Ini adalah kisah dari masa yang sangat, sangat lampau.
Ada sebuah “mitos.”
Ya, ini murni hanya sebuah mitos…
Mungkin terkandung sedikit kebenaran di dalamnya, atau benih-benih kebenaran, tetapi tentu tidak persis demikianlah yang terjadi.
Anggap saja ini sebagai cerita yang ingin dipercaya orang, atau setidaknya pernah dipercaya hingga suatu waktu tertentu.
Dahulu kala, hiduplah sebuah negeri bernama Arabankia.
Tentang apa sebenarnya Arabankia itu, ada banyak versi yang beredar. Ada yang berkata Arabankia adalah sebuah pulau yang terapung di tengah danau raksasa; ada pula yang menyebutnya sebagai sebuah benua yang tenggelam dilanda banjir besar. Ada yang percaya Arabankia terletak jauh di barat, melampaui laut merah; atau mungkin sebuah taman hijau nan subur yang membentang di balik tanah beku di utara.
Banyak sekali kisah yang ada, dan tak seorang pun benar-benar tahu mana yang sesungguhnya benar.
Terlepas dari itu semua, legenda tentang negeri bernama Arabankia telah diceritakan turun-temurun di Grimgar sejak zaman kuno.
Arabankia adalah tanah yang sejuk, tak pernah terlalu dingin, juga tak pernah terlalu panas. Hutan-hutan hijau dipenuhi burung dan binatang, sementara angin bernyanyi menyeberangi padang luas yang tak bertepi. Ketika Grimgar hancur akibat pertempuran dahsyat para dewa, hanya Arabankia-lah yang tetap damai.
Hingga pada suatu hari, sebuah keluarga berpindah ke Arabankia.
Ayah itu bernama George. Ia memiliki tiga orang putra: Theodore, Ishmahr, dan Nahnanka. Ia juga mempunyai sejumlah putri, tetapi nama-nama mereka telah lama terlupakan, hanyut bersama aliran waktu. Ibu mereka konon meninggal tak lama setelah keluarga itu tiba di Arabankia. Saat mereka menguburkannya di tanah negeri itu, sebuah pohon besar tumbuh di hadapan mereka; bunga-bunga bermekaran di cabangnya, lalu berubah menjadi buah. Ada juga yang mengatakan pohon itu kemudian tumbang dan menjelma menjadi Pegunungan Kuaron. Namun, itu kisah lain, dan tidak begitu penting sekarang, jadi tak usah kita bahas lebih jauh.
George dan ketiga putranya hidup rukun dan bekerja bersama di tanah Arabankia. Suasananya pun menenteramkan: iklimnya sejuk, hujan sesekali turun dengan hangat menyentuh kulit, binatang buruan tak ada habisnya, buah-buahan melimpah ruah, aliran sungai menyediakan air yang jernih tanpa batas, bahkan ada mata air beralkohol bila mereka mau mencarinya. Singkatnya, mereka tak pernah kekurangan apa pun.
Arabankia begitu indah, sampai-sampai terasa bagai sebuah kebohongan—atau sekadar gurauan.
Hari-hari keluarga itu lebih banyak dihabiskan dengan bersenda gurau.
Namun, pada suatu ketika, sang bungsu, Nahnanka, menyadari sesuatu yang aneh.
“Kita sudah tinggal di sini cukup lama, tapi sebenarnya sudah berapa lama? Kalian tidak terlihat menua sedikit pun. Apa itu mungkin?”
“Kau benar juga.” Ishmahr, sang anak kedua, menanggapinya dengan santai. “Tapi, sekalipun memang begitu, apa salahnya? Bukankah artinya kita bisa hidup damai dan tenang selamanya?”
Namun, sang putra sulung, Theodore, memiliki pendapat berbeda.
