Diputuskan bahwa Orion akan membagi tongkat, mahkota, pakaian, dan sepatu Raja Lich, lalu membawanya kembali. Benda-benda itu menjadi bukti bahwa tim mereka telah menaklukkan raja kuno, sekaligus merupakan harta berharga pada dirinya sendiri. Setelah penaklukan Gunung Nestapa selesai, barulah akan dibicarakan bagaimana rampasan perang itu dibagi antara Pasukan Perbatasan dan Korps Relawan.
Matsuyagi dan Kimura dikremasi di ruang tahta. Orion sudah berpengalaman dengan hal semacam itu, jadi prosesnya berjalan cepat. Dua mage dari Orion menyalakan kayu bakar, kemudian Adachi menggunakan Firewall untuk mengelilingi jasad rekan mereka yang gugur. Mimorin sempat hendak ikut dengan menggunakan Blast, namun Haruhiro segera menghentikannya. Serangan itu tidak akan mengkremasi tubuh—hanya akan meledakkannya.
Merry dan Anna-san menundukkan kepala, memanjatkan doa agar jiwa-jiwa mereka beristirahat dengan tenang. Tada, meski seorang priest juga, hanya menatap nyala api tanpa berdoa sepatah kata pun. Tokkis yang biasanya riuh, begitu pula seorang dread knight bertopeng, kali ini sama-sama terdiam dengan hormat.
“Kami mengubur Sassa di Benua Merah,” ucap Ron tiba-tiba. “Kutukan No-Life King tidak menjangkau sampai ke seberang lautan. Rasanya salah kalau membakarnya. Bahkan setelah mati pun, dia tetap seorang wanita yang luar biasa, tahu?”
Shinohara berdiri menonton hampir tanpa bergerak, sampai tubuh Kimura dan Matsuyagi benar-benar menjadi tulang dan abu. Cara ia terus mengepalkan tangan kanannya sepanjang upacara itu begitu membekas dalam ingatan.
Para anggota Orion mengumpulkan abu rekan-rekan mereka. Abu itu akan dibawa kembali ke Altana, untuk dimakamkan di bukit tempat begitu banyak prajurit relawan yang gugur telah beristirahat.
Di ruang tahta terdapat dua pintu. Saat dibuka dengan kunci serentak, pintu-pintu itu mengarah ke area yang oleh Orion disebut perbendaharaan.
Perbendaharaan itu terhubung dengan bagian dalam kastel tua di puncak Gunung Nestapa. Jalannya tidaklah mudah—sebuah labirin rumit yang terdiri dari banyak ruangan kecil saling berliku.
Yah, itu kalau Raja Lich masih hidup.
Akan sangat sulit menembus labirin penuh jalan buntu dan percabangan tajam, apalagi sambil diserang pion, haunt, dan phantom. Orion sudah berkali-kali menghadapi tantangan itu, sehingga mereka memiliki peta yang nyaris lengkap untuk bagian ini. Namun, meski menemukan empat pintu berbeda, mereka tak pernah bisa menemukan syarat untuk membuka semuanya secara serentak.
Namun kini, setelah Raja Lich benar-benar diistirahatkan, perbendaharaan itu hanyalah labirin biasa. Mereka bisa memastikan bahwa dua pintu yang tidak terhubung ke ruang tahta hanyalah umpan atau jebakan. Pasukan dengan mudah menerobos labirin itu, melaju hingga ke pintu masuk di bawah kastel tua.
Pintu masuk menuju Pemakaman itu dulunya tertutup rapat oleh sebuah pintu batu. Bertahun-tahun lalu, Orion pernah menghancurkannya, lalu menumpuk batu kembali untuk menyegelnya sementara.
Saat hendak memasuki Pemakaman, mereka akan menyingkirkan bebatuan yang menutupinya. Lalu, setelah selesai, mereka kembali bersusah payah menyegel pintu itu. Jika ada pasukan relawan lain—orang-orang berpengalaman seperti Soma, misalnya—yang masuk ke Pemakaman dan berhasil mengalahkan Raja Lich, itu akan menjadi kerugian besar. Karena itu, Orion melakukan apa pun yang mereka bisa untuk menyembunyikan keberadaan Pemakaman, menjelajahinya secara mandiri. Mungkin terkesan kecil hati, namun berkat keputusan itu, para orc dari Ekspedisi Selatan yang kini menduduki kastel tua tersebut tidak mengetahui adanya pintu masuk kastel yang masih tertutup batu.
Pasukan kecil itu pun mulai menyingkirkan batu-batu yang menutupi pintu masuk, satu per satu. Pekerjaan itu tidak terlalu berat, sehingga hanya memakan sedikit waktu.
Kastel tua itu sendiri sebenarnya tidak besar. Di puncaknya berdiri tujuh menara yang dihubungkan oleh dinding benteng, dengan sebuah bangunan batu di tengahnya. Bangunan itulah yang pastinya dulu menjadi tempat tinggal sang penguasa. Namun, kini hanya lantai pertama, kedua, dan sebagian lantai ketiga yang masih tersisa. Menurut laporan para pengintai Korps Relawan, sisa lantai ketiga itu saat ini digunakan untuk membangun sebuah menara pengawas.
Pintu masuk kastel terletak di ruang bawah tanah salah satu dari tujuh menara itu—tepatnya menara yang paling jauh dari gerbang. Jika menaranya diberi nomor mulai dari yang paling dekat gerbang lalu dihitung searah jarum jam, pintu masuk itu berada di menara nomor 4. Gerban utamanya di antara menara nomor 1 dan nomor 7.
Menara-menara itu bagian dalamnya mungkin hanya berdiameter empat meter. Fungsinya pun sederhana: memberi akses menuju atas dinding melalui tangga di dalam, sementara lantai teratas dijadikan pos pengintai yang bisa dipakai untuk mempertahankan kastel. Namun, kastel tua di puncak Gunung Nestapa itu kini tidak hanya dihuni para undead seperti sebelumnya. Jumlah mereka telah bertambah dengan hadirnya orc yang pindah dari Deadhead Watching Keep, serta kobold yang melarikan diri setelah kalah di Riverside Iron Fortress. Memang ada laporan bahwa sebagian kobold sudah meninggalkan Gunung Nestapa, tetapi jumlah musuh masih dengan mudah melampaui seribu orang.
Ada kemungkinan musuh berada di ruang bawah tanah menara itu. Kekhawatiran itu sempat muncul, tapi terbukti tidak perlu. Basement menara nomor 4 rupanya digunakan sebagai gudang. Ruangan itu penuh sesak dengan tong, peti, ikatan batang panah, serta persediaan makanan kering.
Haruhiro, Inui, dan Tsuguta—thief dari kelompok Orion—sekarang bersiap mengirim sinyal kepada pasukan utama.
Mereka tidak tahu pasti bagaimana situasi di luar, tetapi jika operasi berjalan sesuai rencana, pasukan utama—yang terdiri dari hampir seratus prajurit terbaik Pasukan Perbatasan di bawah pimpinan Thomas Margo, ditambah Korps Relawan Wild Angels, Iron Knuckle, dan para Berserker—akan berjaga di jalan menuju gerbang kastel, menahan musuh agar tetap terkepung di dalam. Selain itu, pasukan utama juga menempatkan para thief di segala arah. Ke mana pun Haruhiro dan kawan-kawan mengirimkan sinyal, kabar itu akan segera diteruskan. Dari tiga orang yang ditugaskan, setidaknya satu saja harus berhasil mengirimkan sinyal. Selama sinyal terkirim, tugas mereka dianggap selesai—meskipun sesaat kemudian mereka tertangkap sekalipun.
Begitu keluar dari ruang bawah tanah, Haruhiro dan yang lain segera berpencar. Meskipun kehilangan ingatannya, bekerja sebagai thief terasa begitu alami bagi Haruhiro. Tsuguta sendiri sudah menekuni profesi itu lebih dari sepuluh tahun. Inui saat ini seorang hunter, tetapi ia juga pernah berpengalaman sebagai thief. Tidak ada gunanya mereka bergerak bersama—thief justru bersinar ketika sendirian.
Maksudnya, bukan “bersinar” dalam arti menonjol. Thief paling efektif ketika berusaha tidak menarik perhatian, menyelesaikan tugas sambil berlari, bersembunyi, dan menghindar. Mereka tidak perlu bersinar. Sama sekali tidak.
Tsuguta menyerahkan batang cahaya kepada Inui dan Haruhiro. Jika ditekan kuat di salah satu ujungnya lalu penutup selubungnya dilepas, batang itu akan memanas dan memancarkan cahaya selama beberapa menit. Haruhiro tidak tahu bagaimana cara kerjanya, tapi benda itu ternyata bukan relik. Itu adalah ciptaan para gnome yang tinggal di bawah Pegunungan Tenryu, dan kini kaum dwarf di Pegunungan Kurogane pun sudah membuat tiruannya.
Rencananya, Haruhiro dan Inui yang akan pergi mengirimkan sinyal. Tsuguta tetap bersembunyi, mengawasi mereka. Jika mereka berhasil, ia akan menyampaikan kabar itu kepada pasukan kecil yang terpisah dari utama. Jika mereka gagal, Tsuguta yang akan mengirimkan sinyal sebagai gantinya.
Begitu sinyal mencapai pasukan utama, Shinohara akan memimpin pasukan terpisah itu bergerak. Tugas utama mereka: membuka gerbang kastel dari dalam.
Kalau mereka bisa membunuh para komandan musuh untuk mengacaukan barisan lawan, itu tentu bagus. Namun, mereka sama sekali tidak tahu di mana harus mencarinya. Kemungkinan besar, unit orc yang dulu ditempatkan di Deadhead Watching Keep kini memimpin pasukan orc di sini. Tapi itu hanya dugaan semata. Mereka tak punya cukup informasi.
