“…Tempat ini sudah jadi reruntuhan,” kata si dread knight berambut keriting yang mengenakan topeng dan jubah sambil menendang sepotong kayu yang dulunya pasti bagian dari sebuah bangunan. “Ini bukan lagi Pos Lonesome Field. Sekarang namanya Reruntuhan Pos Lonesome Field. Betul-betul reruntuhan. Total dan sempurna reruntuhan. Serius. Serius…”
Matahari hampir terbenam.
Seperti yang diisyaratkan oleh si dread knight itu, pos ini memang sudah tidak layak disebut sebagai pos. Hanya tersisa puing-puing, dan sampai saat ini yang datang hanyalah Haruhiro, rombongannya, dan sepuluh anggota Orion yang dipimpin oleh Shinohara.
“Heh…”
Salah satu anggota Orion yang berambut pendek dan berkacamata bulat tertawa dengan nada yang agak menyeramkan. Rupanya dia seorang pendeta.
“Memang. Memang. Kami juga pernah beroperasi di Pos Lonesome Field ini, jadi melihatnya dalam kondisi seperti ini cukup menyentuh perasaanku. Eheh heh, bwa hah, heh heh…”
Sedikit menyeramkan… Ya, tidak sedikit. Itu menyeramkan sekali.
Tapi serius, orang itu memang menakutkan. Haruhiro sendiri tidak berani mengomentarinya. Dia ciut nyali untuk menegur.
“Kau tahu, tawa itu…”
Berbeda dengan Yume, dia tidak pernah bisa menghadapinya.
“Yume pikir itu nggak enak banget buat didenger.”
“Oh ya? Guhuh, nwuh huh, bwa hah…!”
“Maafkan dia.” Shinohara tersenyum seperti biasa, tapi tampak agak menyesal. “Seberapa pun aku memperingatkannya, Kimura sepertinya tidak bisa berhenti.”
“Yah, berarti itu nasib buluk, ya?”
“Maksudmu mungkin nasib buruk.” Ranta segera membetulkan kesalahan Yume. “Itu pasti yang kamu maksud. Bukan nasib buluk.”
“Gak, dia bilang buluk, kan?” Kuzaku tidak setuju. “Mungkin tawanya membuat dia terdengar bulukan?”
“Diem aja lu, tiang! Kau itu bodoh. Aku tidak butuh omong kosongmu.”
“Tiang ya? Yah, aku memang tinggi. Jauh lebih tinggi darimu.”
“Sekarang kau malah pamer? Sifat apa itu? Kau benar-benar menjengkelkan. Terburuk banget.”
“…Kau orang terakhir yang ingin aku dengar omongan itu.”
“Maksudmu apa?”
“Huh? Kira-kira seperti yang terdengar saja.”
“Duh!” Yume mengembuskan pipinya dengan kesal. “Ranta dan Kuzaku-kun, kalian berdua selalu bertengkar, ya? Kayak kucing dan angin.”
“Bukankah ini salahmu kali ini?! Lagian, angin? Kucing berantem sama angin? Harusnya kucing dan anjing!”
“Cukup deh! Anjing, angin, apa bedanya? Nggak perlu dipermainin.”
“Aku nggak permainin ini! Kenapa aku harus permainin? Bukannya maksudmu nggak perlu permasalahin ini?!”
“Permasalahin? Apa bukan permasehi?”
“Bukan, tapi permasalahan! Kamu permasehi… Eh, sebentar, permasehi itu apa maksudnya coba?”
“Ya, artinya apa tuh?”
“Jangan tanya aku, dasar bego!”
“Orang yang suka nyebut orang lain bego sebenarnya dia yang bego, tahu nggak?”
“Nggak juga, yang disebut bego itu yang bego. Beeegoo!”
“Seru juga ya kalau kalian berdua ada di sekitar.”
Apa Shinohara sedang bersikap sarkastik saat berkata begitu? Dia tersenyum, jadi sulit menebak perasaannya yang sebenarnya.
“Tapi serius, Ranta-kun dan Yume-san memang akur banget,” kata Kuzaku dengan nada setengah kesal, dan tiba-tiba Ranta panik.
“Whuh, wh-wh-wh-whuh…!”
“Hubungan kita, ya?” Yume menyilangkan tangan sambil cemberut. “Nggak buruk kok. Kalau maksudmu baik, ya mungkin begitu?”
“A-Apa? A-A-A-Apa?! A-Apa? A-A-A-A-Apa?!?”
Ranta berubah jadi makhluk yang cuma bisa bilang “apa.” Suaranya mengganggu telinga.
