10. Hidup dan Mati (Grimgar)

Gunung itu tidak terlalu curam, dan cuacanya pun baik. Seharusnya perjalanan ini terasa seperti pendakian kelompok biasa—kalau saja bukan karena keberadaan naga. Saat seribu orang berbaris dalam formasi, binatang buas biasanya enggan mendekat. Kecuali makhluk terkuat dari semuanya—naga—yang konon tak memiliki predator selain sesama jenisnya sendiri.

Mereka baru tiba di puncak saat senja, untungnya tanpa melihat satu ekor naga pun selama perjalanan.

Di sebelah timur, terlihat sebuah kota besar. Bukan Altana. Itu adalah Damuro. Pada masa ketika Kerajaan Arabakia masih berjaya di utara Pegunungan Tenryu, Damuro adalah kota pusat di wilayah paling selatan mereka. Dan ketika Damuro jatuh, kekalahan umat manusia dan kemenangan Aliansi Para Raja menjadi tak terbantahkan.

Setelah itu, Damuro berubah menjadi sarang goblin, terbagi menjadi Kota Baru di sebelah barat, dan Kota Lama di timur. Kota Lama telah terbengkalai selama lebih dari seratus tahun, dan masih dalam kondisi reruntuhan. Menurut Merry, kawasan itu dihuni oleh goblin-goblin buangan yang kalah dalam konflik internal kota, bersama para pengasing lainnya. Sedangkan Kota Baru, yang dibangun ulang oleh goblin, hanya bisa digambarkan dengan satu kata—aneh. Alih-alih tampak seperti kota, tempat itu lebih menyerupai gundukan raksasa sarang semut, dengan bangunan-bangunan tinggi tersebar di tengahnya.

Pasukan Ekspedisi melanjutkan perjalanan menuruni sisi timur gunung, beristirahat dari waktu ke waktu. Mereka tidak ingin bermalam di lereng gunung, jadi meskipun matahari telah terbenam, mereka tetap harus melanjutkan perjalanan sambil berdoa agar tak ada naga yang muncul.

Para prajurit yang awalnya bercanda atau terkejut oleh bayangan sendiri, kini melangkah dalam diam. Sekalipun ada yang mulai mengeluh, “Aku capek, nggak kuat lagi,” tak akan ada yang membopong mereka atau menggandeng tangan mereka. Jika tak berjalan dengan kaki sendiri, mereka akan ditinggalkan di gunung yang bisa saja jadi sarang naga.

Begitu melewati gunung, Pasukan Ekspedisi mulai menunjukkan disiplin seperti pasukan militer sungguhan. Mungkinkah itu alasan Jenderal Jin Mogis memilih jalur ini? Jelas saja, jika naga benar-benar muncul, keadaan akan terlalu kacau untuk belajar apa pun, jadi mungkin Haruhiro terlalu memikirkannya.

Ya. Mungkin begitu.

Nyatanya, tidak ada naga yang muncul.

Pasukan Ekspedisi akhirnya mencapai kaki gunung larut malam, dan sebagian besar prajurit langsung roboh di tempat, tertidur seperti batu.

Haruhiro dan kelompoknya pun kelelahan, tapi mereka tidak langsung tidur. Ini saatnya untuk menyiapkan alas tidur, sekecil apa pun, agar bisa beristirahat dengan layak. Jika tidur dalam keadaan lapar, tidurnya akan gelisah, jadi mereka harus makan sesuatu terlebih dahulu. Dan jika haus tak dituntaskan, kualitas tidur pun akan menurun.

Sementara Haruhiro dan yang lain sedang bersiap-siap untuk tidur, Jenderal Mogis berjalan perlahan di antara barisan prajurit. Sebagian besar dari mereka sudah terlelap dan tidak bergerak sedikit pun. Pemandangannya terasa menyeramkan—sang jenderal tampak seolah sedang berjalan di antara ladang kematian.

Tidak, bukan terasa menyeramkan. Itu memang menyeramkan.

Jenderal itu bersenandung pelan saat berjalan.

Ia benar-benar menikmati dirinya sendiri.

“…Apa dia nggak gila, ya?” bisik Kuzaku.