“Aku jadi bertanya-tanya… Mungkin saja kita sebenarnya hanya hidup dalam mimpi. Kita pikir kita sudah sampai di Arabankia, kehilangan ibu secara tragis, lalu menguburkannya bersama-sama. Tapi benarkah begitu? Bukankah semua ini mungkin hanya mimpi?”
“Pohon Ibu ada tepat di sana, bukan?” Ishmahr menunjuk pada pohon besar itu. “Ini bukan mimpi. Kakak selalu mengatakan hal-hal aneh.”
“Apa yang kau bilang tadi?!”
Theodore langsung naik pitam. Ia dan Ishmahr memang sesekali terlibat pertengkaran kecil seperti itu.
“Tunggu dulu, anak-anakku. Kalian tidak boleh bertengkar,” tegur ayah mereka, George, dengan suara berwibawa. “Aku juga tidak berpikir semua ini mimpi, seperti yang Theodore katakan. Tapi tetap saja aneh kalau dipikir-pikir—tidak ada satu pun dari kita yang menua. Kalian anak-anak yang baik, selalu mencari makanan untukku, sementara aku tak melakukan apa-apa selain makan dan tidur, makan dan tidur lagi. Namun meski begitu, berat badanku tidak bertambah sedikit pun. Bukankah itu juga aneh?”
“Aku akan pergi sebentar, melakukan perjalanan kecil untuk melihat seperti apa dunia di luar sana,” ujar si bungsu, Nahnanka. Tidak ada seorang pun yang menghentikannya, dan dengan begitu, Nahnanka pun langsung berangkat dalam perjalanannya.
Keluarga itu terus menjalani kehidupan mereka yang damai di Arabankia. Namun, tak peduli berapa lama waktu berlalu, Nahnanka tidak juga kembali. Kakak tertua, Theodore, akhirnya diliputi rasa cemas.
“Kurasa aku harus pergi mencari Nahnanka.”
“Tidak, Kak. Lebih baik kau tetap di sini. Biar aku yang mencarinya untukmu.”
Begitulah akhirnya Ishmahr juga meninggalkan Arabankia.
Dengan dua putranya yang telah pergi tanpa kabar, sang ayah, George, tak bisa lagi menunggu. Tetapi—nah, ini bagian menariknya—di sinilah kita sadar kalau kisah ini lebih mirip mitos daripada sejarah. Sebab setelah sekian lama ayah itu hanya makan dan tidur di Arabankia, ia tak lagi sanggup beranjak. Seolah-olah dirinya telah berakar di sana.
Seperti istrinya yang sudah meninggal, George pun berubah menjadi sebuah pohon besar.
Menurut salah satu versi, ada yang bilang sang ayah terlalu banyak makan karena dilanda cemas memikirkan keselamatan anak-anaknya, lalu akhirnya mati karena keracunan makanan. Mayatnya kemudian dikuburkan oleh Theodore.
Terlepas dari apa yang terjadi, si sulung—Theodore—tak punya pilihan selain berangkat mencari adik-adiknya.
Sebenarnya ia juga masih punya beberapa adik perempuan yang jauh lebih muda, dan ada pula cerita-cerita aneh (dan kabarnya berbau inses) tentang hubungan mereka. Tapi yah, kisah itu terlalu panjang untuk dibahas di sini—jadi kita lewatkan saja.
Theodore sebenarnya cukup betah hidup di “surga” itu. Namun demi meredam rasa keterikatannya, ia terus mengingatkan dirinya untuk tidak menoleh ke belakang. Entah kenapa, ia seperti tahu bahwa dirinya takkan pernah kembali lagi. Dan ia benar.
Ia berjalan cukup jauh sebelum akhirnya berpikir, “Sekarang seharusnya sudah aman.” Tapi saat ia menoleh, yang tampak hanyalah kabut putih susu menggantung di udara—menutupi semuanya. Dan, eh, tunggu. Bukankah kabut itu sedang meluncur cepat ke arahnya? Entah apa maksudnya, tapi yang jelas Theodore dalam bahaya besar.