“Kau gagap terlalu parah…”
“Diem aja kau, Paruparara!”
“Kalo kau ubah kata-katamu gitu, orang nggak bakal ngerti siapa yang kamu maksud.”
“Kalo kau jawab, jelas kau tahu siapa yang kumaksud, Pourporaran! Kau Pirupiru! Papapa atau Pipipi atau Pepepe atau Popopo juga cukup buatmu!”
Ranta tidak cuma energik, tapi juga berisik dan menjengkelkan. Dia sering mengajak orang lain jadi ribut juga, jadi benar-benar merepotkan. Parah. Tapi dia punya energi besar. Mungkin Haruhiro juga harus lebih bersemangat? Atau tidak? Ya, tidak. Haruhiro tidak terlalu ingin jadi semangat seperti itu.
Setora dan Merry sudah lama diam. Mereka berdua mengamati dari kejauhan dengan tenang.
Kalau dia bicara langsung pada mereka, mereka akan menjawab. Tapi hanya dengan jawaban sesingkat mungkin. Misalnya, kalau ditanya, “Apa kabar?” jawabannya hanya “Baik” atau “Oke.” Mereka tidak pernah menjawab lebih dari yang ditanya.
Masalah Shihoru tetap ada.
Dan Setora sudah kehilangan Kiichi.
Apa yang bisa dia lakukan soal itu? Jujur saja, dia tak bisa menemukan sesuatu yang benar-benar membantu. Apapun yang dicoba, rasanya sia-sia. Menunggu waktu menyembuhkan semua luka—mungkin itu satu-satunya pilihan.
Dia berharap bisa menerima keadaan itu begitu saja, tapi pikirannya terus melayang: Kalau memang tak ada yang bisa dilakukan, mungkinkah lebih baik tidak melakukan apa-apa? Atau malah lebih baik mencoba melakukan sesuatu? Ya, dia kan pemimpin mereka. Tapi apa? Apa yang harus dilakukan tepatnya? Hanya melakukan sesuatu saja tidak cukup. Bukannya melakukan “sesuatu” yang penting? Memberi kesan, “Hei, aku sudah mencoba,” rasanya sia-sia. Seolah dia hanya ingin menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, dia telah berusaha, meski usahanya tampak percuma. Dia tak ingin membuat alasan seperti itu untuk dirinya sendiri.
Tiba-tiba, matanya bertemu dengan Yume. Dia tersenyum seakan berkata, “Ada apa?”
Jujur saja, Yume pasti juga sedang merasa sedih. Bahkan Haruhiro beberapa kali melihatnya mendesah atau menatap dengan wajah sendu. Melihat kebaikan yang ia tunjukkan padanya, meski tengah menanggung rasa sakit sendiri, benar-benar menyentuh hati Haruhiro, sampai sudut matanya terasa panas. Dia merasa hampir menangis. Tapi dia tidak boleh melakukan itu. Haruhiro menoleh sekeliling.
Pos Lonesome Field terletak di dasar cekungan, sehingga daerah sekitarnya sedikit lebih tinggi. Bukit-bukit menjulang ke segala arah. Tapi ketika semua arah tampak seperti bukit, mereka tak lagi terasa seperti bukit sama sekali. Terlepas dari apakah “terasa seperti bukit” itu artinya apa, ada sosok humanoid di bukit sebelah barat.
“…Oh.”
“Ahh.” Shinohara menatap ke barat. “Sepertinya mereka sudah tiba.”
“Eh, tunggu…”
Salah satu sosok itu berlari.
“Haruhiro…!”
Suara itu perempuan, dari nadanya terdengar jelas.
Hei, tunggu dulu.
“…Huh?”
Apa Haruhiro hanya membayangkannya?
Apakah dia baru saja memanggil namanya?
“Haruhirooo…!”
Tidak, bukan khayalan. Dia memang memanggil namanya.
Dua kali.
“Haruhirooo…!”
Sekarang tiga kali.
Perempuan itu meluncur menuruni bukit dengan kecepatan luar biasa.
“Huh? Huhhh…?!”
“Gila, cepat banget…!” Ranta, yang cukup gesit sendiri, terheran-heran. Sebegitu cepatnya dia melaju.
Perempuan itu mengenakan topi besar dengan pinggiran lebar, membuatnya terlihat sangat tinggi. Sebenarnya, adanya topi atau tidak, dia sudah tinggi.
