Haruhiro memutuskan untuk menaiki tangga bersama Tasukete. Yang lain akan tetap menunggu di ruangan ini. Sepertinya akan lebih mudah seperti itu. Itu yang ia rasakan.
Ia mengambil salah satu lentera dari rak, lalu menaiki tangga. Di atas, ada ruangan lain.
Ruangan itu dipenuhi rak—semuanya penuh dengan berbagai macam barang.
Ada kotak-kotak kayu dan tong-tong yang dijejalkan di sela-sela rak. Ada juga kendi-kendi besar.
Sebuah meja besar berdiri di tengah ruangan. Beberapa tong disusun mengelilinginya, tampaknya dimaksudkan sebagai kursi. Di atas meja, ada lentera yang belum dinyalakan, lembaran-lembaran kertas tua, mungkin perkamen atau semacamnya, cangkir-cangkir kayu, kendi air, dan berbagai barang acak lainnya yang berserakan. Di salah satu sudut ruangan, ada tangga lain yang mengarah lebih jauh ke atas. Kenapa ia tidak langsung menyadari keberadaan seseorang yang duduk di tengah-tengah anak tangga itu?
Haruhiro mundur selangkah, sambil menarik salah satu belatinya. Ia jelas kidal, tapi entah sejak kapan ia memegang lentera di tangan kiri.
Ketika ia melirik ke samping, ia melihat Tasukete sudah menurunkan tubuhnya, bersiap-siap. Kalau dia membawa senjata, mungkin dia juga sudah mencabutnya seperti Haruhiro.
Pria di tangga itu menoleh ke arah mereka.
Seorang pria.
Ia tidak tampak muda, tapi juga sulit ditebak umurnya. Ia mengenakan helm dan baju zirah, dengan pedang tergantung di pinggang.
Pria di tangga itu tidak bergerak lagi. Ia diam, menatap lurus ke arah Haruhiro dan Tasukete.
“Apa-apaan ini? Serem banget…” gumam Tasukete pelan.
Haruhiro sependapat. Pria di tangga itu jelas sempat bergerak, jadi ia hidup. Dilihat dari penampilan luarnya, ia manusia. Tapi benarkah? Haruhiro tak bisa yakin.
Ia pun mengambil keputusan. “Hei…” panggilnya pada pria itu.
Pria di tangga itu tak bergerak sedikit pun. Tapi kalau dilihat lebih dekat, bahunya sedikit naik-turun. Kedengaran remeh, tapi itu berarti ia bernapas.
Haruhiro tak melepaskan pandangannya dari pria itu dan berbisik, “Tasukete-san.”
“…Huh? Iya?”
“Aku mau coba sesuatu.”
“Mau coba apa? Eh, tunggu…?”
“Kalau terjadi apa-apa, tolong beri tahu yang lain.”
“Kamu sebaiknya jangan lakukan itu…” ucap Tasukete lemah, memperingatkannya.
Ya, mungkin memang sebaiknya jangan, pikir Haruhiro. Tapi ia tetap berniat melakukannya. Apa dia sebenarnya cukup nekat? Atau cuma ceroboh? Ia sendiri tak merasa begitu. Kalau dipikir-pikir, justru mungkin ia termasuk berhati-hati. Meskipun ia sendiri tak ingat pastinya.
Haruhiro mendekati meja, matanya tetap tertuju pada pria di tangga.
Pria itu tetap tak bergerak. Tapi matanya mengikuti setiap gerakan Haruhiro.
Haruhiro meletakkan lentera di atas meja. Ia mencoba mengambil perkamen itu. Ternyata itu peta.
Pria di tangga terus mengamati Haruhiro.
Haruhiro menarik napas dalam-dalam. Butuh keberanian juga, tapi ia menyarungkan belatinya.
Tak ada reaksi dari pria di tangga.
Kalau begitu… Haruhiro menggulung peta itu dengan kedua tangan.
Pria itu masih tetap diam.
“Aku pinjam ini, ya,” ucap Haruhiro.
Tak ada jawaban.