Jenderal itu sengaja memilih menyeberangi gunung, bertaruh bahwa takkan ada naga yang muncul, demi melatih pasukannya. Atau jangan-jangan bukan itu alasannya. Bisa jadi, ia tak masalah kalau pun naga muncul. Bahkan, mungkin ia menginginkannya. Bayangkan saja—naga menyerang, para prajurit panik berlarian, dibantai satu per satu. Apa Jenderal Jin Mogis benar-benar ingin menyaksikan semua itu sambil tersenyum dan bersenandung?

Kedengarannya konyol.

Mungkin Haruhiro terlalu lelah, sampai pikirannya mengembara ke arah yang aneh.

Saat matahari terbit, Haruhiro langsung terbangun, tapi butuh waktu lama sebelum para prajurit lainnya menyusul.

Mereka baru berangkat menjelang tengah hari. Ketika mereka telah berjalan sejauh empat kilometer ke arah tenggara, matahari sudah mulai terbenam.

Altana berjarak sekitar sepuluh kilometer ke arah timur dari titik itu.

Mulai dari sini, medan didominasi oleh hutan kecil, padang terbuka, dan lahan rawa. Jika mereka terus berjalan dalam formasi seribu orang, mereka akan terlihat dari kejauhan. Jika ingin melakukan serangan mendadak terhadap Altana, mereka harus menyeberangi tanah ini dengan perjalanan malam dan menyergap dalam satu gebrakan.

Jenderal Mogis memerintahkan pasukan untuk bersiaga, lalu memanggil Neal sang pengintai, Anthony, dan kelompok Haruhiro.

“Aku punya misi penting untuk kalian. Aku ingin kalian menjalin kontak dengan agen-agen kami yang seharusnya bersembunyi di wilayah musuh, dan kumpulkan informasi.”

“Bersembunyi?” Haruhiro bertanya. “…Yang Anda maksud wilayah musuh itu Altana, kan? Jadi maksudnya ada orang-orang kita di Altana?”

Jenderal itu hanya menatap Haruhiro, tak menjawab.

“Ya, kalau mereka belum ditemukan,” kata Anthony. “Kalau Altana memang dikuasai musuh, maka sebagian kecil orang kita seharusnya tetap tinggal di dalam kota, menunggu bala bantuan.”

“Itu kalau mereka taat pada rencana,” tambah Neal.

“Memastikan hal itu juga bagian dari misi kalian,” ucap sang jenderal ringan, tapi itu tetap saja terdengar berbahaya.

Tidak. Ini jelas akan sangat berbahaya.

Sejujurnya, Haruhiro tidak suka. Tapi jika itu perintah dari sang jenderal, ia tak bisa menolaknya.

Haruhiro berpikir sejenak, lalu berkata, “Mungkin lebih baik kalau kami pergi dengan jumlah sekecil mungkin?”

Jenderal itu diam. Matanya tertuju pada Haruhiro.

“Aku cukup cocok untuk tugas seperti ini. Tapi kalau aku membawa orang-orang yang tak cocok, mereka hanya akan menjadi beban.”

“Aku seorang priest,” kata Merry. “Kalau ada yang terluka, aku bisa membantu. Kupikir aku juga harus ikut.”

Merry mungkin bukan ahli dalam operasi penyamaran, tapi ada juga soal ingatannya. Haruhiro akan membutuhkannya untuk ikut.

“Aku…” Kuzaku mulai bicara, lalu mengerang. “Aku ingin ikut, tapi… aku mungkin malah bikin repot kalian.”

Tak ada alasan mendesak bagi Setora dan Kiichi untuk ikut juga.

“Jadi, aku, Merry… Anthony-san, dan Neal-san,” Haruhiro menoleh pada sang jenderal. “Bagaimana?”

Saat Haruhiro menatap mata Jenderal Mogis yang keruh berkarat, entah kenapa ia dilanda rasa tak nyaman. Ekspresi pria itu sulit dibaca. Apakah dia sedang merencanakan sesuatu yang buruk? Haruhiro tak bisa menahan rasa curiganya.

Sang jenderal mengangguk.

“Baik. Berangkatlah sekarang juga.”

Tepat saat mereka hendak pergi, Kuzaku mengeluh.

“Jadi kami ditinggal, ya? Padahal aku juga ingin ikut.”

“Kamu sendiri tadi bilang bisa saja bikin masalah.”

“Ya sih. Aku mungkin memang bakal merepotkan kalian, tapi tetap saja aku ingin ikut. Memang bertentangan, tapi kan itu wajar, ya?”