Lari, lari, Theodore. Ini bukan waktunya bermalas-malasan. Lari sekencang angin. Teruslah maju.
Theodore berlari berhari-hari tanpa henti. Oke, memang terdengar mustahil dan mestinya bikin dia mati kelelahan, tapi dia tokoh dalam sebuah mitos, jadi hal-hal absurd semacam ini bisa saja terjadi. Ketika akhirnya tiba di tepi sebuah danau, ia memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.
Danau itu, yang dikelilingi oleh Pegunungan Rinstorm, Dioze, dan Kurogane, begitu indah hingga mampu mencuri hati Theodore. Mungkin kamu akan berpikir, “Hei, bagaimana dengan saudara-saudaranya?” Tapi ini kisah mitos—menggugat detail semacam itu dianggap kurang sopan.
“Gunung-gunung menjulang, bagai dinding rumah. Danau yang lebih menakjubkan daripada apa pun yang pernah kulihat di surga. Bagaimana mungkin aku tidak membangun kerajaan di sini? Aku harus merekrut pekerja. Biarlah mereka yang ingin hidup di kerajaanku datang kepadaku. Aku akan menjadi raja, dan menamai negeri ini Arabakia.”
Hei, jangan seenaknya berkata, “Serius? Itu tiba-tiba banget.” Kamu boleh saja berpikir begitu, tapi simpan dalam hati. Bayangkan saja: seorang pria di tepi danau berteriak, “Aku akan jadi raja, dan kalian semua boleh jadi rakyatku, jadi kumpullah kemari.” Kedengarannya konyol, ya? Tapi entah bagaimana, orang-orang benar-benar menjawab panggilannya. Mereka datang dari utara, barat, dan timur, satu per satu menundukkan kepala di hadapan Theodore dan bersumpah setia. Konon, Theodore akan memberkati kening masing-masing dengan kecupannya, lalu dengan angkuh menyatakan, “Aku mengakui engkau sebagai rakyatku.”
Tidak masuk akal? Yah, wajar saja. Tapi begitulah mitos ini, jadi terimalah apa adanya.
Mitos apa, kau bertanya?
Itu adalah mitos asal-usul Kerajaan Arabakia.
Theodore George—orang yang kita kenal sebagai George I—konon mendirikan Kerajaan Arabakia enam ratus enam puluh tahun yang lalu.
Begitulah cerita yang selalu diceritakan.
Namun, dengarkan baik-baik.
Sebenarnya ada dua George I.
Hah?
Apa maksudnya?
Ya, itu memang terdengar aneh, bukan?
Ceritanya memang agak rumit, jadi mari kita ringkas.
Kebenarannya adalah: pendiri sejati Kerajaan Arabakia bukanlah Theodore George. Mungkin benar ada seorang pria bernama Theodore, tetapi dia bukan orang pertama yang menobatkan diri sebagai Raja Arabakia.
Kisah tentang berdirinya Kerajaan Arabakia enam ratus enam puluh tahun lalu juga bohong belaka. Atau, paling tidak, tidak ada catatan yang mendukungnya.
Yang benar, peristiwa itu terjadi sekitar tiga ratus enam puluh tahun lalu.
Seorang pria bernama Enad berdiri dan dengan lantang menyatakan:
“Mulai hari ini, akulah raja. Ada yang keberatan? Kalau berani, maju saja! Akan kubantai kalian semua!”
Pada masa itu—meski sulit dibayangkan sekarang dengan lenyapnya semua kerajaan manusia—ternyata banyak orang seperti Enad. Mereka memiliki karisma yang mampu menyatukan orang-orang di sekitarnya, ditambah jaringan pergaulan dan kekuatan bersenjata. Mereka menyebut diri sebagai raja, meski sejatinya mereka lebih mirip kepala geng.
Dunia kala itu begitu kacau hingga seseorang tak bisa tidur nyenyak tanpa perlindungan dari segerombolan preman. Maka, lumrah jika para preman itu akhirnya memilih berpihak pada bos yang paling kuat—dan sekaligus paling dermawan—yang bisa mereka temukan.