“Aku pinjam,” ulangnya sambil mundur, peta di tangan kanan dan lentera di tangan kiri.
Haruhiro menyerahkan peta itu pada Tasukete.
“Bisa kamu pegang sebentar?”
“…Iya, bisa. Kamu nekat juga, ya…”
“Enggak juga.”
Haruhiro mencabut belatinya lagi. Ia rasa dirinya adalah pengecut.
Kali ini, ia berjalan mengelilingi meja, satu putaran penuh. Di tengah jalan, ia jadi cukup dekat dengan tangga, dan otomatis juga dengan pria itu, tapi tetap tidak terjadi apa-apa.
Ia menelusuri rak-rak dengan cepat. Ada tali, sesuatu yang tampak seperti alat musik, tumbuhan kering, kulit binatang kecil, bagian tubuh hewan, cairan dalam botol, sebuah toples kecil, kotak mungil, dan beberapa bahan bacaan. Tampaknya barang-barang serupa telah dikelompokkan bersama, jadi ini bukan hanya tumpukan acak—semuanya tertata rapi.
Isi dalam tong-tong kayu memang tak terlihat jelas, tapi sepertinya cairan—kemungkinan alkohol, minyak, atau sesuatu yang sejenis. Aromanya pun mengarah ke sana. Tong yang dipakai sebagai kursi sudah kosong.
Kotak-kotak kayu itu dipaku rapat. Meskipun bukan tak mungkin untuk membukanya, Haruhiro memutuskan untuk tidak melakukannya untuk sementara waktu.
Toples-toples besar di sana berisi penuh daging, ikan, atau sayuran yang sudah diasinkan.
Baru sekarang ia menyadari kalau langit-langit ruangan ini cukup tinggi. Ada batang-batang kayu melintang di atas, terlalu tinggi untuk dijangkau, dan dari sana tergantung sosis dan ikan asap.
“Ini semacam gudang, ya?” gumam Haruhiro. “Dengan semua ini… mungkin kita bisa bertahan hidup cukup lama.”
Pria di tangga tetap tak bergerak, persis seperti sebelumnya. Ia hanya menatap Haruhiro dengan tajam.
Haruhiro kembali ke tempat Tasukete.
“…Sepertinya masih ada bagian lain di atas sana,” kata Tasukete. “Kira-kira ada apa lagi, ya?”
“Entahlah.” Haruhiro menggeleng pelan. “Tapi untuk sekarang, mendingan kita turun dulu.”
Setelah menuruni tangga, mereka menceritakan pada yang lain soal apa yang mereka temukan di lantai atas.
Saat berbicara, Haruhiro diam-diam memperhatikan reaksi Hiyo.
Hiyo berseru, “Wah,” lalu “Hmm,” dan “Ooh, begitu,” sambil membesarkan matanya, mengerucutkan bibir, dan menggembungkan pipinya—ekspresinya terus berubah-ubah. Ia menyentuh rambutnya, wajah, leher, dada; menggelengkan kepala, berkedip berulang kali, berjalan mondar-mandir, bahkan sempat melompat-lompat kecil. Gesturnya sering, dan semuanya terasa dilebih-lebihkan.
Itu membuat Haruhiro curiga. Tapi bisa saja itu hanya karena prasangkanya sendiri.
Haruhiro memang mencurigai Hiyo, meski sulit menjelaskan kecurigaan itu secara gamblang. Entah ini berkaitan atau tidak, tapi ia juga merasa bahwa akan sangat tidak baik kalau Hiyo sampai tahu bahwa ia sedang dicurigai.
Singkatnya, ini hanyalah “firasa.”
“Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?” tanya Haruhiro, menoleh pertama kali ke arah Kuzaku.
“Aku?” Kuzaku membelalak. “…Entahlah. Hmm. Kita harus ngapain ya…?”
Meskipun ia tidak ingat siapa Kuzaku sebenarnya, Haruhiro merasa inilah tanggapan yang bisa ia harapkan dari orang itu.