“Tidak,” jawab Setora tanpa basa-basi. “Aku dan Kiichi mungkin masih bisa dipertimbangkan, tapi kau dan Shihoru bisa saja malah jadi beban. Haruhiro sudah buat keputusan yang tepat.”

“Tapi Setora-san, kurasa bukan itu alasan Haruhiro. Bukannya kami bakal menghambat, tapi lebih ke… dia sebenarnya khawatir pada kami. Naluri kebapakan yang ingin menjaga dari bahaya gitu. Eh, meski dia bukan bapak kami juga, sih. Jadi ya… cuma kekhawatiran biasa, ya?”

“Bukan seperti itu,” kata Haruhiro. “Masalahnya emang kau bakal merepotkan. Ukuran badanmu, maksudku.”

“Wah, ayolah… Huh? Serius, nih? Yah, aku tahu aku segede itu, tapi tetap aja…”

Shihoru menarik lengan baju Haruhiro.

“…Jaga diri, ya.”

Haruhiro agak canggung, lalu memalingkan wajah.

“…Iya.”

“Merry juga,” tambah Shihoru.

“Aku akan jaga diri,” kata Merry dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat. “…Terima kasih.”

Keempat orang itu pun segera berangkat.

Di sebelah selatan Altana terbentang ladang dan padang rumput, serta rumah-rumah petani yang tersebar, meski jumlahnya tak cukup untuk membentuk desa. Kini setelah Altana jatuh, lahan-lahan itu telah dirusak, dan tak tampak satu pun hewan ternak. Para petani telah melarikan diri, atau dibunuh. Jelas saja, rumah-rumah itu kosong. Tak ada tanda-tanda goblin bersembunyi di sekitar.

Saat matahari mulai tenggelam, Haruhiro dan yang lain memasuki salah satu rumah petani. Rumah kayu beratap jerami itu tampak kokoh, tapi tak berbeda dari rumah lainnya. Bagian dalamnya porak-poranda. Mungkin ulah orc atau goblin.

“Di mana tempatnya?” tanya Haruhiro pada Anthony.

“Di sini,” jawab Anthony, lalu menuntunnya ke dapur. Meski begitu, dapurnya tak benar-benar terpisah dari ruangan lain—hanya ada tungku dan meja untuk memasak di salah satu sudut.

Anthony membantu Haruhiro menggeser meja dapur itu ke samping. Di balik tempat itu, tersembunyi sebuah pintu rahasia di dinding.

Saat mereka membuka pintu tersembunyi itu, tampak sebuah ruangan sempit berbau debu dan jamur. Di dalamnya ada tong, kotak, dan alat-alat tua—tapi semua itu pasti hanya umpan.

Anthony dan Haruhiro menarik keluar semua barang-barang itu, lalu mencungkil ubin batu di lantai satu per satu.

Akhirnya, terbukalah sebuah lubang seperti sumur.

“Usianya sekitar lima puluh tahun, dari yang pernah kudengar,” kata Anthony sambil menyeka keringat di dahinya. “Katanya masih ada yang lain, tapi ini satu-satunya yang kutahu.”

“Rasanya bakal ada sesuatu yang keluar dari sana,” gumam Neal sambil mengangguk ke arah lubang itu. “Kalian duluan.”

Urutan barisan mereka saat turun adalah Anthony, Haruhiro, Merry, lalu Neal.

Di dinding sumur ada pegangan logam untuk tangan dan kaki, tapi mereka tetap harus turun lurus ke bawah dalam waktu yang cukup lama. Benar-benar seperti sumur, dan cukup sempit untuk hanya dilalui satu orang.

“Beberapa pegangan mulai longgar. Hati-hati,” peringat Anthony, dan belum sempat kalimatnya selesai, “Wah!” teriaknya kaget. “…Itu bahaya. Satu pegangannya copot.”

Meski begitu, mereka berhasil menuruni bagian vertikal itu. Setelahnya, ada lorong sempit—kurang dari satu meter lebarnya, dan cukup rendah hingga Haruhiro yang tidak terlalu tinggi pun harus menunduk. Ia terpaksa berjalan sambil membungkuk. Rasanya cukup menyiksa.

Anthony yang berjalan paling depan membawa lentera kecil—satu-satunya sumber cahaya mereka.

“Mereka bersembunyi, lalu menunggu bala bantuan yang belum tentu datang, ya?” gumam Neal dengan nada mencemooh. “Itu sih peran pecundang. Aku ogah.”