Enad adalah wajah dari sebuah kota di tepi danau, sepenuhnya diakui sebagai pemimpin dari sebuah geng besar. Tiga abad lebih sedikit waktu berselang, ia hidup di sebuah era di mana orang-orang dengan kedudukan seperti dirinya satu per satu naik menjadi raja.
Hal luar biasa dari Enad—dan mungkin ini sesuatu yang ia pelajari dari orang lain—adalah caranya membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar “Enad biasa.”
Semua orang tahu cerita tentang surga Arabankia, kan? Tentang putra George, Theodore, yang membangun sebuah kerajaan di tepi danau. Legenda terkenal itu. Kenyataannya, kota inilah yang dimaksud dalam legenda tersebut, dan aku, Enad, adalah keturunan dari Theodore. Namaku Enad George, keturunan putra George, Theodore, dan aku akan menamai kerajaan kita Arabakia. Bagaimana? Cukup hebat, bukan?
Faktanya, Enad memang seorang pria yang cakap. Ia berhasil menundukkan desa-desa, kota-kota, geng-geng, beserta para pemimpinnya di sekitar wilayah itu. Perluasan Kerajaan Arabakia seakan tak mengenal batas.
Namun di mana pun berada, ancaman dari dalam selalu mengintai. Kerajaan Arabakia, yang berkembang begitu pesat di bawah kepemimpinan Enad, pada hakikatnya adalah semacam aliansi geng. Ada yang mengikutinya karena kagum, tapi ada pula yang bersumpah setia hanya karena tak mampu melawan gelombang besar yang ia bangun.
Namun, tak pernah terbayangkan oleh Enad bahwa dari semua orang, justru Ishidua Zaemoon—tangan kanan sang raja, orang terdekatnya—yang pada akhirnya akan mengkhianatinya.
Mungkin sang raja terlalu sering menekannya.
Mungkin ia muak melihat kesombongan raja yang kian menjadi setiap kali kedudukannya naik.
Atau mungkin ia hanya berharap raja itu sedikit saja menunjukkan simpati pada posisinya—terjepit di antara sang raja dan orang-orang di bawahnya.
Apa pun alasannya, Ishidua pasti punya motif sendiri. Namun satu hal tak terbantahkan: ia memang berniat mengakhiri hidup Enad.
Tapi Enad bukanlah orang biasa.
Ia adalah pria yang mencakar jalannya hingga ke puncak.
“Aku mencium bau darah!” serunya, menyadari kehadiran pembunuh yang merayap dalam kegelapan. Ia segera mencoba melakukan serangan balik. Tapi Ishidua bukan orang sembarangan; reaksinya cepat dan tepat. Ia langsung mengirim para pengejar untuk menuntaskan nyawa Enad yang kabur menyelamatkan diri. Namun, kabar yang beredar menyebutkan, setiap orang yang dikirim telah tumbang oleh tangan Enad.
Bagus sekali, Enad. Kau hebat, Enad. Ternyata kau bukan hanya sok berlagak—kau memang benar-benar kuat, ya?
Kini jelas sekali bahwa insiden ini adalah tindakan pengkhianatan oleh Ishidua Zaemoon. Namun banyak orang membantunya, dan tak banyak yang hanya berdiam diri sebagai penonton. Barangkali Enad memang terlalu kejam menindas para bawahannya? Walau rakyat mendukungnya, para pejabat di pemerintahannya tampak benar-benar membencinya.
Ishidua dan para konspiratornya menginginkan kematian Enad dengan segala cara. Tapi meski mereka begitu menginginkannya, kabar mengatakan Enad sudah melarikan diri ke luar Kerajaan Arabakia. Disebut-sebut ia berada di ambang kematian, namun tetap saja ia masih sanggup menghabisi siapa pun yang mengejarnya.