Sebenarnya, mungkin bukan berarti aku tidak ingat apa pun sama sekali, pikir Haruhiro dalam hati.
Contohnya, Shihoru yang tampak menunduk seolah tidak ingin dimintai pendapat—mungkin sebenarnya bukan karena itu. Ia hanya sedang berusaha keras memikirkan semuanya dengan caranya sendiri.
Setora tampak fokus pada pegangan di dinding. Ia tajam. Bahkan kalau Haruhiro tak mengingatnya, ia bisa merasakannya begitu saja.
“Yah…” ucap Merry, menundukkan pandangan sejenak, lalu melirik ke arah Hiyo.
Seperti yang Haruhiro duga, Merry juga mencurigai Hiyo.
Namun ada satu masalah.
Saat ini, hanya Merry yang mengaku masih memiliki ingatan.
Jika Merry mengatakan sesuatu dengan pasti, Haruhiro dan yang lainnya—yang kehilangan ingatan—tidak punya pilihan selain menerimanya begitu saja.
Tak ada seorang pun yang bisa menyanggah dan berkata, “Itu tidak benar.”
Bagaimana jika Merry sebenarnya berbohong?
Haruhiro merasa bahwa Kuzaku, Shihoru, Setora, Kiichi, dan Merry kemungkinan adalah rekan-rekannya.
Namun, ia tak punya bukti pasti untuk itu.
Merry bilang mereka semua adalah prajurit relawan, dan meskipun Setora bukan bagian dari mereka, ia tetap seorang rekan. Untuk Hiyo? Bahkan Merry sendiri tak tahu apakah Hiyo juga seorang prajurit relawan atau bukan. Haruhiro mulai mempercayai semua itu.
Tapi… apakah semua itu benar?
Haruhiro memang merasa Hiyo mencurigakan. Tapi kenyataannya, ketika bicara soal satu-satunya hal yang mereka ingat—nama mereka sendiri—Hiyo tak berbeda dari mereka.
Merry-lah satu-satunya yang memiliki ingatan.
Dengan ingatan itu, ia bisa memberi mereka informasi, memberitahu Haruhiro dan yang lain, “Kau adalah orang seperti ini.”
Di antara mereka, hanya Merry yang bisa melakukan hal itu.
Bukan tidak mungkin kalau ternyata Merry-lah yang paling mencurigakan di sini.
Namun, Merry tampaknya sadar akan posisinya. Jika ia menghendaki, ia bisa memanipulasi ingatannya dan menggunakannya untuk mempengaruhi Haruhiro dan yang lainnya melakukan apa pun. Tapi ia tidak melakukan itu.
Ingatan Merry adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi senjata yang kuat, namun bila digunakan sembarangan, akan menimbulkan kecurigaan dan menyebabkan kehancurannya sendiri.
“Aku…” Io tiba-tiba berjongkok. “Lapar.”
“Iya…” Kuzaku memegangi perutnya. “Aku juga…”
Suara perut keroncongan yang keras terdengar. Rupanya itu perut Gomi.
“Iya. Serius deh. Aku kelaparan banget…”
“Yaaaa iya lah,” Hiyo tertawa. “Namanya juga masih hidup. Perut kosong itu pasti terjadi. Tapi kan ada makanan di atas, iya kan?”
Kalau dipikir-pikir, Hiyo-lah yang pertama kali menyarankan mereka naik ke atas tangga, bukan? Apa dia sengaja menuntun Haruhiro dan yang lainnya ke sana? Haruhiro tak bisa memastikannya. Ini masalah yang samar.
“Masalahnya, ada seseorang di sana,” kata Haruhiro.
“Tapi, taaaapiii~,” ujar Hiyo sambil menatap mereka. “Kita banyaaak banget. Kalau dia nyerang kita, tinggal hajar aja rame-rame, kan? Eek! Astaga, Hiyomuuu, kamu kok kasar banget sih!”
Shihoru memiringkan kepalanya.
“…Hiyomu?”
“Mew?” Hiyo mengedipkan matanya.