“Orang-orang perbatasan,” kata Anthony dengan nada tajam, “punya nyali lebih kuat dari kalian orang daratan. Itu sudah pasti.”

Neal terkekeh pelan.

“Mungkin kau benar.”

“Bukan mungkin. Aku memang benar,” Anthony membalas.

Lorong itu tampaknya sengaja menghindari batuan keras. Jalurnya meliuk-liuk, tak jelas di mana ujungnya.

Sesekali, Haruhiro melirik ke arah Merry. Setiap kali, Merry mengangguk padanya, seolah berkata, aku baik-baik saja.

“Lorong ini tembus ke mana?” tanya Haruhiro pada Anthony.

“Ke markas guild dread knight di Kota Barat.”

“Dread knight. Kota Barat…” Haruhiro mengulangnya, merenung.

Seingatnya, Merry pernah mengatakan bahwa mantan rekan mereka, Ranta, adalah seorang dread knight. Kota Barat. Ia tidak yakin, tapi kemungkinan besar itu adalah sisi barat Altana. Mungkin itu sudah jelas.

“Melihat seberapa jauh kita sudah berjalan, kita seharusnya sudah berada tepat di bawah Altana sekarang,” kata Anthony.

Mereka berjalan cukup jauh lagi setelah itu. Saat tiba di sebuah jalan buntu, Anthony berhenti.

Neal mengeluarkan tawa sinis.

“Ayolah…”

“Jangan langsung berasumsi.” Anthony berhenti membungkuk dan meregangkan punggungnya.

Apakah dia tidak akan terbentur kepala? Tapi tampaknya langit-langit di sini lebih tinggi.

Anthony menggantungkan lentera di pinggangnya.

“Oke, kita harus memanjat. Ikuti aku.”

Berbeda dengan di pintu masuk, di sini tidak ada pengait logam, jadi mereka harus menekan tangan dan kaki mereka ke dinding dan perlahan-lahan memanjat.

Setelah naik sekitar dua meter, mereka sampai pada sebuah lubang yang mengarah ke samping. Jika merangkak, mereka cukup muat masuk ke dalamnya. Lubang itu bahkan lebih sempit daripada terowongan yang baru mereka lewati, tapi diperkuat dengan batu.

“Ini pintu keluar,” kata Anthony, lalu mulai mengetuk sesuatu.

Apakah itu hanya terhalang oleh sebuah lapisan batu tipis? Anthony memecahnya dengan tenaga kasar.

Saat mereka keluar, mereka berada di sebuah ruangan besar yang terbuat dari batu.

Anthony melepas lentera dari pinggangnya dan memegangnya di tangan, menyinari sekeliling.

Apakah ada patung-patung yang berjajar di dinding? Ada sosok-sosok yang bukan manusia atau binatang yang berdiri di atas panggung batu. Ukurannya beragam. Ada yang sebesar manusia, ada yang setengahnya.

Lalu ada benda aneh yang awalnya sulit dikenali; dia mengira itu mayat makhluk entah apa itu, tapi ternyata itu adalah lilin. Sekian banyak lilin yang meleleh dan membeku menjadi satu, membentuk sosok mengerikan yang kini mendominasi lantai ruangan itu.

“Pemujaan Skullhell, ya?” Neal menatap salah satu patung dan mengangkat bahu. “Jelek sekali. Manusia memuja dewa kematian.”

Anthony tampak hendak mengatakan sesuatu.

“Apakah…” Haruhiro tegang. Tanpa sadar ia sudah menghunus belatinya. “…Ada seseorang di sana?”

Di ujung ruangan sana. Apakah itu juga patung?

Tidak. Itu bukan patung.

Itu bergerak.

Dan berdiri.

“O-O-O-O Kegelapan, O-O-O-O T-T-Tuan Ke-J-J-Jahatan.”

Sebuah suara.

Itu suara manusia.

“…Seorang yang selamat?!” Neal menghunus belati dan bersiap.

“Tidak…” Anthony menurunkan lentera ke lantai dan mengeluarkan pedangnya.

“Bukan!” teriak Merry.

“S-S-Summon D-D-Demon,” seseorang berkata dengan suara serak yang amat parah.

Sebuah kabut ungu mulai membentuk pusaran di kegelapan.