Andaikata mereka berhasil menemukannya pun, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan. Dengan pemikiran itu, Ishidua pun membuat sebuah proklamasi besar.
“Meski menyedihkan bagi kita, raja kita telah kehilangan akal sehatnya dan melarikan diri. Sebagai para pengikutnya, kami sudah berusaha mencari dengan segala daya, namun apa pun yang kami lakukan, kami tidak mampu menemukannya. Karena keadaan tidak bisa dibiarkan berlarut seperti ini, aku ingin menunjuk seorang penguasa baru untuk menggantikannya. Seperti yang kalian semua ketahui, Raja Enad George tidak memiliki istri maupun anak. Namun, ia masih memiliki kerabat jauh. Dia, sama seperti Raja Enad, adalah keturunan dari pendiri Kerajaan Arabakia, Theodore George. Mari kita angkat dia sebagai ratu, dan bersama-sama kita dukung pemerintahannya.”
Apakah benar gadis muda bernama Friau, yang naik takhta itu, merupakan kerabat Raja Enad? Agaknya itu hanya sebuah rekayasa. Namun, Ishidua Zaemoon dengan cepat menegakkan sebuah sistem yang menempatkan dirinya sebagai wali sekaligus pendukung bagi seorang ratu yang diklaim sebagai keturunan Theodore George. Ratu Friau disebut-sebut sebagai keturunan langsung Theodore dari Keluarga George, sehingga ia dapat meneruskan garis keluarga Sang Pendiri.
Sebagai catatan, Enad memiliki seorang saudara angkat bernama Steech. Bukan ipar, melainkan saudara angkat dalam arti sebenarnya. Keduanya pernah bersumpah persaudaraan meskipun tak memiliki hubungan darah sama sekali, jadi mereka pasti sangat dekat. Steech dahulu adalah tangan kanan Enad ketika ia masih menjadi kepala geng, namun seiring waktu Enad semakin menjauhinya. Seiring bergabungnya orang-orang yang lebih berbakat seperti Ishidua Zaemoon, nilai Steech semakin merosot. Enad mulai menatapnya dengan pikiran, “Ternyata kau tidak terlalu berguna, ya?”
Ishidua bahkan sempat merangkul Steech dan memperoleh kerja samanya, lalu tetap memperlakukannya dengan baik setelah revolusi. Penanganannya selalu rapi, tak pernah salah langkah. Ishidua Zaemoon—ia adalah sosok yang tahu betul bagaimana menyelesaikan sesuatu dengan baik.
Keluarga Steech memegang kekuasaan di utara Kerajaan, dan pada suatu waktu mereka berhasil menanamkan gagasan bahwa darah pendiri, Theodore, juga sedikit mengalir dalam nadi mereka. Sejak saat itu, mereka dikenal sebagai Keluarga Utara. Padahal, jelas sekali bahwa Steech hanyalah saudara angkat Enad, sehingga tidak memiliki hubungan apa pun dengan Theodore George.
Setelah awal yang penuh kekacauan itu, Kerajaan Arabakia diliputi intrik kejam, permusuhan, perebutan kekuasaan berdarah, hingga kekerasan antarkeluarga bangsawan. Semua itu akhirnya mengantarkan mereka menjadi kekuatan terbesar di seluruh daratan Grimgar.
Ada kisah Keluarga Pendiri dan Keluarga Utara yang saling membunuh lewat serangkaian aksi pembunuhan rahasia; cinta terlarang antara pangeran muda dari Keluarga Ishidua dengan putri dari keluarga rivalnya, Keluarga Mogis; kejatuhan Keluarga Mogis itu sendiri; krisis akibat penyimpangan memalukan kepala Keluarga Vedoy; serta Keluarga Water, yang entah bagaimana selalu mendapatkan keberuntungan besar. Sejarah Kerajaan Arabakia memang penuh dengan kisah menarik untuk diperbincangkan.