Langkah pertama mereka adalah membuka gerbang, agar pasukan utama bisa menembus masuk ke dalam kastel tua.
Sebelumnya, Korps Prajurit Relawan pernah berhasil merebut kembali Riverside Iron Fortress dengan gemilang, meski jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding kobold yang mempertahankannya. Prajurit relawan memang unggul dalam kondisi kacau. Asalkan mereka bisa mendekat ke musuh, potensi mereka bisa dikeluarkan sepenuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara samar di kejauhan.
Area sekitar menara nomor 4—tempat pintu masuk kastel berada—cukup tenang. Sepertinya musuh telah memusatkan kekuatan mereka di dekat gerbang, sementara bagian lain kastel lebih sedikit dijaga.
“Baiklah…” Shinohara memandang Haruhiro, lalu ke Inui, kemudian Tsuguta. “Aku percayakan ini pada kalian.”
Ketiganya mengangguk singkat sebagai jawaban. Mustahil menebak apa yang dipikirkan seseorang eksentrik seperti Inui, sementara Tsuguta juga bukan tipe yang menunjukkan perasaan. Meski berbeda sifat, tak satu pun dari mereka memberi kesan gelisah berlebihan. Mungkin memang begitulah para thief.
“Haru.” Merry tiba-tiba memanggilnya.
Ada apa, ya? pikirnya.
Namun, setelah memanggil namanya, Merry tidak mengatakan apa-apa lagi. Saat ia menatap Haruhiro seperti itu, rasanya membuatnya agak… bingung, mungkin juga sedikit tegang. Walaupun ia sebenarnya sudah tegang sejak tadi.
“…?”
Haruhiro mengeluarkan suara kecil—tidak bisa dibilang “Huh?” ataupun “Hm?”—sambil memiringkan kepala. Saat itu Merry melangkah lebih dekat.
Huh?
Apa yang dia lakukan?
A-A-Apa sih?
“Woah…?!” seseorang berseru. Kikkawa, mungkin?
Haruhiro tidak bisa berkata sepatah kata pun. Tubuhnya kaku seketika. Ini terlalu mendadak. Wajar saja kalau dia terkejut.
Wajah Merry begitu dekat sampai-sampai menyentuh hidung Haruhiro. Oke, mungkin agak berlebihan kalau dibilang benar-benar bersentuhan, tapi ia bergerak sedekat dan secepat itu, sehingga rasanya memang demikian. Tentu saja, ia tidak benar-benar menyentuhnya.
Bahu kiri Haruhiro dan bahu kanan Merry pun, meski tidak saling bersentuhan, jaraknya sangat tipis.
Wajah mereka nyaris sejajar.
Apa-apaan ini?
Apa yang dia lakukan?
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Bukan sifat thief kalau sampai membeku atau panik menghadapi situasi. Seorang thief seharusnya berani. Tapi… ini sepertinya tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai thief, jadi mungkin dia masih aman. Uh, mungkin? Apa benar itu masalahnya?
Rasanya mereka bertahan dalam posisi itu cukup lama.
Atau… mungkin tidak. Ya. Pasti tidak selama itu. Hanya saja terasa begitu. Hanya rasanya seolah waktu benar-benar berhenti.
Jelas saja, waktu tidak berhenti untuk siapa pun. Jantungnya pun berdetak. Sangat cepat. Ia bisa merasakannya. Bahkan, seolah-olah bisa mendengarnya. Tapi entah bagaimana, ia terjebak dalam ilusi bahwa itu bukan detak jantungnya sendiri, melainkan detak Merry. Ia malu sekali menyadari dirinya berkhayal seperti itu.
“Hati-hati…” bisik Merry di telinganya.
Kalau ia langsung menjawab, pasti akan terdengar belepotan. Mungkin seperti “i-yaa” atau “y-yaps,” dan itu akan terdengar menyedihkan. Haruhiro mengambil keputusan bijak. Yang terbaik, menurutnya.
Ia menahan diri, memberi jeda sejenak. Lalu, ketika waktunya terasa tepat, ia mengangguk.
“Ya…”
Tentu saja ia akan berhati-hati. Itu tak perlu dikatakan lagi. Atau lebih tepatnya, ia memang tidak perlu diingatkan. Ia pasti akan berhati-hati. Itu adalah bagian paling dasar, paling mendasar, dari pekerjaannya.
“A-Aku… maaf, aku…” Merry segera menjauh. Padahal ia tidak melakukan sesuatu yang pantas disesali, jadi sebenarnya ia tak perlu terlihat sekaku itu. Namun, Haruhiro sendiri sedang berusaha keras menjaga wajah tetap tenang, jadi ia tidak bisa mengucapkan apa pun.
Serius, apa tadi barusan? Haruhiro sama sekali tidak tahu. Andai saja ada yang bisa memberitahunya. Cara tercepat tentu saja bertanya langsung pada Merry, tapi entah kenapa rasanya salah. Apa yang salah? Ia tidak bisa menjelaskannya. Ia benar-benar tidak tahu.
“Mm!” Mimorin tiba-tiba melangkah maju. “Haruhiro.”
“Y-Ya…?”
Situasinya tampak bisa jadi rumit, sehingga ia refleks waspada. Mimorin langsung meraih pundaknya dan menariknya mendekat.
“Aku suka kamu,” bisiknya tepat di telinga Haruhiro.
Hm, ternyata tidak serumit yang ia kira. Sebenarnya, itu jelas dan sederhana.
“Oh, ya…?”
“Aku mencintaimu.”
Mimorin mendorong Haruhiro menjauh, wajahnya berkerut seakan menahan tangis. Namun air mata itu tak jatuh. “Kembalilah dengan selamat.”
“Akan kulakukan…”
Haruhiro sempat merasa ingin meminta maaf, tapi ada yang terasa salah. Apa yang salah? Ia tak tahu. Pada akhirnya, ia tak bisa menemukan jawabannya.
“Dasar, kau!” tiba-tiba Ranta menghantam bagian belakang kepalanya.
“Aw! Apa-apaan, sih?!”
“Kenapa kau tiba-tiba jadi populer di mata cewek-cewek?! Sialan kau, Parupiro! Apa ini semacam pertanda kalau kau bakal mati? Ya, pasti begitu. Jangan sembarangan pasang death flag, tolol. Kau benar-benar sedang memicunya habis-habisan. Kau itu sudah kayak mayat berjalan. Mati konyolmu tinggal tunggu waktu. Jadi hati-hati ya, waktu kau mampus di luar sana, oke?”
Haruhiro ingin memutar bola matanya, tapi sadar lebih baik tidak. Ranta adalah sampah yang seharusnya diabaikan saja. Ia juga ingin menghela napas, tapi itu pun ia tahan.
“Kau mengabaikanku, ya?!”

Ranta menghentakkan kakinya dengan penuh kekesalan. Apa-apaan, anak kecil kah dia? Haruhiro sempat ingin menyindir, tapi akhirnya menahan diri. Ini justru balasan paling tepat untuk Ranta.
“Kau mengabaikanku…?!”
“Ranta, kau nangis ya?” Yume tidak mengejek, tapi malah mencoba menenangkannya. Bukankah itu terlalu baik hati?
“Aku tidak menangis. Mana mungkin aku nangis! Tapi… kalau aku mau nangis… apa kamu mau minjemin dadamu buat senderan?”
“Mewww… entahlah. Kedengarannya… jijik banget.”
“Jijik banget?!”
“Lebih baik aku yang tanya. Memangnya dari mana kau dapat ide kalau Yume-san bakal rela kau menangis di dadanya?” sela Kuzaku.
“Oh, enyahlah kau, tiang berjalan. Ini tuh momen kebingungan…”
Duh, yang barusan malah kayak pengakuan tulus, batin Haruhiro. Tapi ia memilih diam. Kalau sampai buka mulut, yang ada hanya sakit kepala. Jelas sekali Ranta punya perasaan pada Yume, tapi enggan mengakuinya. Setidaknya, tidak di depan orang lain.
Haruhiro sekilas melirik Merry. Gadis itu menunduk, menatap lantai.
Perasaan?
Apa itu yang terjadi disini?
Mungkinkah… yah, mungkin, tahu?
“Tidak, tidak, tidak…” Haruhiro berbisik pelan pada dirinya sendiri.
Sekilas teringat percakapan waktu itu. Tentang kemungkinan ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Merry, ketika Ranta dan Yume sedang tidak bersama kelompok.
Tentu saja, Haruhiro tidak ingat apa pun. Tapi Merry… itu lain cerita. Saat Yume menyinggung hal itu padanya, Merry jadi sangat gugup.
Bagaimana kalau—meski kemungkinan itu kecil—memang ada sesuatu yang terjadi di antara mereka?
Bagaimana kalau Merry mengingatnya, tapi Haruhiro justru tidak?
Kalau begitu… bagaimana perasaan Merry? Haruhiro sendiri bukan tipe yang peka soal hal-hal seperti itu, jadi sulit baginya membayangkannya. Tapi, anggap saja ada dua kekasih, A dan B. A melupakan hubungan mereka, sementara hanya B yang masih mengingat. Bukankah B akan merasa kesepian luar biasa?
…Meskipun begitu, dia tidak bisa memastikan benar-benar ada sesuatu yang terjadi. Hanya Merry yang tahu.
Kalau Merry bilang ada sesuatu, maka memang ada. Kalau dia bilang tidak, maka tidak ada.
Kalau ditarik sampai ke batas logika paling ekstrem, sekalipun Merry berbohong, Haruhiro tidak akan pernah bisa mengetahuinya—begitu pun orang lain. Hanya ada satu kebenaran, tapi tidak ada cara untuk memastikannya.