Massa yang berputar itu segera membentuk wujud tertentu.

Kepalanya seperti rusa putih murni, dan tubuh manusia yang kurus kering dibalut jubah gelap. Apa itu sebenarnya?

“Demon!” kata Merry. “Familiar dari dread knight!”

“Apa yang terjadi?!” teriak Neal.

Merry tidak menjawab.

“Hentikan demon itu! Aku akan memurnikannya!”

Memurnikan.

Zombie, ya?

Kutukan No-Life King telah mengubah dread knight itu menjadi mayat berjalan. Dia bukan orang yang selamat. Ia sudah mati.

“Ueahhehhhhhhhhahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.”

Demon itu mengeluarkan teriakan menakutkan sambil menyerang. Lengan-lengan putih seperti tulang yang tersembunyi di balik jubahnya muncul. Tangan-tangannya seperti sabit.

“Hahh!” Anthony mengeluarkan teriakan perang sambil menangkis demon dengan pedangnya.

Haruhiro dan Merry saling berpandangan. Apa yang sedang coba dilakukan Merry, dan apa yang dia inginkan dari Haruhiro? Ia langsung mengerti.

Haruhiro berlari melewati Anthony yang sedang bertarung dengan demon itu.

Zombie dread knight itu memperhatikan Haruhiro.

“Ah, ah, ah, ah.”

Zombie itu membawa senjata. Pedang melengkung, scimitar. Tidak cuma satu, tapi dua. Pemegang senjata ganda, ya?

Saat zombie itu melangkah maju, Haruhiro merasakan bulu kuduknya berdiri.

Ia mengira zombie akan lambat dan bodoh, atau setidaknya tidak secepat saat masih hidup. Yang satu ini mungkin sebenarnya lebih cepat waktu masih hidup, karena meski sudah mati, dia masih cukup gesit.

Di selang waktu dia mengucapkan, “Whoa,” zombie itu sudah dekat.

Tubuhnya bereaksi secara refleks. Ia menangkis dua scimitar itu dengan belatinya dan mengalihkan serangan mereka, meski dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya.

Zombie itu terus maju.

Sial. Sial. Sial. Sial. Siaaaal.

Haruhiro mencabut belatinya yang satu lagi—yang bilahnya bergelombang seperti lidah api. Ia menangkis scimitar zombie itu. Nyaris. Bahkan sambil berpikir dengan terkejut, Wow, aku beneran bisa ngelakuin ini, ya?

Tapi tiba-tiba zombie itu menghilang dari pandangannya.

“Huh…?”

Kiri.

Entah karena insting atau alasan lain, Haruhiro menoleh ke kiri.

Di sana.

Zombie itu…

Teleport? Enggak mungkin. Konyol. Duh. Scimitar-nya. Aku enggak bisa hindarinya, enggak sempat nahan juga. Aku enggak bakal selamat.

“O Cahaya, semoga perlindungan suci dari Lumiaris menyertaimu.”

Merry menerjang ke arah zombie itu seolah ingin menjatuhkannya.

Yah, sebenarnya memang itu yang mereka rencanakan. Bukan karena dia memberi isyarat, dan nyawanya memang hampir melayang, tapi sejak awal, memang Haruhiro yang dijadikan umpan untuk mengalihkan perhatian zombie—agar Merry bisa memurnikannya dengan sihir.

“Dispel…!”

Cahaya meledak, menyelimuti zombie itu sepenuhnya.

Begitu zombie itu jatuh, demon-nya pun lenyap.

“Haru!” Merry berlari menghampirinya dengan wajah panik. “Kamu terluka?!”

“Uh… Iya.” Cara Merry meraih lengannya dan menyentuh wajahnya mengejutkannya sedikit. “…Aku nggak apa-apa. Terima kasih.”

Merry menghela napas.

“Syukurlah…”

“Jadi ini zombie yang selama ini kudengar?” Neal menendang mayat zombie itu, mencoba membaliknya.

“Jangan,” Anthony mencegahnya. “Dia dikendalikan oleh kutukan.”

“Heh,” Neal tertawa sinis. “‘Dia’? Kutukan, atau apa pun itu, sudah hilang. Sekarang cuma mayat biasa.”

“Kalian orang daratan tidak punya respek untuk orang mati, ya?”

“Aku nggak tahu gimana di perbatasan, tapi pemuja Skullhell itu layak dibenci, bahkan setelah mati. Mereka busuk.”

