11. Makna yang Tersembunyi (Grimgar)

Struktur guild dread knight memang sudah cukup unik, tapi guild thief ini jauh lebih aneh. Pintu masuk yang ditunjukkan Barbara adalah pintu besi berkarat yang sangat rendah. Di tengahnya terukir simbol berbentuk telapak tangan dengan lubang kunci di tengahnya—sepertinya itu lambang guild mereka. Tanpa memutar kenop, mendorong, atau menarik pintunya, Barbara membuka kunci dan membukanya begitu saja. Bagaimana caranya? Haruhiro sama sekali tidak tahu.

Begitu mereka melewati pintu itu, lorong sempit menyambut mereka, dengan rak di kedua sisinya. Setelah berbelok, mereka bahkan harus memiringkan tubuh untuk bisa terus berjalan. Ujung lorong itu ternyata buntu, tapi mereka bisa memanjat tali untuk menyeberang ke sisi lain langit-langit. Mereka merangkak melewati loteng yang dipenuhi sarang laba-laba, lalu turun ke lorong lain, menaiki dan menuruni sejumlah tangga, sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan tanpa lantai. Atau, lebih tepatnya, lantainya ada, tapi sangat jauh di bawah. Terlalu jauh untuk dilompati begitu saja. Tapi setelah diperhatikan lebih saksama, ternyata ada tangga. Mereka bisa turun dengan aman menggunakan itu.

“Duduk saja di mana pun,” kata Barbara sambil menunjuk ke beberapa sofa di ruangan temaram itu, lalu duduk di atas meja dengan kaki disilangkan. “Setelah jatuhnya Altana, markas guild thief kami direnovasi sedikit. Memang agak menyusahkan, tapi kalau tinggal di sini lama-lama juga terbiasa.”

“Masih ada berapa orang yang tersisa?” Anthony mendekati Barbara, memilih untuk berdiri ketimbang duduk. “Apa ada yang selamat di luar guild thief? Bagaimana dengan Pasukan Perbatasan? Apa yang terjadi dengan Jenderal Graham Rasentra? Apakah Markgraf selamat? Lalu para prajurit relawan…?”

“Wah, langsung dibanjiri pertanyaan ya? Harusnya ada pemanasan dulu, tahu?”

“P-Pemanasan?” Anthony tertegun, mundur sedikit. “…Maaf. Ya, tentu. Pemanasan… Memang semuanya ada urutannya, dan itu penting. Aku hanya terlalu terburu-buru…”

“Duh, manis banget sih kamu.” Barbara tertawa kecil, menyilangkan kakinya ke arah sebaliknya. “Sang markgraf  kabarnya masih hidup, ditawan di Menara Tenboro, tapi belum ada yang bisa memastikan. Jenderal Rasentra mati dalam duel satu lawan satu melawan orc bernama Jumbo. Pasukan Perbatasan habis tak bersisa. Altana sekarang dikuasai goblin. Situasinya kacau, dan aku frustrasi setengah mati. Mau bantu aku melampiaskan frustrasi nanti?”

“Y-Yah…” Anthony melirik Haruhiro dan yang lain yang duduk di sofa, lalu menggeleng. “Sebenarnya aku tidak sepenuhnya menolak, tapi rasanya… itu bukan hal yang seharusnya…”

“Orang dewasa bercinta, itu alami, tahu. Nggak perlu ditahan-tahan segala.”

“Y-Ya sih, tapi… Tunggu, serius?”

“Mau nggak? Jadi laki-laki dong! Jawab yang jelas!”

“B-Baik, aku mau.”

“Tunggu!” Neal bangkit dari sofanya dengan ekspresi gusar. “Lupakan si pemula itu! Lakukan denganku saja!”

“Siapa yang kau panggil pemula?!” bentak Anthony.

“Denganmu, ya?” Barbara menatap Neal sejenak, lalu menjilat bibirnya. “Kau bukan tipeku, tapi justru itu bikin aku makin tertarik.”

“Nanti setelah aku selesai denganmu, tubuhmu nggak akan mau disentuh pria lain lagi.”

“Semangatmu bagus. Tapi biasanya pria yang terlalu banyak omong itu malah bikin kecewa. Aku bicara dari pengalaman. Semoga kau bukan salah satunya.”

Apa sih yang mereka bicarakan…? Yah, Haruhiro tahu maksudnya, tapi kenapa malah membicarakan hal semacam ini? Kalau Barbara benar gurunya, seperti apa sebenarnya ‘pelatihan’ yang pernah dia berikan?

“Umm,” Merry mengangkat tangannya.

Barbara, Anthony, dan Neal langsung menoleh ke arahnya bersamaan.

Merry menerima tatapan mereka dengan tenang, senyum tipis terukir di wajahnya.