Meskipun Pos Lonesome Field sudah menjadi reruntuhan, tempat itu masih dikelilingi parit. Ada mata air di cekungan Dataran Quickwind. Orang-orang dulu mendirikan perkemahan di sekitarnya dan menggali parit untuk bertahan. Begitulah asal mula tempat ini.
Meskipun semua bangunan sudah hancur, mata air dan parit tetap utuh. Dahulu memang ada jembatan di atas parit itu. Sekarang hampir semuanya hancur. Namun, masih memungkinkan untuk memanfaatkan sisa-sisa penopang dan balok untuk menyeberangi tanpa basah. Itulah yang dilakukan Haruhiro dan kelompoknya.
Tapi perempuan itu? Dia begitu saja meloncat ke parit seolah berkata, “Nggak ada waktu buat basa-basi.”
“Haru! Ha! Haru! Hirooo…!”
Perempuan itu berenang, mengayunkan kedua lengannya seperti gaya dada. Parit itu cukup dalam, tapi dia tetap mencoba menyeberang.
Topinya jatuh di tengah jalan, tapi dia mengabaikannya dan terus berenang. Tak lama kemudian, dia berhasil menyeberang dan akhirnya menjejakkan kaki di Pos Lonesome Field.
“Haruhirooo…!”
“Huh…? Uh…? Si-siapa itu…?”
Kalau soal orang dari masa lalu, sebagian besar yang dia tahu datang dari Merry. Entah kenapa, tak ada yang bisa dia tarik dari ingatannya untuk menjelaskan ‘ini’.
“Whoa…” Ranta terdiam, terpana. Apakah dia terkesan? Rasanya hampir tertahan oleh emosi.
“Ooooh…!” Yume juga tampak terkejut. Dia menoleh ke Haruhiro, matanya melebar. “Kan?”
“Eh, nggak, aku nggak tahu harus setuju sama apa—”
“Haruhiroooooooo…!”
Perempuan itu terus melaju dengan gila. Basah kuyup, cipratan air berhamburan, dia terus menyerbu ke arah mereka.
Gila, dia memang besar.
Mungkin tidak sebesar Kuzaku. Tapi kepalanya kecil, tubuhnya panjang. Ya. Besar dan panjang, itulah kesan yang dia berikan.
Haruhiro bisa saja lari. Bisa saja. Tapi intensitas perempuan itu menyerangnya sungguh luar biasa. Sementara dia masih terhuyung-huyung oleh kekagetan itu, perempuan itu langsung menabrak Haruhiro.
“Oh…?!”
Tidak, ia bukan sekadar menabrak—atau memang begitu?
Sepertinya memang bukan itu saja.
“Haruhiro! Ini Haruhiro! Haruhiro…!”
“Gwah…!”
Sakit—atau lebih tepatnya, susah bernapas.
Perempuan itu bukan menabrak dan membuatnya terpelanting. Dia memeluk Haruhiro. Dengan kuat.
Kaki Haruhiro terangkat dari tanah. Melayang di udara. Perempuan itu mengangkatnya.
Dia lebih besar dari Haruhiro. Meski terlihat ramping, tinggi badannya membuatnya sangat kuat.
“Urgh… Agh! Ouagh…?!”
Setidaknya, dia punya kekuatan untuk memeluk Haruhiro, mengangkatnya, dan membuatnya sesak nafas. Untungnya, jika ini bisa disebut untung, dia belum membunuhnya. Tapi jika terus menekan… siapa yang tahu? Tidak mengejutkan jika itu terjadi.
“Haruhiro. Aku ingin melihatmu. Haruhiro.”
Perempuan itu menggesekkan pipinya ke pipi Haruhiro.
Kesadarannya mulai memudar.
“T-T-T… To…”
“To? Siapa itu?”
“N-Nggak uh…”
“Nggauh? Aku juga nggak kenal dia.”
“Bukan! Aku…”
“Kamu… Apa?”
“K-K-Kesakitan…”
“Kesakitan…?”
Akhirnya, sepertinya dia mengerti.
“Ohh!”
Perempuan itu menjerit dan melonggarkan pelukannya yang erat. Berkat itu, Haruhiro bisa bernapas lagi.
“K-Kamu bisa melepaskanku…?”
“Sudah lama sekali. Boleh aku mengelusmu?”
“U-Uh, nggak, aku nggak tahu…”
Padahal dia sudah melakukannya, kan?
Perempuan itu kembali menggesekkan pipinya ke pipi Haruhiro.
Apa-apaan ini?
Dia juga basah kuyup.
Apa-apaan ini seh?
Aku takut.