Namun mari kita beralih ke tahun 503 dalam penanggalan kerajaan. Itu berarti sudah 157 tahun yang lalu, bukan? Pada masa itu, di Arabakia dan negeri-negeri lain, muncul serangkaian peristiwa aneh: gerombolan mayat hidup bangkit dan mengamuk di berbagai tempat.
Kau pasti tahu ke mana arah cerita ini. Dan benar sekali.
Saat itulah muncul sosok yang kelak menjadi legenda mengerikan—
No-Life King.
Bangkitnya mayat-mayat dan menyerang orang hidup sudah menjadi krisis tersendiri. Peristiwa itu benar-benar mengaduk sarang masalah, tetapi insiden luar biasa yang terjadi pada tahun 505 lah yang benar-benar mengguncang Kerajaan Arabakia.
Ishidua Rohro adalah keturunan Ishidua Zaemoon, dan merupakan vasal penting Kerajaan Arabakia. Karena masih muda dan belum menikah, tidak ada sehari pun tanpa para wanita mengejar perhatiannya. Namun, sosok yang sangat terkenal ini tiba-tiba menghilang.
Atau setidaknya begitu yang orang pikirkan, sampai dia muncul kembali di istana dengan penampilan yang sangat pucat.
“Aku bukan lagi diriku yang kemarin. Aku mendesak kalian semua untuk menyerah. Kepada dia yang ditinggalkan oleh kematian, dan menguasainya. Kepada dia yang adalah Raja Kematian, dan Raja Tak-Berkenyawa. Tunduklah pada tuanku, No-Life King. Terimalah kematian, dan aku jamin kalian akan hidup selamanya. Sama seperti aku.”
Perkataan itu menimbulkan kehebohan besar. Segalanya menjadi tak terkendali. Dalam kekacauan itu, para pengawal elit menikam dan menusuk Ishidua Rohro dengan total 27 tombak dan pedang, namun dia tetap tak tewas.
“Kurasa itu jawaban kalian, ya? Aku akan menyampaikannya pada tuanku.”
Ishidua Rohro meninggalkan istana, menyeret pulang banyak pedang dan tombak yang masih menancap di tubuhnya dan mengucurkan darah gelap. Keesokan harinya, mayat-mayat yang kelak dikenal sebagai undead memulai ofensif besar-besaran.
Undead tidak hanya menyerang Kerajaan Arabakia. Bangsa-bangsa manusia yang lebih kecil juga terdampak. Bukan berarti tidak ada yang mencoba menyatukan kerajaan-kerajaan itu untuk mengatasi krisis besar yang mereka hadapi, tetapi masing-masing terlalu sibuk dengan masalah mereka sendiri, dan mereka sejak awal pun tidak terlalu menyukai satu sama lain, sehingga hal itu hampir mustahil. Kerajaan elf dan dwarf, yang telah membangun hubungan relatif baik dengan manusia, juga sedang berjuang menghadapi serangan undead.
Pada tahun 513 menurut kalender kerajaan, menanggapi seruan No-Life King, orc, goblin, dan kobold yang telah lama tertindas oleh manusia bersatu dengan elf abu-abu yang terasing dari elf Hutan Bayangan, serta undead, tentunya, membentuk Aliansi Para Raja.
Jika kita mengesampingkan elf abu-abu dan orc untuk sementara, goblin dan kobold sebelumnya tidak pernah memiliki seorang raja. Ketika No-Life King menyarankan bahwa mereka mungkin akan lebih baik jika memiliki seorang raja, agar dapat menyatukan ras mereka dan meningkatkan kekuatan, goblin dan kobold menerimanya.
Sebagai pemimpin Aliansi Para Raja, No-Life King memiliki lima sekutu dekat, termasuk Ishidua Rohro, yang disebut lima pangeran, tetapi dikatakan bahwa kelima orang ini juga akan berlutut di hadapan raja-raja lain seolah-olah mereka adalah vasal. Meskipun ia adalah kepala aliansi, ia mengambil posisi bahwa para raja adalah setara. Ia berusaha memimpin dengan memberi contoh dan menunjukkan bahwa undead, orc, goblin, kobold, dan elf abu-abu semuanya berbeda, namun semua luar biasa, sehingga mereka seharusnya bekerja sama untuk menjadi yang terbaik.