“Kalau kalian mau melampiaskan frustrasi, silakan. Tapi tolong disimpan untuk nanti saja. Kita datang sejauh ini untuk mengumpulkan informasi seakurat mungkin demi merebut kembali Altana.”

Anthony dan Neal tidak menjawab. Mereka hanya tampak sedikit kikuk.

“Oh, bagus juga.” Barbara menyeringai pada Merry. “Aku suka yang begitu. Aku suka gadis seperti kamu. Sebenarnya, kamu mungkin paling mendekati tipeku di sini. Mau main-main?”

Merry menatap tajam dan langsung menjawab, “Tidak mungkin.”

“Mmm…” Barbara mendesah seperti menikmati. “Itu malah makin membakar semangatku.”

Merry mendesah panjang dan menggeleng.

“Ada apa denganmu sih…?”

Serius deh, Haruhiro juga ingin bilang begitu, tapi dia ragu untuk mengkritik gurunya sendiri. Dia bahkan tidak tahu seperti apa hubungan mereka sebelum kehilangan ingatannya. Mungkin lebih aman kalau dia diam saja.

“Yasudah, kita cukup bercandanya,” kata Barbara, melompat turun dari meja dan memberi isyarat pada Haruhiro. “Ke sini, Kucing Tua. Ada beberapa hal yang ingin aku periksa dulu sebelum urusanmu kita bahas.”

“…Aku?”

“Iya lah. Ini pertemuan pertama kita lagi setelah sekian lama, murid dan guru. Kau pasti punya banyak hal untuk diceritakan padaku, kan?”

“Enggak juga, sih…” Haruhiro melirik ke arah Merry.

Dia benar-benar tidak punya apa-apa untuk diceritakan pada Barbara. Mustahil dia punya.

Apa yang harus kulakukan?

Merry juga tampak bingung, dan memiringkan kepala sedikit.

Sepertinya kamu nggak bisa menghindari ini.

Haruhiro pun bangkit dari duduknya.

“Baiklah… Barbara-sensei.”

“Bagus. Ke sini. Kau tahu maksudku.”

Barbara melangkah menuju dinding.

Tiba-tiba saja, dia menghilang.

Begitulah kesannya.

“Huh…?”

Haruhiro mengejarnya. Ia menyentuh dinding itu—dan ternyata bukan dinding. Sekilas terlihat seperti dinding kayu, tapi tidak keras. Lembut. Kain? Rupanya itu hanya tirai yang dirancang menyerupai dinding.

Ia melewati tirai itu, dan di baliknya ada sebuah ruangan kecil dengan lampu-lampu yang menempel di dinding… namun selain itu, kosong. Barbara pun tidak ada.

“…Sial, apa-apaan ini?”

Pasti ada trik tertentu di sini. Ia mencoba berbagai hal, dan akhirnya menemukan satu sisi dinding yang bisa dimasuki. Di baliknya, gelap gulita.

“Dimana ini…?”

“Kucing Tua,” suara Barbara terdengar dari sampingnya.

Barbara berdiri tepat di sebelahnya.

“Se-… Sensei.”

“Kau benar-benar Kucing Tua?”

“…Apa maksudmu?”

“Kau tak mengenaliku, ya?”

“Itu tidak ma-…suk akal.”

“Saat pertama kali bertemu denganmu, kupikir kau takkan bertahan lama.”

Barbara terasa begitu dekat, seolah bisa disentuh, tapi pada saat yang sama terasa jauh. Apakah dia bergerak? Haruhiro tak yakin. Sulit untuk memastikan.

“Lambat laun, aku mulai berpikir kau mungkin punya potensi. Waktu kudengar kabar kau mungkin tewas di Wonder Hole, aku kecewa. Jarang-jarang aku merasa begitu.”

“…Maaf.”

“Itu sudah empat tahun yang lalu, kau tahu.”

“Empat tahun…”

“Kudengar desas-desus kalau Typhoon Rocks sempat bertemu denganmu setelah itu, tapi setelahnya tak ada kabar lagi. Aku mengira kau sudah mati.”

“Yah… Itu wajar.”

“Kau tidak ingat?”

“…Huh?”

“Jawab jujur.”

Sesuatu melilit lehernya.

Sebuah tangan.

Dingin.

Mungkin tangan Barbara.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak… Pasti ada sesuatu yang terjadi, dan kau kehilangan ingatan. Atau… kau bukan orang yang sama lagi.”

Apa dia tahu sesuatu? Mungkin dia punya dugaan. Kalau tidak, dia takkan langsung menyimpulkan bahwa Haruhiro lupa, atau tak mengingatnya sama sekali.

“Me-Menara Terlarang,” kata Haruhiro, dan genggaman tangan di lehernya mengencang.