Atau mungkin justru sebaliknya—Merry memang tidak bisa mengatakannya? Baik sesuatu itu pernah terjadi ataupun tidak, begitu ia mengucapkannya, maka kata-katanya otomatis berubah menjadi sebuah fakta atau justru menimbulkan keraguan dari pihak Haruhiro. Kalau Haruhiro berada di posisi Merry, mungkin ia pun akan memilih bungkam karena reaksi Haruhiro yang takkan jelas.
Dan mungkin bukan hanya soal itu. Bisa saja ada banyak hal lain yang Merry simpan rapat-rapat, hal-hal yang ia ingin ungkapkan tapi tidak bisa. Kalau benar begitu, beban psikologis yang ia tanggung pasti lebih berat daripada yang Haruhiro bayangkan.
“Heh…” Inui berdiri di hadapan Setora. Mata yang tidak tertutup penutup matanya berkilat dengan cahaya jahat.
“Kau ini… manusia, bukan sih?” Haruhiro tanpa sadar mengucapkan isi pikirannya, tapi Inui sepertinya tidak mendengarnya.
“Kalau aku berhasil kembali dengan selamat,” kata Inui tanpa sedikit pun rasa malu, “aku ingin kau melahirkan anakku.”
“Aku tidak akan pernah mau,” Setora langsung membalas dingin. Itu sudah bisa diduga. “Hanya satu orang yang perlu memberi sinyal pada pasukan utama. Kau tidak perlu kembali. Bahkan, aku berharap kau gagal. Jangan pernah tunjukkan wajahmu di hadapanku lagi.”
“Heh… Sampai saat ini pun, kau masih berusaha menutupi rasa malumu. Begitu berharga…”
“Bagaimana bisa dia sebegitu tebal mukanya…?” Kuzaku bergidik.
“Kau sudah menunjukkan semangat juangmu padanya.” Tokimune menyeringai lebar, memperlihatkan gigi putihnya, lalu menepuk punggung Inui.
“Selamat tinggal…” ucap Inui, sebelum bergegas pergi.
“Oh… Baiklah, aku juga berangkat dulu.” Haruhiro dan Tsuguta segera menyusul. Semuanya agak tergesa karena ulah Inui, tapi memang tidak ada gunanya berlama-lama. Malah terasa bodoh kalau harus dibuat panjang.
Haruhiro melangkah menaiki tangga dengan langkah nyaris tanpa suara. Di dalam menara nomor 4 suasananya sunyi, persis seperti yang ia perkirakan. Tidak ada musuh di sini. Inui pun sudah lenyap.
Tangga spiral dibangun di bagian dalam menara silinder itu. Haruhiro bisa mendengar suara langkah kaki samar-samar. Apakah itu musuh di atas sana? Atau Inui yang sedang naik? Kalau benar Inui, caranya terlalu terang-terangan. Tapi ini Inui—segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Haruhiro dan Tsuguta lalu keluar dari menara. Langit mulai menunjukkan cahaya redup. Fajar hampir tiba. Menara nomor 4 berdiri tepat berhadapan dengan gerbang kastil. Seperti yang ia duga, tak ada musuh di sana. Namun, di puncak menara lain dan di atas dinding kastil tampak para penjaga. Ia bisa melihat api obor mereka menyala.
Jarak dari dinding ke bangunan utama bahkan tak sampai lima meter. Tinggi dindingnya sekitar enam hingga tujuh meter.
Terdengar ejekan, bercampur dengan gonggongan yang kemungkinan besar berasal dari para kobold. Sepertinya tidak sedang terjadi pertempuran sengit. Mereka hanya berusaha memprovokasi para manusia yang, meskipun sudah menunjukkan niat menyerang, tetap tak kunjung mendekati gerbang. Mungkin memang begitu maksudnya.
Haruhiro dan Tsuguta saling mengangguk.
Musuh pasti menumpuk di area antara menara nomor 1 dan nomor 7. Sambil melangkah menuju menara nomor 3, Haruhiro terus mengawasi bagian atas dinding.
Di sisi menara nomor 3, cahaya terlihat cukup terang. Bukan hanya karena api obor yang menyala, tetapi juga karena dinding dipenuhi orc, kobold, dan undead yang membawa obor. Ruang antara dinding dan bangunan utama pun ramai, penuh musuh yang keluar masuk menara sambil mengangkut persediaan.
Haruhiro tak bisa melangkah lebih jauh. Di atas dinding antara menara nomor 4 dan nomor 3, obor penjaga dipasang tiap beberapa meter, dengan orc-orc yang berjaga. Memang hanya itu, tapi tetap saja sulit dibayangkan ia bisa naik tanpa ketahuan. Darimanapun dilihat, itu bukan hal yang mudah. Bahkan, mustahil dilakukan tanpa risiko besar.
Namun, ia tidak punya pilihan lain. Tsuguta menepuk pundaknya pelan, seolah berkata, Lakukan yang terbaik. Haruhiro menarik napas, menghela pelan, lalu mulai memanjat dinding itu.
Kalau ia memanjat dari sini, posisinya akan berada tepat di tengah-tengah antara dua sumber api. Begitu mencapai puncak, ia bisa menyalakan batang cahaya untuk memberi sinyal sebelum para penjaga di dekat api itu sempat melihatnya. Meski begitu, cahaya itu hampir pasti akan menarik perhatian mereka. Mana mungkin tidak? Namun begitu sinyal terkirim, tugasnya selesai. Ia bisa kabur. Dan kalau tidak bisa? Yah, itu urusan nanti.
Haruhiro jelas tidak beranggapan segalanya akan berjalan lancar begitu saja. Ia hanya yakin satu hal: ia bisa mengirim sinyal. Urusan setelah itu… ia cukup pesimis, tapi ia harus menyelesaikan tugas pertama ini lebih dulu. Untuk sekarang, ia hanya perlu fokus pada yang ada di depan mata.
Begitulah pikir Haruhiro. Namun, tepat ketika ia hampir mencapai puncak, suara gaduh mulai terdengar dari segala arah.
Haruhiro nyaris menggerutu, Serius…? Mungkin tidak masalah kalau ia benar-benar mengucapkannya—suara musuh sudah ribut sekali. Dan siapa yang bisa disalahkan?
Ada cahaya berputar di puncak menara nomor 3.
Itu batang cahaya. Seseorang sedang mengirimkan sinyal.
Dan jelas hanya ada satu orang yang bisa melakukannya. Itu bukan Haruhiro, dan Tsuguta masih di bawah, jadi tersisa satu kemungkinan.
“Heh…!” Suara tawa pecah. “Gwah ha ha ha ha ha! Sang raja iblis telah turun!”
Itu Inui.
Anak-anak panah segera beterbangan ke arahnya dari atas dinding.
“Hoo…! Hah…!”
Inui melompat dan merunduk untuk menghindari anak-anak panah yang melesat ke arahnya. Kalau saja Haruhiro berteriak, Sudah cukup, cepat lari! musuh pasti akan menemukan dirinya juga. Jadi ia memilih membiarkan Inui melakukan sesukanya, lalu buru-buru menuruni dinding yang baru saja ia panjat.
Tsuguta sudah tidak terlihat. Dia pasti sudah lebih dulu kembali ke menara nomor 4, tempat Shinohara dan yang lain menunggu.
Haruhiro pun bergegas menuju menara nomor 4. Begitu sampai, yang lain sudah mulai keluar.
Dari kejauhan, terdengar pekikan perang. Bukan dari orc atau kobold. Itu jelas suara manusia. Pasukan utama telah melihat sinyal dan mulai menyerang.
“Renji, Tokimune, maju di depan!” teriak Shinohara.
Renji dan Tokimune segera menempati barisan terdepan. Tada, Ranta, Kuzaku, Kikkawa, dan Shinohara mengikuti tepat di belakang mereka. Haruhiro bergabung dengan Yume, Mimorin, serta para warrior dan paladin Orion di posisi belakang barisan depan.
Sekonyong-konyong tubuhnya terasa lebih ringan. Merry baru saja melemparkan sihir pendukung padanya.
“Go, go, yeah!” suara Anna-san menggema. Entah kenapa, mendengarnya di saat-saat seperti ini membuat semangat Haruhiro terangkat begitu saja.
“Rahhhhhh!”
“Maju!”
Renji dan Tokimune menerjang musuh terdekat tanpa ragu. Barisan musuh begitu rapat, tetapi pasukan kecil itu berhasil menembus mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Orc, kobold, dan undead benar-benar kalang kabut. Mereka tak pernah menyangka akan ada serangan yang datang bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam.
Menebas musuh dan melangkahi mayat mereka, pasukan terpisah itu terus maju tanpa berhenti. Barisan depan sibuk bertarung, tapi Haruhiro sendiri bahkan belum sempat mencabut senjatanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti dari belakang, menghindari tubuh musuh yang tumbang atau melompat melewati mayat yang menghalangi jalan.
Gerbangnya sudah terlihat. Mungkin ini akan berhasil.
Mungkin ini benar-benar akan berhasil.
Setiap kali ia mulai berpikir begitu, itu selalu pertanda buruk. Apakah ini pengalaman Haruhiro yang berbicara? Bisakah ia menggunakan pengalamannya, meski tanpa mengingatnya? Atau memang begitulah sifatnya? Apakah ia terlahir tanpa kemampuan untuk larut dalam suasana?
“Ooooooossshhhhhhh…!”
Karena itu, ketika mendengar suara yang luar biasa keras bergema di seluruh area, ia sama sekali tidak terkejut. Nah, datang juga, pikirnya.