“Dari yang kulihat, dia dulunya pemimpin dari guild dread knight. Dia tetap bertahan di Altana sampai akhir. Apa yang busuk dari itu?”

Neal melambaikan tangan, mengisyaratkan bahwa ia malas membahasnya lebih jauh.

Merry berlutut di samping tubuh itu dan mulai berdoa. Anthony pun ikut memberi penghormatan dalam diam.

Haruhiro mencoba meniru mereka, tapi… apa gunanya berpura-pura seperti itu, kalau dia sebenarnya tidak sungguh-sungguh berduka?

“Kau sama saja denganku, ya?” Neal menepuk punggungnya dengan ramah.

Entahlah, pikir Haruhiro, tapi dia tidak berkata apa pun. Dia merasa dia tidak akan pernah cocok dengan Neal. Bahkan, mungkin dia benar-benar membenci pria itu.

“Ayo.” Anthony mengambil lentera yang tadi ia taruh di lantai. “Kita ada urusan di guild thief. Masih di Kota Barat, jadi nggak jauh.”

Guild dread knight berada di bawah rumah kosong yang tampak siap runtuh kapan saja.

Bangunannya memang kelihatan bobrok dari luar, tapi ternyata cukup kokoh. Lorong-lorongnya rumit, dan banyak ruang kecil tersembunyi di dalamnya. Salah satu ruangan itu menyimpan jalan masuk ke bawah tanah.

Kemungkinan besar, sang pemimpin itu terluka dalam pertempuran dan melarikan diri ke guild dread knight. Ia akhirnya mati di sana.

Namun, bahkan setelah kota ini diduduki musuh, mereka tak menemukan guild ini. Mereka memang telah menyisir seluruh area, atas dan bawah tanah, tapi tidak ada korban selamat, tidak ada zombie lain, bahkan tidak ada mayat lain.

Pemimpin itu satu-satunya yang mati di bawah sana, lalu berubah menjadi mayat hidup karena kutukan No-Life King. Itu sebabnya ia masih di sana… menunggu Haruhiro dan yang lainnya datang.

“Kelihatannya kita udah berbuat baik, sebagai pengikut Lumiaris, Dewa Cahaya,” kata Neal dengan gaya bangga. “Kafir pemuja Skullhell itu udah jadi makhluk najis yang melawan hukum kehidupan. Ia harus dimusnahkan. Aku yakin Lumiaris pasti senang.”

“Bisa diam, tidak?” Anthony menatapnya tajam. “Memang sekarang aman, tapi belum tentu tidak ada musuh di sekitar.”

Neal menyunggingkan senyum kecut dan mengangkat tangannya tanda menyerah pura-pura.

Cahaya remang masih menyelimuti sekeliling. Matahari hampir terbit.

Kota Barat adalah daerah kumuh, dan bangunan-bangunannya tampak tua, reyot, atau nyaris runtuh. Tapi entah bagaimana, semuanya masih berdiri berkat perawatan seadanya.

Sejak mereka naik ke permukaan, belum satu pun goblin yang terlihat.

Apa Kota Barat tidak punya goblin? Tidak juga. Mereka mungkin sedang tidur di dalam. Mereka harus cepat sampai sebelum para goblin terbangun.

“…Seharusnya daerah sini,” Anthony menatap Haruhiro. “Kenapa kita belum sampai juga?”

Jangan tanya aku, begitu sebenarnya isi hati Haruhiro, tapi dia seorang thief. Dia tidak bisa bilang kalau sebenarnya dia juga tidak tahu persis di mana lokasi guild thief.

“Soalnya… ini guild thief?” Haruhiro mencoba menjawab seadanya.

“Soalnya… ini udah pagi?” Merry menambahkan, tapi Haruhiro sendiri ragu apakah itu membantu.

Haruhiro mengerutkan dahi, berusaha tampil meyakinkan.

“Lagian… udah cukup lama semenjak aku terakhir ke sini…”

Neal menatap sekeliling.

“Tempat ini mencurigakan banget, ya.”

Kelompok itu memusatkan perhatian mereka pada sebuah bangunan aneh yang tampak seperti campuran rumit antara batu dan kayu. Mereka mencoba mengitarinya untuk mencari pintu masuk.

Masalahnya, mereka tidak bisa.