Haruhiro mendesah tertahan, kesulitan bernapas, tapi Barbara cepat-cepat mengendurkan cengkeramannya.

“Lanjutkan.”

“…Aku terbangun di sana. Di bawah tanah. Di Menara Terlarang. Saat sadar, aku tak ingat apa pun, kecuali namaku sendiri. Merry dan yang lainnya… rekan-rekanku, serta Io, juga ada di sana.”

“Io. Dari Day Breakers?”

“…Aku tak ingat soal itu. Tapi ada Hiyomu juga—”

“Ohh… Wanita yang suka bersikap lebih muda dari usianya itu, ya?”

“Hiyomu juga di sana. Dia berpura-pura tak punya ingatan. Tapi itu bohong… Seolah-olah… dia sedang mencoba menipu kami.”

“Mencoba menipu kalian?”

“…Sebenarnya bukan dia, tapi tuannya, kurasa? Ada seseorang yang dia panggil Master. Katanya, dialah yang mencuri ingatan kami. Hiyomu bilang kalau kami ingin penjelasan, kami harus melakukan apa pun yang diperintahkannya.”

“Mencuri ingatan? Itu mungkin? Apa pakai relik? Tapi tetap saja…”

“Oh, tapi Merry—dia ikut bersama kami—tidak kehilangan ingatannya. Karena itu, semua orang kecuali Io, Gomi, dan Tasukete menolak ‘tawaran’ Hiyomu. Meski sebenarnya lebih mirip ancaman.”

“Lalu, setelah serangkaian kejadian, kau bertemu denganku lagi, ya?”

“Ya… Tapi seperti katamu, aku benar-benar tak ingat siapa itu Sensei.”

“Anthony itu… dia dari Pasukan Perbatasan, ya?”

“Katanya dia mengawal seorang utusan ke daratan utama.”

“Dan Neal?”

“Salah satu bala bantuan dari daratan utama… Katanya dia pengintai dari Pasukan Ekspedisi, atau semacamnya.”

“Jadi Pasukan Ekspedisi ini sedang mencoba merebut kembali Altana?”

“Kelihatannya begitu.”

“Sejujurnya, aku tidak terlalu berharap, tapi tampaknya pihak daratan bergerak sesuai jadwal. Kucing Tua.”

“Ya. Um…?”

“Apa?”

“Apa maksudnya ‘Kucing Tua’ itu?”

“Sesama thief memanggil satu sama lain dengan nama kerja. Sudah tradisi. Sebagai instrukturmu, aku yang memberimu nama itu.”

“Kucing Tua…”

“Karena matamu seperti kucing tua.”

“…Ahh.”

“Seekor kucing yang sudah hidup lama tidak akan mudah tertipu. Mereka selalu tenang, hidup sesuka hati mereka. Harapanku, kau bisa bertahan hidup dan menjadi thief seperti itu. Meski sebelumnya aku tak pernah memberitahumu.”

Haruhiro sama sekali tak mengingat apa pun, jadi seharusnya cerita itu tak membuatnya merasa apa-apa. Namun, entah kenapa, hatinya tergerak. Ia takut emosinya akan membuatnya mengambil keputusan yang salah, tapi wanita ini adalah gurunya. Ia merasa berutang budi padanya.

Barbara akhirnya melepaskan tangannya dari leher Haruhiro, lalu membelai pipinya.

“Berapa banyak ya, murid yang dulu kuajari dasar-dasar menjadi thief, yang masih tersisa sekarang?”

“Apa yang… terjadi dengan para prajurit relawan?”

“Soal itu…”

“Ya?”

“…Kita harus berpikir matang-matang. Bisa kah kita percaya pada pihak daratan? Kita juga tidak tahu apakah tujuan Pasukan Ekspedisi sama dengan tujuan pihak daratan.”

Guru Haruhiro tampaknya adalah orang yang berhati-hati dan penuh pertimbangan. Berapa usianya? Haruhiro tak tahu pasti, tapi jelas dia jauh lebih tua darinya. Kemungkinan besar dia juga jauh lebih berpengalaman, dengan banyak informasi yang tak diketahui Haruhiro dan teman-temannya.

Meskipun sedikit ragu, Haruhiro merasa dia adalah orang yang pantas dipercaya.

“Sensei.”

“Hm?”

“Jenderal Pasukan Ekspedisi bilang, kalau mereka gagal merebut kembali Altana atau Riverside Iron Fortress, pihak daratan mungkin akan menyegel Jalan Aorta Naga Bumi.”

“Jadi, pihak daratan dan Pasukan Ekspedisi tidak satu suara, ya?”

“Aku tak bisa jamin jenderal itu berkata jujur, jadi aku juga tak bisa yakin. Tapi kalau melihat kualitas Pasukan Ekspedisi, rendahnya moral mereka, dan mempertimbangkan spekulasi Anthony—yang pernah ke daratan—kurasa itu benar.”