“Aku barusan ngomong itu ya? Hiyo barusan nyebut dirinya Hiyomu? Kenapa ya? Itu panggilan ya? Julukan? Nama samaran? Semua itu kayaknya mirip, ya? Apa begitu? Bisa jadi. Hmmm…?”
Cara bicaranya yang cepat, hampir tanpa jeda, justru memperlihatkan bahwa dia tidak benar-benar bingung—melainkan sedang mencoba menutupi kesalahannya.
Merry menunduk, alisnya sedikit mengernyit.
“Aku nggak peduli siapa pun namamu,” kata Io sambil berdiri. “Yang penting makanan! Kita butuh makanan! Seperti kata pepatah, ‘Kamu nggak bisa berperang dengan perut kosong!’”
Apa mereka akan berperang? Mereka memang disebut sebagai prajurit relawan, jadi apa itu berarti mereka harus bertarung? Meski pikirannya masih diliputi keraguan, Haruhiro tetap menaiki tangga sekali lagi. Kali ini bukan hanya bersama Tasukete. Semua orang ikut naik.
“Eh?”
Ruangan itu tak berubah dari sebelumnya, tapi pria yang tadinya duduk di tangga kini menghilang.
“Gak ada siapa-siapa!” seru Io dengan nada menuduh.
“Enggak, tadi ada kok. Serius. …Ada, kan?”
Saat Haruhiro menoleh ke Tasukete, berharap mendapat anggukan sebagai konfirmasi, Tasukete malah menggelengkan kepala secara diagonal, seperti ragu.
“…Rasanya tadi ada. Atau… mungkin nggak ada…”
“Mungkin dia naik ke lantai atas?” Merry menyarankan.
Haruhiro mengangguk.
“Itu benar.”
Ya, dia benar-benar sulit untuk mencurigai Merry.
“Yah, bagaimana pun juga,” kata Kuzaku dengan nada menenangkan, “Bukankah lebih baik kalau orang aneh itu nggak ada di sini? Lagipula, kayaknya ada makanan juga di sini.”
Mereka membentangkan peta di atas meja dan mulai menelusuri tumpukan kertas sambil mengunyah sosis dan ikan kering.
Mereka mencoba membuka sebuah tong, dan setidaknya salah satunya berisi alkohol. Mereka menuangkannya ke dalam cangkir, dan siapa pun yang ingin minum, melakukannya. Haruhiro hanya mencicipi sedikit, tapi rasanya sangat kuat. Dia tahu dia akan mabuk jika minum lebih banyak, jadi ia berhenti sampai di situ.
“Ini…” kata Merry sambil memandangi peta. “Mungkin peta Grimgar?”
“Grimgar?”
Nama itu terdengar familiar—atau mungkin tidak. Tapi rasanya bukan nama yang benar-benar asing.
“Ini Altana,” kata Merry, menunjuk ke bagian bawah peta. “Ke utara dari sini adalah Dataran Quickwind. Lalu ada Hutan Shadow tempat tinggal para elf… dan jauh di timur, ada laut. Di sini. Ini adalah kota bebas Vele.”
“Altana… Elf… Vele… Kota bebas…”
Haruhiro tidak mengenali kata-kata itu. Tapi pada saat yang sama, dia merasa seolah-olah pernah mendengarnya.
Seandainya mereka adalah orang-orang, mungkin dia akan melihat punggung mereka dan merasa kenal. Tapi karena tak melihat wajah mereka, dia tak bisa benar-benar yakin.
Mereka bukan sepenuhnya asing. Dia mengenal mereka. Atau pernah mengenal, lalu melupakannya. Tapi untuk sesuatu yang telah dilupakan…
Semakin ia pikirkan, semakin kepalanya sakit. Sakit yang tidak menyenangkan.
Dari mana rasa sakit ini berasal? Mungkin dari dalam kepalanya sendiri.
Bukan rasa sakit yang menusuk, atau berdenyut. Rasanya lebih mirip gatal… tapi gatal yang tak tertahankan.
