka yang sempat menusukkan tombaknya. Haruhiro melangkah masuk, menangkap gagang tombak itu, lalu memutarnya. Gob itu menjejak kuat, berusaha keras agar senjatanya tidak terlepas. Namun, Haruhiro tiba-tiba melepaskannya tanpa perlawanan, dan terus melaju. Ia menembus barisan itu sekejap saja, lalu berlari melewati mereka.

Dalam perjalanannya, Haruhiro menendang satu atau dua gob, membuat mereka terjungkal ke tanah. Ia langsung melesat sebelum gob-gob lainnya sempat bereaksi.

Ia berniat menggunakan patung-patung gob sebagai penghalang, agar tidak terkepung. Namun, ia tidak punya waktu untuk berpikir sekaligus bergerak. Ke mana pun ia melangkah, ke arah mana pun ia berbelok, selalu ada gob bersenjata menanti. Beberapa yang lebih cerdik tetap bertahan di atas patung, menyiapkan busur silang mereka, membidik tepat ke arahnya.

Sudah berapa kali tombak dan anak panah menyambar tubuhnya? Ia bahkan tidak bisa menghitung lagi.

Meski berkali-kali terlintas dalam benaknya, Ini gawat, entah kenapa rasa takut itu tidak benar-benar muncul. Ia tahu, kalau membiarkan dirinya diliputi ketakutan, tubuhnya akan kaku, dan jika melakukan kesalahan sedikit saja, ia pasti akan terluka parah, tertusuk, atau tertembak hingga tewas.

Meski begitu, ia harus mengakui—sungguh menakjubkan bahwa ia masih hidup.

Ia sudah lama kehilangan arah. Kini, setidaknya selalu ada satu gob bersenjata dalam jarak setengah meter darinya. Luka tusukan di paha kiri dan lengan kanan atasnya bukanlah luka ringan. Nyeri itu menusuk, berdenyut, dan semakin membakar tubuhnya.

Bahkan sebelum sempat berpikir, Aku tamat, Haruhiro sudah mencabut pisau hi’irogane.

“Mod Bogg! Hi’irogane!” teriaknya, mengangkat pisau itu tinggi-tinggi.

Ia bermaksud menghindar dari tusukan tombak salah satu gob bersenjata, namun bahunya dihantam keras. Tidak sampai tertembus, tetapi ujung tombak itu menggores bagian atas bahu kanannya, membuat darah hangat merembes keluar.

“Hi’irogane!”

Dengan suara lantang, Haruhiro meraih gagang tombak itu dengan kedua tangan, lalu mendorongnya balik dengan kekuatan penuh. Gob itu masih bertahan, tak melepas senjatanya, tapi terpaksa berlutut menahan tekanan.

“Mod Bogg! Hi’irogane!”

Haruhiro menendang dagu gob itu, lalu mengayunkan pisaunya.

Para gob bersenjata berteriak, tapi anehnya tidak langsung menyerang. Mereka mundur selangkah, dua langkah.

“Hi’irogane! Mod Bogg! Hi’irogane!”

“Hi’irogane, hi’irogane…” gob-gob itu ikut bergumam. Tidak sedikit dari mereka yang mulai menoleh ke segala arah, seakan mencari sesuatu. Wajah-wajah mereka menunjukkan kebingungan. Apa yang harus mereka lakukan? Mereka tidak bisa memutuskan sendiri. Mereka butuh perintah. Itulah yang terbaca jelas dari reaksi mereka.

Sekitar sepuluh meter jauhnya, Kiichi berdiri di atas salah satu patung gob, matanya tertuju pada Haruhiro.

Tatapan mereka beradu.

—Atau setidaknya, begitulah rasanya.

Mendadak, Kiichi tampak terkejut akan sesuatu. Ia mengalihkan pandangannya. Ke mana? Mungkin ke puncak salah satu patung di dekat Haruhiro. Dan tepat setelah itu—

Sesuatu melayang menghujam ke arahnya. Ia tahu itu datang.

Aku bisa menghindar, begitu pikirnya, ketika sesuatu menghantam lehernya. Atau lebih tepatnya, sesuatu seperti tali melilit lehernya.

Sial!

Apa aku bakal mati?

Gweh!

Lilitan itu semakin kencang di lehernya. Lalu sebuah tarikan keras mengangkat tubuhnya ke atas. Haruhiro meronta. Ia menggerakkan tangan kirinya, meraba benda yang menjerat lehernya. Rasanya keras. Logam? Seperti sebuah kalung besi. Ia memaksa matanya melirik ke bawah, dan melihat warnanya merah. Logam merah. Hi’irogane? Ia mendongak. Di atas patung di sampingnya, ada seekor goblin. Wajahnya dihiasi bekas luka besar. Kiichi sedang menatap ke arahnya. Yang itu, ya? Goblin itu mengenakan sebuah perlengkapan merah, sepertinya terbuat dari hi’irogane. Tali atau rantai yang menjulur dari benda itu melilit leher Haruhiro. Ia kini terikat pada alat yang mencekiknya.

“Sungyah!”

Goblin bercacat wajah itu menarik tali—atau rantai, atau apapun itu—dengan kuat. Haruhiro hampir kehilangan kesadaran. Dia berusaha sekuat tenaga agar tidak menjatuhkan pisau milik Bogg.

Kiichi sudah tidak ada.

Tiba-tiba talinya mengendur, dan Haruhiro jatuh berlutut.

Namun goblin itu segera menariknya lagi.

“Ough…”

Aku mungkin sudah melakukan kesalahan.

Maaf, semuanya…


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x