Tetap saja, itu dramatis. Setelah teriakan pertama, para orc langsung membalas dengan teriakan serupa.
“Osh!”
“Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh…!”
Tak lama kemudian, para kobold pun ikut menggonggong dan melolong.
“Awooo!”
“Woof!”
“Bow!” “Wow!”
“Awooo!” “Bow!”
“Woof!” “Woof!” “Woof!”
“Awooo!” “Awoooooooooo…!”
Lalu para undead menyusul, meraung entah apa.
Apakah sekarang setiap orc, kobold, dan undead di dalam kastil tua itu semua sedang berteriak? Bukan hanya itu—gemuruh hentakan kaki dan dentuman senjata yang dipukulkan ke perisai membuat seluruh kastil bergetar.
Renji, Tokimune, dan yang lain di barisan depan mencoba terus maju, tapi jelas melambat. Hingga saat ini musuh cenderung roboh tanpa banyak perlawanan, tapi kini keadaannya berubah. Mereka melawan dengan putus asa.
“Mereka datang dari belakang juga!” teriak Setora. Pasukan terpisah sudah bergerak melewati menara nomor tiga dan dua, lalu mendekati nomor satu. Gerbang ada di antara menara nomor satu dan tujuh. Tampaknya sekelompok musuh dari atas tembok turun lewat menara nomor dua dan tiga untuk menyerang pasukan terpisah dari belakang.
“Delm, hel, en, balk, zel, arve…!”
Mimorin berbalik dan melepaskan Blast. Beberapa kobold terpental, tapi musuh sama sekali tidak goyah.
“Bullshit! Ini kelihatannya buruk, ya?!” Anna-san berlarian ke sana kemari. Setora, Merry, Yume, dan anggota Orion bertarung dengan hati-hati, lebih banyak bertahan daripada maju. Mereka tak bisa menyerang sambil juga menahan musuh dari belakang.
“Shinohara-san, ayo berhenti sebentar! Kalau kita terus begini, kita bakal tercerai-berai!” Haruhiro memperingatkan.
“Tidak, kita tidak bisa…!” Shinohara langsung membalas dengan teriakan. “Kita tidak boleh berhenti sebelum gerbang terbuka! Semuanya, bertarung sekuat tenaga! Kalian tidak boleh mati! Jangan biarkan satu pun rekanmu mati juga!”
Perintahnya keras, tapi mereka memang tidak boleh menunjukkan kelemahan sekarang. Kalau tidak, situasinya akan berubah menjadi lingkaran setan yang berujung pada kekalahan. Pasti itu alasan Shinohara mengambil keputusan ini.
Mimorin, Adachi, dan para mage Orion melepaskan sihir mereka. Sihir memang luar biasa kuat, tapi karena membutuhkan waktu untuk melantunkan mantra, selalu ada celah yang terbuka. Haruhiro dan yang lain harus menutupinya. Tak ada yang peduli pada luka ringan. Kalau ada yang tumbang dengan luka parah, Merry, Chibi-chan, atau Anna-san segera menyembuhkannya.
Tidak ada waktu untuk penyembuhan lambat, jadi mereka hanya mengandalkan Sacrament, yang bisa menyembuhkan luka apa pun—bahkan yang seharusnya mematikan—dalam sekejap, meski sangat boros.
Haruhiro hanya bisa fokus sekuat tenaga melindungi para mage dan priest. Dalam situasi seperti ini, ia tidak mungkin melakukan semuanya. Seperti yang ia khawatirkan, Renji, Tokimune, dan Tada terus menerobos maju. Sementara itu, yang lain tertinggal di belakang. Tapi sekarang tak ada yang bisa dilakukan soal itu. Ia hanya bisa melakukan sebatas kemampuan yang dimilikinya.
“Ooooooossshhhhhhh…!”
Suara itu lagi.
Sesuatu turun dari atas. Dari bangunan? Lantai dua. Atau mungkin lebih tinggi lagi.
Seekor orc? Dengan rambut putih panjang terurai ke belakang dan sebilah pedang besar di tiap tangannya, ia mendarat keras di dekat gerbang. Bukankah itu tempat pasukan depan berada? Atau tepatnya, orc itu melompat dari bangunan hanya untuk sampai ke jangkauan mereka?
Begitu ia menjejak tanah, pedangnya langsung beradu dengan pedang Renji.
“Urgh…!” Renji mengerang.
“Prajurit manusia!”
Itu… suara orc itu? Baru saja dia berbicara? Menggunakan bahasa manusia?
“Whoa?!”
“Tch!”
Tokimune dan Ron mundur dari Renji dan orc itu, lalu mulai menghadapi lawan lain. Mereka tak bisa membantunya. Mereka tahu itu. Apa yang akan terjadi kalau mereka mendekat sekarang? Sulit membayangkannya, tapi kemungkinan besar mereka justru akan mengganggu Renji.
Keduanya sama-sama menggunakan senjata besar yang bisa melancarkan serangan mematikan dari jarak lumayan jauh. Kalau ada yang gegabah masuk, mereka bisa terseret ke dalam pusaran serangan. Singkatnya, berada di dekat mereka sama dengan menantang bahaya sekaligus teror.
Kalau keduanya hendak bertarung satu lawan satu, semua orang hanya bisa menunggu sampai duel itu berakhir. Haruhiro pun tidak punya waktu untuk terlalu memikirkannya. Orc itu jelas bukan satu-satunya musuh di sini. Mereka hampir terkepung dari segala arah. Musuh, musuh, dan musuh lagi.
Haruhiro masih menjaga para mage dan priest, menjegal musuh yang terlalu dekat lalu membiarkan rekan-rekannya menghabisi mereka, atau menusuk langsung dengan Backstab.
Musuh terus berdatangan, namun kawan-kawannya melawan dengan gagah berani. Meski begitu, tak ada seorang pun—baik teman maupun lawan—yang bisa benar-benar fokus. Mereka bukan linglung, hanya terdistraksi oleh duel antara Renji dan orc berambut putih itu. Sulit sekali mengabaikannya.
Rambut putih orc itu berkibar liar, sementara kedua pedangnya berayun tanpa henti. Renji menangkis dengan pedang besarnya, atau menghindar lalu membalas. Orc itu tidak pernah mengelak dari tebasan Renji. Ia selalu menahan dengan pedang. Panjang pedang mereka kira-kira sama. Beratnya pun mungkin tak jauh berbeda. Bahkan bentuknya mirip. Bedanya, Renji menggenggam pedangnya dengan dua tangan, sementara lawannya memegang dua pedang sekaligus. Seharusnya Renji bisa memberi lebih banyak tenaga pada tiap ayunan, tapi orc itu tidak mundur sedikit pun.
Ada perbedaan tinggi badan. Renji memang tinggi untuk ukuran manusia, tapi orc pada umumnya jauh lebih besar. Orc berambut putih itu bahkan tampak besar untuk standar kaumnya sendiri, meski tidak sampai luar biasa besar. Ia sebenarnya tidak benar-benar menekan Renji. Faktanya, Renji mungkin justru unggul dalam keluwesan dan kelincahan—walau tipis.
Renji dan orc itu tampak imbang. Keduanya saling menguji, mencari celah.
“Osh!”
Sorak para orc di atas tembok menggema.
“Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Osh!” “Osh!” “Osh!” “Osh!”
“Oooooosh…!”
Untuk pertama kalinya, orc berambut putih itu menghindar alih-alih menangkis pedang besar Renji. Mungkin sesaat setelah itu, ia mengayunkan kedua pedangnya dari arah kiri dan kanan sekaligus. Suara gesekan logam yang keras menggema—apakah Renji berhasil menahannya dengan pedang besarnya? Haruhiro tidak bisa melihat jelas, tapi Renji melompat ke belakang, lalu segera maju kembali.
Dalam sekejap itu, kedua pedang orc berayun, satu mengarah ke lutut Renji, yang lain ke kepalanya.
Renji melompat. Tapi apa yang ia lakukan setelahnya? Haruhiro tak bisa menangkapnya. Matanya tak sanggup mengikuti pergerakan itu.
Pedang besar Renji beradu berkali-kali dengan dua pedang lawannya, sebelum akhirnya keduanya sama-sama mundur beberapa langkah.
“Namaku Don…” Orc berambut putih itu bergerak perlahan saat menyebutkan namanya. “Tidak… Zan Dogran. Prajurit manusia. Kau gunakan pedang itu… apakah kau tahu itu Mozzo?”
“Ini milik orc yang pernah menyerang Altana.” Renji mengangkat pedangnya dalam posisi diagonal, tak bergerak sedikit pun. Tidak—suaranya memang terdengar datar, tapi bahunya naik-turun perlahan, tanda ia mengatur napas. “Itu sudah lama sekali. Namanya Ish Dogran.”
“Ish Dogran…!” Apakah orc berambut putih itu sedang tersenyum? Ataukah ia murka? Sulit membaca ekspresi orc, tapi Haruhiro merasa ia sedang tersenyum.
“Ia saudaraku! Prajurit manusia yang perkasa…!”
“Namaku Renji, Zan Dogran.”
Renji merendahkan posisinya. Seakan-akan ia menegangkan seluruh tubuhnya, menimbun kekuatan.
“Gwah hah…!”
Ya, orc itu—Zan Dogran—memang sedang tersenyum. Renji telah membunuh saudaranya. Itu berarti Renji adalah orang yang harus ia balas dendam. Tapi… apa yang menyenangkan dari itu? Apakah orc memandang hal semacam ini berbeda dari manusia?
“Haigodoh! Zasshahehg! Zawaggah Dogran…!” Zan Dogran melantangkan kata-kata dalam bahasa orc.
Orc-orc di dalam kastil tua menyambutnya dengan teriakan lantang.