Kerajaan-kerajaan manusia berada dalam posisi yang sangat merugikan. Bangsa-bangsa kuat seperti Ishmar dan Nananka, serta negara-negara kecil tapi tangguh seperti Kuzen, hancur satu per satu. Para elf sebagian besar mengurung diri di dalam Hutan Bayangan, berharap bencana itu akan melewati mereka. Dwarf berbadan besar dan berambut lebat berjuang dengan gagah berani, namun mereka mengalami serangkaian kekalahan melawan jumlah musuh yang lebih banyak. Yang bisa mereka lakukan hanyalah mengumpulkan kekuatan di Kerajaan Ironblood di Pegunungan Kurogane dan memperkuat pertahanan mereka.
Kerajaan Arabakia memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang lebih unggul dibanding semua negara tersebut. Namun, alasan mengapa Kerajaan Arabakia menjadi benteng terakhir umat manusia bukan karena wilayahnya yang luas, penduduknya yang banyak, atau tentaranya yang kuat. Semua itu semata-mata karena mereka berada di paling selatan. No-Life King datang dari utara. Para undead bergerak ke selatan, menyerang manusia, elf, dan dwarf, terus menambah jumlah mereka. Raja Arabakia, pejabat pemerintah, para jenderal, dan rakyat semuanya melarikan diri semakin jauh ke selatan.
Saat itu adalah tahun 521 menurut kalender kerajaan, 139 tahun yang lalu.
Kota paling selatan Kerajaan Arabakia, Damuro, jatuh.
Raja Gary, yang memerintah Kerajaan Arabakia saat itu, telah diam-diam meninggalkan Damuro jauh sebelumnya. Ia mengevakuasi ke selatan Pegunungan Tenryu melalui Jalan Aorta Naga Bumi.
Dikatakan bahwa kepala Keluarga Utara, Giske, yang membawa darah dari saudara bersumpah Enad George, Steech, berjuang hingga akhir, berusaha agar sebanyak mungkin orang bisa melarikan diri. Ada teori bahwa karena Raja Gary berasal dari Keluarga Pendiri, dan memiliki hubungan sangat antagonis dengan Giske dari Keluarga Utara, ia mungkin sengaja meninggalkannya di sana.
Setelah berhasil melarikan diri dengan cemerlang dan sampai ke wilayah baru di selatan, Raja Gary dan rakyatnya memutuskan memanfaatkan fakta bahwa Keluarga Utara telah punah sebagai kesempatan untuk menulis ulang sejarah. Bagi mereka, kisah tentang bagaimana Enad George, yang membangun Kerajaan Arabakia, lenyap setelah Ishidua Zaemoon mencoba mengambil nyawanya, dan pengkhianat itu menempatkan seorang gadis bernama Friau—yang sebenarnya tidak dikenal—di atas takhta agar bisa mengendalikannya… tidak pernah terjadi.
Yang sebenarnya mendirikan kerajaan itu adalah Theodore George yang legendaris. Dialah pendiri sejati dan George I. Mitos pendirian kerajaan itu kemudian dijadikan sejarah resmi.
Kalau dipikir-pikir, bisa dibilang bahwa pengkhianatan berdarah pertama itulah yang mengubah Kerajaan Arabakia menjadi neraka penuh intrik seperti yang kita kenal sekarang. Mereka mungkin berpikir, “Lupakan masa lalu. Di tanah baru yang liar ini, kita harus bersatu.”
Ya, mereka pasti dalam keadaan putus asa dengan cara mereka sendiri.
Kalau kita menafsirkan tindakan mereka dari sisi positif, tentu saja.
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)