Mereka terus terhalang tembok dan pagar, atau berbagai rintangan lain, dan tampaknya tidak ada jalan untuk berputar ke sisi lain atau bagian belakang bangunan itu.

Mereka mencoba masuk ke gang-gang terdekat, tapi tetap tak menemukan jalan tembus, hingga akhirnya harus kembali lagi ke tempat semula.

“Tunggu dulu…”

Kita tersesat, kan?

Sekarang mereka berada di jalan sempit yang membentang di samping bangunan tersebut, tapi Haruhiro sendiri tidak tahu persis di mana mereka berada.

Kalau dia disuruh kembali ke tempat seperti markas dread knight dari sini, dia mungkin akan kesulitan. Setidaknya, itu tidak akan mudah.

Anthony menghela napas.

“Ini tidak baik.”

Waktu terus berjalan. Haruhiro menarik daun telinganya pelan. Ia merasakan kegelisahan yang sama besarnya dengan Anthony, tapi semakin dia terburu-buru, semakin besar kemungkinan untuk melewatkan sesuatu, dan pikirannya justru jadi tumpul. Dia harus tetap tenang.

Tapi tiba-tiba, terdengar suara dari belakangnya. “Kalian sedang mencari sesuatu?”

Suara itu membuat Haruhiro terhenyak.

Suara perempuan.

Kalau berasal dari belakang, berarti perempuan itu ada di gang yang barusan mereka lewati. Kapan dia datang? Dari mana dia muncul? Haruhiro sama sekali tidak menyadarinya. Dia pun menoleh.

Itu memang perempuan.

Seperti yang diduganya, wanita itu terlihat benar-benar manusia. Rambut panjangnya menutupi separuh wajahnya.

Tapi tubuhnya tidak tersembunyi. Bukan berarti dia telanjang, tapi pakaian yang dikenakannya seharusnya bisa menutupi lebih banyak. Dia menunjukkan terlalu banyak kulit.

“Oh…” Neal menarik napas panjang.

Anthony menelan ludah.

“…!” Merry berusaha mengucapkan sesuatu, tapi si perempuan lebih dulu bicara.

“Kucing Tua.”

Mata perempuan itu membelalak saat menatap Haruhiro. Dia tampak terkejut.

Aku yang seharusnya terkejut di sini, tahu?

“…Huh?” Haruhiro menunjuk dirinya sendiri. “…Kucing? Tua…”

Perempuan itu menyibakkan rambutnya ke belakang telinga dan menghela napas.

“Kau masih hidup rupanya?”

“Hidup…”

Kucingtua? Atau maksudnya Kucing Tua?

Tidak jelas siapa yang sebenarnya dia maksud, tapi kemungkinan besar dia tahu siapa Haruhiro.

Namun Haruhiro sendiri tidak mengenalnya. 

“Hidup…” Haruhiro menunduk. “Yah…”

Untuk saat ini, sebaiknya dia tidak mengatakan hal-hal yang tidak perlu. Tapi di sisi lain, kalau terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, itu juga bisa menimbulkan kecurigaan.

“Aku berhasil bertahan… entah bagaimana. Terima kasih.”

“Aku dengar kau menghilang. Kukira kau sudah mati.”

“…Banyak hal terjadi.”

“Aku Anthony Justeen, komandan resimen dari Brigade Pertama Tentara Perbatasan Kerajaan Arabakia,” ujar Anthony memperkenalkan diri. “Kau dari guild thief, kan? Jadi kau berhasil selamat, ya…”

“Selamat, ya…? Entahlah.” Perempuan itu berbisik lirih sambil menyilangkan tangan. “Namaku Barbara. Aku thief, jadi itu nama kerjaku saja.”

Merry mendekat dan berbisik di telinga Haruhiro.

“…Perempuan itu, mungkin seorang mentor. Kau memanggilnya Sensei. Tapi itu cuma dugaanku.”

“Sensei…”

Semua ini makin tak masuk akal.

Barbara kembali menatap Haruhiro. Kalau dia terlalu gugup atau mengalihkan pandangan, bisa-bisa perempuan itu curiga. Tapi entah kenapa, Haruhiro tidak sanggup menatapnya langsung.

Kenapa thief ini—Barbara—yang katanya adalah pengajarnya, tidak mengenakan pakaian yang pantas? Apa sebenarnya yang dia ajarkan?

Ada terlalu banyak misteri.


Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Scroll to Top
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x