“Zawaggah Dogran!”
“Zawaggah Dogran…!”
“Zawaggah! Dogran…!”
“Zehn sidah!” Zan Dogran berteriak lagi. Seketika para musuh terlihat jauh lebih buas, dan pasukan manusia dipaksa bertahan. Apakah itu perintah serangan?
Haruhiro sendiri sedang sibuk bergulat dengan seekor kobold besar yang hampir menerkam Merry. Ia menghunus belati, menyayat lehernya, lalu berputar ke belakang seekor orc yang sudah melompat dengan pedang terayun, menusuknya dengan Backstab. Ia tak punya kesempatan untuk memikirkan Renji dan Dogran.
Merry baik-baik saja. Ia tahu itu karena masih sempat meluangkan perhatian untuk mengawasinya. Merry seorang priest, dan melindunginya jelas prioritas utama. Yume dan Setora juga selalu menjaga para priest serta mage, sehingga tanpa sadar Haruhiro juga memperhatikan mereka.
Kuzaku dan Ranta sudah lama tak terlihat. Ia ingin menoleh untuk memastikan keadaan mereka, tapi kenyataannya, mereka bukan prioritas utama.
Mimorin hampir selalu menempel dengan Anna-san. Chibi-chan? Ia tak bisa melihatnya. Apakah ia bersama pasukan terdepan? Bahkan untuk anggota Orion, Haruhiro tak lagi bisa mengenali siapa yang ada di mana.
Selain Zan Dogran, ada banyak orc berambut putih lainnya. Kemungkinan besar mereka sengaja memutihkan rambut mereka. Apakah itu untuk menirunya? Mereka juga menggunakan pedang bermata tunggal yang mirip. Orc-orc ini sangat kuat. Bukan dalam hal kemampuan individu, tapi sebagai kelompok. Mereka terus-menerus saling memberi aba-aba, menyemangati, dan melindungi satu sama lain. Jika ada yang terluka, rekan-rekannya akan segera menariknya mundur.
“Dogran!”
“Zawaggah Dogran!”
“Dogran! Dogran! Dogran! Dogran!”
“Dograaan!”
Suara sorak-sorai mereka menggema, menggetarkan udara. Suasananya terasa aneh—semacam fanatisme yang intens, berbeda dari apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.
“Renji…!” Ron berteriak, sempat melirik sekilas ke arah Haruhiro.
Zan Dogran, yang terus beradu pedang dengan Renji, sudah berbeda dari sebelumnya. Seolah-olah tubuhnya membesar. Tidak mungkin… tapi begitulah tampaknya. Rambut putihnya berdiri, memancarkan percikan listrik statis. Apa-apaan itu…? Dan bukan hanya rambutnya—seluruh tubuh Zan Dogran tampak dialiri kilatan listrik.
“Diiiieeeeiiii…!” Zan Dogran mengaum dengan pekikan perang khas orc, lalu menghantamkan kedua pedangnya ke arah Renji seperti sedang menabuh genderang taiko. Tidak masuk akal bagi siapa pun bisa mengayunkan dua pedang sebesar itu dengan begitu mudahnya. Renji terdesak, menerima rentetan serangan tanpa henti, nyaris seperti dihajar habis-habisan. Namun, entah bagaimana, ia belum terbelah menjadi potongan-potongan daging. Itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ia bisa menahan badai tebasan itu? Haruhiro hampir yakin itu mustahil. Bahkan untuk Renji sekalipun.
Kilatan listrik berwarna ungu melesat di sepanjang pedang besar Renji. Pedang orc bermata tunggal yang dulunya dimiliki oleh saudara Zan Dogran, Ish Dogran, kini diselimuti cahaya ungu. Semua itu berkat sebuah relik.
Renji telah mengeluarkan kartu trufnya. Kekuatan Aragarfald.
Sekarang dia bisa membalik keadaan… kan?
Pedang peninggalan Ish Dogran itu menjadi semakin tajam, dan Renji bergerak lebih cepat, lebih garang. Tidak perlu diragukan lagi.
Namun, itu takkan bertahan lama. Jika terus memaksakan diri menggunakan kekuatan tersebut, nyawanya bisa melayang. Meski mengesankan, hanya dengan satu atau dua menit pemakaian, ia harus berhenti dan beristirahat sejenak. Mustahil ia bisa melakukannya di tengah duel hidup-mati melawan Zan Dogran.
Renji tidak punya pilihan selain menjatuhkan orc itu selagi efek Aragarfald masih bekerja.
Tapi… apakah membunuh Zan Dogran benar-benar akan mengakhiri segalanya? Tentu saja tidak. Dia bukan satu-satunya musuh di sini. Memang, Zan Dogran tampak seperti pemimpin karismatik. Kehilangannya mungkin membuat pasukannya kehilangan semangat bertarung. Namun, sama besarnya kemungkinan mereka justru mengamuk untuk membalaskan dendamnya. Renji pasti sadar akan hal itu. Karena itulah ia berusaha menghindari penggunaan Aragarfald selama mungkin.
Tapi Zan Dogran memaksanya. Tanpa kekuatan itu, mustahil Renji bisa menang. Karena itulah, meski dengan berat hati, ia akhirnya mengandalkan relik itu.
“Urgh…!”
Setora terdesak menghadapi dua orc ketika tombaknya patah. Tanpa ragu, ia segera membuangnya dan mencabut pedang. Namun, ia tak mampu sepenuhnya bertahan dan menerima beberapa tebasan.
“Rah…!” Mimorin mengayunkan dua pedang panjangnya, memaksa mundur orc-orc yang hendak menghabisi Setora.
“Merry!” Haruhiro menyerahkan Setora pada Merry, lalu menerobos di antara orc-orc itu. Ia berusaha melancarkan Backstab saat melewati mereka, tapi seekor orc lain tiba-tiba melompat ke arahnya. Haruhiro terpaksa berguling menghindar, hanya untuk disambut tendangan orc lain.
“Haru-kun…! Twa-tah!” Yume muncul sambil meneriakkan pekikan aneh, lalu menubruk seekor orc hingga terlempar. Luar biasa, mengingat perbedaan bobot tubuh mereka. Meski begitu, Haruhiro tak punya waktu untuk terkesima. Ia segera bangkit dan menggunakan Stealth. Bukan karena ia merencanakan hal itu, melainkan tubuhnya bergerak begitu saja.
Musuh. Musuh. Musuh di mana-mana. Jumlah orc benar-benar banyak. Sekitar delapan puluh persen dari pasukan lawan di area ini adalah orc berambut putih. Dari celah kerumunan, ia masih bisa melihat sekutu-sekutunya: Merry, Setora, Anna-san, serta hunter dan paladin wanita dari kelompok Orion, yang bergerombol bersama. Sementara itu, hampir semua yang lain terpisah dan bertarung sendirian.
Pasti semua orang berusaha sekuat tenaga agar tidak tercerai-berai. Haruhiro pun begitu. Namun entah sejak kapan, perpisahan itu sudah terjadi.
Ranta berlari ke arahnya. Mungkin karena khawatir pada Yume. Sementara itu, Kuzaku bahu-membahu bersama Tokimune, Kikkawa, Ron, dan Chibi-chan, saling menutupi titik buta masing-masing untuk menghadapi orc yang terus menerjang tanpa henti.
Lalu, di mana Shinohara dan Tada? Haruhiro menduga mereka sedang berusaha membuka gerbang, meski ia tak tahu bagaimana caranya.
Pertarungan antara Zan Dogran dan Renji masih belum jelas hasilnya. Tidak, sebenarnya Zan Dogran masih memegang kendali penuh. Renji, yang telah mengaktifkan kekuatan Aragarfald, hanya punya satu kesempatan: menang telak, dan secepatnya. Jika tidak, bukan hanya dia—seluruh pasukan pendukung ini akan tewas di sini.
Jika gerbang tidak bisa dibuka dari dalam, pasukan utama tidak akan bisa menyerbu dan merebut kastil tua itu.
Misi akan gagal.
Kita celaka, kan…?
Mereka belum benar-benar sampai di ujung jalan, tapi jalannya hanya satu. Tak ada jalan untuk mundur. Mereka hanya bisa maju.
Di depan terbentang tebing curam.
Apa pun yang mereka lakukan, hasilnya seolah tak akan berubah. Semua perjuangan akan sia-sia.
Tapi… benarkah begitu?
Memang, jalannya hanya satu. Sebuah jalan buntu. Misi sudah gagal. Sulit diterima, tapi seakan tak ada lagi cara untuk menebusnya.
Namun… benarkah mereka tak bisa mundur?
Tak bisakah mereka melarikan diri?
Jika mereka mundur ke menara nomor empat dan masuk ke Pemakaman, mereka bisa masuk ruang pembendaharaan itu yang adalah sebuah labirin. Sekalipun musuh mengejar, bukankah mereka bisa saja kehilangan para pengejarnya? Jika mereka terus melarikan diri menembus Pemakaman hingga mencapai pintu masuk di kaki bukit, mungkin…
Tentu, itu tak akan mudah. Tidak semua akan selamat. Renji, khususnya, harus bertarung melawan Zan Dogran sampai titik akhir kemampuannya. Seseorang pasti harus menjadi garda belakang, menahan musuh agar yang lain bisa lolos. Sepanjang jalan, akan ada yang gugur. Agar sisanya bisa hidup.
Ada juga pilihan untuk hanya membawa kawan-kawannya terdekat, lalu kabur secepat mungkin.