“Pihak daratan tidak ingin kehilangan daerah perbatasan. Tapi mereka juga tak mau ambil risiko besar atau buang-buang sumber daya untuk merebutnya kembali…”

“Kelihatannya sebagian besar tentara Pasukan Ekspedisi adalah pembelot, atau preman.”

“Membersihkan orang-orang bermasalah, ya? Bagaimana dengan komandannya?”

“…Apa sebaiknya kuceritakan semuanya sekarang?”

“Tentu saja. Ceritakan semuanya, sedetail mungkin. Aku ingin bicara soal urusan penting.”

“Baik, tapi… Kalau kuceritakan dari awal, akan cukup memakan waktu. Nanti mereka pikir kita sedang melakukan sesuatu yang aneh…”

“Biar saja mereka mengira murid dan guru yang lama tak bertemu sedang melepas rindu dengan penuh gairah.”

“Uh, justru itu yang aku khawatirkan bakal mereka pikirkan…”

“Ohh, Merry ya namanya? Dia wanitamu?”

“Bukan. Aku tak pantas untuknya. Lihat saja aku ini. Sudah jelas.”

“Duh, dasar bocah bodoh.”

Tiba-tiba Haruhiro merasakan sesuatu yang lembut menempel di antara dagu dan bibirnya, disertai suara ciuman.

“A-Apa yang…?!”

Haruhiro menyentuh bagian itu. Rasanya sedikit lembap.

“Apa yang kau lakukan, Sensei?”

“Tentu wajah tampan tak ada salahnya. Tapi seorang pria bukan cuma tentang wajah.”

“…Mungkin yang salah dariku bukan cuma wajah? Aku bahkan tak punya ingatan.”

“Bukan kau yang memutuskan apakah kau pantas atau tidak. Itu hak pasanganmu. Kalau aku, aku ingin mencicipimu, tahu?”

“Sensei bercanda… kan?”

“Kau pikir begitu?”

Soal apakah Barbara sungguh-sungguh atau tidak, dan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan muridnya setelah itu, biarlah imajinasi kalian yang menentukan. Apa pun kenyataannya, para pihak ketiga hanya bisa menebak-nebak dan membayangkan skenario yang mungkin.

Setelah waktu yang tidak singkat berlalu, Haruhiro dan Barbara kembali ke ruangan tempat ketiga orang lainnya menunggu.

Suasana ruangannya terasa… berbeda.

“…Kalian lama sekali.”

Itu saja yang dikatakan Anthony, tapi dari caranya duduk di atas meja dengan ekspresi cemberut, jelas ada sesuatu.

Neal, yang duduk di sofa dengan kaki terbuka lebar dan siku bertumpu pada lutut, mendecakkan lidahnya dengan keras.

“Wajahmu itu kayak habis crot dua atau tiga kali, tahu gak? Cuma kalian berdua yang puas-puasin diri? Gak lucu. Aku benci ini.”

Merry duduk di sofa lain, menggenggam tangannya dengan cemas. Saat melihat wajah Haruhiro, dia langsung menunduk.

“U-Um… Haru.”

“A-Apa?”

“Aku… uh…”

“Y-Ya?”

“Kita bukan anak-anak lagi, jadi…”

“Yah… Kurasa begitu. Kita memang bukan anak-anak lagi… Huh?”

“Kita sudah dewasa. Aku nggak bakal bilang apa pun. Kepada siapa pun. Tentang hal-hal yang seharusnya tak diucapkan. Jadi… jangan khawatir.”

Dia salah paham. Bahkan Merry terbawa imajinasinya, yakin sesuatu telah terjadi, padahal tidak.

“Eh?! Bukan begitu!” seru Haruhiro.

“Itu sih gampang diucapin,” kata Neal dengan senyum menyeringai. “Bener atau nggaknya, siapa yang tahu?”

Anthony menghentakkan tangannya ke meja dengan kesal.

“Apa yang dilakukan thief bersama, bukan urusanku. Itu tak penting.”

Haruhiro menjatuhkan bahunya.

“Itu penting…”

“Aku sudah lebih kurang tahu keadaannya.” Barbara membelai dagu Haruhiro. “Murid kesayanganku ini sudah cerita panjang lebar.”

“Senseeei…”

“Apaaan?” jawab Barbara dengan nada genit. “Masih belum cukup? Nakal sekali, kau ini.”

Dia benar-benar menikmatinya.

Dia jelas sedang mempermainkannya.

Haruhiro melirik ke arah Merry, yang kini bergumam sendiri dan mengangguk-angguk, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. Bagaimana dia harus meluruskan kesalahpahaman ini?

“…Gak mungkin, ya?” gumam Haruhiro.

Kepalanya mulai sakit.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x