“Kita berangkat dari Vele…” Merry menunjuk ke sebuah titik di peta. Lalu ia menggerakkan jarinya ke kiri. “Kita sedang menuju Altana, tapi di tengah jalan kita bertemu… sebuah kamp… ya, Kamp Ainrand Leslie—Kamp Leslie.”
“…Tidak ada gunanya,” kata Setora sambil menyilangkan tangan dan mengerutkan kening. “Aku sama sekali tak bisa mengingatnya.”
“Oh!” seru Kuzaku, masih dengan sosis di mulutnya. “Jadi itu termasuk aku juga? Aku dengarkan seolah-olah itu cerita orang lain…”
Wajah Io sulit dibaca.
“Kamp Leslie…?”
“Apa itu yaaa?” tanya Hiyo dengan senyum. “Ini, ummm? Kamp bestie?”
Merry menatap lurus ke arah Hiyo.
Ekspresi Hiyo sedikit mengeras. Haruhiro cukup yakin soal itu.
“Setelah itu,” lanjut Merry, mengabaikan pertanyaan Hiyo, “kita terdampar di dunia lain. Seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan…”
Hiyo mengelus dagunya. “Hmm.” Tatapannya naik ke kanan. “Kalau rasanya seperti mimpi buruk, mungkin itu berarti cuma mimpi beneran? Oh, bukan berarti aku meragukanmu atau apaaapun~.”
“Bisa jadi begitu.” Merry menunduk, menatap peta. “Mungkin ini semua hanya mimpi yang kulihat. Bahkan sekarang pun, rasanya seperti mimpinya belum berakhir.”
“Bukan itu,” kata Haruhiro dengan tegas. Ia mengatakannya tanpa sadar.
Merry, Hiyo, dan yang lainnya menoleh padanya.
Haruhiro menggaruk kepalanya dan menoleh ke samping.
“…Aku rasa bukan begitu. Kalau aku cuma tokoh dalam mimpinya Merry, entah kenapa… aku tidak akan bisa berpikir sendiri atau bertindak atas kemauanku, kan? Kurasa tidak. Tapi aku bisa. Aku… Atau setidaknya, aku sedang mencoba.”
“Aku juga. Aku juga,” kata Kuzaku dengan tawa kecil.
“Jangan meniruku…”
“Aku nggak meniru. Maksudku, aku setuju denganmu!”
“Seperti! Yang! Aku! Bilang!” Hiyo meletakkan tangan di pinggang dan mengembungkan pipinya. “Bukan berarti aku meragukan kalian atau apaaa~.”
“Merry…-san, kalau ingatanmu memang benar…” Shihoru mendekat, menatap peta dengan seksama. “Sekarang ini… kita berada di mana?”
Haruhiro memandang sekeliling ruangan. Ruangan ini, dan yang di bawahnya, tidak memiliki jendela. Sudah jelas mereka berada di dalam sebuah bangunan, tapi seperti apa dunia luar? Seperti yang ditanyakan Shihoru, sebenarnya mereka ada di mana?
“Gagang itu…” gumam Tasukete lirih.
Haruhiro langsung tahu bahwa maksudnya adalah gagang yang ada di dinding lantai bawah.
Gagang itu memang menarik perhatiannya saat pertama kali melihatnya. Kalau Hiyo tidak menyarankan untuk naik ke atas, mungkin Haruhiro sudah lebih dulu mencoba menarik gagang itu seperti tuas.
“Aku mau turun ke bawah. Aku akan coba tarik gagangnya. Mungkin saja itu mengaktifkan sesuatu.”
Begitu Haruhiro menyatakan niatnya, ekspresi Hiyo terlihat sedikit tidak senang, lalu ia menghela napas. Haruhiro hampir yakin.
Hiyo berbohong.
Pertanyaannya adalah: tentang apa, dan untuk apa?
Dukung Terjemahan Ini:
Jika kamu suka hasilnya dan ingin mendukung agar bab-bab terbaru keluar lebih cepat, kamu bisa mendukung via Dana (Klik “Dana”)