Aku tak bisa melakukan itu, pikirnya. Ia bukanlah orang sekejam itu, atau pengecut sebesar itu. Bahkan jika ia mampu menyingkirkan hati nuraninya, kecil kemungkinan semua akan berjalan baik. Meski tim mereka telah kehilangan Kimura dan Matsuyagi di Pemakaman, sejauh ini mereka belum kehilangan siapa pun di dalam kastil tua ini. Bisa jadi itu sebuah keajaiban, tapi juga hasil dari mereka semua yang bertarung seirama, dengan segenap tenaga. Bila ada satu orang saja yang merusak kesatuan itu, peleton akan runtuh seketika.
Haruhiro bisa saja kabur seorang diri, tapi itu tak ada gunanya. Tidak jika hanya dia yang selamat.
Apa yang sedang dilakukan Tsuguta sekarang? Atau Inui? Ia tak tahu. Apakah mereka sedang menggunakan Stealth seperti dirinya?
Mampu lenyap begitu saja di tengah pertempuran kacau balau seperti ini… hanya thief yang bisa melakukannya.
Jika Haruhiro sendirian, mungkin ia bisa melakukan manuver-manuver nekat.
Membuka gerbang. Itulah misi mereka. Gerbang itu pasti dipalang, jadi masalahnya: bisakah Haruhiro mengangkat atau menghancurkan palang itu? Tada atau Shinohara mungkin bisa. Mungkin memang itulah tujuan mereka.
Untuk saat ini, Haruhiro harus melupakan rekan-rekannya dan fokus membuka gerbang, menghancurkan atau menyingkirkan palangnya jika perlu. Kalau Tada atau Shinohara bergerak ke arah itu, ia bisa memberi dukungan.
Tidak ada waktu untuk bimbang.
Menyakitkan baginya, seolah-olah tubuhnya terkoyak, tapi Haruhiro memaksa dirinya meninggalkan timnya dan bergegas menuju gerbang. Kepergiannya bisa berarti kematian bagi kawan-kawannya. Itu kemungkinan yang nyata. Namun, jika gerbang tak terbuka, operasi ini takkan berhasil, dan pasukan terpisah ini akan habis—termasuk kawan-kawannya juga. Inilah satu-satunya pilihan. Walaupun tahu ia tak punya opsi lain, sulit baginya menerima kenyataan itu. Andai saja ia bisa membelah diri: separuhnya tetap bersama tim, dan separuh lain menuju gerbang.
Namun, untuk saat ini ia harus menyingkirkan emosinya. Dengan Stealth masih aktif, ia menyelinap melewati duel maut antara Renji dan Zan Dogran. Benar saja, Shinohara dan Tada memang sedang mendesak ke arah gerbang. Hanya saja, orc-berambut putih di dekat mereka bukan hanya membawa pedang bermata tunggal, tapi juga perisai yang tampak kokoh. Bahkan Shinohara, meski memegang sebuah relik, dan Tada, yang bagai wujud energi penghancur, tak bisa dengan mudah menembus pertahanan mereka.
Mungkin hanya Haruhiro seorang yang bisa menyelinap lewat dan sampai ke gerbang. Para orc berdiri membelakanginya. Ia mungkin bisa sampai dan meletakkan tangannya pada palang itu. Tapi, bisakah ia mengangkatnya, ketika bahkan kedua lengannya nyaris tak bisa melingkarinya? Mungkin tidak mustahil. Tapi itu akan sangat berat. Tada bisa saja menghancurkannya dengan palu perangnya. Itu jelas mustahil bagi Haruhiro.
Walaupun tanpa itu, dia tidak bisa menyingkirkan palang gerbang itu. Haruhiro tak sanggup, tapi Tada bisa melakukannya seorang diri.
Tada. Dia harus membawa Tada sampai ke gerbang. Untuk mewujudkannya, ia harus mengacaukan para orc yang berjaga di sana. Caranya: menyelinap ke tengah formasi mereka dan menusuk satu-dua dari belakang dengan Backstab. Mungkin juga berpura-pura berusaha mengangkat palang gerbang, meski jelas tak akan berhasil. Tentu saja mereka akan langsung menyadarinya. Tapi justru itu tujuannya—menciptakan kekacauan.
Itu akan sangat berbahaya. Taruhannya nyawa. Tapi Haruhiro tidak punya pilihan lain. Setidaknya tidak ada yang terpikir olehnya sekarang. Ia lebih memilih mati sambil melakukan sesuatu daripada mati tanpa berbuat apa-apa. Lagipula, sekalipun ia tewas, jika gerbang berhasil dibuka dan pasukan utama berhasil menerobos masuk ke dalam kastil tua, operasi ini masih punya peluang berhasil. Itu mungkin akan menyelamatkan kawan-kawannya.
Apa kemungkinan keberhasilannya? Sangat kecil. Sebuah perjudian. Dan dia sadar betul akan hal itu.
Haruhiro pada dasarnya seorang pesimis. Dia tidak mungkin tiba-tiba berubah jadi optimis di saat-saat genting seperti ini. Meski begitu, walaupun hatinya mengatakan semua ini mustahil, kalau ia sudah memutuskan untuk melakukannya, lebih baik ia meyakinkan dirinya bahwa masih ada kemungkinan. Satu persen bisa menjadi satu setengah persen. Setengah persen memang hampir tak berarti, tapi tetap bukan nol. Kalau nyawanya akan dipertaruhkan di atas peluang sekecil itu, ia ingin membuatnya sedikit lebih besar, sekecil apa pun tambahan itu.
Haruhiro menyusuri dinding, mendekati para orc berambut putih yang berjaga di depan gerbang. Namun, perisai mereka sudah terangkat rapat. Ke mana pun ia melihat, tidak ada celah sekecil apa pun yang bisa dilewati seorang manusia. Kenapa tadi ia berpikir ada celah? Bukankah ia sudah menganalisis situasi dengan kepala dingin? Ini mustahil.
Benarkah ini mustahil?
Dengan kondisi seperti ini, satu-satunya cara adalah memaksa diri menerobos di antara barisan orc dan perisai mereka. Stealth tidak akan ada gunanya.
Apa-apaan tadi? Satu setengah persen? Siapa yang coba aku bodohi?
Ini nol, kan?
Haruhiro berdiri terpaku. Hanya sekejap, tapi di saat itu ia benar-benar lengah.
Orc terdekat sempat menoleh padanya, berpaling, lalu menoleh lagi.
“Nggh…?!”
Dia melihatku.
Tidak mungkin Haruhiro bisa menutupi ini dengan sebuah Ups. Apa yang sedang ia lakukan? Mereka sudah menyadarinya.
“Zigassa!” Orc berambut putih itu mengangkat pedang bermata tunggalnya, mengintimidasi Haruhiro. Tapi dia tidak beranjak dari posisinya. Tugasnya adalah menjaga gerbang, sekalipun harus mati di situ.
“Haaahhhh!” Tada menghantamkan palu perangnya ke salah satu orc di barisan depan. Perisai orc itu hancur berkeping-keping, tapi segera ada orc lain yang maju menggantikan posisinya, menusukkan senjata ke arah Tada hingga pria itu terpaksa mundur sejenak.
“…!” Shinohara maju menerjang untuk menggantikan posisi Tada. Ia menabrak dua atau tiga orc sekaligus dengan perisai relik-nya yang terangkat di depan, membuat mereka kehilangan keseimbangan. Perisai Shinohara memancarkan cahaya, lalu ia menebas pedang bermata tunggal dan perisai para orc itu.
Tada kembali masuk, melakukan salto ke depan, lalu menghantam dengan Somersault Bomb, menghancurkan kepala salah satu orc berambut putih hingga lumat. Namun, begitu satu jatuh, orc lain segera maju tanpa ragu sedikit pun, langsung menutup celah di formasi mereka.
Apa sekarang? Apa yang harus kulakukan?
Orc berambut putih tadi masih menatap Haruhiro dengan tatapan penuh ancaman, menggeram seakan memperingatkan bahwa dirinya akan ditusuk bila mencoba mendekat.
Haruskah aku menerjang?
Kalau ia maju membabi buta, mungkin ia bisa menjatuhkan satu atau dua orc bersamanya. Tapi apa gunanya? Itu tidak membawa manfaat apa-apa.
Ini menyedihkan, memalukan, sekaligus menyakitkan—Haruhiro terdesak dengan punggung menempel pada dinding benteng, tak mampu berbuat apa pun. Yah, ia masih bisa bernapas. Tapi rasa bersalah menekan dirinya, karena jantungnya masih berdetak, napasnya masih berhembus. Mungkin seharusnya ia benar-benar menerjang seperti banteng kalap, mengabaikan akibatnya, lalu mati.
Namun, sebelum itu… adakah sesuatu yang bisa ia lakukan? Ia tak bisa membayangkan ada. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Semuanya sudah berakhir. Begitulah perasaan Haruhiro, jujur saja. Seberkas tipis harapan yang selama ini ia pegang, kini benar-benar lenyap.
Itulah sebabnya apa yang terjadi setelahnya membuat Haruhiro terperangah.
“Graahhhhh!”
Gerbang. Seseorang meraih palang gerbang, berusaha mencabutnya.
“Aku adalah raja iblis! Waktu! Ku! Telah! Tiba!”
Inui. Itu Inui! Apakah penutup matanya terlepas? Atau dia sendiri yang melepasnya? Rambut kuncir kudanya kini terurai, berantakan, liar.
“Weagasshah!” Salah satu orc berambut putih di dekat gerbang berbalik dan menebas pria gila itu.
“Nwoh-hohh…!” Inui meraung aneh, melompat ke udara bagaikan burung iblis, menghindari tebasan itu. Palang gerbang terlepas dari tangannya, tapi Inui langsung menerkam orc lain dan menyayat lehernya.
“Hyeh-arah!”