“Itulah Mimorin,” kata si dread knight sambil menggeleng kecewa. “Entah kenapa, dia selalu tergila-gila sama Parupiro. Gila banget deh orangnnya. Anehnya nggak ketulungan.”
“Dasar…”
Seorang perempuan lain muncul, kali ini kecil tapi berisi, berbeda dengan yang menggesek pipinya ke Haruhiro. Siapa dia? Dari mana dia muncul? Perempuan itu menampar punggung kepala Ranta dengan tinjunya.
“Bego…!”
“Bwuh…?!”
Saat topeng Ranta bergeser dan matanya melebar, perempuan mungil itu menendangnya tepat di pantat.
“Hi-yah…!”
“Gah…?!”
Ranta melompat tinggi sambil memegangi pantatnya yang kesakitan. Sungguh lompatan hebat. Ranta mendarat dengan kedua kaki, dan benturannya terasa hingga ke punggungnya.
“Augh…?!”
“Jangan kamu panggil dia ‘Mimorin’ seakan kalian teman, ngerti nggak!” teriak perempuan itu, ludah terpercik saat ia berbicara. “Gross idiot! Kamu mesum! Kamu kol cabe tolol!”
“D-D-Dasar brengsek!” Ranta berdiri dengan jari-jari kakinya menyatu, memegangi pantatnya, air mata di mata, suara merintih keluar. Pantatnya pasti benar-benar hancur.
“Kamu menendangku sekuat tenaga! Di pantatku yang mulus dan keras ini! Bagaimana kalau jadi tambah sobek?!”
“Seseorang harus… membelah? Membagi? Uh… memecah pantat busukmu jadi dua, ya!”
“Pantatku nggak sebegitu busuknya!”
“Kamu bilang nggak sebegitu busuk, tapi tetap aja bau!”
“Pantat ya pantat! Semua pantat pasti bau dikit! Itu sudah kodratnya! Bahkan pantatmu sendiri—”
“Woi,” seorang pria berkacamata mengayunkan palu perang yang tampak sanggup menghancurkan batu, menghentikannya tepat di depan wajah Ranta.
Woah, tunggu dulu, darimana dia muncul? Sudah berapa lama dia di sini?
Apa Haruhiro baru saja tidak menyadarinya? Bahkan sekarang, perhatiannya masih tertuju pada perempuan yang menempel pipinya, jadi wajar saja dia tidak memperhatikan.
“Eeeeek…?!”
Ranta menggigil. Tidak, lebih dari itu. Dia jatuh tersungkur sambil gemetar. Tangannya masih memegangi pantatnya.
“Orang sepertimu nggak punya hak ngomongin pantat Anna-san,” kata pria berkacamata itu sambil menarik palu perangnya dan meletakkannya di bahu. “Aku akan membunuhmu, paham?”
“A-A-Aku hampir mati…!”
“Tapi kamu nggak mati.”
“Aku bisa saja! Kalau gitu jadinya, kamu bakal dapat lebih dari sekadar keluhan!”
“Apa? Kamu bisa mengeluh saat mati? Itu terdengar keren. Mau dicontohin?”
Pria berkacamata itu menyiapkan aba-aba palu perangnya untuk hantaman besar.
“H-Hentikan?!” Ranta berkeringat dan panik. “Nggak ada yang mau dicontohin! Aku tahu aku hebat, tapi kalau kau bunuh aku, aku cuma akan jadi mayat seperti yang lain!”
“Membosankan.” Pria itu menurunkan palu perangnya.
“Hei! Heiiiii!”
Seorang pria santai memanggil mereka dari kejauhan. Dari penampilannya, mungkin dia seorang warrior. Pria itu, seorang pria lain yang tampak seperti paladin, dan pria aneh dengan ekor kuda dan penutup mata di mata kiri, masuk ke Pos Lonesome Field melalui jembatan yang rusak, seperti yang lainnya lakukan.
“Aku! Aku di sini! Benar-benar hadir di tempat kejadian! Heiiiii!”
“Cup, cup, cup…” Perempuan tinggi itu masih menempelkan pipinya ke Haruhiro. “Ah, aku sudah bermimpi bisa merasakan Haruhiro seperti ini lagi. Cup, cup, cup. Aku bisa mencium Haruhiro. Cup, cup, cup…”
Apa-apaan ini?
Ini bukan sekadar membuatnya tidak nyaman.
Haruhiro tidak hanya merasa gelisah, tapi juga ketakutan. Ia hanya merasakan keputusasaan untuk masa depan mereka.

Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)