“Sialan!” Terdengar suara lain. Ketika Haruhiro menoleh, itu adalah Tsuguta dari Orion, melompat ke orc yang paling dekat dengannya. Apakah ia bersembunyi dengan Stealth di dekat sana, mengawasi? Mungkin ia sama-sama terjebak, tak bisa bergerak, seperti Haruhiro. Namun sekarang, tak ada lagi pilihan selain maju atau mati.
Harapan untuk membuka gerbang sudah nyaris mustahil. Ya, benar-benar nihil. Mereka semua bisa saja bertarung sampai titik akhir, dan angka nol itu pun mungkin tak akan berubah jadi nol koma satu persen. Tapi meskipun tanpa harapan, itu tetap lebih baik daripada duduk diam menunggu maut datang.
Haruhiro pura-pura menerjang ke depan, lalu menjatuhkan diri ke arah kaki salah satu orc berambut putih. Ia menerobos formasi mereka, dengan cepat menyelinap ke belakang barisan kedua, lalu memanjat punggung seorang orc dan menggorok lehernya dengan belati.
Segera setelahnya, Haruhiro menusukkan belati ke mata orc di sebelahnya, menariknya keluar, lalu meraih tubuh orc itu. Sebuah perisai menghantam dirinya, hampir membuatnya pingsan, namun ia masih sempat menggenggam rambut putih orc berikutnya dengan tangan kirinya. Ia tak akan dilepaskan begitu saja. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Haruhiro menghujamkan belatinya ke tengkuk orc itu.
“Nghahhhh…!”
Sesaat setelah itu, sebuah perisai menghantamnya lagi, dan mungkin saja ia benar-benar sempat kehilangan kesadaran. Namun kalaupun iya, itu tak lebih dari beberapa detik.
“Ugh…”
Rasa sakit membuatnya kembali sadar. Saat ia membuka mata, tubuhnya sedang diinjak-injak dan ditendang para orc. Ia tepat berada di tengah formasi mereka, merangkak di tanah—atau lebih tepatnya tergeletak tak berdaya layaknya lap pel usang.
Namun tampaknya orc-orc itu tidak dengan sengaja menendang atau menginjaknya. Mereka bahkan tidak menoleh ke bawah. Pandangan mereka terarah ke atas, mulut mereka berteriak lantang ke sesuatu yang lebih penting.
Sesuatu. Apa itu? Ada apa? Apakah sesuatu baru saja terjadi? Ataukah sedang terjadi sekarang? Haruhiro tidak tahu. Bagaimana mungkin ia tahu?
Ia merangkak maju. Setiap gerakan membuatnya kembali menerima tendangan. Kepalanya berdenyut, punggungnya terasa seperti remuk, tapi lengan kirinya dan kaki kanannya lebih parah lagi—seakan tak bisa digerakkan dengan benar. Meski begitu, ia terus merangkak, menyusup di antara kaki-kaki para orc.
Akhirnya, ia berhasil keluar dari formasi. Saat ia merangkak keluar di antara kaki orc-orc barisan depan dan menengadah, Haruhiro melihat sesuatu yang dimaksud. Ia tidak tahu apa itu, atau apa yang sebenarnya terjadi. Apakah matanya masih buram? Tidak, sepertinya bukan itu.
Benda itu melayang. Ya, sebuah objek terbang—atau lebih tepatnya mengambang. Posisinya tidak tepat di atas Haruhiro, tapi agak menyerong, melayang di antara gerbang dan bangunan. Apakah itu layang-layang? pikirnya. Benda besar yang mirip layang-layang itu benar-benar mengambang.
Dan di atasnya, ada sesuatu yang menunggangi. Bukan sekadar sesuatu, tapi seseorang. Mungkin manusia, atau setidaknya makhluk humanoid. Sosok itu memegang semacam lentera. Objek terbang itu sendiri tidak memancarkan cahaya, tapi dari lentera itulah cahaya berkilau keluar.
“Majulah, Shihorun…!” teriak sosok di atas benda melayang itu lantang. Suaranya terdengar familiar. Haruhiro mungkin keliru mengingat, tapi jika benar, itu adalah suara seorang perempuan yang pernah ia temui sejak terbangun di bawah Menara Terlarang sampai sekarang.
Itu suara Io, Haruhiro tiba-tiba menyadari. Meski kebersamaan mereka hanya sebentar, dan ia tidak sepenuhnya yakin, ada satu hal yang pasti: perempuan yang mungkin adalah Io itu baru saja menyebut sebuah nama.
Shihorun.
Nama itu sangat mirip dengan nama yang pernah Haruhiro dengar. Terlalu mirip untuk dianggap kebetulan.
Sesuatu—atau seseorang—muncul di tepi benda terbang, atau mungkin benda mengambang itu. Kulitnya pucat. Dia seorang perempuan. Benar-benar manusia. Yang membuat Haruhiro terkejut, perempuan itu tidak mengenakan apa pun yang pantas disebut pakaian. Atau mungkin, ia memang mengenakan sesuatu—tapi sangat tipis, nyaris transparan, berwarna pucat keputihan.
“Dark,” ucapnya.
Seketika, sesuatu yang hitam muncul. Kegelapan itu melilit tubuh sang perempuan dalam sekejap. Lalu, dalam dekapan hitam itu, ia melompat turun dari benda melayang. Kobold menggonggong, para orc berteriak, begitu juga para undead. Bahkan Haruhiro dan manusia lain pun berseru. Tidak seorang pun bisa tetap tenang menyaksikan pemandangan itu. Apa sebenarnya sosok itu? Apa artinya semua ini?
Gadis yang dibalut kegelapan itu melayang turun. Perlahan.
Terlalu lambat untuk disebut jatuh.
Apakah awan hitam itu melakukan sesuatu, menahan laju jatuhnya? Pasti begitu. Kegelapan yang menyelubungi tubuhnya makin membesar dari detik ke detik. Dari dalamnya, tentakel-tentakel hitam bermunculan satu demi satu, memanjang, menebal. Tentakel itu jelas-jelas menyeramkan. Tak ada satu pun, apa pun rasnya, yang menganggap sebaliknya.
Itu mengerikan. Jangan sampai aku menyentuhnya. Jangan biarkan benda itu menyentuhku.
Aku harus lari. Itu jelas bukan hal baik.
Masih ada waktu sebelum ia benar-benar menyentuh tanah. Namun salah satu tentakel hitam itu melesat ke arah seorang orc berambut putih.
“Gah…?!”
Tentakel itu melilit tubuhnya, lalu dengan mudah mencabut kepalanya.
“Shihoru!” Yume berteriak. Hampir bersamaan, Merry pun memanggil namanya.
Ya. Shihoru. Itu Shihoru. Shihoru. Itu Shihoru. Dark. Itu Dark. Sihir Shihoru. Suara aneh “nshooooo” itu. Aku pernah mendengarnya. Itu sihir Shihoru.
Benarkah itu sihirnya…?

Sesuatu yang hitam itu… dengan tentakel-tentakel gelap yang mencabut lengan dan kepala orc, kobold, serta undead seolah-olah hanya sedang mencabut rumput liar… itu sihir Shihoru?
“Ough…! Ooughhh…!” teriakan Zan Dogran bergema.
Ia yang tadinya unggul dalam duel melawan Renji, kini hampir meraih kemenangan. Namun semua itu tak berarti lagi sekarang. Tak ada seorang pun, kawan maupun lawan, yang bisa terus bertarung.
“Apa-apaan itu?!”
“Sh-Shihoru-san…!”
“Serius?!”
“Jesus…!”
Ranta, Kuzaku, Kikkawa, dan Anna-san berlarian tak tentu arah bersama para musuh, sebagian lain merunduk, berusaha mencari perlindungan.
“Hahhhh!” Tokimune memutar pedang panjang-nya lalu menebas Zan Dogran.
“Ngh!” Zan Dogran menangkis tebasan itu dengan pedang bermata tunggal di tangan kirinya, lalu membalas dengan pedang di tangan kanan. Tokimune mengangkat perisainya, menahan serangan itu, dan terpaksa mundur oleh kekuatan lawan yang jauh lebih besar. Ia kembali maju menyerang, meski jelas tak punya peluang. Tokimune pasti menyadari hal itu. Namun di belakangnya ada Renji.
Apakah efek Aragarfald sudah hilang? Renji kini berjongkok, nyaris tak bergerak. Apakah kekuatannya telah habis? Ia sama sekali tak bisa bangun. Ron, Chibi-chan, dan Adachi segera berlari ke arahnya. Sampai mereka bisa mengevakuasi Renji, Tokimune harus menahan Zan Dogran.
“Ahh!” Haruhiro berusaha bangkit. Ia merasa harus melakukan sesuatu—dan ia memang ingin melakukannya.
Shihoru. Tidak.
Sihir Dark milik Shihoru berputar liar, membentuk pusaran maut yang tak seorang pun bisa lolos darinya. Begitu tertangkap, mereka dicincang habis sebelum sempat melarikan diri. Tercabik-cabik. Lengan, kaki, kepala, hingga tubuh yang terpotong-potong berhamburan bersama cairan tubuh yang menyiprat ke segala arah.
Apakah hanya musuh yang terperangkap di sana? Atau ada sekutu, bahkan rekan seperjuangan mereka juga? Siapa yang bisa memastikan? Haruhiro sendiri tidak tahu.
Di pusat pusaran hitam pekat itu, wajah Shihoru samar-samar terlihat, tubuhnya hampir menyentuh tanah. Pusaran mengerikan itu kini memenuhi hampir seluruh celah antara tembok dan bangunan. Jika ada kawan yang ikut terseret ke dalamnya, tak ada jalan untuk menyelamatkan mereka.
“Hoo-rahhhh…!”
Sebuah suara dahsyat terdengar dari arah gerbang. Tada.
Tada menghantam palang gerbang dengan palu perangnya, dan hanya dengan satu pukulan pertama, penghalang itu mulai hancur. Barisan orc berambut putih di depan panik, formasi pertahanan rapat yang sebelumnya tak tertembus kini hilang sama sekali. Tada dan Shinohara tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka menyingkirkan orc-orc yang masih mencoba menghalangi, lalu akhirnya mencapai sasaran. Dan Tada pun menghancurkan satu-satunya pengikat gerbang.
“Aku buka gerbangnya!” Shinohara menghantamkan perisainya ke daun gerbang dan mendorong keras.
“Sialaaaaaan!” Tada mengangkat kaki kanannya, menginjakkan pada pintu, lalu mendorong dengan segenap tenaga.
Gerbang itu bergeser.
Gerbang itu mulai terbuka.
“Zongadda…! Zaaaajih…!” teriak Zan Dogran sambil menangkis tebasan Tokimune dengan pedang kembarnya. Itu jelas bahasa orc. Haruhiro tentu tak mengerti artinya, tapi pasti semacam perintah.
Para orc berambut putih pun berbalik, ikut mendorong gerbang bersama Tada dan Shinohara. Apakah itu perintah Zan Dogran? Mereka jelas-jelas sedang berusaha membuka gerbang. Tak ada kesimpulan lain.
“Apa…?!”
“Ada apa dengan mereka…?!”
Shinohara dan Tada kebingungan. Saat mereka masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi di sekitar, gerbang itu berayun terbuka. Tak butuh waktu lama sampai gerbang terbuka cukup lebar untuk dilalui banyak orang. Begitu itu terjadi, para orc berambut putih mulai berhamburan keluar.
“Huh…?”
Sesuatu melompat melewati Haruhiro. Ia masih tak bisa berdiri, lengan kirinya dan kaki kanannya tak mau bergerak seperti yang ia inginkan, jadi untuk merangkak pun ia tak mampu. Ia memutar tubuh, mencoba melihat apa yang melompat melewatinya—ternyata Zan Dogran, bergegas keluar melalui gerbang.
Oh.
“Dia kabur…?”
Jadi begitu.
Pasukan terpisah dan Shihoru ada di kastil tua. Dan sekarang, dengan gerbang terbuka, pasukan utama pasti akan bergegas masuk. Pertahanan mereka sudah runtuh. Mereka tak bisa mempertahankan benteng ini. Itulah yang diputuskan Zan Dogran. Alih-alih bertempur sampai habis-habisan, hingga salah satu pihak musnah, ia memerintahkan seluruh pasukannya mundur.
Musuh kabur secepat mungkin. Semua berlarian keluar. Ke mana mereka akan pergi setelah ini?
“Shihoru…”
Apa gunanya memikirkan ke mana mereka pergi? Haruhiro tak peduli. Begitu musuh lari, mereka bukan lagi urusannya.
Pusaran hitam itu berhenti mengulur-ulurkan tentakel ke segala arah dan mulai mengerut. Tak ada lagi musuh di dekatnya. Tak ada sekutu. Tak ada anggota tubuh, kepala, atau potongan tubuh yang beterbangan dengan cairan berserakan. Hanya ada sesuatu hitam itu—dan Shihoru, yang terbungkus oleh Dark.
Apa Shihoru sudah mendarat? Dark menutupi hampir seluruh tubuhnya, jadi sulit memastikan. Rasanya wajahnya sedikit terlalu tinggi untuk kakinya benar-benar berpijak di tanah.
Haruhiro merangkak. Ia seharusnya tidak mendekat. Itu berbahaya. Sesuatu dalam dirinya—akal sehat atau mungkin naluri—membunyikan lonceng peringatan. Bukan berarti ia tidak takut. Tentakel Dark masih bergerak, dan bila salah satunya saja menyentuh Haruhiro, itu pasti akan mengakhirinya.
Tapi… apakah Shihoru akan melakukan hal seperti itu?
Kalau memang benar itu Shihoru.
Wajahnya adalah wajah Shihoru.
Dark.
Itu adalah sihir Shihoru.
Sihir khasnya.
Apakah sejak awal sihir itu selalu seseram ini…?
Entah sejak kapan, Haruhiro berhenti merangkak maju. Rasa sakitlah penyebabnya. Seluruh tubuhnya nyeri. Mungkin ada tulang yang patah, urat yang putus. Itu alasannya. Bukan karena ia takut pada Shihoru. Bukan karena ia berpikir Shihoru akan membunuhnya. Pikiran itu tak terlintas sedikit pun.
Dia adalah rekannya.
Itu mustahil terjadi. Shihoru, membunuhnya? Tak mungkin.
“Shihoru…?”
Sejak sebelum Haruhiro memanggil namanya, Shihoru sudah menatap ke arahnya. Matanya memang menghadap ke Haruhiro, tapi pandangannya kosong.
“Shihoru…?” Haruhiro memanggil sekali lagi. Untuk sesaat ia mulai ragu—mungkin ia salah. Mungkin itu orang lain yang kebetulan mirip, dan entah bagaimana bisa menggunakan sihir Shihoru. Apakah ini hanya salah sangka?
Pikiran itu terdengar konyol. Wajahnya terlalu mirip. Terlalu sama. Namun ada sesuatu yang terasa janggal. Ia tidak menanggapi panggilannya.
Kalau, seandainya, dia bukan Shihoru… berarti jelas dia bukan rekannya.
Tiba-tiba, Dark yang menyelubunginya mengembang seperti sayap seekor burung hitam raksasa yang hendak terbang. Dark berubah menjadi tak terhitung banyaknya tentakel hitam tipis, berputar membentuk pusaran baru. Salah satunya menyentuh wajah Haruhiro. Ia tahu tentakel itu mengoyak hidung dan pipinya, juga kulit dahinya, bahkan tulang di baliknya.
Aku mati, pikir Haruhiro. Aku akan dibunuh.
Andai Haruhiro dalam kondisi prima, ia pasti sudah meloncat bangun dan lari sekuat tenaga. Tapi sekarang itu mustahil. Tubuhnya lemah, tak mau bergerak sesuai keinginannya.
“Shihoru…?”
Itu bukan Shihoru. Bukan rekanku. Shihoru takkan melakukan ini. Takkan membunuhku. Tidak mungkin dia Shihoru.
Namun meski berpikir begitu, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah terus memanggil namanya.
“Kau…” Suara itu keluar.
Haruhiro melihat Dark perlahan menarik diri. Gulungan tentakel itu melilit kembali ke tubuhnya, mengecil, merapat ke punggungnya. Dark semakin lama semakin menghilang. Tubuh Shihoru makin jelas terlihat. Ia mengenakan pakaian tipis berwarna hampir putih, menutupi tubuhnya dari dada hingga pertengahan paha, hanya bertali di bahunya—nyaris menyerupai pakaian dalam.
Dark akhirnya lenyap. Atau begitulah yang Haruhiro kira—sampai sesosok hitam berbentuk humanoid melesat keluar dari belakangnya. Makhluk itu berhenti, hinggap di bahunya.
“Apakah… kau… mengenalku?” tanyanya. Bertanya pada Haruhiro. Dengan mata kosong. Dengan suara Shihoru, rekannya yang begitu ia kenal.
Aku mengenalmu.
Itulah jawaban yang seharusnya ia ucapkan.
Shihoru.
Ia hanya perlu menyebut namanya sekali lagi.
Shihoru. Kau Shihoru, kan? Ini aku. Haruhiro. Tidakkah kau mengenaliku, Shihoru?
Tapi mengapa lidahnya kelu? Ia bahkan tak sanggup mengangguk.
“Shihorun.”
Sesuatu turun dari langit. Benda itu—yang melayang seperti layang-layang, atau lebih tepatnya, yang benar-benar terbang. Saat ia turun mendekat, Haruhiro bisa melihat siapa yang ada di atasnya.
“Kita sudah selesai di sini. Saatnya pulang.”
Itu Io.
Namun bukan hanya Io. Ada dua orang lain bersamanya. Seseorang berpakaian serba hitam dengan wajah menyeramkan, dan satu lagi dengan poni yang sangat panjang. Gomi dan Tasukete. Gomi memegang lentera.
“Ayo.” Tasukete mengulurkan tangan padanya.
Shihoru menatap tangan itu kosong-kosong. Seakan ia sama sekali tak tahu apa artinya.
“Kamu ingin pulang, kan?”
Atas desakan Io, Shihoru perlahan mengulurkan tangan kanannya. Tasukete menyambutnya, lalu menariknya naik ke atas benda terbang itu.
“Tunggu…”
Baru ketika benda terbang itu mulai naik, Haruhiro berusaha menghentikannya.
“Tunggu, Shihoru, ini aku! Shihoru! Ini aku…! Shihoru…!”
Shihoru duduk di atas benda terbang yang kemungkinan sebuah relik, menatap ke bawah pada Haruhiro. Keningnya berkerut, seolah kebingungan. Ia memiringkan kepala, seakan tak bisa memahami. Haruhiro mencari-cari tanda dalam ekspresi dan gerakannya. Bukti bahwa itu memang Shihoru. Ia yakin itu Shihoru. Kalau itu benar Shihoru—kalau ia memang rekannya—tentu saja ia akan mengenalnya. Mana mungkin tidak? Jadi kenapa? Kenapa reaksinya justru seperti menatap orang asing yang tiba-tiba memanggil namanya?
Dia Shihoru, tapi entah kenapa, dia tidak mengenali Haruhiro.
Dia tidak ingat.
Shihoru telah melupakan Haruhiro.
Ingatannya sudah dihapus.
Ingatan Shihoru telah dicuri lagi.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)